Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya.
"Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas.
"Humaira Bu. Humaira."
"Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas.
"Humaira divonis leukimia Bu."
"Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut.
"Iya Bu."
"Innalillahi wa innailaihi roji'un."
"Kasian Humaira Bu."
"Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.
*****
Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya.
"Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang Bang. Suasana hati Wati sedang tidak nyaman." Tolak Wati.
"Matamu kenapa bengkak Wati? Kamu habis menangis?" Wati mengangguk. Wati mengambil handuk yang jatuh di lantai, dililitkannya kembali ke tubuhnya. "Ada apa lagi?"
"Abang, ini soal Humaira Bang."
"Sayang, bisa tidak sehari saja Kamu tidak membahasnya. Hati Abang hancur setiap kali Kamu menyebut namanya."
"Tidak bisa Bang. Kali ini lebih serius."
"Apa lagi Wati? Apa lagi?" Kesal Jaka.
"Abang harus secepatnya menemui Humaira, Wati mohon Bang!"
"Berapa kali Abang sudah bilang Abang tidak sanggup Wati."
"Humaira divonis leukimia Bang."
"Apa? Kamu jangan mengada-ngada Wati." Jaka tak bisa percaya.
"Abang, Wati serius Bang. Wati mendengar sendiri dari dokter yang memeriksa Humaira. Sekarang, apa Abang masih ingin mementingkan ego Abang? Jangan Bang! Abang akan menyesal nanti. Kasihani Humaira Bang. Cukuplah fisiknya yang sakit karena penyakit itu. Jangan hatinya juga harus sakit karena ego Abang. Wati mohon!" Wati menangis.
"Wati, Abang perlu waktu."
"Waktu? Waktu untuk apa lagi Bang? Sudah terlalu lama Abang mengabaikan Humaira. Gadis itu tidak tau apa-apa Bang. Jangan Abang hukum dia! Ayolah Bang! Jangan buang-buang waktu Bang! Kita tidak tau sampai kapan Humaira bisa bertahan." Wati menggenggam tangan Jaka.
"Abang tidak tau Wati." Mata Jaka basah menahan sedih. Wati memeluk Jaka.
"Bang, saat ini Humaira sangat perlu Abang. Bahagiakanlah Humaira Bang! Wati mohon!" Jaka hanya terdiam. "Wati sudah anggap Humaira seperti anak Wati sendiri Bang. Sakit rasanya hati Wati melihat kondisi Humaira."
*****
Humaira mulai sering mimisan. Bu Gita terus membersihkan darah yang keluar dari hidung Humaira.
"Nek, Humaira kenapa?" Tanya Humaira bingung.
"Ngga apa sayang. Humaira baik-baik saja."
"Badan Humaira rasanya sakit semua Nek." Keluh Humaira. Bu Gita tak kuat mendengar keluhan Humaira. Beliau langsung menangis. "Nenek kenapa menangis?"
"Seandainya sakit Humaira bisa pindah ke nenek, nenek mau nenek saja yang rasakan sakitnya Humaira." Jawab bu Gita sambil tersedu.
"Nenek, Humaira kuat kok Nek."
Wati datang bersama Jaka. Melihat Jaka Humaira langsung berusaha beranjak, merubah posisinya.
"Ayah... " Teriak Humaira.
"Tetap berbaring Humaira!" Pinta bu Gita.
Jaka sedikit ragu mendekati Humaira. Dia diam mematung di depan pintu. Matanya mulai basah melihat kondisi gadis kecilnya yang mulai kurus.
"Bang, peluklah Humaira!" Ucap Wati. Jaka masih terdiam. Wati mengenggam tangan Jaka dan menyeret Jaka menghampiri Humaira. Jaka langsung memeluk Humaira. Wati dan bu Gita beranjak keluar ruangan. Mereka tidak ingin mengganggu.
"Terima kasih nak Wati." Ucap bu Gita sambil menangis.
"Hanya ini yang bisa Wati lakukan Bu." Wati pun ikut menangis.
Humaira memeluk erat Jaka. Melepaskan kerinduan yang ditahannya. Air mata Humaira berlinang.
"Ayah, kenapa Ayah lama sekali tidak menemui Humaira? Humaira rindu Ayah." Ucap Humaira. Jaka hanya terdiam. Air mata Jaka mulai tak terbendung. "Apa Ayah marah pada Humaira?" Jaka membelai lembut rambut Humaira. "Ayah jangan pergi lagi!" Pinta Humaira. "Ayah kenapa diam?" Humaira melepaskan pelukannya. "Kenapa Ayah menangis?" Diusapnya air mata ayahnya kemudian diciumnya pipi kiri dan kanannya.
"Ma'afkan Ayah sayang, ma'afkan."
"Humaira tidak marah kok pada Ayah. Humaira rindu Ayah, sangat rindu." Humaira kembali memeluk Jaka.
"Ayah juga rindu Humaira sayang." Ucap Jaka.
"Ayah, badan Humaira sakit semua. Dan dari hidung Humaira sering keluar darah." Keluhnya. Jaka tak kuat mendengar keluhan gadis kecilnya. Dipereratnya pelukannya. "Ayah, apa Humaira sebentar lagi mati?" Tanya nya polos.
"Humaira pasti sembuh sayang. Humaira pasti sembuh." Ucap Jaka sambil terisak.
"Ayah, mau kah Ayah menemani Humaira?"
"Iya sayang, iya... "
"Ayah, Humaira sakit apa?" Tanya Humaira.
"Humaira baik-baik saja sayang."
"Kenapa Humaira belum boleh pulang Ayah?"
"Humaira harus banyak makan dulu ya, baru bisa pulang. Liat, Humaira kurusan."
"Humaira kangen disuapin Ayah. Tiap hari Humaira kangen Ayah. Tapi Ayah tidak pernah menemui Humaira." Jaka hanya terdiam. Air matanya berlinang. Humaira mulai bawel seperti biasanya. "Ayah sama bunda marahan ya? Kenapa bunda dan nek Gita tinggal di rumah kecil bersama Humaira? Ayah marah sama bunda ya?"
"Humaira... Humaira harus banyak istirahat! Bawelnya nanti saja ya kalau Humaira sudah sembuh!"
"Humaira mau tau semuanya Ayah." Ngambek Humaira.
"Nanti saja ya sayang."
Humaira kembali mimisan. Jaka langsung mengambil tisu dan membersihkan darah yang keluar dari hidung Humaira. Air mata Jaka kembali tumpah.
"Ayah, sakit." Keluh Humaira.
"Apa yang sakit sayang?"
"Badan Humaira sakit semua rasanya Ayah." Jaka langsung memeluk Humaira.
"Humaira yang kuat ya sayang! Ayah di sini bantu Humaira menahan sakit." Air mata Jaka terus mengalir. "Ya Allah, angkat penyakit gadis kecilku. Aku tak sanggup melihatnya menahan sakit." Batin Jaka.
*****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasih sdh mau mampir untuk membacaHappy readingLintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y
Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar."Ada apa?" Tanya Jaka bingung."Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya."Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga."Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur.""Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas."Dito Bang.""Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana."Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati."Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git
Bu Gita menemui Wati yang sedang memasak untuk makan siang. Humaira sedang tertidur di kamarnya. Lintang sudah pergi bekerja sejak tadi. Sementara Jaka ke tempat service electronicknya."Wati, marahlah! Caci makilah Lintang! Jangan diam saja!" Pinta bu Gita."Wati tidak bisa seperti itu Bu.""Lihat kejadian tadi malam? Ibu tau betul anak Ibu. Ibu tidak mau dia merusak rumah tanggamu." Kesal bu Gita. "Percuma kalau Ibu saja yang mencaci makinya. Dia sudah kebal dengan semua cacian dari Ibu. Usir kami dari sini Wati. Ibu mohon!" Bu Gita menggenggam tangan Wati."Wati serba salah Bu. Humaira sangat ingin dekat dengan bang Jaka.""Humaira bukan anak Jaka, Kalian tidak punya tanggung jawab sama sekali atas Humaira. Sudah terlalu banyak kebaikanmu kepada kami.""Apa di usianya seperti ini Humaira bisa mengerti kalau
Jaka memutuskan untuk menginap di tempat ibunya. Dia tidak ingin menghadapi keadaan tidak nyaman di rumahnya."Jaka, keputusanmu menginap di sini sangat benar." Ucap bu Ratna."Wati terlalu baik Bu. Bahkan mungkin terlalu bodoh." Kesal Jaka."Hei, jangan sebut bidadarimu seperti itu!""Jaka tidak sanggup melihatnya menangis karena sikap Lintang Bu.""Wati tidak akan tega melihat Humaira bersedih Jaka. Dia seorang ibu.""Lintang memanfaatkan semuanya Bu. Jaka muak melihat Lintang di jarak yang sangat dekat." Jaka mengacak-ngacak rambutnya saking kesalnya."Sabarlah Jaka! Wati pasti bingung harus bagaimana pada Humaira. Yang Humaira tau Wati hanyalah istri keduamu.""Kenapa masalah tak henti-henti menghampiri keluarga Kami?""
Lintang gelisah di dalam kamarnya setelah membaca pesan WA dari Dito. Dia menggigit ujung telunjuknya. Bu Gita memperhatikan Lintang.'Besok kamu harus membawanya menemuiku, dan kamu harus membuatnya tertidur, agar kita bisa melancarkan aksi kita.' Pesan dari Dito."Ada apa Lintang?" Lintang terkejut. "Ada apa?" Bu Gita mengulang ucapannya."Tidak apa Bu.""Besok tolong Kamu urus Dito!!! Tadi siang dia sudah berani datang kemari. Bukan hanya itu, dia juga bersikap kurang ajar pada Wati." Kesal bu Gita."Iya Bu. Iya..." Jawab Lintang tak kalah kesal."Ibu mau bantu Wati menyiapkan makan malam. Kamu harusnya juga ikut bantu-bantu di rumah ini Lintang.""Aku lelah Bu. Aku kan baru pulang kerja." Bu Gita berlalu meninggalkan Lintang."Aku harus car
Jaka gelisah di dalam mobil. Diliriknya jam tangannya. Waktu terasa begitu lambat baginya."Sialan lampu merah!!!" Umpat Jaka. Dia mengacak-ngacak rambutnya. Jaka benar-benar panik. "Tenang Jaka, tenang!!!" Gumamnya. "Astagfirullah... Astagfirullah... Ya Allah lindungi bidadariku." Air mata Jaka meleleh. Dia sangat frustasi. "Tenang Jaka!!!" Gumamnya terus menerus sepanjang jalan. "Harusnya Aku menyuruh orang mengemudikan mobil ini." Sesal Jaka yang sangat tau dirinya kalau sedang panik tidak bisa konsentrasi. Jaka menepikan mobilnya. Tubuhnya gemetar. "Ayolah Jaka, kamu bisa!!!" Teriaknya. Dilihatnya ke depan. Hotel yang dimaksud Rini sudah terlihat dari tempatnya berhenti. "Sedikit lagi Jaka. Cepatlah!!!" Jaka benar-benar frustasi. Dia hanya bisa menangis, tubuhnya semakin gemetar. "Apa yang harus Aku lakukan? Apa yang dilakukan laki-laki itu pada bidadariku? Sungguh Aku tidak berguna. Di saat seperti ini Aku tidak bisa melakukan apa-apa." Jaka mengu