Wati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira.
"Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih.
"Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya.
"Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?"
"Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang."
"Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar.
"Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik.
"Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humaira melakukan beberapa tes. Hari ini mungkin akan diberitahukan hasilnya." Ucap bu Gita.
"Bu, semua baik-baik sajakan?" Wati sangat khawatir. Bu Gita mengangguk menahan tangis.
"Humaira kenapa Bunda?" Humaira bingung.
"Ngga apa-apa sayang. Sekarang Humaira tidur ya." Wati mengecup kening Humaira.
Wati keluar ruangan bersama ibu Gita. Wati benar-benar khawatir dengan kondisi Humaira.
"Bu, dokter bilang apa?"
"Sebenarnya dokter khawatir Humaira bukan demam biasa. Sebelum demam dia sempat flu dan batuk. Saat panas tinggi dia mimisan."
"Apa hari ini hasil tesnya akan keluar Bu?" Wati benar-benar khawatir.
"Kata perawat begitu. Ibu cuma bisa berdo'a semoga Humaira baik-baik saja." Bu Gita menangis. Wati memeluk bu Gita.
*****
Wati menghadap dokter yang memeriksa Humaira. Dokter ingin memberitahukan hasilnya. Wati mewakili Lintang, karena Lintang belum pulang dari bekerja.
"Ma'af, Ibu dengan pasien hubungannya apa?"
"Saya Ibu sambungnya dok." Jawab Wati.
"Dimana ibu kandung pasien?"
"Sedang bekerja dok. Saya diminta mewakilinya."
"Tapi, hasil tes ini sangat serius Bu. Sebaiknya ibu kandungnya mendengar langsung."
"Apa terjadi sesuatu dengan Humaira dok?" Wati panik. Dokter mengangguk.
"Bisakah ibu hubungi ibu kandungnya agar bisa menemui Saya?"
"Baik dok." Wati pun keluar ruangan mencoba menghubungi Lintang.
Satu jam kemudian barulah Lintang sampai ke Rumah Sakit.
"Ada apa Wati? Kenapa dokter tidak mengatakannya langsung?" Lintang terlihat panik.
"Dokter minta Kamu mendengar dari dokter langsung, bukan dariku Lintang." Lintang kemudian langsung berjalan ke ruang dokter ditemani Wati.
"Permisi dok, Saya ibu kandung Humaira." Ucap Lintang.
"Silakan duduk Bu!" Lintang dan Wati duduk di kursi di hadapan dokter. "Mohon ma'af sebelumnya Bu. Saya harus memberitahukan kabar buruk tentang kondisi anak Ibu."
"Maksud dokter?" Lintang terlihat cemas. Wati menggenggam tangan Lintang.
"Dari hasil beberepa pemeriksaan yang dilakukan, Humaira anak Ibu positif leukimia." Lintang dan Wati mematung mendengar ucapan dokter. Mereka seperti disambar petir. "Humaira harus melakukan kemoterapi untuk bisa bertahan. Saya harap Ibu bisa tabah menerima hasil ini." Tangis Lintang dan Wati pecah.
"Dok, Humaira bisa sembuhkan?" Tanya Lintang sambil terisak.
"Walau pun harapannya kecil, tapi tidak ada yang tidak mungkin Bu."
"Tolong sembuhkan anak Saya dok. Saya mohon!" Pinta Lintang.
"Bu, Kami hanya bisa berusaha memberikan pengobatan yang terbaik, itu pun harus didukung penuh oleh Ibu sekeluarga. Yang menentukan dan memberikan kesembuhan hanya Allah Bu."
Wati tak bisa berkata apa-apa, air matanya terus mengalir. Dia sangat terpukul mendengar hasil pemeriksaan Humaira. Baru beberapa hari yang lalu dia lepas dari penyakit HIV, dan hari ini dia harus mendapat kabar gadis kecilnya memiliki penyakit leukimia.
"Ya Allah, kenapa gadis kecil tak berdosa itu harus Engkau berikan penyakit seberat itu?" Bathin Wati. Lintang memeluk erat Wati yang mematung.
"Aku harus bagaimana Wati? Katakan padaku!" Lintang menangis sejadi-jadinya. Wati tetap mematung.
"Bu, sebaiknya pengobatan dilakukan secepatnya sebelum terlambat."
"Pasti dok." Ucap Wati.
Wati dan Lintang ke luar ruangan dokter menuju ruang perawatan Humaira.
"Lintang, hapus air matamu! Kita harus tegar! Aku tidak ingin Humaira melihat kita menangis." Ucap Wati sambil menghapus air matanya. Dia menghela nafas panjang kemudian menghembuskannya.
"Aku di luar saja Wati. Aku perlu waktu menata hatiku. Aku tidak sanggup melihat penderitaan anakku."
"Aku pun sungguh tidak sanggup Lintang. Bagaimana ini Lintang?" Tangis Wati kembali pecah.
Bu Gita cemas menunggu Lintang dan Wati yang tak kunjung kembali.
"Nek, kenapa bunda lama sekali?"
"Humaira tunggu sini ya, biar nenek keluar sebentar." Humaira mengangguk. Bu Gita keluar ruangan. Dia melihat Lintang dan Wati yang sedang menangis sesenggukan di depan ruangan. Bu Gita jadi semakin cemas. Lintang langsung memeluk erat ibunya.
"Humaira Bu." Ucap Lintang.
"Ada apa? Apa kata dokter?" Tanya bu Gita penasaran.
"Aku tidak sanggup mengatakannya Bu."
"Lalu, bagaimana Ibu bisa tau? Wati, apa yang terjadi?" Bu Gita sangat cemas. Wati menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ibu mohon, kasih tau Ibu!"
"Humaira... Positif..." Lintang tak sanggup melanjutkan.
"Positif apa Lintang?"
"Leukimia." Ucap Wati singkat.
"Apa itu Lintang? Berbahayakah untuk Humaira?" Bu Gita bingung.
"Kanker Bu. Humaira kena kanker sel darah putih." Ucap Lintang sambil terus menangis.
"A... Apa kanker? Tapi dia masih terlalu kecil punya penyakit seperti itu Lintang. Pasti pemeriksaannya salah kan?" Bu Gita tidak bisa terima. Tangis beliau pecah.
"Aku tidak tau Bu harus bagaimana." Ucap Lintang.
"Lintang masuklah! Kasian Humaira sendirian di dalam." Pinta bu Gita.
"Aku tidak sanggup Bu. Aku tidak kuat."
"Biar Wati saja Bu yang menemani Humaira." Sekali lagi Wati menghapus air matanya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Berusaha menahan kesedihannya. Berusaha mengukir senyuman dari bibirnya. Wati masuk ke dalam ruangan.
"Bunda kenapa lama?" Tanya Humaira.
"Bunda ke kantin sayang." Jawab Wati.
"Kata nenek bunda menemui dokter. Kapan Humaira bisa pulang Bunda?" Wati langsung terdiam. Matanya mulai basah. Dia kembali menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mencoba tetap tersenyum. "Bunda kenapa?"
"Tidak apa sayang. Humaira harus benar-benar sehat dulu kata dokter, baru Humaira bisa pulang." Jawab Wati sambil menahan tangis.
*****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasih sdh mau mampir untuk membacaHappy readingWati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y
Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar."Ada apa?" Tanya Jaka bingung."Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya."Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga."Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur.""Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas."Dito Bang.""Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana."Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati."Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git
Bu Gita menemui Wati yang sedang memasak untuk makan siang. Humaira sedang tertidur di kamarnya. Lintang sudah pergi bekerja sejak tadi. Sementara Jaka ke tempat service electronicknya."Wati, marahlah! Caci makilah Lintang! Jangan diam saja!" Pinta bu Gita."Wati tidak bisa seperti itu Bu.""Lihat kejadian tadi malam? Ibu tau betul anak Ibu. Ibu tidak mau dia merusak rumah tanggamu." Kesal bu Gita. "Percuma kalau Ibu saja yang mencaci makinya. Dia sudah kebal dengan semua cacian dari Ibu. Usir kami dari sini Wati. Ibu mohon!" Bu Gita menggenggam tangan Wati."Wati serba salah Bu. Humaira sangat ingin dekat dengan bang Jaka.""Humaira bukan anak Jaka, Kalian tidak punya tanggung jawab sama sekali atas Humaira. Sudah terlalu banyak kebaikanmu kepada kami.""Apa di usianya seperti ini Humaira bisa mengerti kalau
Jaka memutuskan untuk menginap di tempat ibunya. Dia tidak ingin menghadapi keadaan tidak nyaman di rumahnya."Jaka, keputusanmu menginap di sini sangat benar." Ucap bu Ratna."Wati terlalu baik Bu. Bahkan mungkin terlalu bodoh." Kesal Jaka."Hei, jangan sebut bidadarimu seperti itu!""Jaka tidak sanggup melihatnya menangis karena sikap Lintang Bu.""Wati tidak akan tega melihat Humaira bersedih Jaka. Dia seorang ibu.""Lintang memanfaatkan semuanya Bu. Jaka muak melihat Lintang di jarak yang sangat dekat." Jaka mengacak-ngacak rambutnya saking kesalnya."Sabarlah Jaka! Wati pasti bingung harus bagaimana pada Humaira. Yang Humaira tau Wati hanyalah istri keduamu.""Kenapa masalah tak henti-henti menghampiri keluarga Kami?""
Lintang gelisah di dalam kamarnya setelah membaca pesan WA dari Dito. Dia menggigit ujung telunjuknya. Bu Gita memperhatikan Lintang.'Besok kamu harus membawanya menemuiku, dan kamu harus membuatnya tertidur, agar kita bisa melancarkan aksi kita.' Pesan dari Dito."Ada apa Lintang?" Lintang terkejut. "Ada apa?" Bu Gita mengulang ucapannya."Tidak apa Bu.""Besok tolong Kamu urus Dito!!! Tadi siang dia sudah berani datang kemari. Bukan hanya itu, dia juga bersikap kurang ajar pada Wati." Kesal bu Gita."Iya Bu. Iya..." Jawab Lintang tak kalah kesal."Ibu mau bantu Wati menyiapkan makan malam. Kamu harusnya juga ikut bantu-bantu di rumah ini Lintang.""Aku lelah Bu. Aku kan baru pulang kerja." Bu Gita berlalu meninggalkan Lintang."Aku harus car
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka
"Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k
Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G