"Kenapa aku selalu dibedakan dari menantu yang lain, Bu?" tanya Mia sambil sesenggukan. Ia sungguh tak habis mengerti mengapa Bu Rina, ibu mertuanya selalu membeda-bedakan dirinya dengan menantu beliau yang lainnya. Bu Rina menatapnya tajam lalu menyahut keras. "Karena kamu miskin, bodoh dan pemalas! Nyesel saya terima kamu jadi menantu kalau tahu begini perilakumu! Sekarang, bersihkan semua pekerjaan rumah sampai tuntas! Jangan berhenti sebelum semuanya selesai!" ketua ibu mertuanya sambil mendengkus lalu menghentakkan kakinya dengan keras di hadapannya. Mia tergugu sedih. Tapi ia tak patah semangat. Ia yakin dengan kemampuannya menulis, ia akan jadi penulis terkenal dan akan bisa membalas semua hinaan ibu mertua dan suaminya itu.
view morePOV DeniHari ini akhirnya aku mendapatkan juga promosi naik jabatan dari seorang staf menjadi kepala divisi. Entah aku harus senang atau tidak, karena aku sendiri masih ragu-ragu apakah posisi ini nantinya akan dapat membuatku hidup lebih baik atau tidak. Tapi meskipun begitu, aku tetap berusaha memupuk harapan terbaik, semoga suatu saat keapesan dan kesialanku ini akan segera berakhir.Pagi tadi promosi jabatanku telah dilaksanakan dan hari ini kedudukanku telah resmi menjadi seorang atasan di divisi yang aku pimpin.Ahmad yang tadinya merupakan rekan sejawatku, sekarang telah menjadi bawahanku begitu pun Sinta, sekarang menjadi stafku. Meski demikian, di rumah aku tetaplah suami yang harus patuh atas semua kendalinya. Sebab, bagaimanapun juga ialah pemegang kunci kendali atas hidupku sebab adanya perjanjian sialan mengenai hutang mahar yang mencekik leher itu.Ah, andai aku tahu menikahi ponakan direktur ternyata membuat hidupku jadi sengsara begini, mungkin lebih baik aku menduda
POV Deni"Bu, ini uang buat ibu. Maaf Deni baru bisa kasih segini karena ... karena Deni harus bayar hutang ke Pak Anton dulu, Bu. Maafkan Deni ya, Bu tapi Deni janji Deni akan usahakan untuk menambah uang ke ibu nanti. Deni mau banyakin lembur biar bisa ngasih uang ke ibu lagi ya, Bu," ujarku sambil menyerahkan uang pemberian Sinta pada ibu yang menerima dengan mata tidak percaya.Dua ratus ribu pastilah jumlah yang sangat sedikit buat ibu karena biasanya jatah bulanan beliau adalah empat juta rupiah."Kok bisa-bisanya sih, Den kamu cuma dikasih segini sama Sinta? Apa ibu bilang, nggak usah dekati perempuan itu lagi. Tapi kamu ngeyel, begini kan jadinya!" Ibu menghela nafas panjang sambil memanyunkan bibirnya. Tatapan kecewa tampak jelas dalam rona matanya.Aku pun ikut menghembuskan nafas. Dadaku terasa sakit dan sesak. Sialan, Sinta, gara-gara rayuannya untuk menggelar pesta mewah dan uang mahar yang tidak sedikit, sekarang aku harus terjerat hutang pada Pak Anton. Benar-benar meny
POV Deni"Den, mana jatah bulanan buat ibu? Kamu udah gajian bulan ini kan? Hari ini kan tanggal satu?" tanya ibu saat aku menyempatkan pulang sore hari.Niatku pulang, ingin bertanya pada ibu, barangkali masih punya sedikit sisa uang untuk pegangan tangan karena amplop gaji sudah di tangan Sinta dan dikuasainya. Sementara ia belum memberiku uang untuk transportasi karena katanya belum sempat ketemu Om Anton dan membicarakan berapa nominal sisa gaji yang bisa diberikan padaku sebab aku harus mulai mencicil hutang pada Om-nya itu."Nanti ya, Bu. Uang gajiku masih dipegang Sinta, soalnya Deni kan harus membayar hutang mahar kemarin. Ini aja Deni malah mau pinjam uang dari ibu buat dipake menjelang Sinta ngasih uang ke Deni. Ibu masih ada tabungan nggak?" tanyaku dengan suara tak enak. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur basah. Pernikahan dengan Sinta sudah terlanjur terjadi. Tak mungkin dibatalkan hanya karena hal ini. Lagi pula aku sudah terlanjur teken perjanjian pinjam uang pad
POV DeniHari ini pernikahanku dengan Sinta akhirnya digelar. Gedung pernikahan yang disewa Pak Anton terlihat meriah meski tak semewah seperti yang ada dalam pikiranku. Ya, barangkali saja Pak Anton menurunkan budget pesta pernikahan kami ini. Selain karena efek pandemi Corona masih melanda tanah air sehingga orang-orang belum begitu nyaman mendatangi keramaian. Mungkin hal itu juga bertujuan supaya hutangku tak terlalu banyak dan membengkak. Baguslah, jadi aku tak perlu terjerat terlalu lama dalam kubangan hutang pada bos perusahaan itu.Sebenarnya aku sendiri menginginkan pernikahan kecil-kecilan saja. Selain demi menghemat biaya, tujuan pernikahanku dengan Sinta memang bukan semata-mata untuk menjadikannya istri atau membuatnya merasa senang dan tersanjung sebagai istriku, tetapi karena aku sendiri juga menginginkan kehidupan yang lebih baik bila menjadi suaminya.Itu sebabnya aku tak terlalu antusias saat keluarga besar Sinta menginginkan sebuah hajatan besar sementara aku just
POV Deni"Gimana, Sin? Udah ngomong belum sama Om Anton? Diizinkan nggak kamu menikah sama mas?" tanyaku tak sabar saat keesokan harinya sampai di kantor dan kembali bertemu dengan pujaan hati yang hari ini terlihat semakin cantik saja itu.Semalam aku sudah menanyakan berulang kali melalui pesan whatsapp, tetapi gadis itu menyatakan akan menjawabnya besok pagi di kantor sebab malam tadi masih harus bicara panjang lebar dengan Om-nya dan merenungkan segala sesuatunya.Jadilah pagi aku baru bisa kembali menanyakannya pada Sinta."Sabar dong, Mas. Kenapa sih kamu buru-buru banget pengen tahu? Emang udah benar-benar nggak sabar ya?" ujar Sinta balik bertanya, membuatku gemas dan refleks mencubit pangkal hidupnya yang bangir.Untung saja kantor masih sepi jadi aksiku tak sempat dilihat rekan kerja yang lain."Ish, Mas Deni usil banget sih, ah!" Sinta pura-pura merajuk sambil memegangi puncak hidungnya yang memerah. Aku hanya tertawa dan kali ini ganti mengacak gemas rambutnya."Makanya, j
POV Deni"Beneran mas kamu sudah cerai?" tanya Sinta dengan bola mata membulat.Aku menganggukkan kepala mendengar pertanyaannya."Benar dong, Sin. Kenapa? Mau daftar jadi pendamping hidup mas yang baru ?" tanyaku sambil melempar pandangan penuh arti ke arahnya.Melihat tatapanku, Sinta menunduk dan tampak tersipu malu."Ah, Mas Deni bisa aja. Tapi omong-omong kenapa sih mas kalian bisa bercerai?" tanyanya.Aku pura-pura menghembuskan nafas berat."Dia itu sebagai istri nggak bisa patuh dan taat sama suami, Sin. Jadi ya terpaksa mas ceraikan lah," sahutku beralasan."Maksudnya? Kenapa mantan istri mas nggak bisa taat? Mas ngasih nafkah ke dia nggak? Mas nggak lalai dari tanggung jawab sebagai seorang suami bukan? Karena biasanya perempuan yang suka nggak mau patuh sama suami itu karena nggak dinafkahi dengan baik, Mas?" tanyanya beruntun dan terdengar serius, membuatku sedikit terganggu dan tak nyaman. Kok bisa sih dia tahu masalah rumah tanggaku dengan Zahra yang sebenarnya?Namun, s
POV DeniPagi-pagi sekali aku sudah melajukan roda dua menuju kediaman Pak Anton, direktur perusahaan di mana aku bekerja.Dari luar tampak bangunan rumah yang megah bak istana. Melihat bangunan itu aku sontak berdecak kagum. Hmm, Pak Anton memang kaya raya. Tak salah lagi, bila aku bisa mendekati Sinta dan menikahinya, tentu aku juga bisa ikut kecipratan sukses dan kaya seperti dirinya. Tak mungkin Pak Anton akan terus membiarkan diriku menjadi karyawan biasa di perusahaan yang dimilikinya. Tentu beliau akan mengangkatku menaiki posisi jabatan yang lebih tinggi dan lebih banyak menghasilkan uang.Tadi malam, bos perusahaan di mana aku bekerja itu juga sudah meneleponku dan memintaku bersedia mengantarkan keponakan cantiknya itu ke luar kota, itu artinya secara tidak langsung, Pak Anton menaruh kepercayaan padaku. Tentu saja ini awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Sinta.Itu sebabnya, sehabis ini aku berencana akan secepatnya menceraikan Zahra supaya bisa
POV ZahraAku menatap gedung pengadilan agama yang tampak menjulang tinggi di depanku. Memantapkan hati, kulangkahkan kaki mengikuti langkah kaki Dina yang berjalan lebih dulu di depanku."Ayo, Ra, kamu udah mantap mau daftarin permohonan gugatan ke pengadilan ini kan?" tanya gadis itu sambil membalikkan badannya dan menatapku.Aku mengangguk.Ya, pagi ini aku memutuskan untuk mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama kota ini. Tekadku sudah bulat, tak ada lagi maaf dan kesempatan untuk Mas Deni lagi.Semuanya sudah usai. Laki-laki itu tak pernah berubah, meski telah berkali-kali kuberikan kesempatan. Jadi inilah akhir kisah pernikahan kami, berpisah demi ketenangan hidup masing-masing.Masuk ruangan pengadilan, aku disambut petugas pendaftaran yang menyambut di pintu masuk."Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya petugas tersebut padaku."Iya, Pak. Saya mau mendaftarkan gugatan perceraian atas suami saya, Pak.""Oh ya? Sudah bawa persyaratan yang diperlukan?" Petugas itu menat
"Gimana, Den? Ketemu sama si Zahra?" tanya ibu begitu aku tiba di rumah.Tak langsung menjawab, kuhempaskan tubuh ke atas sofa tamu lebih dulu lalu menghembuskan nafas kuat-kuat."Ketemu, Bu. Tapi ... Zahra nggak mau pulang," ujarku setengah mengeluh.Batinku memang kecewa bukan main sebab Zahra tak mau lagi diajak pulang ke rumah."Lho, kok nggak mau pulang? Kenapa?" Ibu mengernyitkan alisnya. Terlihat heran dan tak percaya."Dia bilang aku udah tiga kali mengusir dia, Bu. Jadi dia nggak mau lagi terjadi untuk yang ke empat kalinya, makanya nggak mau lagi pulang ke rumah. Dia juga bilang lebih baik fokus mengurus usaha dia yang baru dirintis, timbang jadi istri Deni yang nggak pernah dinafkahi dan selalu dikasari katanya, Bu," jelasku lagi sembari menelan rasa gundah.Perkataan Zahra tentang sikapku selama ini padanya memang membuatku merasa menjadi orang yang paling bodoh di dunia ini. Aku merasa tertampar sekaligus malu. Jika benar itu yang selama ini Zahra rasakan, apa mungkin d
Kusembunyikan Kekayaanku Dari Suami dan Mertua (1) "Mia, beresin dapur dulu! Habis itu cuci semua piring kotor dan sapu rumah, baru istirahat. Jangan malas! Perempuan hamil nggak boleh malas-malas!" ucap Bu Rina, mertuanya saat Mia baru saja duduk setelah sedari pagi berkutat dengan pekerjaan dapur, membantu Mbak Yem, tukang masak yang biasa dipanggil untuk bantu-bantu masak menyiapkan hidangan untuk para tamu acara arisan yang baru saja selesai dilangsungkan di kediaman ibu mertuanya itu. Para tamu sudah pulang. Tinggal Mia, Bu Rina, Mbak Dina dan Mbak Sri, dua menantu yang lain serta dua adik iparnya yang saat itu masih berada di rumah besar milik mertuanya. Beda dengan Mia yang baru saja duduk, dua menantu ibu mertuanya dan dua adik iparnya itu justru sudah sedari tadi duduk manis sambil menikmati hidangan yang susah payah Mia dan Mbak Yem siapkan. Tapi herannya, ibu mertuanya malah mengatakan kalau Mia sedari tadi hanya duduk-duduk saja. Apa ibu mertuanya itu sudah mulai piku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments