"Ada uang koin?" tanya Tuan Stevan, sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang.
"Buat apa?" "Parkir." "Lah, itu kan ada dua rebu di dasboard!" Kutunjuk tumpukan uang pecahan dua ribuan yang sepertinya dipersiapkan untuk parkir. "Kebanyakan." Allahu akbar! Meditnya emang nggak ketulungan, nih orang. "Lagian waktu dateng tadi kita parkirin sendiri, setelah siap-siap pulang, tiba-tiba orangnya udah nongkrong di depan. Udah jelas juga ada tulisan parkir gratis, ngapain ngeluarin uang banyak-banyak kalau tukang parkirnya nggak ada kerjaan? Lagian kita juga nggak perlu nyebrang." Iya, juga, sih. Tapi, tibang ngeluarin duit dua rebu nggak bakal bikin lu miskin, Stevaaan! "Udahlah, mana sini uangnya?!" Kuelus dada mencoba meredam kekesalan. Lalu, merogoh tas yang bisa kutaksir seharga ginjal, hingga akhirnya menemukan satu koin pecahan seribuan. "Noh!" "Oke. Terima kasih." "Masama," sahutku ketus. Mobil pun berjalan perlahan melewati tukang parkir di depan. Kusembunyikan wajah di balik tas saat melihat tangan Tuan Stevan mulai terulur menyodorkan uang. "Mobil elit, kasih tip parkir sulit. Dasar medit!" "Kan, kan dikatain." "Nggak apa-apa. Udah biasa." *** "Orang tuamu tadi mengirim pesan, katanya kenapa ponselmu nggak bisa dihubungi?" Tuan Stevan membuka percakapan saat kami memulai perjalanan pulang. "Eh, itu, anu ... hapeku lupa di-cas." "Oh. Nggak biasanya." Sejenak dia mengedikkan bahu, lalu menoleh ke arahku. Dahinya tiba-tiba berkerut, beberapa kali tatapan lelaki bermata biru itu bergantian ke arah jalanan di depan. "Kenapa?" Aku bertanya sembari menggaruk rambut yang tak gatal. "Justru kamu yang kenapa?" Lah? "Nggak kenapa-napa, kok. Masih syantik seperti biasanya," tuturku seraya membenahi rambut yang tergerai di balik spion dalam. Namun, bukannya percaya Tuan Stevan malah mendengkus pelan. Anehnya, beberapa saat kemudian dia menepikan mobil. "Kebiasaan." "Eh, oh." Untuk pertama kalinya aku terpaku, mematung, dan tak bisa melakukan apa-apa saat Tuan Stevan mencondongkan tubuhnya. Lebih dekat, tanpa sekat. Aku seolah tak bisa merasakan kaki berpijak. Apalagi saat mencium bau maskulin yang menguar dari tubuh tegap berototnya. Tepat ketika aku berhasil mendapatkan kendali atas diri, kudorong kuat tubuh Tuan Stevan sampai punggungnya terbentur pintu mobil. Dia mengaduh, lalu menatapku nyalang. "Kamu ini kenapa?" bentaknya. "Nggak usah deket-deket. Mulut abang bau naga. Aku nggak nahan." "What?!" Matanya melebar seolah tak percaya akan penuturanku. "Iya, bau naga. Makanya kalau habis makan jengkol itu sikat gigi terus minum sus--" "Aku cuma ingin memasangkan seatbelt, Intan! Memangnya pikiranmu ke mana, hah?" Mamvus. Salah paham aku. Begini, nih kalau jomblo kebanyakan didokrin sama drama atau film-film romantis. Bawaannya halu, muluuu .... *** "Intan ...!" Suara Tuan Stevan sudah terdengar dari luar saat aku baru selesai membersihkan diri di kamar mandi. Kadang aku heran, dia manggil istri nggak ada mesra-mesranya. Malah udah kayak teriakin maling. Maksudnya dia panggil aku atau istrinya hampir nggak ada bedanya. Teriak-teriak begitu. "Bentar!" Kujejakkan kaki ke luar setelah memastikan handuk kimono melekat sempurna di tubuhku. Kemudian berjalan perlahan dengan alas kaki berbulu yang sudah tersedia di bawah pintu. "Ngapain aja kamu di dalam? Bangun Candi?" Bandung Bondowoso kali, ah. "Luluranlah, kayak yang nggak tahu cewek aja," sungutku sembari mendelik menatapnya yang tengah sibuk berpakaian. Selamet, dia udah pake baju. "Buat apa? Udah putih mulus gitu. Kalau keseringan bisa-bisa kulitmu ngelupas nanti." Sebenarnya dia ini suami Nyonya Intan atau tukang kritik, sih? Hobinya ngomen terus. "Ck, tahu, nggak?" "Nggak!" "Belum, Stevaaan!" Dahinya mengernyit seolah tak peduli. "Fungsinya mandi itu buat apa?" "Ya, buat kebersihanlah," sahutnya ogah-ogahan. "Nah, itu pinter. Putih-mulus nggak selalu diartikan bersih, Bang. Walaupun dikit pasti ada atu dua biji daki yang nempel dan harus dibersihin. Paham!" "Terserah." Jawaban sama yang sering dikatakan ketika orang kalah debat. Ya, begitulah manusia. "Nah, kalau udah terserah gitu. Silakan angkat kaki keluar! Aku mau pake baju." "Kenapa harus keluar? Lagipula aku sudah tahu setiap detail dari tubuhmu!" Ya, Gusti ... kalau saja aku tak ingat dengan tujuan awal, kalau saja dia bukan majikan, dan tidak tampan. Sudah dipastikan itu kepala Tuan Stevan aku lelepin ke lubang jamban. "Oke. Terserah. Kumaha dinya welah!" Lelah berdebat, aku pun memilih menyerah. Lagipula seperti apa yang dikatakannya. Tubuh yang tampak dari luar ini milik Nyonya Intan. Aku cuma numpang singgah doang. Jadi, mau telanjang, telentang, ataupun kayang. Nggak ada urusan. Akhirnya dengan gerakan slow motion, kuambil satu per satu pakaian dan mengenakannya di balik pintu lemari. Dari sudut mata bisa kulihat sesekali dia melirik sembari menggeram. "Kamu sengaja menguji keimananku, Intan?" Idih. Geer banget lu, Bang. Masa udah ketutupan pintu lemari masih aja kagak tahan. Itu mah emang lemah aja iman lu, Bang! Memilih untuk mengabaikan, dengan santai sengaja kuulur-ulur waktu, padahal sejak tadi gaun tidur biru yang terjatuh sempurna di atas lutut ini sudah melekat di tubuh. Mamam, noh. Lagian dari tadi udah disuruh keluar situ malah ngeyelan. Kepancing, kan! "Cukup, Intan!" Brak! Seketika aku terlonjak saat dia menendang keras pintu kamar dan berjalan cepat menghampiri. Ditariknya kasar pergelangan tanganku, lalu memojokkan tubuhnya hingga tersudut ke dinding. Gusti .... Emak .... Bapak .... Jantungku, jantungku ...! Apa turunan bule memang selalu begini? Grasak-grusuk, nggak sabaran, dan yang pasti bikin sawan? Jangan, Bang! Please .... Eneng masih perawan. "Kalau saja kamu nggak sedang datang bulan. Sudah dipastikan besok nggak akan bisa bangun dari ranjang! Jadi, jaga sikapmu dan jangan membuatku habis kesabaran!" desisnya. Aku mengerjap. Kehilangan kata-kata. Untuk pertama kalinya aku dibuat gemetaran oleh Tuan Stevan. Padahal jujur, walaupun dia memarahiku habis-habisan aku tak pernah sampai kelabakan. "O-oke. So-sorry." Bisa kulihat sorot matanya meredup, dia tumpukan kedua tangan di kedua sisi tubuhku. Mengukungnya. "Tanganmu masih berfungsi, kan?" Aku mengerutkan kening. "Hah?" "Tanganmu masih bisa digunakan, kan?" Eh, gimana? Gimana? "Bi-bisa." "Kalau begitu puaskan aku!" "Apuah ...?" *** Bener-bener kurang ajar Tuan Stevan. Bilang aja kalau mau minta pijitin nggak usah pake acara tarik-tarikan dan pojok-pojokan. Jadi, kan aku, aku ... ah sudahlah! "Kenapa berenti?" Kutatap punggung lebar di hadapan. Menghela napas panjang mencoba meredam perasaan dongkol yang bercokol. "Pegel," jawabku sekenanya. "Ya udah, sini gantian!" Dia memutar tubuh, hingga posisi kami kini berhadapan. "Nggak usah, makasih!" Lekas kuempaskan diri di ranjang, menarik bedcover hingga menutup setengah badan. Sesekali melirik lelaki yang masih duduk memerhatikan dengan tatapan sulit diartikan. Walaupun masih tinting, tapi aku nggak cukup polos untuk diiming-iming. Karena aku tahu pasti akal bulus, nih laki anuan. Bukannya mijit, jatohnya malah grepe-grepe entar. . . . Bersambung."Lagi apa, Bang?" "Punya mata, kan?" "Iya, tahu lagi masak telor buat sarapan." "Kalau tahu kenapa nanya?" Kupejamkan mata sesaat. Sejak kutinggal tidur semalam Tuan Stevan menjadi semakin uring-uringan, entah setan apa yang merasukinya? "Kok, cuma satu?" Dia menoleh, lalu mengerutkan kening. "Kamu mau?" "Enggak. Kalau dua, kan punya kamu." Aku nyengir, tapi dia sama sekali tak bergeming. Bibirnya hanya membentuk satu garis vertikal. "Nggak lucu!" "Ya, maaf. Nggak ngelawak juga." "Kalau nggak ada urusan mending buruan ganti baju! Aku nggak suka nunggu." "Lah, emangnya kita mau ke mana?" "Ke rumah orang tuamu!" Deg! Oh, tidak. Ini tak boleh terjadi. Apa yang harus kukatakan pada Nyonya Intan bila tubuh kita kembali nanti? "Jangan begitulah, Bang. Kita bisa bicarain semua ini baik-baik. Masa perkara nolak dipijitin aja mau dipulangkan?" Terdengar suara napas berat yang diembuskan. Tuan Stevan mematikan kompor, lalu memutar tubuh ke arahku. "Emangnya kamu nggak denger
Jdug! Jdug! Jdug! Kubenturkan kepala ke dinding berharap bisa jatuh pingsan dan terbangun dalam keadaan masuk akal. Tak ada Tuan Stevan, Nyonya Intan atau situasi sialan ini. Aku hanya Milah anak Emak dan Bapak. Gadis kelahiran Cikarang yang hobi makan Kerang sambil ngehalu jadi bini Salman Khan. Sudah satu jam berlalu sejak Tuan Stevan meninggalkanku di ruangan ini sendirian, tanpa kepastian, dan butuh perhatian. Semua orang rumah sedang ziarah ke kuburan Berlian sekarang, sementara Tuan Stevan entah di mana sekarang. Untuk pertama kalinya aku tak nafsu makan. Padahal pelayan sudah menyiapkan makanan enak di nakas dengan buah-buahan segar di sana. Demi Tuhan Aku kangen Emak, Bapak, Adek, dan tubuh lamaku. Sadarlah Nyonya Intan! Aku tak sanggup menghadapi situasi ini sendirian. Merasa usaha yang kulakukan hanya percuma. Akhirnya kupilih untuk beranjak dari pojok ruangan. Menyusuri sekeliling kamar luas ini. Menatap foto-foto Nyonya Intan yang terpajang hingga berhenti di m
"Tan." "Intan." "Intan Pertiwi!" "Ape, sih?" Akhirnya kubanting tas ke atas kasur, kala mendengar Tuan Stevan tak berhenti memanggil. Sejak perdebatan di kolam tadi aku memutuskan untuk bergegas mandi, lalu bersiap pulang. Namun, sampai selesai berpakaian dan bersolek tadi, bule sompret ini masih terjaga mengamati di sisi ranjang. Menyilangkan kaki dengan tatapan yang sulit diartikan. Sampai saat ia mulai memanggil-manggil tanpa alasan, di situlah titik kesabaranku dipertaruhkan. "Kenapa kamu marah?" Astajklmnx*#$ Tampol, tidak, ya? Tampol tidak, ya? Sabar, Mil! Nyonya Intan udah sadar, kita cuma perlu tukeran dan masalah Stevan pun kelar. Oke, tarik napas. Embuskan. Hu ... Haaa .... Setelah menyangklokan tas selempang, aku memilih untuk beranjak dari kamar dan berjalan ke luar. Mengabaikannya. "Berhenti, Intan!" Tiba-tiba Tuan Stevan mengejar, lalu menarik pergelangan tanganku. Please, deh drama banget ini Tuhan .... "Nggak usah pegang-pengang!" Kutepis tangannya kasa
Ya, begitulah bunda-bunda ... bila si kecil tak diberi ASI melainkan susu kuda liar. Akhlaknya tak tertanam, melainkan berceceran sampai-sampai mulut pun tak ikut disekolahkan. Bagaimana bisa orang yang baru siuman dengan seedak jidat dia hadapkan dengan cucian? Kesabaranku akhirnya benar-benar terkikis habis. Kulepas sebelah sepatu pantofel yang melekat di kaki, lalu mengarahkannya pada lelaki yang masih berdiri santai di ambang pintu. "Keluar sekarang nggak!" ancamku sembari mengambil ancang-ancang untuk melempar sepatu yang digenggam. "Iya, iya. Galak amat jadi istri." "Daripada situ, perhitungan banget jadi suami." Tak lama suara pintu yang ditutup keras pun terdengar. Aku beralih pada Nyonya Intan yang sejak tadi diam memperhatikan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Kumohon ... jangan bilang dia tersinggung dengan tingkah lakuku yang kadang nggak tahu aturan? *** "Hahaha ...." Masih di tempat yang sama aku dibuat diam kebingungan saat melihat Nyonya Intan tertawa terb
"Lepas!" Bergegas kutepis tangan Tuan Stevan, lalu berniat mengejar Nyonya Intan yang langsung pergi tanpa pamit. Sebelum tubuhnya menghilang aku sempat melihat matanya melebar, tapi masih bisa menutupinya dengan senyuman. Asem. Mungkin dalam pikirannya Nyonya Intan ngebatin, ternyata begini rasanya diselingkuhi diri sendiri. Jujur, dari sekian banyak kemungkinan situasi seperti inilah yang paling kutakutkan. Lagian kalau bisa nawar kenapa coba aku harus tukeran jiwa sama ciwi yang udah punya laki? Kenapa nggak sama Prilly atau Rani Mukherji, setidaknya, kan aku bisa ketemu Babang Salman Khan. "Tunggu!" Namun, sebelum sempat langkahku mencapai pintu, Tuan Stevan sudah lebih dulu menghadang jalanku. Tubuhnya yang menjulang bak tiang jemuran berdiri di ambang pintu sembari berkacak pinggang. Ketahuilah kawan, untuk situasi ini jelas tak ada kekuatan yang lebih besar selain kekuatan laki yang kebelet anu. Dua minggu dia sabar menunggu tanpa jajan keluar, sudah bisa dipastikan
"Haha ... aku bercanda, Milah."Seketika kuhela napas lega setelah Nyonya Intan melanjutkan. "Tapi serius untuk waktu dua minggu itu cukup mengejutkan," tambahnya."Hehe." Aku hanya bisa menyengir sembari mengusap tengkuk. Tak tahu harus menunjukkan respons macam apa."Kira-kira apa yang kamu katakan padanya? Stevan itu tipe lelaki yang dominan, loh. Kalau keinginannya tak dipenuhi dia nggak akan sungkan untuk memaksa. Setahuku selama ini dia cuma tunduk pada dua wanita. Ibu mertuaku, dan ... Berlian." Lagi-lagi aku melihat sorot mata Nyonya Intan berubah saat menyebut nama saudara kembarnya. "Aku cuma minta dia ngerti, Nya. Karena sekuat apa pun wanita pasti punya perasaan lembut yang sama. Dia emang nggak langsung setuju, tapi setidaknya aku udah punya jawaban dari mulut yang terkunci itu. Terkadang nggak salah, kok kalau sikap keras dihadapi dengan keras juga. Lagian cewek, kan punya jurus andalan." Senyumku melebar, sembari menepuk dada, kuakui improvisasi tadi berjalan sempurna
"Sarapan siap!" "Kok, kamu yang bawa? Milah mana?" "Dia masih cuci piring. Daripada kamu nunggu lama." "Balikin lagi! Aku mau Milah yang antar." Tahan, nggak boleh erosi. Masih pagi. Kuhela napas panjang sembari meletakkan nampan berisi sarapan di atas meja kerjanya. "Masih ngambek karena diliatin foto Mimi Peri?" " .... " Dia tak menjawab. "Ya udah lain kali kukirim Foto Cupi Cupita yang asetnya segede semangka. Kamu pasti suka." "Nggak perlu. Udah, keluar sana! Aku lagi banyak kerjaan!" Tumben keliatan kerja, biasa juga cuma ongkang-ongkang kaki dan limpahin semua kerjaan sama sekretarisnya. Apa aku pernah mengatakan kalau keluarga Tuan Stevan mempunyai bisnis travel? Setelah ayahnya yang bule itu tiada, kini dia dan adiknya yang mengelola. Tapi, sejauh ini yang kulihat kerja hanya adiknya. Makhluk tampan lain dari keturunan Alexander, yang kelakuannya nggak kalah membagongkan. Sementara Tuan Stevan lebih banyak bekerja dari rumah. Menerima telepon atau email berisi lapo
Suatu pagi di kebun milik Pak Haji .... "Mak, kalau nanti tiba-tiba ada yang lamar Milah terima aja, yah! Mau itu duda perkasa, bujang anak dua, atau perjaka tua, asal jangan jadi bini kedua," kataku saat tengah rebahan di paha Emak menatap hamparan kebun Tin tetangga. Sudah hampir delapan tahun ini Emak bekerja sebagai buruh di kebon Tin milik Pak Haji Yahya yang letaknya cukup dekat dari rumahku, sekitar jalan Puri Cikarang Hijau, Pilar Cikarang Utara kabupaten Bekasi. Selain dari penjualan ketan di pasar, si Tin ini adalah sumber mata pencaharian keluargaku, dari sini aku dan Ahmad--adikku bisa sekolah, makan, dan jajan. Walaupun kadang masih ketergantungan ngutang di warung. Ya mau begimana lagi, duit sekarang itu susah nyarinya sama kayak jodoh. Yang gampang itu cuma ghibah dan cari kesalahan orang. "Lah, yang bener bae? Kamu pan baru lulus Esema, atuh, Mil. Masih kecil juga, pake udah ngomongin lamar-lamaran." Emak menatapku dengan dahi mengernyit. Aku terdiam sesaat.
Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan
"Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha
Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka
"Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si
"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber
Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur
"Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda
Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da