Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Pagi diiringi rinai hujan, Jaka membawa Lintang yang sudah mules mau melahirkan ke RS. Jaka ditemani ibu Gita ibunya Lintang membawa Lintang ke RS menggunakan taxi. Terlihat Jaka sangat gelisah."Sabar ya sayang!" Ucapnya sambil mengelus punggung istrinya. "Mas, bisa cepat sedikit ngga!" Pinta Jaka pada supir. Supir pun menaikkan kecepatannya.Lintang memasuki ruang bersalin diiringi Jaka. Bidan mengobservasi keadaan Lintang."Bukaan tiga ya Bu." Ucap bidan.Kemudian dokter datang memeriksa keadaan Lintang. "Kita tunggu sampai sempurna ya Bu pembukaannya." Ucap dokter.Tidak menunggu terlalu lama, selang dua jam pembukaan sudah sempurna, Bidan pun menyuruh Lintang mencoba mengeden."Tarik nafas yang dalam ya Bu, lalu hembuskan!!!" Intruksi bidan. Lintang pun menuruti. "Ayo terus Bu!!! Kepalanya sudah terlihat." Beritahu bidan."Yang kuat sayang, yang kuat!
Jaka menggendong Humaira kecil yang masih bangun. Diliriknya jam dinding, sudah pukul delapan malam."Lintang belum pulang juga Nak Jaka?" Tanya bu Gita."Iya Bu. Hapenya tidak bisa dihubungi.""Keluyuran kemana lagi sih si Lintang?" Kesal bu Gita."Sudah ngga papa Bu. Sebentar lagi Humaira juga tertidur.""Ma'afkan Lintang ya Nak." Ucap bu Gita. Jaka mengangguk.Lintang datang dengan santainya, seolah tak merasa memiliki kewajiban sebagai ibu. Dia sering meninggalkan Humaira bersama Jaka dan ibunya."Bunda, kok malam pulangnya?" Tanya Jaka."Ayah, bunda kan tidak tiap hari keluarnya." Jawab Lintang cuek. "Bunda mandi dulu ya Ayah." Lintang masuk ke dalam kamar mandi. Jaka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya.Humaira sudah tertidur pulas. Diletakkan Jaka Humaira di dalam boxnya. Jaka menunggu
Empat Tahun KemudianWati menyiapkan barang-barangnya dan anak-anak, termasuk barang Humaira. Hari ini mereka akan pergi ke Berau setelah Jaka resmi bercerai dengan Lintang istri pertamanya."Bunda, Humaira apa nanti akan pindah sekolah di sana?" Tanya Humaira pada Wati."Tentu sayang. Karena Humaira akan lebih lama bersama Ayah dan Bunda Wati. Kalau Ayah cuti baru Ayah pulang bawa Humaira ketemu bunda Lintang.""Apa Ayah berantem sama bunda Lintang?""Tidak sayang. Ayah dan bunda Lintang baik-baik saja.""Bunda Wati mau kan anggap Humaira seperti anak Bunda?""Tentu saja sayang." Wati mengecup kening Humaira."Sudah siap berangkat?" Tanya Jaka yang sedang menggendong Habibi."Sudah Bang." Jawab Wati.Mereka pun diantar bang Rahman dan ibu ke bandara yang tidak jauh dari rumah bu Lastri.
Jaka mencoba menyadarkan Wati yang ambruk. Diletakkannya botol minyak kayu putih yang terbuka di depan hidung Wati. Perlahan Wati mulai bereaksi. Wati terbaring di sofa ruang tengah. Anak-anak menungguinya."Ada apa?" Tanya Jaka khawatir."Abang, bisa tinggalkan Wati sendiri dulu!" Pinta Wati."Ada apa? Aku suamimu Wati, bagaimana Aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Jaka semakin khawatir. Wati beranjak dan mengambil posisi duduk bersender. Dia menatap anak-anaknya. Air matanya meleleh. "Ada apa?" Tanya Jaka sambil memegang kedua lengan atas Wati."Aditya, ajak adikmu ke ruang depan sebentar ya! Mamah mau bicara sama Bapak." Pinta Wati. Aditya mengangguk dan membawa Habibi ke ruang depan."Telpon dari siapa tadi?""Bang, Wati yakin Abang tidak akan bisa menerima kabar buruk ini.""Kabar buruk apa Wati?""Abang, Wati minta ma'af."
Jaka duduk di sofa di depan TVrumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya."Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka."Jaka bingung Bu harus mulai dari mana.""Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?""Laki-laki bajingan itu Bu.""Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka.""Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya."Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut."Aids Bu. Aids.""A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?""Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati.""Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kop
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka
"Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k
Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G