Share

Part. 6

"Kamu marah?"

Pertanyaan itu meluncur mulus tanpa dosa dari mulut Tuan Stevan, sesaat setelah kami menjejakan kaki keluar resto tanpa makan.

Aku mendelik sinis. "Menurut ngana?"

Kalau saja ada penghargaan untuk lelaki paling menyebalkan di dunia, mungkin Tuan Stevan bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk membawa pulang piala beserta sound sistemnya.

Masa cuma gara-gara debat perkara jengkol. Aku harus pulang dengan keadaan dongkol?

"Jadi, sekarang bagaimana?"

Dih, pake nanya lagi. Situ yang buat, ya situ yang harus bertanggung jawablah setelah bikin baper, eh laper anak orang.

"Au, ah."

Kulihat Tuan Stevan hanya terdiam saat dia berjalan di depan menuju parkiran, sementara aku mengekor di belakang sembari menendang-nendang udara berharap walaupun tak sengaja aku bisa menendang pantatnya.

Entah apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu, aku pun tak tahu dan tak mau tahu sebenarnya. Karena sungguh, rasa lapar ini lebih menyiksa daripada sikap acuh tak acuhnya.

Percayalah, lima bungkus mie instan yang kucemil sejak kemarin, sama sekali tak berpengaruh apa-apa dalam perut yang haus akan nasi ini.

Pokoknya prinsip orang Indonesia itu belum makan nasi, ya belum makan. Tak peduli walaupun udah nyemil emih sedus, roti sekeranjang, atau bakso sebakul.

Mudah-mudahan aku tak ngerusak tubuh indah ini walaupun makan sembarangan dan tidak tahu aturan.

"Sebentar!"

Jdug!

"Kalau mau berhenti ngedadak bilang napa? Lagian itu punggung atau tiang listrik, sih? Keras amat."

Seketika dia berbalik, lalu menatapku aneh.

"Apaan?"

"Kamu beneran laper?"

Yaelah masih aja nanya lu, Bang!

Kagak denger dari tadi, nih perut udah dangdutan?

"Keliatannnya?" jawabku penuh penekanan.

"Sebenarnya aku tak yakin ekspresi apa yang tengah kamu tunjukan itu. Antara lapar dan menahan keinginan buang hajat seperti tak ada bedanya." Dia memicingkan mata, memperhatikanku sembari mengusap dagu yang kebetulan ada belahannya macam dada ayam.

Ya Gusti ... begitu adil Kau ciptakan makhluk di hadapanku ini. Dengan wajah dan akhlak yang begitu sempurna. Iya, sempurna lucnutnya.

"Bang, pernah nyobain digampar pake sendal nggak? Kalau belum, cobain, deh. Rasanya ... ah, mantaf!" Kuacungkan jari telunjuk dengan ekspresi yang dibuat sedramatis mungkin.

Namun, sayang. Jurus andalan sama sekali tak mempan pada Tuan Stevan.

"Belum. Kalau ditampar pake bibir sering," jawabnya begitu santai.

Aku mengerjap. Kehilangan kata.

Berani-beraninya dia bahas kenganuan sama orang yang belum pengalaman, penuh kepolosan, juga lugu kebangetan macam aku.

"Kenapa? Mau nyobain rasanya ditampar pake bibir? Bukan ser--"

"Nggak," potongku cepat. "Makasih." Setelah itu, aku memilih berjalan lebih dulu menuju mobil lalu duduk termenung dengan pikiran yang sudah di awang-awang.

Entah kenapa tiba-tiba aku kepikiran sama ucapannya barusan. Ditampar?pake bibir? Bi tu de bir?

Astagfirullah, sadar Milah!

Ngapa lu jadi ngehalu? Berdosa banget punya otak jarang dikuras.

Lagian definisi dari kata-kata itu juga belum tentu jatohnya ke sana.

"Sebenarnya ini bukan kebiasaanku mengikuti kemauan orang. Tapi karena melihatmu terus diam seperti ini, tak ada yang bisa kulakukan selain membawamu makan. Jadi, rekomendasikan RM Khas Sunda yang enak di mana?"

"Eh."

Setengah terlonjak aku menatap Tuan Stevan yang entah sejak kapan sudah duduk di balik kemudi tanpa disadari.

Sejenak kuusap wajah pelan, lalu memutar tubuh menghadapnya. Mengalirlah list rumah makan sampai warteg yang pernah kusambangi setelah gajian.

"Warung Ceu Edoh, Rumah Makan Sambel Belekok, Resto Idaman Mitoha, Rumah Makan Pulen, Resto Randa Herang, Resto Dud--"

"Stop, cukup! Sejak kapan kamu tahu tempat makan khas Sunda sebanyak itu? Kamu, kan biasa makan masakan Chinese, Western, sama Jepang!"

Sejenak kugaruk kepala, berusaha mencari alasan masuk akal agar Tuan Stevan tak curiga. Akhirnya setelah beberapa detik memikirkan aku menemukannya.

"Milah!" Bahkan hanya dengan mendengar nama ikonik itu bisa kulihat bola mata Tuan Stevan berputar. "Dia yang merekomedasikannya."

"Lagi-lagi si Milah. Sebenarnya seberapa banyak dia mendokrin otakmu, Intan? Lama-lama kamu bisa tertular kampungan kalau terus bergaul dengannya. Kalau dipikir-pikir akhir-akhir ini sikapmu malah mirip dengannya."

Kuelus dada mencoba sabar.

Memang ringan sekali mulutnya menghujat. Seolah semua aura jahat berkumpul dalam satu tempat.

Masih mending bini lu begaul sama gue, Bang. Daripada sama demit penghuni loteng. Entar pas lu ajak ngobrol dia cuma cekikikan. Kan kolor, eh horor.

"Dendam apa, sih kamu sama Milah sampe segitunya benci dia?" pancingku setelah berhasil menahan keinginan untuk kembali melayangkan tamparan.

"Sebenarnya aku bukan membencinya, hanya kadang kesal saja. Setiap kali menatap wajahnya aku jadi ingat bagaimana dia merampas bakwanku saat itu."

Busyet ... perkara bakwan lima biji, sampe lu ungkit-ungit setahunan, Bang. Lagian waktu itu aku bener-bener kelaperan karena habis kecopetan.

Bahkan dominal duit yang dikeluarkan nggak sampe lima rebu, loh. Kok bisa dia dendamnya menggebu-gebu kayak gitu.

"Bakwan? Cuma karena bakwan? Muke lu kek Tekwan, Bang!" sungutku sebal.

"Loh, kok kamu yang marah? Kan kita lagi bahas si Milah."

Arrghhh ....

"Ya udahlah. Jadi makan atau enggak?" bentakku habis kesabaran.

Lama-lama kumakan pula moncong kau, Bang!

"Jadi, kok. Yang dekat dari sini yang mana tadi?" tanyanya santai.

Udah macam psikopat dia tampak mudah sekali mengubah suasana. Seolah apa yang diucapkannya tak berpengaruh pada orang di sekitar.

Fix, sakit nih orang.

"RESTO RANDA HERANG!" cetusku dengan penuh penekanan.

"Oke."

***

Kami sampai di pelataran Resto Khas Sunda yang cukup terkenal di Ibukota. Bisa dilihat deretan mobil dan motor hampir memenuhi parkiran.

Tak heran memang. Karena selain menu yang tersedia lengkap, sambal terasinya paling mantep di sini. Apalagi harganya juga ramah di kantong masyarakat kelas menengah ke bawah sepertiku.

"Kita duduk di bawah?" tanya Tuan Stevan heran saat melihat spot lesehan yang mendominasi tempat ini.

"Yup, udah macam piknik, kan? Oh, iya. Kita duduk deket empang, yuk. Sambil liatin ikan."

Tak menjawab Tuan Stevan hanya mengernyitkan dahi.

"Alah kelamaan."

Tanpa persetujuan, langsung kuseret saja tubuhnya menuju spot yang tersedia di luar ruangan. Menuju salah satu gazebo yang kebetulan berhadapan langsung dengan kolam ikan. Sekelilingnya dipenuhi rindang pohon yang menambah asri tempat ini.

Sepanjang perjalanan bisa kulihat pandangan Tuan Stevan menyisir sekeliling, mengamati, dan meneliti.

"Belum pernah ke tempat kayak gini?" tanyaku setelah kami duduk bersila di dalam gazebo. Tatapan Tuan Stevan masih belum berhenti memperhatikan sekitar.

Dia menggeleng pelan.

"Lebih bagus mana sama resto di hotel tadi?" tambahku sembari menaik-turunkan alis.

"Better-lah." Dia menatapku sembari mengedikkan bahu. "Kuakui selera si Milah cukup oke."

Gotca! Ini yang eneng tunggu dari tadi, Bang. Sebuah pengakuan!

"Ya, selain manis dia juga bisa diandalkan," akuku sembari membusungkan dada.

"Untuk bagian manisnya aku tak setuju!"

Etdah. Masih aja nggak terima lu, Stip.

Saat kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba seorang pramusaji berpakaian batik datang menghampiri sembari tersenyum ramah. Menyodorkan daftar menu yang tak asing di mataku.

"Permisi. Mau pesan apa, Pak, Bu?"

"Kamu dulu!" Sekarang ucapan itu aku lontarkan pada Tuan Stevan yang tampak mengernyitkan dahi menatap selembar kertas berlaminating di hadapannya.

"Samain ajalah," pungkasnya dengan ekspresi yang masih belum berubah. Bingung, mungkin?

"Oke. Kita pesen ...."

Dan mengalirlah pesanan yang semula kulontarkan di resto hotel tadi dengan tambahan satu porsi Gurame terbang.

Tuan Stevan tampak keheranan, dan cuma bisa geleng-geleng pelan.

Sembari menunggu pesanan siap di hidangkan, bisa kulihat sesekali Tuan Stevan memainkan ponselnya. Tak seperti orang sibuk kebanyakan, kuperhatikan lelaki itu tak terlalu sering bermain gadget.

Waktunya lebih banyak digunakan untuk baca buku atau maen sama Nyonya Intan di kamar. Au, ah mereka ngapain di dalam.

"Nih!" Kusodorkan sebungkus pakan ikan yang tersisa setengah ke hadapannya saat pandangan lelaki itu mulai beralih dari ponsel menuju kolam.

"Emangnya boleh?"

Yaelah nih bule bikin gemes.

"Ya, bolehlah. Terus buat apa pakan ikan disimpen di bawah meja? Masa suruh kita cemilin."

Bisa kulihat dia terkekeh, lalu mengambil alih bungkus pakan ikan dari tanganku.

Bentar! Aku nggak salah liat, kan?

Dia senyum, loh.

Ya Allah Gusti. Cakep banget laki orang. Eh.

Pada akhirnya kami kembali hanyut dalam lamunan, sembari melempari sedikit demi sedikit pakan ikan ke kolam. Tampak Ikan-Ikan Mas yang semula berpencar menggerombol ke tempat pakan dilemparkan.

Lagi, aku melihatnya tersenyum kecil memperhatikan ikan-ikan. Saat seperti ini jelas tak kutemukan sosok siluman di dalam dirinya. Dia hanya Stevan, Stevan Alexander.

"Eh?"

Tepat saat aku hanyut dalam lamunan, tangan besarnya tiba-tiba bertengger di atas punggung tanganku. Karena asik melamun aku sampai tak sadar tangan masih berada di dalam bungkusan pakan ikan, dan gerakan refleks yang dilakukan Tuan Stevan itu jelas ketidaksengajan.

Tapi, kenapa efeknya begitu besar untuk jantungku? Apalagi saat dia tiba-tiba mendekat, dan berbisik di samping telinga.

"Kamu tahu kalau aku membencimu, kan? Tapi di satu sisi aku juga lemah karena parasmu. Jadi, tolong berhenti menatap seperti itu seolah kamu juga menginginkanku, Intan."

Aku terpaku, kehilangan kata-kata. Tiba-tiba bulu kudukku meremang, badan gemeteran, dag-dig-dug tanpa alasan.

Pertanda apakah ini?

"Makanannya, Bu, Pak!"

Yap, kalian benar. Itu adalah pertanda kelaperan, bukan kebaperan.

Akhirnya kami beralih pada makanan yang sudah tersaji lengkap di atas meja. Hanya dengan melihatnya saja aku sudah dibuat beberapa kali menelan ludah.

"Pakai tangan?" Pertanyaan itu meluncur dengan polosnya dari mulut Tuan Stevan, sepeninggal sang pramusaji.

"Ya iyalah. Masa pake kaki!" sahutku sewot. Bukan apa-apa. Sumpah sekarang aku udah bener-bener kelaperan.

"Terus ini?" Dia menunjuk air yang ada di dalam mangkuk kecil.

"Itu kobokan, Bang. Buat cuci tangan."

"Jorok. Nggak ada wastafel emangnya?"

Hadeuh ....

Kapan makannya kalau begini terus?

"Ada di belakang. Dah, ah aku mau makan."

Tanpa memedulikannya lagi, bergegas kusantap satu per satu menu dengan lahap. Tuan Stevan terlihat mendengkus sejenak sebelum akhirnya mencelupkan tangan ke dalam mangkuk kobokan dan mulai makan juga.

"Kenapa? Nggak suka?" tanyaku saat melihatnya hanya memasukan beberapa suap nasi tanpa lauk ke dalam mulut.

"Entahlah."

Menghela napas sejenak, kuraih satu buah jengkol goreng, lalu mencolek sambal terasi sedikit dan menyodorkannya ke depan mulut Tuan Stevan.

"Aaaa ...." Kubuka mulut lebar-lebar, berharap dia bersedia mengikuti.

Namun, bukannya membuka mulut, dia justru mengernyitkan dahi.

"Aku nggak suka jengkol, Intan!" protesnya.

"Jangan bilang nggak suka kalau belum nyoba." Sejenak kucolekan sambel terasi di tepi bibirnya, membuat kedua alis tebal itu bertaut. "Buka mulutnya!"

Berhasil. Satu buah jengkol mendarat mulus ke dalam mulut Tuan Stevan.

"Gimana? Enak, kan?"

Dahinya kembali mengernyit.

"Aku tak yakin, tapi rasanya menempel di mulut. Aneh."

"Ya, emang begitu."

Setelah memastikan kalau dia tidak keracunan, aku kembali menyantap  makanan dengan lahap. Entah kenapa suap demi suap makanan gratisan itu terasa lebih nikmat.

"Ngomong-ngomong porsi makan kamu banyak banget udah kayak Kuli. Biasa juga cuma tiga sendok nasi."

"Sengaja. Biar kuat menghadapi kenyataan punya laki kek siluman!"

"Apa?!"

"Nggak jadi."

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status