Pagi diiringi rinai hujan, Jaka membawa Lintang yang sudah mules mau melahirkan ke RS. Jaka ditemani ibu Gita ibunya Lintang membawa Lintang ke RS menggunakan taxi. Terlihat Jaka sangat gelisah.
"Sabar ya sayang!" Ucapnya sambil mengelus punggung istrinya. "Mas, bisa cepat sedikit ngga!" Pinta Jaka pada supir. Supir pun menaikkan kecepatannya.
Lintang memasuki ruang bersalin diiringi Jaka. Bidan mengobservasi keadaan Lintang.
"Bukaan tiga ya Bu." Ucap bidan.
Kemudian dokter datang memeriksa keadaan Lintang. "Kita tunggu sampai sempurna ya Bu pembukaannya." Ucap dokter.
Tidak menunggu terlalu lama, selang dua jam pembukaan sudah sempurna, Bidan pun menyuruh Lintang mencoba mengeden.
"Tarik nafas yang dalam ya Bu, lalu hembuskan!!!" Intruksi bidan. Lintang pun menuruti. "Ayo terus Bu!!! Kepalanya sudah terlihat." Beritahu bidan.
"Yang kuat sayang, yang kuat!!!" Jaka memberi semangat.
"Sakit mas, sakit. Aku ngga kuat."
"Sedikit lagi sayang, sedikit lagi, bertahanlah!"
"Ibu coba lagi ya Bu! kasian bayinya kalau kelamaan. Ayo Bu, Kepalanya sudah terlihat, yang kuat ngedennya Bu!" Lintang semakin lemas. Bidan pun mengurut perut Lintang dengan kuat agar bayi Lintang bisa keluar. Tapi tak membuahkan hasil banyak. "Sobek! Sobek!!!" Perintah bidan yang mengurut ke bidan yang sedari tadi menunggu di depan kepala bayi. Bidan itu pun langsung mengambil gunting dan menyobek liang Lintang.
"Owek... Owek... Owek... " Tangis bayi kecil yang keluar dari liang Lintang.
"Selamat Pak, bayinya perempuan." Ucap bidan yang membantu persalinan Lintang. Air mata haru langsung menetes dari mata Jaka. "Kami bersihkan dulu ya Pak." Bidan membawa bayinya.
"Cantik seperti kamu sayang." Ucap Jaka sembari mengecup kening Lintang. "Terima kasih ya sayang." Lintang hanya tersenyum lemas tak berdaya. "Kita beri nama sesuai yang sudah kita siapkan ya sayang. HUMAIRA AZ ZAHRA." Ucap Jaka.
Bidan menyerahkan bayinya ke Jaka. "Bayinya sangat cantik Pak."
"Terima kasih Bu." Ucap Jaka sambil tersenyum. Kemudian Jaka mengumandangkan adzan di telinga kanan Humaira, dan iqomat detelinga kiri. "Jadi putri ayah yang solehah ya sayang." Ucap Jaka sembari mengecup pipi anaknya yang kemerahan.
*****
"Ayah kapan cari kerjaan lagi?" Tanya Lintang pada Jaka.
"Tabungan kita kan cukup bunda. Ayah ingin di samping bunda dan Humaira, setidaknya sampai Humaira bisa jalan."
"Kelamaan ayah. Uang dari toko kan ngga seberapa. Bunda kangen pengen shopping ke mall." Rengek Lintang.
"Humaira belum juga empat puluh hari bunda, masa bunda sudah mikir mau ke mall?"
"Bunda sudah jenuh di rumah terus Ayah."
"Ya ampun bunda. Sabar ya! Kan kasian kalau Humaira di bawa ke mall masih kecil begini."
"Kata siapa bunda mau bawa Humaira? Yang ada repot ayah. Humaira nanti ibunya bunda yang jagakan!"
"Bunda, Humaira kan perlu ASI nya bunda."
"Nanti bunda pompakan ASI bunda."
"Ya sudah terserah bunda saja." Jaka mengalah.
"Nanti minta uangnya ya ayah."
"Iya."
"Ya sudah bunda siap-siap dulu."
"Tunggu bunda! Bunda mau ke mall sekarang?" Jaka terkejut.
"Tahun depan Ayah. Ya sekarang lah Ayah. Bunda sudah sangat jenuh di rumah saja ngurus Humaira." Rengeknya.
"Bunda pergi sama siapa?"
"Sama teman-teman bunda Ayah. Ayah siapin uangnya ya. Satu juta ada kan Yah? Bunda siap-siap dulu." Lintang beranjak ke kamar mandi. Jaka hanya bisa menghela nafas panjang.
Lintang sudah siap berangkat. Dia mengenakan mini dress berwana peach tanpa lengan. Rambut panjangnya digerainya. Wajahnya mengenakan riasan yang natural, membuat Lintang semakin cantik.
"Bunda kok cantik banget sih?" Tanya Jaka.
"Ayah kenapa? Cemburu ya bundanya mau ke mall?" Goda Lintang.
"Wangi banget lagi."
"Uangnya mana Ayah?" Lintang menadahkan tangannya. Jaka pun menyerahkan sepuluh lembar uang seratus ribu rupiah. "Terima kasih Ayah." Ucap Lintang sambil mengecup pipi Jaka. "Bunda berangkat." Lintang keluar. Dia berpapasan dengan ibunya Jaka. Dia cuek saja.
"Lintang mau kemana Jaka?" Tanya bu Ratna.
"Ngumpul sama teman-temannya di mall Bu."
"Kamu ngga ikut?"
"Ngga lah Bu. Jaka lagi seneng main sama Humaira. Biar ajalah Lintang senang-senang. Kasian dia jenuh di rumah."
"Humaira mana?"
"Lagi sama neneknya Bu."
*****
Usai kumpul bersama teman-temannya, Lintang pergi ke rumah kontrakan Dito. Dito yang terlihat jenuh memasang muka masam.
"Mas kok cemberut gitu? Ngga senang ya didatengin?"
"Lama sekali sih? Aku sudah kelamaan libur nih."
"Kan aku ngumpul sama temanku dulu mas. Mas ngga sabaran banget sih, aku baru lahiran, nifas pula, masa iya aku keluyuran, bisa curiga suamiku mas."
"Kamu bawa uangnya kan?"
"Iya bawa mas."
"Mana?"
"Diirit ya mas! Mas kan tau suamiku ngga kerja di tambang lagi. Pengeluaran kami juga banyak." Lintang menyerahkan lima lembar uang seratus ribu.
"Segini kan cuma cukup tiga hari Lintang. Mau diirit gimana lagi?"
"Nanti suamiku bisa curiga kalau aku boros banget, aku kan di rumah saja, beda dengan dulu aku alasan ngumpul sama teman dan lain-lain."
"Ya bisa-bisa kamu lah Lintang. Kamu kan tau mas cuma ngandelin uang pemberian kamu. Cari kerjaan susah."
"Iya mas, Lintang ngerti. Mas mau minta diservice apa tidak? Kalau ngga Lintang pulang nih."
"Kan itu juga yang aku tunggu dari kamu sayang." Dito memeluk tubuh Lintang dari belakang.
*****
Lintang pulang sangat larut. Ibunya menariknya ke dalam kamar.
"Pasti kamu menemui Dito lagi. Berapa kali ibu sudah bilang, berhenti berhubangan dengan laki-laki kere itu. Kenapa kamu masih saja memelihara parasit itu Lintang?" Marah bu Gita.
"Lintang mencintai mas Dito Bu. Berapa kali Lintang bilang, jangan campuri hubungan Lintang dengan mas Dito." Bantah Lintang.
"Lintang, Jaka itu ada di sini, kalau dia memergoki kamu bagaimana? Kalau kamu dia ceraikan, mau makan apa kita Lintang?"
"Ayolah Bu, mas Jaka ngga akan ceraikan Lintang. Mas Jaka sangat mencintai Lintang. Melirik perempuan lain saja dia tidak berani."
"Terserah kamu Lintang. Ibu mohon kamu batasi pertemuan kamu dengan Dito! Ini untuk kebaikan kita semua."
"Ih, Ibu bawel banget sih. Pokoknya Ibu ngga usah pusing! Sudah, titik!!!" Lintang pergi meninggalkan kamar ibunya.
*****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasih readersHappy reading!!!Jaka menggendong Humaira kecil yang masih bangun. Diliriknya jam dinding, sudah pukul delapan malam."Lintang belum pulang juga Nak Jaka?" Tanya bu Gita."Iya Bu. Hapenya tidak bisa dihubungi.""Keluyuran kemana lagi sih si Lintang?" Kesal bu Gita."Sudah ngga papa Bu. Sebentar lagi Humaira juga tertidur.""Ma'afkan Lintang ya Nak." Ucap bu Gita. Jaka mengangguk.Lintang datang dengan santainya, seolah tak merasa memiliki kewajiban sebagai ibu. Dia sering meninggalkan Humaira bersama Jaka dan ibunya."Bunda, kok malam pulangnya?" Tanya Jaka."Ayah, bunda kan tidak tiap hari keluarnya." Jawab Lintang cuek. "Bunda mandi dulu ya Ayah." Lintang masuk ke dalam kamar mandi. Jaka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya.Humaira sudah tertidur pulas. Diletakkan Jaka Humaira di dalam boxnya. Jaka menunggu
Empat Tahun KemudianWati menyiapkan barang-barangnya dan anak-anak, termasuk barang Humaira. Hari ini mereka akan pergi ke Berau setelah Jaka resmi bercerai dengan Lintang istri pertamanya."Bunda, Humaira apa nanti akan pindah sekolah di sana?" Tanya Humaira pada Wati."Tentu sayang. Karena Humaira akan lebih lama bersama Ayah dan Bunda Wati. Kalau Ayah cuti baru Ayah pulang bawa Humaira ketemu bunda Lintang.""Apa Ayah berantem sama bunda Lintang?""Tidak sayang. Ayah dan bunda Lintang baik-baik saja.""Bunda Wati mau kan anggap Humaira seperti anak Bunda?""Tentu saja sayang." Wati mengecup kening Humaira."Sudah siap berangkat?" Tanya Jaka yang sedang menggendong Habibi."Sudah Bang." Jawab Wati.Mereka pun diantar bang Rahman dan ibu ke bandara yang tidak jauh dari rumah bu Lastri.
Jaka mencoba menyadarkan Wati yang ambruk. Diletakkannya botol minyak kayu putih yang terbuka di depan hidung Wati. Perlahan Wati mulai bereaksi. Wati terbaring di sofa ruang tengah. Anak-anak menungguinya."Ada apa?" Tanya Jaka khawatir."Abang, bisa tinggalkan Wati sendiri dulu!" Pinta Wati."Ada apa? Aku suamimu Wati, bagaimana Aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Jaka semakin khawatir. Wati beranjak dan mengambil posisi duduk bersender. Dia menatap anak-anaknya. Air matanya meleleh. "Ada apa?" Tanya Jaka sambil memegang kedua lengan atas Wati."Aditya, ajak adikmu ke ruang depan sebentar ya! Mamah mau bicara sama Bapak." Pinta Wati. Aditya mengangguk dan membawa Habibi ke ruang depan."Telpon dari siapa tadi?""Bang, Wati yakin Abang tidak akan bisa menerima kabar buruk ini.""Kabar buruk apa Wati?""Abang, Wati minta ma'af."
Jaka duduk di sofa di depan TVrumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya."Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka."Jaka bingung Bu harus mulai dari mana.""Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?""Laki-laki bajingan itu Bu.""Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka.""Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya."Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut."Aids Bu. Aids.""A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?""Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati.""Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kop
Wati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya."Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka."Bagaimana Wati?" Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas."Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia."Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga.""Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya.""Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu La
Wati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira."Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih."Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya."Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?""Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang.""Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar."Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik."Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humair
Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka
"Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k
Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G