[ Nya, kirimin nama jenis-jenis bunga yang cocok buat acara aniv. Si Brian banyak tanya minta digaplok mulutnya. ] Pesan via si hijau itu kukirim pada Nyonya Intan di sela-sela bersolek di depan kaca. Sekali lagi, waktu memang bisa berjalan lebih cepat kalau tak diharapkan. Mau tak mau dengan terpaksa aku tetap harus mengantar adik kandung Tuan Stevan itu untuk mengunjungi Toko Bunga Nyonya Intan tepat di sebelah Tanah Abang. Toko yang kuketahui sudah buka sejak dua tahun lalu itu didirikan karena kecintaan Nyonya Intan pada bebungan, juga kegabutannya sebab duit nggak habis tujuh turunan. Berbagai bunga tersedia di sana, mulai dari Bunga mawar, melati, bunga bangke, bunga bank, sampai bunga desa. Canda. Intinya semua bunga-bunga yang bisa tumbuh di iklim tropis Indonesia itu tersedia walaupun Nyonya Intan harus mengeluarkan kocek lebih karena beberapa bunga di-impor dari luar. Pesanan bunga di tokonya juga bisa dibuat beragam. Bukan hanya terpatok untuk hiasan, ditanam, karanga
"Sudah siap?" tanya Brian--sekarang aku memanggilnya tanpa embel-embel 'Tuan'. Bodo amatlah, lagian dia bukan majikanku. Liat aja, nih orang tak bikin makin illfeel pokoknya entar. "Iye." "Mau ke mana dulu kita?" tambahnya setelah mobil mulai berjalan meninggalkan pelataran. "Ya, langsung ke tokolah. Emang mau ke mana lagi?" Pake nanya ke mana dulu segala, udah macam pasangan yang mau kencan. "Ya siapa tahu kamu mau makan atau nonton dulu gitu." Dia nyengir tanpa dosa. Idih ... fix, ya nih laki ngajak pergi bukan karena urusan bunga doang, tapi emang dasarnya mau cari kesempatan dalam keenakan. "Nggak. Udah kenyang makan angin tadi." "Kenapa kamu ketus sekali, Intan. Apa salahku?" "Karena kamu banyak omong, Brian! Bisa diem nggak? Kepalaku pusing karena kebanyakan begadang sambil striming." "Oh, oke." Raut wajahnya seketika berubah masam. Lelaki dengan setelan khas anak muda kekinian itu terlihat sibuk menyetir sekarang. Oke, saatnya untuk memberi anak muda ini pencerahan
Ketika mobil yang dikendarai Brian berhenti di depan pelataran, kulihat Tuan Stevan sudah berdiri dengan berpangku tangan sembari menyandarkan tubuh di depan pintu.Alas kaki berbulu yang dikenakannya tampak bergoyang-goyang sesuai ketukan. Kegiatan yang biasa dia lakukan bila sudah menunggu terlalu lama. "Kamu duluan!" Kuberi Brian isyarat dengan dagu agar ia keluar lebih dulu. "Kamu aja yang duluan. Dia, kan suamimu kenapa harus takut?" protesnya. "Lah, pan dia juga abangmu kenapa mesti kikuk?" balasku tak mau kalah. Brian mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan dengan kesal. Lalu kembali menatapku. "Ya sudah, kita turun barengan."Kuhela napas sejenak, kemudian mengangguk setuju."Oke."Akhirnya kami turun bersamaan, kuapit tangan Brian dengan kepala menunduk guna menghindari tatapan laser Tuan Stevan yang mungkin bisa saja membunuh tanpa menyentuh. Udah kayak santet. "Tangan!" cetusnya tiba-tiba saat kami melintas di hadapannya. Sadar akan hal itu, bergegas kulepask
Kurang dari dua belas jam sejak adegan sosor menyosor kemarin malam, aku dapati diri terbangun dalam keadaan linglung. Aneh, tapi nyata. Seperti mimpi, tapi ini beneran terjadi. Mencoba pasrah, tapi rasanya seperti menghianati diri sendiri. Dahlah Milah. Lupain, lupain, lupain. Anak perawan nggak boleh banyak pikiran. Anggap aja itu terjadi diluar kuasamu. "Kak, Betrand mau tinggal di sini bareng Kak Intan, boleh, ya?" Suara celotehan Betrand di depan pintu ruang pakaian Tuan Stevan, seketika menarikku dari lamunan tentang kejadian kemarin malam. Lelaki yang tampak sudah berpakaian rapi dengan celana katun hitam dan kemeja biru itu berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan adiknya. Aku yang sejak tadi berdiri di ambang pintu kamar sembari menggenggam sebuah kotak makan pun, mulai melangkah menghampiri keduanya dan berhenti di belakang Betrand. Tatapanku dan Tuan Stevan bersirobok. Aku tanya ada sorot tanya yang tersirat di sana. Dengan mantap, kuanggukan kepala sebagai t
Satu bulan, dua hari sudah aku dan Nyonya Intan bertukar jiwa. Selama itu tak ada hal yang paling kutakuti selain kenyataan bahwa salah satu dari keluarga kami ada yang menyadari.Selain tragedi ini tak masuk akal, menjelaskannya sampai mulut berbusa pun mana bisa mereka percaya?Contohnya si Brian sompret. Saat ini lelaki dengan boxer yang tidak bisa menutup sempurna paha berbulunya itu masih menatapku dengan sorot mata yang sama tajamnya bahkan setelah kami pindah ke ruang TV, duduk berhadapan di atas sofa empuk berwarna cokelat.Beberapa kali dia mengatakan bahwa aku adalah sejenis jin ganjen yang sedang gabut hingga iseng bersemayam di tubuh Nyonya Intan sampai berminggu-minggu dengan tujuan tertentu.Lebih parahnya lagi dia sempat baca doa yang kuketahui sebagai doa makan bukannya doa pengusir setan. Setelah dipikir-pikir ternyata ada yang lebih absurd daripada aku."Jawab! Atau aku sembur sekarang."Astagfirullah Gusti. Helep me.Si Brian udah nggak waras lagi. Padahal kemarin k
Perjalanan menuju Cikarang dimulai menjelang siang. Tak ada masalah berarti meskipun Brian beberapa kali meyakinkan bahwa aku tak lagi mengarang cerita. Setelah menjelaskan sampai mulut hampir berbusa, akhirnya dia benar-benar percaya.Apalagi setelah Brian melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana fakta-fakta yang ada. Mau ditutupi serapat Tupperware baru pun, yang namanya bangkai pasti tetap akan tercium.Akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan yang ada, bahwa Brian lebih dulu tahu dibanding Tuan Stevan."Eh, ngomong-ngomong aku baru sadar kenapa kita tidak bicara formal untuk ukuran pembantu dan majikan?" Brian membuka percakapan dengan cibiran yang begitu menyebalkan kala membahas tentang derajat dan strata sosial kami."Mon maaf, majikanku cuma Tuan Stevan dan Nyonya Intan. Situ sape? Ngegaji kagak, ngasih jajan juga nggak pernah. Bisanya cuma merintah dan nyuruh-nyuruh seenaknya udah kayak kompeni di jaman Belanda," cibirku tak mau kalah.Tak!"Dasar bocah ng
Aku mondar-mandir hampir setengah jam di sekeliling kamar. Mencari jalan keluar yang masuk akal agar Tuan Stevan percaya bahwa ini hanyalah kesalahanpahaman.Beribu kali pun dipikirkan ini terasa diluar nalar. Jangankan seratus juta. Lima puluh juta aja aku nggak tahu gimana bentuknya. Lagian ngapain juga foya-foya pake duit orang. Itu, kan harom hukumnya."Aargghh ...."Kesal. Aku pun berteriak frustrasi, karena tak menemukan satu pun celah untuk mengelak.Tuan Stevan yang baru saja hendak duduk di sofa pun langsung terlonjak dan kembali ke posisi semula. Ekspresi wajahnya masih belum berubah sejak setengah jam lalu. Dingin dan tak bersahabat."Berhenti bertindak seperti orang gila, Intan. Sekarang duduk dan jelaskan!" Tuan Stevan kembali buka suara setelah sekian lama. Dia menunjuk sofa di hadapan, meminta untuk aku duduki.Aku menggeleng pelan. Sebaliknya justru kupinta Tuan Stevan yang duduk di sofa sembari melepas jas yang masih melekat di tubuhnya, lalu memijat pundak tegap itu
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da