"Nya ...."Di ambang pintu kamar aku melihat Nyonya Intan mengemasi barang-barangku ke dalam tas berukuran besar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, sungguh aku tak mengerti. Demi Tuhan selama setahun terakhir aku tak pernah sekali pun melihatnya sampai semarah ini pada Tuan Stevan bahkan saat kami masih di tubuh masing-masing. Tindakan Nyonya Intan barusan yang membuat lelaki itu kini mengurung diri di kamar, membuatku semakin percaya bahwa marahnya orang pendiam itu terkadang lebih mengerikan. Bekas merah yang tertinggal di kulit putih lelaki itu sudah menjelaskan seberapa kuat gamparan itu dilayangkan. Mungkin ini yang dinamakan habisnya batas kesabaran seseorang. Akhirnya Nyonya Intan menoleh, menatapku dengan jejak air mata yang kentara di pipinya. "Maaf kalau aku mengambil keputusan ini tanpa merundingkannya lebih dulu. Demi Tuhan aku sudah muak, Milah. Aku muak dengan lelaki breng sek itu!" Aku hanya bisa tertegun mendengarnya. "Setahun ini aku masih bisa terima
Pernahkah kalian merasa bahwa hidup yang dijalani begitu sulit dan tak terkendali, pernahkah kalian merasa bahwa ingin sekali bertukar nasib dengan orang yang kita anggap segala kemauannya terpenuhi? Tapi setelah kalian mengetahui bahwa pada kenyataan hidup orang lain justru tidaklah seenak kelihatannya ... masihkah kalian menginginkannya, masihkah kalian memimpikannya? Jujur, kuakui ada yang salah di sini. Entah itu posisiku atau situasi yang tak mendukung. Intinya apa pun yang terjadi setidaknya aku harus bertahan sampai seratus hari. Ya, untuk sementara aku baru memikirkan rencana tiga bulan ke depan, selebihnya mari kita kembalikan pada sang pemilik kehidupan. Kalau pun kami tak bisa kembali ke tubuh masing-masing dalam kurun waktu seratus hari. Aku hanya bisa pasrah menjadi salah satu dari pemain FTV Ikan Teri. Yaitu istri yang tersakiti. Setelah Nyonya Intan memohon siang tadi. Kami sudah sepakat untuk menjalani peran sebagai diri masing-masing, menukar bukan hanya tubuh
Setelah menempuh kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Cikarang-Bekasi. Karena halaman rumahku yang sempit terpaksa kami meminta izin untuk memarkir mobil di depan ruko Pak RT, lalu berjalan menuju rumah. Melalui ponsel Nyonya Intan tadi, aku sudah mengatakan pada Emak bahwa kita akan tiba sore ini. Sepanjang perjalanan bisa kulihat tatapan para tetangga juga obrolan mereka tentangku yang rasanya terlalu kencang untuk dibilang sebagai bisik-bisikan. Rasa-rasanya ingin sekali kulempar mulut-mulut jaha nam itu dengan cobek dan ulekan, terus digeprek. "Dua orang itu majikan si Milah? Masih muda banget, ya. Cakep-cakep lagi." "Eh, ngomong-ngomong kenapa majikannya sampai nganter ke rumah? Jangan-jangan si Milah mau dijadiin bini kedua?" "Sukses ya anak Ceu Euis di Jakarta. Selain jadi pembantu ternyata dia juga bisa jadi penggoda." "Shhh ... Bu-ibu tuh liat majikannya yang perempuan liat ke kita. Melotot lagi." Astagfirullah. Bacotnya aktif sekali ya
Enam tahun aku sekolah di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA. Aku belum pernah berpikir sampai sekeras ini. Perjabaran Tuan Stevan yang terasa lebih sulit daripada aljabar, ekspresi Nyonya Intan yang tak bisa diukur dengan rumus Kimia, juga wajah melongo Ahmad yang tak bisa digambarkan dengan nyata.Pada akhirnya sebelum sempat Tuan Stevan melanjutkan, kutepuk bahu Ahmad yang masih saja melongo dengan pelan, lalu memintanya meninggalkan kami.Oke, walaupun sulit setidaknya ada yang sedikit kupahami di sini. Terlepas fakta yang aku tahu tentang Tuan Stevan yang dulunya pernah kere. Ternyata Nyonya Intan juga salah paham tentang ucapan lelaki itu di ruang makan. Penyesalan yang ia katakan saat itu ternyata bukan karena menikahi istrinya yang sekarang, melainkan berkaca pada orang tuanya sendiri. "Baru sekarang saya menyadari bahwa situasi ini sebenarnya sama-sama nggak kami kehendaki. Pernikahan yang terjadi berdasarkan keinginan Berlian sebelum pergi, tapi dengan bodohnya s
Sudah terhidang di hadapan berbagai menu masakan yang Emak siapkan dari dur Ashar sampai gong Maghrib. Ada ikan goreng, ayam goreng, cah kanggung, cumi asam manis, tempe-tahu, sambel, plus lalaban. Aku hanya bisa melongo sembari menelan ludah. Please ... itu bukan hanya karena ekspresi kelaperan, tapi juga meringis membayangkan berapa banyak utang Emak di warung Pak rete sampe bisa masak sebanyak ini. Belum ditambah es jeruk yang langsung diperah dari sumbernya, juga cuci mulut berupa apel dan anggur. Sumpah, ya. Waktu selametan sunatan si Ahmad aja kita cuma makan nasi tumpeng plus telor semur. Ini nyambut majikan yang kikir dan pengeretannya ngelebihin anak kos di akhir bulan, masa kudu sampe abis-abisan? Pokoknya nggak redo, Milah, Mak. Kagak redo! "Mari, mari! Silakan, Tuan!" Yaelah, Mak kagak perlu ditawarin aja jakunnya dah naek turun dari tadi. Seneng, ye, lu, Tuan. Bisa makan enak gratisan nggak perlu keluar duit. Sebel, sebel, sebel. "Nyonya Intan nggak ma
"Kenapa Nyonya nggak pernah cerita tentang latar belakang Tuan Stevan?" tanyaku saat kami tengah jalan-jalan malam, mengitari kampung, sembari mencari oleh-oleh yang hendak kubawa pulang. Kebetulan Nyonya Intan juga ingin lebih tahu banyak tentang tempat yang akan dia tinggali untuk beberapa waktu ke depan, sebelum kami memutuskan untuk menerima pinangan Bang Ipul. Ya, dengan jiwa yang tertukar ini kami tentu tak lagi bisa menyimpulkan segala hal sendiri. Karena entah esok atau nanti tubuh kami tiba-tiba kembali, siapa yang tahu? Setelah berjalan beberapa meter dari tempat mobil Tuan Stevan terparkir, akhirnya kami menemukan toko oleh-oleh yang masih buka. Jaraknya sekitar satu kilo dari rumah. Kami sengaja tak meminta Emak, Bapak, atau pun Ahmad karena berpikir sekalian pulang, dan Nyonya Intan juga tak keberatan kembali sendiri. Karena tahu kalau Tuan Stevan mageran, aku maupun Nyonya Intan memintanya untuk menunggu di mobil saja. Lagi pula kuyakin dia sudah tepar di dalam
Setelah kejadian salah pegang barusan, kami lalui perjalanan pulang dengan penuh kecanggungan. Kurasakan atmosfer di dalam mobil terasa lebih mencekam daripada kuburan. Mana nggak ada Nyonya Intan, di dalem cuma berduaan, jantung udah dangdutan, mana pulang kemaleman. Lengkap sudah penderitaanku, teman-teman. "Mana uang kembaliannya?" "Eh?" Aku menoleh dengan tampang keheranan. Setelah beberapa lama diam dalam keheningan, dengan sompretnya Tuan Stevan memulai percakapan dengan perkara kembalian sisa beli oleh-oleh kue akar kelapa sama sagon bakal si Betrand. "Cuma goceng, Bang." Kusodorkan selembar uang lusuh dengan pecahan lima ribu itu ke hadapannya. "Nggak apa-apa. Lumayan beli gorengan," ucapnya sembari mengambil alih uang lima ribu tersebut, lalu meletakannya di atas dasbor. Ya, Gusti ... kebangetan pelitnya emang lu, Bang. "Omong-omong kapan si Milah memutuskan? Aku masih belum mau pakai jasa pembantu lain." Duileh. Segitu sayangnya lu ame gue, Bang. Sampe nggak ma
"Apa jangan-jangan kamu merencanakan sesuatu untuk balas dendam? Atau sebenarnya kamu punya selingkuhan?" Yaelah pikiran nih laki. Ngapain juga perempuan sebaik Nyonya Intan kepikiran begituan. Kayaknya nyawa Tuan Stevan belum kumpul sepenuhnya, dia keliatan baru setengah sadar jadi ngomongnya ngalor-ngidul. Pada akhirnya aku kembali memilih diam. "Jawab, Intan! Aku sangat penasaran. Apa kamu juga bahkan menyayangi Betrand?" Deg! Untuk bagian sini, seperti Tuan Stevan mengatakannya bukan tanpa alasan. Mengingat hubungan Nyonya Intan dan Betrand cukup jauh dan tak harmonis untuk ukuran ipar yang jarak umurnya jauh terbentang. Entah kenapa bahkan setiap datang berkunjung si Betrand malah teriak-teriak liat Nyonya Intan, dan lebih banyak menghabiskan waktunya denganku dan Tuan Stevan di taman belakang. "Ya, jelas. Dia juga adikku." Kali ini aku memilih menjawab seadanya. "Bohong. Kalau kamu menyayanginya kenapa Betrand nggak pernah menyukaimu walaupun kamu mirip denga