Perselingkuhan terjadi bukan hanya karena ada kesempatan ataupun niat dari pelakunya, tapi juga karena ada duit lebih. Selain dari yang disebutkan di atas, ketidakpekaan dari pasangan juga perlakuan tanpa perasaan bisa menjadi salah satu penyebabnya. Cuman, apa pun alasannya. Tak ada yang bisa dibenarkan dari sebuah perselingkuhan. Maka dari itu cintailah pasanganmu, sebelum dia dicintai pasangan orang. Lah? *** "Kartu ini aku simpan, ya! Kamu pakai yang baru, semua nomor keluargaku sudah dimasukkan ke kontak." Masih lekat dalam ingatan, ketika Nyonya Intan mengatakan perkara ponsel dan privasinya tepat sehari setelah dia siuman. Karena saat itu pikiranku dipenuhi dengan aura positif yang kadang aur-auran, tak ada yang berani kutanyakan tentang alasan ia menggantinya. Hanya cicak di dinding dan perabotan di kamar itu juga Tuhan yang tahu apa sebenarnya yang Nyonya Intan sembunyikan. Tentang email yang diganti, akun medsos yang di-log out, bahkan game cacing yang tak luput dari
Mendengar ocehanku mata Tuan Stevan terpejam, setelahnya dia menghela napas panjang. "Oke. Sekarang tolong temani dulu Betrand, aku mau ngobrol dengan Brian tentang bisnis sebentar." "Oke." Tuan Stevan pun berlalu menuju taman, diikuti Tuan Brian yang masih saja melirik-lirik ke arahku. Hanya dari tatapannya aku bisa menggambarkan banyak yang ingin lelaki itu katakan, tapi terhalang keadaan. Lagian lu jadi laki cuma berani dari belakang, sih, Tong. Padahal, kan lebih enak maen dari depan. Aih, lu ngomong ape sih, Milah? Sepeninggal upin dan ipin yang tidak seiras itu, aku berjalan mengendap menghampiri Betrand yang sedang sibuk dengan tablet berukuran sepuluh inci di pangkuannya. Bocah dengan bibit unggul itu tampak belum mengindahkan kehadiranku di belakang dan asik main panjang-panjangan cacing. "Bertrand ... main sama Thalia, yuk!" Eh, salah intronya. Emangnya ini keluarga Onsu. Ini pan keluar As--eit, nggak boleh diterusin. Bocah berumur tujuh tahun itu menoleh sedikit dem
"Kak, apa nggak coba aja kepala Intan di-rontgen? Siapa tahu ada saraf yang kejepit," celetuk Tuan Brian tiba-tiba saat kami tengah menikmati pizza di ruang keluarga. Sembarangan saraf kejepit. Pola pikir situ aja yang sempit.Lagian kalau beneran di-rontgen, aku malah prihatin sama mesinnya. Entar tiba-tiba error karena isi kepalaku kotor semua. Jujur, ya. Baru kali ini aku udah malu-maluin diri, tapi rasanya malah nggak malu-malu banget. Melihat ekspresi Tuan Brian tadi entah kenapa justru malah jadi kepuasan tersendiri. Sementara ekspresi Tuan Stevan-- sungguh aku tak peduli. Yang penting Betrand cekikikan sampai berkali-kali. Buktinya kurang dari dua jam nih bocah udah nemplok aja di pangkuan macam anak Kangguru. "Nggak perlu. Setidaknya dengan bertindak gila begitu, dia terlihat lebih hidup."Mon, maaf, Tuan. Itu pujian atau hinaan? Kok, berasa nggak ada bedanya.Dipikir Nyonya Intan mayat berjalan?Tapi, bener juga, sih. Sebelas dua belaslah. Hobi ngelamun, jarang ngomong, l
Di tengah perjalanan menuju resto, kegiatanku hanya sibuk scroll toktok sambil sesekali buka yusup liat pelajaran tentang table manner. Walaupun dalam hati terdalam sebenarnya kepengen banget bikin Tuan Brian illfeel, tapi sialnya ada rasa hati tak tega kalau harus liat Tuan Stevan malu. Entah sejak kapan perasaan respect ini muncul, aku pun tak tempe. Untuk hari ini, mari kita tinggalkan sikap kampunganmu, Milah. jadilah Nyonya Intan dari segi penampilan dan wawasan. Saat tengah asik nonton tata cara pake serbet ala horang kaya, tiba-tiba notifikasi dari si hijau nongol di pojokan. Tertera nama Milah di sana, yang artinya pesan itu berasal dari Nyonya Intan. [ Mil, kemarin untuk pertama kalinya Saeful ajak aku jalan keluar naik motor. Kesan pertama yang bisa kunilai darinya adalah dia lelaki yang hangat. Obrolan kita juga nyambung dan nggak monoton. Ternyata dia penyuka musik-musik klasik dan lumayan pintar dalam bisnis. Katanya Saiful juga yang memegang keuangan bisnis Ti
[ Nya, kirimin nama jenis-jenis bunga yang cocok buat acara aniv. Si Brian banyak tanya minta digaplok mulutnya. ] Pesan via si hijau itu kukirim pada Nyonya Intan di sela-sela bersolek di depan kaca. Sekali lagi, waktu memang bisa berjalan lebih cepat kalau tak diharapkan. Mau tak mau dengan terpaksa aku tetap harus mengantar adik kandung Tuan Stevan itu untuk mengunjungi Toko Bunga Nyonya Intan tepat di sebelah Tanah Abang. Toko yang kuketahui sudah buka sejak dua tahun lalu itu didirikan karena kecintaan Nyonya Intan pada bebungan, juga kegabutannya sebab duit nggak habis tujuh turunan. Berbagai bunga tersedia di sana, mulai dari Bunga mawar, melati, bunga bangke, bunga bank, sampai bunga desa. Canda. Intinya semua bunga-bunga yang bisa tumbuh di iklim tropis Indonesia itu tersedia walaupun Nyonya Intan harus mengeluarkan kocek lebih karena beberapa bunga di-impor dari luar. Pesanan bunga di tokonya juga bisa dibuat beragam. Bukan hanya terpatok untuk hiasan, ditanam, karanga
"Sudah siap?" tanya Brian--sekarang aku memanggilnya tanpa embel-embel 'Tuan'. Bodo amatlah, lagian dia bukan majikanku. Liat aja, nih orang tak bikin makin illfeel pokoknya entar. "Iye." "Mau ke mana dulu kita?" tambahnya setelah mobil mulai berjalan meninggalkan pelataran. "Ya, langsung ke tokolah. Emang mau ke mana lagi?" Pake nanya ke mana dulu segala, udah macam pasangan yang mau kencan. "Ya siapa tahu kamu mau makan atau nonton dulu gitu." Dia nyengir tanpa dosa. Idih ... fix, ya nih laki ngajak pergi bukan karena urusan bunga doang, tapi emang dasarnya mau cari kesempatan dalam keenakan. "Nggak. Udah kenyang makan angin tadi." "Kenapa kamu ketus sekali, Intan. Apa salahku?" "Karena kamu banyak omong, Brian! Bisa diem nggak? Kepalaku pusing karena kebanyakan begadang sambil striming." "Oh, oke." Raut wajahnya seketika berubah masam. Lelaki dengan setelan khas anak muda kekinian itu terlihat sibuk menyetir sekarang. Oke, saatnya untuk memberi anak muda ini pencerahan
Ketika mobil yang dikendarai Brian berhenti di depan pelataran, kulihat Tuan Stevan sudah berdiri dengan berpangku tangan sembari menyandarkan tubuh di depan pintu.Alas kaki berbulu yang dikenakannya tampak bergoyang-goyang sesuai ketukan. Kegiatan yang biasa dia lakukan bila sudah menunggu terlalu lama. "Kamu duluan!" Kuberi Brian isyarat dengan dagu agar ia keluar lebih dulu. "Kamu aja yang duluan. Dia, kan suamimu kenapa harus takut?" protesnya. "Lah, pan dia juga abangmu kenapa mesti kikuk?" balasku tak mau kalah. Brian mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan dengan kesal. Lalu kembali menatapku. "Ya sudah, kita turun barengan."Kuhela napas sejenak, kemudian mengangguk setuju."Oke."Akhirnya kami turun bersamaan, kuapit tangan Brian dengan kepala menunduk guna menghindari tatapan laser Tuan Stevan yang mungkin bisa saja membunuh tanpa menyentuh. Udah kayak santet. "Tangan!" cetusnya tiba-tiba saat kami melintas di hadapannya. Sadar akan hal itu, bergegas kulepask
Kurang dari dua belas jam sejak adegan sosor menyosor kemarin malam, aku dapati diri terbangun dalam keadaan linglung. Aneh, tapi nyata. Seperti mimpi, tapi ini beneran terjadi. Mencoba pasrah, tapi rasanya seperti menghianati diri sendiri. Dahlah Milah. Lupain, lupain, lupain. Anak perawan nggak boleh banyak pikiran. Anggap aja itu terjadi diluar kuasamu. "Kak, Betrand mau tinggal di sini bareng Kak Intan, boleh, ya?" Suara celotehan Betrand di depan pintu ruang pakaian Tuan Stevan, seketika menarikku dari lamunan tentang kejadian kemarin malam. Lelaki yang tampak sudah berpakaian rapi dengan celana katun hitam dan kemeja biru itu berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan adiknya. Aku yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar sembari menggenggam sebuah kotak makan pun, mulai melangkah menghampiri keduanya dan berhenti di belakang Betrand. Tatapanku dan Tuan Stevan bersirobok. Aku tanya ada sorot tanya yang tersirat di sana. Dengan mantap, kuanggukan kepala sebagai t