"Kita ngobrol dekat kolam, biar Stevan nggak dengar." Tepat ketika sampai di pelataran, Nyonya Intan langsung menarik tanganku menuju belakang rumah. Mengabaikan Tuan Stevan yang hanya bisa memerhatikan kami dari kejauhan dengan tatapan tajam yang menghunjam. Melihat responsnya barusan, kegelisahan seolah tak bisa Nyonya Intan sembunyikan saat memeriksa ponsel android berukuran lima inci milikku yang softcase-nya udah buluk dan jamuran. Memang sudah dari dua minggu lalu kami memutuskan untuk tukeran hape, yakali aneh aja kalau kita pegang punya masing-masing. Sembari bercerita tentang keluarga satu sama lain. Nyonya Intan juga mengajariku menggunakan ponsel keluaran terbaru yang tak mampu kubeli walaupun setahun kerja rodi ini. Sejak saat itu, kami selalu mendiskusikan apa pun pesan yang masuk berdua untuk menghindari kesalahanpahaman. Termasuk situasi macam ini. "Begini, sebelum panggilan dari ibumu datang, tadi pagi aku memang sempat iseng-iseng buka hape kamu buat nonton yutup.
Sejak obrolan dengan Tuan Stevan di ruang keluarga tempo hari, kudapati Nyonya Intan menjadi lebih pendiam. Tak ada lagi canda atau kekehan tawa bahkan setelah mati-matian kuajak becanda. Sikap Tuan Stevan juga tak jauh berbeda. Entah kesambet setan dari alam mana dia mendadak cool dan nggak banyak maunya. Sudah terhitung empat hari sejak mulutnya terkunci dan kami tak sering terlibat obrolan bersama. Hari itu juga aku maupun Nyonya Intan memutuskan untuk meminta pengertian pada Emak dan Bapak untuk menunda lamaran resmi Bang Ipul. Karena selain terlalu mendadak, kami juga butuh waktu untuk menyepakatinya bersama. Mengingat jiwa dan raga ini bukan lagi kehendak kami berdua. Entah aku yang masih terlalu unyu atau lugu hingga belum bisa mengartikan maksud dari ucapan Tuan Stevan tentang pernikahan dan hal yang ia maksud dengan tekan-menekan. Oke, untuk bagian situ sepertinya memang sudah masuk ranah rumah tangga. Dipikirkan sampai jumpalitan empat malam pun otakku masih tak
"Nya ...."Di ambang pintu kamar aku melihat Nyonya Intan mengemasi barang-barangku ke dalam tas berukuran besar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, sungguh aku tak mengerti. Demi Tuhan selama setahun terakhir aku tak pernah sekali pun melihatnya sampai semarah ini pada Tuan Stevan bahkan saat kami masih di tubuh masing-masing. Tindakan Nyonya Intan barusan yang membuat lelaki itu kini mengurung diri di kamar, membuatku semakin percaya bahwa marahnya orang pendiam itu terkadang lebih mengerikan. Bekas merah yang tertinggal di kulit putih lelaki itu sudah menjelaskan seberapa kuat gamparan itu dilayangkan. Mungkin ini yang dinamakan habisnya batas kesabaran seseorang. Akhirnya Nyonya Intan menoleh, menatapku dengan jejak air mata yang kentara di pipinya. "Maaf kalau aku mengambil keputusan ini tanpa merundingkannya lebih dulu. Demi Tuhan aku sudah muak, Milah. Aku muak dengan lelaki breng sek itu!" Aku hanya bisa tertegun mendengarnya. "Setahun ini aku masih bisa terima
Pernahkah kalian merasa bahwa hidup yang dijalani begitu sulit dan tak terkendali, pernahkah kalian merasa bahwa ingin sekali bertukar nasib dengan orang yang kita anggap segala kemauannya terpenuhi? Tapi setelah kalian mengetahui bahwa pada kenyataan hidup orang lain justru tidaklah seenak kelihatannya ... masihkah kalian menginginkannya, masihkah kalian memimpikannya? Jujur, kuakui ada yang salah di sini. Entah itu posisiku atau situasi yang tak mendukung. Intinya apa pun yang terjadi setidaknya aku harus bertahan sampai seratus hari. Ya, untuk sementara aku baru memikirkan rencana tiga bulan ke depan, selebihnya mari kita kembalikan pada sang pemilik kehidupan. Kalau pun kami tak bisa kembali ke tubuh masing-masing dalam kurun waktu seratus hari. Aku hanya bisa pasrah menjadi salah satu dari pemain FTV Ikan Teri. Yaitu istri yang tersakiti. Setelah Nyonya Intan memohon siang tadi. Kami sudah sepakat untuk menjalani peran sebagai diri masing-masing, menukar bukan hanya tubuh
Setelah menempuh kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Cikarang-Bekasi. Karena halaman rumahku yang sempit terpaksa kami meminta izin untuk memarkir mobil di depan ruko Pak RT, lalu berjalan menuju rumah. Melalui ponsel Nyonya Intan tadi, aku sudah mengatakan pada Emak bahwa kita akan tiba sore ini. Sepanjang perjalanan bisa kulihat tatapan para tetangga juga obrolan mereka tentangku yang rasanya terlalu kencang untuk dibilang sebagai bisik-bisikan. Rasa-rasanya ingin sekali kulempar mulut-mulut jaha nam itu dengan cobek dan ulekan, terus digeprek. "Dua orang itu majikan si Milah? Masih muda banget, ya. Cakep-cakep lagi." "Eh, ngomong-ngomong kenapa majikannya sampai nganter ke rumah? Jangan-jangan si Milah mau dijadiin bini kedua?" "Sukses ya anak Ceu Euis di Jakarta. Selain jadi pembantu ternyata dia juga bisa jadi penggoda." "Shhh ... Bu-ibu tuh liat majikannya yang perempuan liat ke kita. Melotot lagi." Astagfirullah. Bacotnya aktif sekali ya
Enam tahun aku sekolah di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA. Aku belum pernah berpikir sampai sekeras ini. Perjabaran Tuan Stevan yang terasa lebih sulit daripada aljabar, ekspresi Nyonya Intan yang tak bisa diukur dengan rumus Kimia, juga wajah melongo Ahmad yang tak bisa digambarkan dengan nyata.Pada akhirnya sebelum sempat Tuan Stevan melanjutkan, kutepuk bahu Ahmad yang masih saja melongo dengan pelan, lalu memintanya meninggalkan kami.Oke, walaupun sulit setidaknya ada yang sedikit kupahami di sini. Terlepas fakta yang aku tahu tentang Tuan Stevan yang dulunya pernah kere. Ternyata Nyonya Intan juga salah paham tentang ucapan lelaki itu di ruang makan. Penyesalan yang ia katakan saat itu ternyata bukan karena menikahi istrinya yang sekarang, melainkan berkaca pada orang tuanya sendiri. "Baru sekarang saya menyadari bahwa situasi ini sebenarnya sama-sama nggak kami kehendaki. Pernikahan yang terjadi berdasarkan keinginan Berlian sebelum pergi, tapi dengan bodohnya s
Sudah terhidang di hadapan berbagai menu masakan yang Emak siapkan dari dur Ashar sampai gong Maghrib. Ada ikan goreng, ayam goreng, cah kanggung, cumi asam manis, tempe-tahu, sambel, plus lalaban. Aku hanya bisa melongo sembari menelan ludah. Please ... itu bukan hanya karena ekspresi kelaperan, tapi juga meringis membayangkan berapa banyak utang Emak di warung Pak rete sampe bisa masak sebanyak ini. Belum ditambah es jeruk yang langsung diperah dari sumbernya, juga cuci mulut berupa apel dan anggur. Sumpah, ya. Waktu selametan sunatan si Ahmad aja kita cuma makan nasi tumpeng plus telor semur. Ini nyambut majikan yang kikir dan pengeretannya ngelebihin anak kos di akhir bulan, masa kudu sampe abis-abisan? Pokoknya nggak redo, Milah, Mak. Kagak redo! "Mari, mari! Silakan, Tuan!" Yaelah, Mak kagak perlu ditawarin aja jakunnya dah naek turun dari tadi. Seneng, ye, lu, Tuan. Bisa makan enak gratisan nggak perlu keluar duit. Sebel, sebel, sebel. "Nyonya Intan nggak ma
"Kenapa Nyonya nggak pernah cerita tentang latar belakang Tuan Stevan?" tanyaku saat kami tengah jalan-jalan malam, mengitari kampung, sembari mencari oleh-oleh yang hendak kubawa pulang. Kebetulan Nyonya Intan juga ingin lebih tahu banyak tentang tempat yang akan dia tinggali untuk beberapa waktu ke depan, sebelum kami memutuskan untuk menerima pinangan Bang Ipul. Ya, dengan jiwa yang tertukar ini kami tentu tak lagi bisa menyimpulkan segala hal sendiri. Karena entah esok atau nanti tubuh kami tiba-tiba kembali, siapa yang tahu? Setelah berjalan beberapa meter dari tempat mobil Tuan Stevan terparkir, akhirnya kami menemukan toko oleh-oleh yang masih buka. Jaraknya sekitar satu kilo dari rumah. Kami sengaja tak meminta Emak, Bapak, atau pun Ahmad karena berpikir sekalian pulang, dan Nyonya Intan juga tak keberatan kembali sendiri. Karena tahu kalau Tuan Stevan mageran, aku maupun Nyonya Intan memintanya untuk menunggu di mobil saja. Lagi pula kuyakin dia sudah tepar di dalam
Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan
"Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha
Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka
"Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si
"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber
Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur
"Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda
Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da