Share

Part. 7

"Ada uang koin?" tanya Tuan Stevan, sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang.

"Buat apa?"

"Parkir."

"Lah, itu kan ada dua rebu di dasboard!" Kutunjuk tumpukan uang pecahan dua ribuan yang sepertinya dipersiapkan untuk parkir.

"Kebanyakan."

Allahu akbar! Meditnya emang nggak ketulungan, nih orang.

"Lagian waktu dateng tadi kita parkirin sendiri, setelah siap-siap pulang, tiba-tiba orangnya udah nongkrong di depan. Udah jelas juga ada tulisan parkir gratis, ngapain ngeluarin uang banyak-banyak kalau tukang parkirnya nggak ada kerjaan? Lagian kita juga nggak perlu nyebrang."

Iya, juga, sih.

Tapi, tibang ngeluarin duit dua rebu nggak bakal bikin lu miskin, Stevaaan!

"Udahlah, mana sini uangnya?!"

Kuelus dada mencoba meredam kekesalan. Lalu, merogoh tas yang bisa kutaksir seharga ginjal, hingga akhirnya menemukan satu koin pecahan seribuan.

"Noh!"

"Oke. Terima kasih."

"Masama," sahutku ketus.

Mobil pun berjalan perlahan melewati tukang parkir di depan. Kusembunyikan wajah di balik tas saat melihat tangan Tuan Stevan mulai terulur menyodorkan uang.

"Mobil elit, kasih tip parkir sulit. Dasar medit!"

"Kan, kan dikatain."

"Nggak apa-apa. Udah biasa."

***

"Orang tuamu tadi mengirim pesan, katanya kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi?"

Tuan Stevan membuka percakapan saat kami memulai perjalanan pulang.

"Eh, itu, anu ... hapeku lupa di-cas."

"Oh. Nggak biasanya." Sejenak dia mengedikkan bahu, lalu menoleh ke arahku. Dahinya tiba-tiba berkerut, beberapa kali tatapan lelaki bermata biru itu bergantian ke arah jalanan di depan.

"Kenapa?" Aku bertanya sembari menggaruk rambut yang tak gatal.

"Justru kamu yang kenapa?"

Lah?

"Nggak kenapa-napa, kok. Masih syantik seperti biasanya," tuturku seraya membenahi rambut yang tergerai di balik spion dalam.

Namun, bukannya percaya Tuan Stevan malah mendengkus pelan. Anehnya, beberapa saat kemudian dia menepikan mobil.

"Kebiasaan."

"Eh, oh."

Untuk pertama kalinya aku terpaku, mematung, dan tak bisa melakukan apa-apa saat Tuan Stevan mencondongkan tubuhnya. Lebih dekat, tanpa sekat.

Aku seolah tak bisa merasakan kaki berpijak. Apalagi saat mencium bau maskulin yang menguar dari tubuh tegap berototnya.

Tepat ketika aku berhasil mendapatkan kendali atas diri, kudorong kuat tubuh Tuan Stevan sampai punggungnya terbentur pintu mobil.

Dia mengaduh, lalu menatapku nyalang.

"Kamu ini kenapa?" bentaknya.

"Nggak usah deket-deket. Mulut abang bau naga. Aku nggak nahan."

"What?!"

Matanya melebar seolah tak percaya akan penuturanku.

"Iya, bau naga. Makanya kalau habis makan jengkol itu sikat gigi terus minum sus--"

"Aku cuma ingin memasangkan seatbelt, Intan! Memangnya pikiranmu ke mana, hah?"

Mamvus. Salah paham aku.

Begini, nih kalau jomblo kebanyakan didokrin sama drama atau film-film romantis. Bawaannya halu, muluuu ....

***

"Intan ...!"

Suara Tuan Stevan sudah terdengar dari luar saat aku baru selesai membersihkan diri di kamar mandi.

Kadang aku heran, dia manggil istri nggak ada mesra-mesranya. Malah udah kayak teriakin maling. Maksudnya dia panggil aku atau istrinya hampir nggak ada bedanya. Teriak-teriak begitu.

"Bentar!"

Kujejakkan kaki ke luar setelah memastikan handuk kimono melekat sempurna di tubuhku. Kemudian berjalan perlahan dengan alas kaki berbulu yang sudah tersedia di bawah pintu.

"Ngapain aja kamu di dalam? Bangun Candi?"

Bandung Bondowoso kali, ah.

"Luluranlah, kayak yang nggak tahu cewek aja," sungutku sembari mendelik menatapnya yang tengah sibuk berpakaian.

Selamet, dia udah pake baju.

"Buat apa? Udah putih mulus gitu. Kalau keseringan bisa-bisa kulitmu ngelupas nanti."

Sebenarnya dia ini suami Nyonya Intan atau tukang kritik, sih? Hobinya ngomen terus.

"Ck, tahu, nggak?"

"Nggak!"

"Belum, Stevaaan!"

Dahinya mengernyit seolah tak peduli.

"Fungsinya mandi itu buat apa?"

"Ya, buat kebersihanlah," sahutnya ogah-ogahan.

"Nah, itu pinter. Putih-mulus nggak selalu diartikan bersih, Bang. Walaupun dikit pasti ada atu dua biji daki yang nempel dan harus dibersihin. Paham!"

"Terserah."

Jawaban sama yang sering dikatakan ketika orang kalah debat. Ya,  begitulah manusia.

"Nah, kalau udah terserah gitu. Silakan angkat kaki keluar! Aku mau pake baju."

"Kenapa harus keluar? Lagipula aku sudah tahu setiap detail dari tubuhmu!"

Ya, Gusti ... kalau saja aku tak ingat dengan tujuan awal, kalau saja dia bukan majikan, dan tidak tampan. Sudah dipastikan itu kepala Tuan Stevan aku lelepin ke lubang jamban.

"Oke. Terserah. Kumaha dinya welah!" Lelah berdebat, aku pun memilih menyerah.

Lagipula seperti apa yang dikatakannya. Tubuh yang tampak dari luar ini milik Nyonya Intan. Aku cuma numpang singgah doang.

Jadi, mau telanjang, telentang, ataupun kayang. Nggak ada urusan.

Akhirnya dengan gerakan slow motion, kuambil satu per satu pakaian dan mengenakannya di balik pintu lemari. Dari sudut mata bisa kulihat sesekali dia melirik sembari menggeram.

"Kamu sengaja menguji keimananku, Intan?"

Idih. Geer banget lu, Bang. Masa udah ketutupan pintu lemari masih aja kagak tahan. Itu mah emang lemah aja iman lu, Bang!

Memilih untuk mengabaikan, dengan santai sengaja kuulur-ulur waktu, padahal sejak tadi gaun tidur biru yang terjatuh sempurna di atas lutut ini sudah melekat di tubuh.

Mamam, noh. Lagian dari tadi udah disuruh keluar situ malah ngeyelan. Kepancing, kan!

"Cukup, Intan!"

Brak!

Seketika aku terlonjak saat dia menendang keras pintu kamar dan berjalan cepat menghampiri. Ditariknya kasar pergelangan tanganku, lalu memojokkan tubuhnya hingga tersudut ke dinding.

Gusti ....

Emak ....

Bapak ....

Jantungku, jantungku ...!

Apa turunan bule memang selalu begini? Grasak-grusuk, nggak sabaran, dan yang pasti bikin sawan?

Jangan, Bang! Please ....

Eneng masih perawan.

"Kalau saja kamu nggak sedang datang bulan. Sudah dipastikan besok nggak akan bisa bangun dari ranjang! Jadi, jaga sikapmu dan jangan membuatku habis kesabaran!" desisnya.

Aku mengerjap. Kehilangan kata-kata.

Untuk pertama kalinya aku dibuat gemetaran oleh Tuan Stevan. Padahal jujur, walaupun dia memarahiku habis-habisan aku tak pernah sampai kelabakan.

"O-oke. So-sorry."

Bisa kulihat sorot matanya meredup, dia tumpukan kedua tangan di kedua sisi tubuhku. Mengukungnya.

"Tanganmu masih berfungsi, kan?" Aku mengerutkan kening.

"Hah?"

"Tanganmu masih bisa digunakan, kan?"

Eh, gimana? Gimana?

"Bi-bisa."

"Kalau begitu puaskan aku!"

"Apuah ...?"

***

Bener-bener kurang ajar Tuan Stevan. Bilang aja kalau mau minta pijitin nggak usah pake acara tarik-tarikan dan pojok-pojokan. Jadi, kan aku, aku ... ah sudahlah!

"Kenapa berenti?"

Kutatap punggung lebar di hadapan. Menghela napas panjang mencoba meredam perasaan dongkol yang bercokol.

"Pegel," jawabku sekenanya.

"Ya udah, sini gantian!" Dia memutar tubuh, hingga posisi kami kini berhadapan.

"Nggak usah, makasih!"

Lekas kuempaskan diri di ranjang, menarik bedcover hingga menutup setengah badan. Sesekali melirik lelaki yang masih duduk memerhatikan dengan tatapan sulit diartikan.

Walaupun masih tinting, tapi aku nggak cukup polos untuk diiming-iming.

Karena aku tahu pasti akal bulus, nih laki anuan. Bukannya mijit, jatohnya malah grepe-grepe entar.

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status