Share

Hasrat Terpendam Majikanku
Hasrat Terpendam Majikanku
Author: Dwrite

Part. 1

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2024-06-02 17:14:09

"Milah ...!"

Bergegas aku lari tergopoh-gopoh dari dapur menuju ruang makan, kala panggilan yang lebih nyaring dari toa masjid itu terdengar.

Kenapa demikian? Karena kalau telat dua detik saja, piring dan sendok yang tak bersalah akan jadi sasarannnya.

"Iya, Tuan."

Di samping meja berbentuk persegi panjang dengan kursi yang muat menampung sepuluh orang itu aku berdiri, tertunduk dalam memperhatikan ubin yang dipijak, kadang menghitung setiap sisinya kala diri mulai dilanda bosan mendengar ocehan majikan.

"Saya, kan sudah bilang berkali-kali kalau masak itu ikat rambutmu. Lihat sekarang! Rambut menjijikan ini tercecer di dalam kuah opor. Mana saya nggak yakin kamu keramas rutin lagi." Tuan Stevan-- nama majikanku sudah memulai omelannya secepat Mak-Emak uber barang diskonan.

Perlahan aku mendongak. "Tap-tapi, Tu--"

"Jangan tatap wajah saya. Kamu nggak pantas melihatnya. Menunduk lagi!"

Ya, Gusti ....

"Lah, kalau saya nunduk gimana bisa mastiin kalau yang Tuan sodorin itu beneran rambut atau jem--"

"Nggak usah nyela!"

Astagfirullah, Tuhan ... mungkin ini yang dinamakan paras surgawi tapi kelakuan tak manusiawi. Dan anehnya kenapa aku bisa tahan sampai setahun lagi.

Sabar, Mil. Kadang betah itu kalah sama butuh. Duit emang bukan everything, tapi everything butuh duit. Nggak ada duit nggak ada masa depan. Itu kuncinya.

"Udahlah, Sayang. Wajar kalau Milah keteteran. Dia melakukan semua hal sendiri di rumah besar ini." Wanita cantik yang duduk berhadapan dengan lelaki ja hanam itu menyela.

Aku bersyukur setidaknya selain iblis berwujud malaikat di rumah ini juga ada sosok penyeimbang yaitu Ibu Peri Intan--istri Tuan Stevan.

Lain dengan suaminya yang kelakukannya udah macam mantan, sama seperti namanya-- Nyonya Intan justru ramah kebangetan. Dia cenderung pendiam dan penurut sama lakinya yang nggak ada akhlak dan semena-mena ini.

Setahun sejak mulai kerja di rumah yang lebih gede dari kantor kecamatan ini. Cuma Nyonya Intan yang paling mengerti diriku. Kadang kalau suaminya telat pulang dia yang bantu beres-beres atau siapin makan.

"Kan semua pekerjaannya itu sebanding sama gajinya, Intan!"

Nah, nah, dia mulai dengan jurus andalan.

Ya, memang, sih. Walaupun pekerjaanku udah kayak Rodi di zaman Belanda dengan majikan blasteran bule Bojong Soang. Setidaknya dia kasih gaji yang sebanding. Itulah yang membuatku bertahan sampai sekarang tanpa ngeluh minta pulang ke Emak di Cikarang.

"Tapi setidaknya, kan kamu bisa cari jasa koki buat bantu-bantu Milah. Kasian. Dia ngerjain semuanya sendiri."

Alapyu Nyonyah. Kapan-kapan Anda akan saya nobatkan sebagai majikan of the year.

"Terus apa gunanya kamu!"

Ebusyet. Sumpah bagian sini aku terperangah kaget. Sama bini yang cakepnya masyaAllah aja dia begitu.

"Si Milah aja udah cukup. Lagian nambah lagi pembantu cuma bikin pengeluaran tambah banyak. Kamu yang kerjanya cuma ngabisin duit tahu apa?"

Oemjih. Zolim sekali kau jadi laki, Bang.

Sumpah baru kali ini aku denger mereka berantem depan muka sendiri. Biasanya mereka berantem di kamar. Tuan Stevan teriak-teriak sampai beberapa menit, abis itu yang kedengeran cuma suara derit ranjang. Au dah mereka ngapain.

Fix, dua anak ini adalah korban kawin paksa. Pokoknya tidak diragukan lagi. Mereka dijodohkan. Orang selama setahun ini aku nggak pernah lihat keduanya mesra-mesraan kecuali pas ada Tuan besar alias Bapaknya Nyonya Intan.

"Kamu bisa balik lagi ke belakang, Mil. Yang ini biar saya bereskan." Setelah semua yang terjadi aku masih bisa melihat Nyonya Intan tersenyum. Namun, tetap saja. Mata tak bisa bohong, sepertinya dia tertekan.

"Nggak! Saya belum selesai. Milah tetap di sini!"

Seketika gerakanku yang baru saja hendak beranjak, terhenti, lalu kembali berdiri di tempat semula.

Bisa kulihat Nyonya Intan menghela napas panjang, setelah itu dia bangkit dari posisi duduk.

"Stev!"

Nahloh kagak dipanggil sayang lagi.

"Kenapa kamu selalu melampiaskan amarah pada Milah? Kamu ingin membentakku, kan? Lakukan! Aku sudah terbiasa dengan caci makimu. Perkara sehelai rambut saja dibesar-besarkan. Kalau memang keberatan kita bisa pergi ke restoran sekarang. Aku yang bayar!"

Bisa kulihat Tuan Stevan diam terbungkam. Lelaki berkulit putih itu tampak mengepalkan tangan.

Aih, baru nyaho dia marahnya cewek pendiam itu macam apa. Mati kutu pan lu.

Lagian jadi laki, kok sempurna banget lucnutnya. Udah kikir, galak, pemilih, dan suombong nauzubillah. Yang terselamatkan dari dirinya itu cuma cakep sama tajir.

Kalian bayangin aja setiap hari dia cuma kasih uang belanja lima puluh rebu tapi kepengen makan macem-macem. Lama-lama aku masakin endomi all varian aja dah.

Brak!

Astagfirullah.

Aku memegangi dada sawan, melihat meja yang tak berdosa, Tuan Stevan jadikan pelampiasan.

Setelah itu dia berlalu sembari menyambar jas dan kunci mobilnya di meja. Meninggalkan Nyonya Intan yang diam terpaku sembari menangkup wajah.

Sementara aku, aku ....

Aku kenapa?

***

Lahir di Cikarang sembilan belas tahun silam dengan perekonomian yang pas-pasan ... Milah Jamilah adalah nama kebanggan yang Bapak berikan agar kelak aku bisa menjadi anak yang membanggakan dan sukses dunia akhirat.

Namun, faktanya setelah lulus SMA nasibku justru tak semulus Mulan Jamilah yang terlahir sebagai makhluk Tuhan paling seksi yang bersuamikan musisi, aku justru terlahir sebagai makhluk Tuhan paling absurd.

Dengan modal nekad, setahun lalu aku merantau ke Jakarta untuk cari kerja dan memperbaiki nasib. Namun, nahasnya aku malah nyasar plus kerampokan. Sempurna sekali kemalangan ini, bukan?

Tak cukup sampai di situ, pertemuan dengan Tuan Stevan karena tragedi nyolong bakwan akibat kelaperan pun menjadi satu dari sekian takdir Tuhan yang harus kuterima.

Ya, setidaknya. Selain dapat makan dan tempat tinggal aku juga digaji tiap bulan, walaupun pekerjaanku lebih sering jadi pelampiasan.

"Mil ...!"

"Ah, iya, Nya?"

Suara lembut itu seketika menarikku dari lamunan. Setengah jam sepeninggal Tuan Stevan-- masih di tempat yang sama aku melihat Nyonya Intan duduk di sisi meja makan sembari menatap kosong ke depan.

Ah, rupanya hidup orang kaya itu tak selalu menyenangkan. Nyonya Intan contohnya. Walaupun cantik, langsing putih, dan glowing dia tetep saja disakitin.

"Bisa antar saya ke klinik?"

Aku mengangguk mantap, lalu berjalan menghampirinya.

"Bisa, bisa, Nyonya. Kita naik taksi, kan?"

Nyonya Intan menggeleng pelan.

"Naik mobil saja, Mil. Saya masih kuat nyetir, kok. Lagian Pak Halim sedang cuti, 'kan?"

Aku mengangguk mengiyakan.

"Ya udah, saya bawa dulu sweater sama dompet Nyonya, ya."

Nyonya Intan hanya menanggapinya dengan anggukan.

Beberapa menit mempersiapkan, setelah kembali aku sudah melihat mobil terparkir di depan pelataran dan Nyonya Intan terlihat sudah duduk di balik kemudi.

Setelah memastikan pintu terkunci, listrik tak menyala dan alarm berfungsi sempurna. Bergegas aku menyusulnya dan duduk di kursi penumpang.

"Nyonya beneran bisa nyetir? Tapi keliatannya pucet banget, loh." Aku memulai percakapan di tengah perjalanan menuju klinik. Kulihat wanita jelmaan Ibu Peri ini hanya terdiam sepanjang perjalanan.

"Kuat, kok, Mil. Saya cuma kurang enak badan aja akhir-akhir ini."

"Mual sama pusing nggak, Nya?"

"Sedikit."

Mendengar itu seketika pikiranku melayang.

"Ah, jangan-jangan Nyonya hamil!" terkaku seketika.

Sumpah aku nggak bisa ngebayangin gimana bentukannya anak mereka nanti. Orang Emak-Bapaknya aja blasteran makhluk khayangan.

"Ah, nggak mungkin kayaknya." Senyum kecut tampak tersungging di bibir Nyonya Intan.

"Kenapa? Wajar, kok suami istri yang masih anget-angetnya punya anak," sahutku kemudian.

"Dia tak menginginkannya, Mil. Apalagi kalau benihnya terlahir dari rahim saya."

Loh, kok?

"Eh, bentar. Maaf kalau saya agak kurang ajar, ya, Nya. Anu ... apa, kalian nggak bahagia? Tapi, kalau iya apa yang kurang?"

"Perasaan itu tak bisa diukur dari apa yang orang lihat atau miliki, Milah. Tapi, kebahagiaan itu dirasakan tanpa disadari, itu baru namanya kebahagiaan yang sesungguhnya."

Aku terdiam seketika. Sebenarnya apa yang disembunyikan dari senyum wanita cantik ini sebenarnya?

"Seandainya bisa ... aku ingin rasanya sebentar saja kita bertukar nasib."

Cetar!

Seketika aku terperanjat saat mendengar bunyi petir di siang bolong seperti ini. Nggak ada angin nggak ada hujan nggak ada ojek, eh. Tiba-tiba ada petir. Kan horor.

"Saya ingin merasakan bagaimana hidup menjadi orang biasa sepertimu."

Blarr!

Kali ini aku benar-benar terlonjak sampai menaikan kedua kaki ke atas jok mobil. Suara guntur itu benar-benar nyaring dan memekakkan telinga.

Kutolehkan kepala menatap Nyonya Intan yang pandangannya tampak lurus ke depan.

Apakah dia juga sawan? Entah. Mari kita tanyakan.

"Nya! Nyonya!"

Kuguncang tubuhnya pelan, tapi wanita ini tetap bergeming.

"Nyonya awasss ...!"

Bergegas aku menarik seat belt sampai terlepas, lalu memeluk tubuh Nyonya Intan.

Tin ... Tin ... Tinn ....

Bersamaan dengan teriakan, sebuah mini bus yang berjalan dari arah yang berlawan hendak menghadang mobil yang kami tumpangi.

Sebuah cahaya yang menyilaukan tiba-tiba terlihat. Sebelum semua benar-benar gelap, sempat terdengar bunyi keras yang bertabrakan.

Aku pun kehilangan kesadaran.

***

Aku terbangun di sebuah ruangan luas dengan cat berwarna putih bersih. Sebuah selimut hangat dan wangi dengan kasur empuk seolah menemani istirahat panjangku ini.

Rasanya bugar, tak ada rasa pegal atau memar seperti biasa dirasakan korban tabrakan. Aku seolah baru saja terbangun dalam wujud yang baru.

Sebentar? Ini di mana? Perasaan kamarku nggak kayak gini. Selimut juga wangi nggak bau jigong.

Apa aku sudah mati? Ini surga?

"Akhirnya sadar juga? Dua hari aku menunggumu."

Aku terperanjat seketika saat melihat siapa orang yang berdiri di hadapan saat ini.

"Tuan Stevan. Ngapain Anda nungguin saya? Kalau mau makan, kan tinggal nge-gopud."

Lelaki tampan tapi kelakuan kayak siluman itu tiba-tiba mengernyitkan dahi. Dia merangkak naik ke atas ranjang, lalu menempelkan punggung tangannya di dahiku.

"Kondisi tubuhmu baik-baik saja? Atau ada yang salah dengan otakmu?"

Yang bermasalah itu otak situ, Tuan. Ngapa nungguin pembantu sampe ke kamar cuma karena kepengen makan. Manja banget dah.

Eh, ngomong-ngomong Nyonya Intan ke mana?

"Oke, diammu aku anggap sebagai jawaban. Karena hanya otakmu yang bermasalah, kurasa tubuhmu tak apa-apa. Berati kau bisa melakukannya."

Eh, bentar. Melakukan apa maksudnya?

"Lepaskan pakaianmu sekarang!"

Seketika mataku terbelalak. Sembari beringsut mundur kututupi tubuh dengan selimut.

"Mohon maaf, Tuan. Saya cuma jual jasa tenaga, bukan jual diri. Kalau Tuan emang kurang jatah bisa minta baek-baek sama Nyonya Intan, jangan cari pelarian, ya!"

"Apa maksudmu, Intan?"

Lah, ini mah bukan Intan, Bang. Tapi ketan.

Eh, sebentar. Apa dia bilang?

Intan?

Ya Tuhan. Jangan bilang ....

"Intan kamu dengar saya, ka--"

Sebelum sempat dia melanjutkan kalimat, aku sudah lebih dulu loncat dari ranjang, dan berlari menghampiri cermin.

Menatap pantulan diri di dalam sana tak kutemukan sosok gadis berkulit sawo matang dengan rambut ikal gantung dan wajah bulat. Yang terlihat justru manusia setengah bidadari yang tak lain tubuh sang majikan Ibu Peri!

"HUAAA ... APA INI?"

.

.

.

.

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nunu Nugraha nursyamsi
eumh....seru juga Thor.ngakak....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 2

    Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah terbangun di kamar majikan, yang kuingat terakhir kali adalah tabrakan yang menyebabkan tubuhku dan Nyonya Intan terkapar tak sadarkan diri. Bagaimana bisa setelah tersadar jiwa kami tiba-tiba tertukar? Apalagi di hadapan sudah ada lelaki tampan, tapi kelakuan kayak setan yang sudah siap menerkam!Untuk sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain kabur dari Tuan Stevan. Mengurung diri di kamar mandi, antara bingung dan frustrasi.Bagaimana ini?Apa yang harus kulakukan?Lagian Tuan Stevan bener-bener kebangetan. Bini abis kecelakaan dia malah ngajak anuan. Keterlaluan.Sekarang aku sedikit paham, kenapa Nyonya Intan katakan hidup yang dia jalani tak seenak kelihatannya. Bersuamikan lelaki tampan dengan muka blasteran ditambah harta bergelimangan, ternyata itu bukan ukuran kebahagiaan.Percuma tampan kalau kelakuan macam siluman, 'kan? Sekali lagi kutampari pipi berharap ini mimpi, tapi semua tampak terlalu nyata adanya un

    Last Updated : 2024-06-02
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 3

    "Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya."Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja."Lagi pula perubahan

    Last Updated : 2024-06-02
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 4

    "Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya."Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.

    Last Updated : 2024-06-02
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 5

    Setelah kejadian memalukan tadi, aku memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Berkutat di pantry dengan wajan dan panci. Menghindarinya macam buronan yang menunggu vonis mati.Bagaimana tidak demikian. Dua kali tamparan kulayangkan tanpa perasaan bersama dengan dendam yang sudah dipupuk setahunan. Walhasil, bekas tapak tangan itu menghiasi pipi mulusnya dengan warna kemerahan.Kalau kalian tanya apa aku menyesal? Jawabannya jelas tidak. Malah puas banget rasanya tabokin muka laki sok kecakepan, walaupun sayangnya dia emang cakep beneran. Setidaknya dendamku sedikit terpuaskan meski konsekuensinya jelas terpampang di hadapan."Intan ...!"Kan, belum ada lima menit, suaranya sudah menggelegar.Padahal sejak tadi aku sudah mencoba menghindar, bahkan bertingkah tak kasat mata sampai ngesot-ngesot di bawah meja."Di mana kamu, Intan?"Sial ... bagaimana ini?Mana belum sempet pacaran, ngerasain gandengan, dinikahi Salman Khan, masa harus mati di tangan lelaki setengah siluman?"Berhenti

    Last Updated : 2024-06-02
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 6

    "Kamu marah?"Pertanyaan itu meluncur mulus tanpa dosa dari mulut Tuan Stevan, sesaat setelah kami menjejakan kaki keluar resto tanpa makan. Aku mendelik sinis. "Menurut ngana?"Kalau saja ada penghargaan untuk lelaki paling menyebalkan di dunia, mungkin Tuan Stevan bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk membawa pulang piala beserta sound sistemnya. Masa cuma gara-gara debat perkara jengkol. Aku harus pulang dengan keadaan dongkol?"Jadi, sekarang bagaimana?"Dih, pake nanya lagi. Situ yang buat, ya situ yang harus bertanggung jawablah setelah bikin baper, eh laper anak orang. "Au, ah."Kulihat Tuan Stevan hanya terdiam saat dia berjalan di depan menuju parkiran, sementara aku mengekor di belakang sembari menendang-nendang udara berharap walaupun tak sengaja aku bisa menendang pantatnya. Entah apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu, aku pun tak tahu dan tak mau tahu sebenarnya. Karena sungguh, rasa lapar ini lebih menyiksa daripada sikap acuh tak acuhnya. Percayalah, lima

    Last Updated : 2024-06-27
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 7

    "Ada uang koin?" tanya Tuan Stevan, sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang."Buat apa?""Parkir.""Lah, itu kan ada dua rebu di dasboard!" Kutunjuk tumpukan uang pecahan dua ribuan yang sepertinya dipersiapkan untuk parkir."Kebanyakan."Allahu akbar! Meditnya emang nggak ketulungan, nih orang."Lagian waktu dateng tadi kita parkirin sendiri, setelah siap-siap pulang, tiba-tiba orangnya udah nongkrong di depan. Udah jelas juga ada tulisan parkir gratis, ngapain ngeluarin uang banyak-banyak kalau tukang parkirnya nggak ada kerjaan? Lagian kita juga nggak perlu nyebrang."Iya, juga, sih.Tapi, tibang ngeluarin duit dua rebu nggak bakal bikin lu miskin, Stevaaan!"Udahlah, mana sini uangnya?!"Kuelus dada mencoba meredam kekesalan. Lalu, merogoh tas yang bisa kutaksir seharga ginjal, hingga akhirnya menemukan satu koin pecahan seribuan."Noh!""Oke. Terima kasih.""Masama," sahutku ketus.Mobil pun berjalan perlahan melewati tukang parkir di depan. Kusembunyikan wajah

    Last Updated : 2024-06-27
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 8

    "Lagi apa, Bang?" "Punya mata, kan?" "Iya, tahu lagi masak telor buat sarapan." "Kalau tahu kenapa nanya?" Kupejamkan mata sesaat. Sejak kutinggal tidur semalam Tuan Stevan menjadi semakin uring-uringan, entah setan apa yang merasukinya? "Kok, cuma satu?" Dia menoleh, lalu mengerutkan kening. "Kamu mau?" "Enggak. Kalau dua, kan punya kamu." Aku nyengir, tapi dia sama sekali tak bergeming. Bibirnya hanya membentuk satu garis vertikal. "Nggak lucu!" "Ya, maaf. Nggak ngelawak juga." "Kalau nggak ada urusan mending buruan ganti baju! Aku nggak suka nunggu." "Lah, emangnya kita mau ke mana?" "Ke rumah orang tuamu!" Deg! Oh, tidak. Ini tak boleh terjadi. Apa yang harus kukatakan pada Nyonya Intan bila tubuh kita kembali nanti? "Jangan begitulah, Bang. Kita bisa bicarain semua ini baik-baik. Masa perkara nolak dipijitin aja mau dipulangkan?" Terdengar suara napas berat yang diembuskan. Tuan Stevan mematikan kompor, lalu memutar tubuh ke arahku. "Emangnya kamu nggak denger

    Last Updated : 2024-06-28
  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 9

    Jdug! Jdug! Jdug! Kubenturkan kepala ke dinding berharap bisa jatuh pingsan dan terbangun dalam keadaan masuk akal. Tak ada Tuan Stevan, Nyonya Intan atau situasi sialan ini. Aku hanya Milah anak Emak dan Bapak. Gadis kelahiran Cikarang yang hobi makan Kerang sambil ngehalu jadi bini Salman Khan. Sudah satu jam berlalu sejak Tuan Stevan meninggalkanku di ruangan ini sendirian, tanpa kepastian, dan butuh perhatian. Semua orang rumah sedang ziarah ke kuburan Berlian sekarang, sementara Tuan Stevan entah di mana sekarang. Untuk pertama kalinya aku tak nafsu makan. Padahal pelayan sudah menyiapkan makanan enak di nakas dengan buah-buahan segar di sana. Demi Tuhan Aku kangen Emak, Bapak, Adek, dan tubuh lamaku. Sadarlah Nyonya Intan! Aku tak sanggup menghadapi situasi ini sendirian. Merasa usaha yang kulakukan hanya percuma. Akhirnya kupilih untuk beranjak dari pojok ruangan. Menyusuri sekeliling kamar luas ini. Menatap foto-foto Nyonya Intan yang terpajang hingga berhenti di m

    Last Updated : 2024-06-28

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 45

    Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 44

    "Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Masa Lalu Milah & Stevan

    Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Tak Ingin Kembali

    "Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Vonis Dokter

    "Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Awal Semuanya

    Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 39

    "Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 38

    Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 37

    "Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da

DMCA.com Protection Status