"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber
"Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si
Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka
"Milah ...!"Bergegas aku lari tergopoh-gopoh dari dapur menuju ruang makan, kala panggilan yang lebih nyaring dari toa masjid itu terdengar.Kenapa demikian? Karena kalau telat dua detik saja, piring dan sendok yang tak bersalah akan jadi sasarannnya."Iya, Tuan."Di samping meja berbentuk persegi panjang dengan kursi yang muat menampung sepuluh orang itu aku berdiri, tertunduk dalam memperhatikan ubin yang dipijak, kadang menghitung setiap sisinya kala diri mulai dilanda bosan mendengar ocehan majikan."Saya, kan sudah bilang berkali-kali kalau masak itu ikat rambutmu. Lihat sekarang! Rambut menjijikan ini tercecer di dalam kuah opor. Mana saya nggak yakin kamu keramas rutin lagi." Tuan Stevan-- nama majikanku sudah memulai omelannya secepat Mak-Emak uber barang diskonan. Perlahan aku mendongak. "Tap-tapi, Tu--""Jangan tatap wajah saya. Kamu nggak pantas melihatnya. Menunduk lagi!"Ya, Gusti ...."Lah, kalau saya nunduk gimana bisa mastiin kalau yang Tuan sodorin itu beneran rambu
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah terbangun di kamar majikan, yang kuingat terakhir kali adalah tabrakan yang menyebabkan tubuhku dan Nyonya Intan terkapar tak sadarkan diri. Bagaimana bisa setelah tersadar jiwa kami tiba-tiba tertukar? Apalagi di hadapan sudah ada lelaki tampan, tapi kelakuan kayak setan yang sudah siap menerkam!Untuk sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain kabur dari Tuan Stevan. Mengurung diri di kamar mandi, antara bingung dan frustrasi.Bagaimana ini?Apa yang harus kulakukan?Lagian Tuan Stevan bener-bener kebangetan. Bini abis kecelakaan dia malah ngajak anuan. Keterlaluan.Sekarang aku sedikit paham, kenapa Nyonya Intan katakan hidup yang dia jalani tak seenak kelihatannya. Bersuamikan lelaki tampan dengan muka blasteran ditambah harta bergelimangan, ternyata itu bukan ukuran kebahagiaan.Percuma tampan kalau kelakuan macam siluman, 'kan? Sekali lagi kutampari pipi berharap ini mimpi, tapi semua tampak terlalu nyata adanya un
"Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya."Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja."Lagi pula perubahan
"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya."Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.
Setelah kejadian memalukan tadi, aku memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Berkutat di pantry dengan wajan dan panci. Menghindarinya macam buronan yang menunggu vonis mati.Bagaimana tidak demikian. Dua kali tamparan kulayangkan tanpa perasaan bersama dengan dendam yang sudah dipupuk setahunan. Walhasil, bekas tapak tangan itu menghiasi pipi mulusnya dengan warna kemerahan.Kalau kalian tanya apa aku menyesal? Jawabannya jelas tidak. Malah puas banget rasanya tabokin muka laki sok kecakepan, walaupun sayangnya dia emang cakep beneran. Setidaknya dendamku sedikit terpuaskan meski konsekuensinya jelas terpampang di hadapan."Intan ...!"Kan, belum ada lima menit, suaranya sudah menggelegar.Padahal sejak tadi aku sudah mencoba menghindar, bahkan bertingkah tak kasat mata sampai ngesot-ngesot di bawah meja."Di mana kamu, Intan?"Sial ... bagaimana ini?Mana belum sempet pacaran, ngerasain gandengan, dinikahi Salman Khan, masa harus mati di tangan lelaki setengah siluman?"Berhenti