Satu bulan, dua hari sudah aku dan Nyonya Intan bertukar jiwa. Selama itu tak ada hal yang paling kutakuti selain kenyataan bahwa salah satu dari keluarga kami ada yang menyadari.Selain tragedi ini tak masuk akal, menjelaskannya sampai mulut berbusa pun mana bisa mereka percaya?Contohnya si Brian sompret. Saat ini lelaki dengan boxer yang tidak bisa menutup sempurna paha berbulunya itu masih menatapku dengan sorot mata yang sama tajamnya bahkan setelah kami pindah ke ruang TV, duduk berhadapan di atas sofa empuk berwarna cokelat.Beberapa kali dia mengatakan bahwa aku adalah sejenis jin ganjen yang sedang gabut hingga iseng bersemayam di tubuh Nyonya Intan sampai berminggu-minggu dengan tujuan tertentu.Lebih parahnya lagi dia sempat baca doa yang kuketahui sebagai doa makan bukannya doa pengusir setan. Setelah dipikir-pikir ternyata ada yang lebih absurd daripada aku."Jawab! Atau aku sembur sekarang."Astagfirullah Gusti. Helep me.Si Brian udah nggak waras lagi. Padahal kemarin k
Perjalanan menuju Cikarang dimulai menjelang siang. Tak ada masalah berarti meskipun Brian beberapa kali meyakinkan bahwa aku tak lagi mengarang cerita. Setelah menjelaskan sampai mulut hampir berbusa, akhirnya dia benar-benar percaya.Apalagi setelah Brian melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana fakta-fakta yang ada. Mau ditutupi serapat Tupperware baru pun, yang namanya bangkai pasti tetap akan tercium.Akhirnya aku hanya bisa pasrah menerima kenyataan yang ada, bahwa Brian lebih dulu tahu dibanding Tuan Stevan."Eh, ngomong-ngomong aku baru sadar kenapa kita tidak bicara formal untuk ukuran pembantu dan majikan?" Brian membuka percakapan dengan cibiran yang begitu menyebalkan kala membahas tentang derajat dan strata sosial kami."Mon maaf, majikanku cuma Tuan Stevan dan Nyonya Intan. Situ sape? Ngegaji kagak, ngasih jajan juga nggak pernah. Bisanya cuma merintah dan nyuruh-nyuruh seenaknya udah kayak kompeni di jaman Belanda," cibirku tak mau kalah.Tak!"Dasar bocah ng
Aku mondar-mandir hampir setengah jam di sekeliling kamar. Mencari jalan keluar yang masuk akal agar Tuan Stevan percaya bahwa ini hanyalah kesalahanpahaman.Beribu kali pun dipikirkan ini terasa diluar nalar. Jangankan seratus juta. Lima puluh juta aja aku nggak tahu gimana bentuknya. Lagian ngapain juga foya-foya pake duit orang. Itu, kan harom hukumnya."Aargghh ...."Kesal. Aku pun berteriak frustrasi, karena tak menemukan satu pun celah untuk mengelak.Tuan Stevan yang baru saja hendak duduk di sofa pun langsung terlonjak dan kembali ke posisi semula. Ekspresi wajahnya masih belum berubah sejak setengah jam lalu. Dingin dan tak bersahabat."Berhenti bertindak seperti orang gila, Intan. Sekarang duduk dan jelaskan!" Tuan Stevan kembali buka suara setelah sekian lama. Dia menunjuk sofa di hadapan, meminta untuk aku duduki.Aku menggeleng pelan. Sebaliknya justru kupinta Tuan Stevan yang duduk di sofa sembari melepas jas yang masih melekat di tubuhnya, lalu memijat pundak tegap itu
"Sudah selesai?" "Aarrghh ... Sett--" Aku terlonjak dan nyaris mengumpat saat melihat Tuan Stevan sudah berdiri tepat di depan pintu kamar mandi. Jantung terasa akan melompat dari rongganya, ketika menyadari tatapannya sudah beralih menuju ponsel di genggaman tanganku. Bergegas aku memasukan benda pipih itu ke kantong celana. Berusaha memasang ekspresi tenang padahal aslinya tegang kebangetan. "Maaf kelamaan. Habis pup aku sekalian bersihin WC tadi," kilahku, berharap Tuan Stevan percaya setelah melihat jejak-jejak air yang sengaja kusemprotkan dari shower tadi. Tuan Stevan sempat memicingkan mata curiga, setelahnya dia kembali melunak. Aku cukup lega melihat ekspresi yang semula dingin itu kembali bersahabat. "Ah, iya. Aku mau minta maaf. Tadi pihak bank sudah konfirmasi kalau ternyata mereka salah alamat. Laporan kartu kredit itu seharusnya untuk Intan Perdana, bukan Intan Pertiwi," tuturnya dengan raut penuh sesal. Abcdfhjk. Ingin rasanya kuberkata kasar, mengobrak-abrik da
Bicara tentang cinta, kasih, dan rindu. Jujur aku tak bisa menjelaskanya dengan menggebu-gebu, karena pada kenyataannya ketiga hal itu tabu bagiku. Mungkin terkesan aneh, langka, dan ambigu. Intinya aku memang tak pernah peduli atau lebih tepatnya memilih mengabaikan ketiga perasaan itu. Kenapa? Ya, nggak apa-apa. Hidup, kan nggak melulu tentang cinta, perasaan, dan cowok idaman. Wabil khusus untuk anak gadis sepertiku yang tumbuh dalam keluarga yang perekonomiannya pas-pasan. Jangankan buat beli kuota biar bisa pedekatean sama lawan jenis di sosmed. Buat ongkos berangkat sekolah aja aku masih kudu bantu angkutin Buah Tin ke dalam truk. Sembilan belas tahun aku hidup, dengan seluruh waktu yang habis terkuras hanya untuk melakukan siklus berulang dari mulai bangun nimba sumur, berangkat sekolah, jadi kurir makanan biar bisa jajan, sampai pulang bantu Emak di perkebunan. Jadi, mana ada waktu buat mikirin cecintaan! Nahkan ngegas. Maaf. Terbawa perasaan. Karena ngomongin cinta
"Aamiin!" Genggaman Tuan Stevan di pergelangan tanganku, melerai pelukan kami. Kutatap lelaki yang tampak begitu tampan dengan turtleneck berwarna cerah yang dipadupadankan dengan jas gelap tersebut dengan pandangan yang sudah memburam. "Sebentar, ya, Ma!" Tuan Stevan tiba-tiba menarik tanganku mendekati tiang pembatas bertilas kaca, sebelum sempat aku menampar pipi sendiri untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi atau halusinasi. Oh, ayolah. Ini bukan negeri dongeng. Atau sekadar mimpi seorang jomblo. Kenapa aku harus merasa sebaper ini? Tanpa sadar aku juga sudah mengabaikan Brian yang duduk di samping Betrand dengan tangan melambai-lambai. Kami berhenti di dekat pohon cemara buatan. Cahaya temaram dari lampu tumblr yang sengaja dipasang mengelilingi spot restoran membuat suasana semakin terasa intens. Apalagi saat Tuan Stevan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jasnya. "Mulanya mungkin kamu dan aku memang saling membenci, kita juga dipersatukan dengan cara yang berbeda
Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur
"Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber