Enam tahun aku sekolah di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA. Aku belum pernah berpikir sampai sekeras ini. Perjabaran Tuan Stevan yang terasa lebih sulit daripada aljabar, ekspresi Nyonya Intan yang tak bisa diukur dengan rumus Kimia, juga wajah melongo Ahmad yang tak bisa digambarkan dengan nyata.Pada akhirnya sebelum sempat Tuan Stevan melanjutkan, kutepuk bahu Ahmad yang masih saja melongo dengan pelan, lalu memintanya meninggalkan kami.Oke, walaupun sulit setidaknya ada yang sedikit kupahami di sini. Terlepas fakta yang aku tahu tentang Tuan Stevan yang dulunya pernah kere. Ternyata Nyonya Intan juga salah paham tentang ucapan lelaki itu di ruang makan. Penyesalan yang ia katakan saat itu ternyata bukan karena menikahi istrinya yang sekarang, melainkan berkaca pada orang tuanya sendiri. "Baru sekarang saya menyadari bahwa situasi ini sebenarnya sama-sama nggak kami kehendaki. Pernikahan yang terjadi berdasarkan keinginan Berlian sebelum pergi, tapi dengan bodohnya s
Sudah terhidang di hadapan berbagai menu masakan yang Emak siapkan dari dur Ashar sampai gong Maghrib. Ada ikan goreng, ayam goreng, cah kanggung, cumi asam manis, tempe-tahu, sambel, plus lalaban. Aku hanya bisa melongo sembari menelan ludah. Please ... itu bukan hanya karena ekspresi kelaperan, tapi juga meringis membayangkan berapa banyak utang Emak di warung Pak rete sampe bisa masak sebanyak ini. Belum ditambah es jeruk yang langsung diperah dari sumbernya, juga cuci mulut berupa apel dan anggur. Sumpah, ya. Waktu selametan sunatan si Ahmad aja kita cuma makan nasi tumpeng plus telor semur. Ini nyambut majikan yang kikir dan pengeretannya ngelebihin anak kos di akhir bulan, masa kudu sampe abis-abisan? Pokoknya nggak redo, Milah, Mak. Kagak redo! "Mari, mari! Silakan, Tuan!" Yaelah, Mak kagak perlu ditawarin aja jakunnya dah naek turun dari tadi. Seneng, ye, lu, Tuan. Bisa makan enak gratisan nggak perlu keluar duit. Sebel, sebel, sebel. "Nyonya Intan nggak ma
"Kenapa Nyonya nggak pernah cerita tentang latar belakang Tuan Stevan?" tanyaku saat kami tengah jalan-jalan malam, mengitari kampung, sembari mencari oleh-oleh yang hendak kubawa pulang. Kebetulan Nyonya Intan juga ingin lebih tahu banyak tentang tempat yang akan dia tinggali untuk beberapa waktu ke depan, sebelum kami memutuskan untuk menerima pinangan Bang Ipul. Ya, dengan jiwa yang tertukar ini kami tentu tak lagi bisa menyimpulkan segala hal sendiri. Karena entah esok atau nanti tubuh kami tiba-tiba kembali, siapa yang tahu? Setelah berjalan beberapa meter dari tempat mobil Tuan Stevan terparkir, akhirnya kami menemukan toko oleh-oleh yang masih buka. Jaraknya sekitar satu kilo dari rumah. Kami sengaja tak meminta Emak, Bapak, atau pun Ahmad karena berpikir sekalian pulang, dan Nyonya Intan juga tak keberatan kembali sendiri. Karena tahu kalau Tuan Stevan mageran, aku maupun Nyonya Intan memintanya untuk menunggu di mobil saja. Lagi pula kuyakin dia sudah tepar di dalam
Setelah kejadian salah pegang barusan, kami lalui perjalanan pulang dengan penuh kecanggungan. Kurasakan atmosfer di dalam mobil terasa lebih mencekam daripada kuburan. Mana nggak ada Nyonya Intan, di dalem cuma berduaan, jantung udah dangdutan, mana pulang kemaleman. Lengkap sudah penderitaanku, teman-teman. "Mana uang kembaliannya?" "Eh?" Aku menoleh dengan tampang keheranan. Setelah beberapa lama diam dalam keheningan, dengan sompretnya Tuan Stevan memulai percakapan dengan perkara kembalian sisa beli oleh-oleh kue akar kelapa sama sagon bakal si Betrand. "Cuma goceng, Bang." Kusodorkan selembar uang lusuh dengan pecahan lima ribu itu ke hadapannya. "Nggak apa-apa. Lumayan beli gorengan," ucapnya sembari mengambil alih uang lima ribu tersebut, lalu meletakannya di atas dasbor. Ya, Gusti ... kebangetan pelitnya emang lu, Bang. "Omong-omong kapan si Milah memutuskan? Aku masih belum mau pakai jasa pembantu lain." Duileh. Segitu sayangnya lu ame gue, Bang. Sampe nggak ma
"Apa jangan-jangan kamu merencanakan sesuatu untuk balas dendam? Atau sebenarnya kamu punya selingkuhan?" Yaelah pikiran nih laki. Ngapain juga perempuan sebaik Nyonya Intan kepikiran begituan. Kayaknya nyawa Tuan Stevan belum kumpul sepenuhnya, dia keliatan baru setengah sadar jadi ngomongnya ngalor-ngidul. Pada akhirnya aku kembali memilih diam. "Jawab, Intan! Aku sangat penasaran. Apa kamu juga bahkan menyayangi Betrand?" Deg! Untuk bagian sini, seperti Tuan Stevan mengatakannya bukan tanpa alasan. Mengingat hubungan Nyonya Intan dan Betrand cukup jauh dan tak harmonis untuk ukuran ipar yang jarak umurnya jauh terbentang. Entah kenapa bahkan setiap datang berkunjung si Betrand malah teriak-teriak liat Nyonya Intan, dan lebih banyak menghabiskan waktunya denganku dan Tuan Stevan di taman belakang. "Ya, jelas. Dia juga adikku." Kali ini aku memilih menjawab seadanya. "Bohong. Kalau kamu menyayanginya kenapa Betrand nggak pernah menyukaimu walaupun kamu mirip denga
Perselingkuhan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan ataupun niat dari pelakunya, tapi juga karena ada duit lebih. Selain dari yang disebutkan di atas, ketidakpekaan dari pasangan juga perlakuan tanpa perasaan bisa menjadi salah satu penyebabnya. Cuman, apa pun alasannya. Tak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah perselingkuhan. Maka dari itu cintailah pasanganmu, sebelum dia dicintai pasangan orang. Lah? *** "Kartu ini aku simpan, ya! Kamu pakai yang baru, semua nomor keluargaku sudah dimasukkan ke kontak." Masih lekat dalam ingatan, ketika Nyonya Intan mengatakan perkara ponsel dan privasinya tepat sehari setelah dia siuman. Karena saat itu pikiranku dipenuhi dengan aura positif yang kadang aur-auran, tak ada yang berani kutanyakan tentang alasan ia menggantinya. Hanya cicak di dinding dan perabotan di kamar itu juga Tuhan yang tahu apa sebenarnya yang Nyonya Intan sembunyikan. Tentang email yang diganti, akun medsos yang di-log out, bahkan game cacing yang tak luput dari
Mendengar ocehanku mata Tuan Stevan terpejam, setelahnya dia menghela napas panjang. "Oke. Sekarang tolong temani dulu Betrand, aku mau ngobrol dengan Brian tentang bisnis sebentar." "Oke." Tuan Stevan pun berlalu menuju taman, diikuti Tuan Brian yang masih saja melirik-lirik ke arahku. Hanya dari tatapannya aku bisa menggambarkan banyak yang ingin lelaki itu katakan, tapi terhalang keadaan. Lagian lu jadi laki cuma berani dari belakang, sih, Tong. Padahal, kan lebih enak maen dari depan. Aih, lu ngomong ape sih, Milah? Sepeninggal upin dan ipin yang tidak seiras itu, aku berjalan mengendap menghampiri Betrand yang sedang sibuk dengan tablet berukuran sepuluh inci di pangkuannya. Bocah dengan bibit unggul itu tampak belum mengindahkan kehadiranku di belakang dan asik main panjang-panjangan cacing. "Bertrand ... main sama Thalia, yuk!" Eh, salah intronya. Emangnya ini keluarga Onsu. Ini pan keluar As--eit, nggak boleh diterusin. Bocah berumur tujuh tahun itu menoleh sedikit dem
"Kak, apa nggak coba aja kepala Intan di-rontgen? Siapa tahu ada saraf yang kejepit," celetuk Tuan Brian tiba-tiba saat kami tengah menikmati pizza di ruang keluarga. Sembarangan saraf kejepit. Pola pikir situ aja yang sempit.Lagian kalau beneran di-rontgen, aku malah prihatin sama mesinnya. Entar tiba-tiba error karena isi kepalaku kotor semua. Jujur, ya. Baru kali ini aku udah malu-maluin diri, tapi rasanya malah nggak malu-malu banget. Melihat ekspresi Tuan Brian tadi entah kenapa justru malah jadi kepuasan tersendiri. Sementara ekspresi Tuan Stevan-- sungguh aku tak peduli. Yang penting Betrand cekikikan sampai berkali-kali. Buktinya kurang dari dua jam nih bocah udah nemplok aja di pangkuan macam anak Kangguru. "Nggak perlu. Setidaknya dengan bertindak gila begitu, dia terlihat lebih hidup."Mon, maaf, Tuan. Itu pujian atau hinaan? Kok, berasa nggak ada bedanya.Dipikir Nyonya Intan mayat berjalan?Tapi, bener juga, sih. Sebelas dua belaslah. Hobi ngelamun, jarang ngomong, l
Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan
"Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha
Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka
"Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si
"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber
Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur
"Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda
Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da