Jaka memutuskan untuk menginap di tempat ibunya. Dia tidak ingin menghadapi keadaan tidak nyaman di rumahnya."Jaka, keputusanmu menginap di sini sangat benar." Ucap bu Ratna."Wati terlalu baik Bu. Bahkan mungkin terlalu bodoh." Kesal Jaka."Hei, jangan sebut bidadarimu seperti itu!""Jaka tidak sanggup melihatnya menangis karena sikap Lintang Bu.""Wati tidak akan tega melihat Humaira bersedih Jaka. Dia seorang ibu.""Lintang memanfaatkan semuanya Bu. Jaka muak melihat Lintang di jarak yang sangat dekat." Jaka mengacak-ngacak rambutnya saking kesalnya."Sabarlah Jaka! Wati pasti bingung harus bagaimana pada Humaira. Yang Humaira tau Wati hanyalah istri keduamu.""Kenapa masalah tak henti-henti menghampiri keluarga Kami?""
Lintang gelisah di dalam kamarnya setelah membaca pesan WA dari Dito. Dia menggigit ujung telunjuknya. Bu Gita memperhatikan Lintang.'Besok kamu harus membawanya menemuiku, dan kamu harus membuatnya tertidur, agar kita bisa melancarkan aksi kita.' Pesan dari Dito."Ada apa Lintang?" Lintang terkejut. "Ada apa?" Bu Gita mengulang ucapannya."Tidak apa Bu.""Besok tolong Kamu urus Dito!!! Tadi siang dia sudah berani datang kemari. Bukan hanya itu, dia juga bersikap kurang ajar pada Wati." Kesal bu Gita."Iya Bu. Iya..." Jawab Lintang tak kalah kesal."Ibu mau bantu Wati menyiapkan makan malam. Kamu harusnya juga ikut bantu-bantu di rumah ini Lintang.""Aku lelah Bu. Aku kan baru pulang kerja." Bu Gita berlalu meninggalkan Lintang."Aku harus car
Jaka gelisah di dalam mobil. Diliriknya jam tangannya. Waktu terasa begitu lambat baginya."Sialan lampu merah!!!" Umpat Jaka. Dia mengacak-ngacak rambutnya. Jaka benar-benar panik. "Tenang Jaka, tenang!!!" Gumamnya. "Astagfirullah... Astagfirullah... Ya Allah lindungi bidadariku." Air mata Jaka meleleh. Dia sangat frustasi. "Tenang Jaka!!!" Gumamnya terus menerus sepanjang jalan. "Harusnya Aku menyuruh orang mengemudikan mobil ini." Sesal Jaka yang sangat tau dirinya kalau sedang panik tidak bisa konsentrasi. Jaka menepikan mobilnya. Tubuhnya gemetar. "Ayolah Jaka, kamu bisa!!!" Teriaknya. Dilihatnya ke depan. Hotel yang dimaksud Rini sudah terlihat dari tempatnya berhenti. "Sedikit lagi Jaka. Cepatlah!!!" Jaka benar-benar frustasi. Dia hanya bisa menangis, tubuhnya semakin gemetar. "Apa yang harus Aku lakukan? Apa yang dilakukan laki-laki itu pada bidadariku? Sungguh Aku tidak berguna. Di saat seperti ini Aku tidak bisa melakukan apa-apa." Jaka mengu
Rini menulis nama dan nomer telponnya di counter reception. Kemudian menyerahkannya pada receptionist yang ada di hadapannya."Mba, tolong nanti kabari Saya di kantor polisi mana pemeriksaannya! Saya harus membawa teman Saya ke Rumah Sakit dulu.""Baik Bu.""Saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tau bagaimana nasib teman Saya kalau terlambat menolongnya.""Terima kasih kembali Bu." Jawab receptionist dengan senyum ramah.Rini kemudian keluar dari hotel mengemudikan mobilnya. Menuju Rumah Sakit yang dituju Beni dan Jaka.*****Bu Lastri dan Bu Gita sedang membereskan meja makan setelah usai makan malam. Wati menitipkan anak-anaknya pada ibunya."Kenapa Wati belum juga kembali ya Bu?" Tanya bu Lastri kepada bu Gita. 
Wati bersama Jaka sampai di rumah. Bu Lastri langsung menyambut Wati dengan pelukan."Apa yang terjadi?" Tanya bu Lastri khawatir."Wati baik-baik saja Bu. Anak-anak mana?""Sudah tidur. Tolong katakan pada Ibu ada apa? Bu Gita bilang terjadi sesuatu sama Kamu Wati.""Tidak apa Bu. Semua baik-baik saja. Seperti yang Ibu lihat." Jaka mencoba menenangkan mertuanya."Tadi bu Gita memaksa ingin keluar dari rumah ini Wati. Ibu menahannya.""Besok Kita bicarakan ya Bu." Jawab Wati yang terlihat lelah."Kamu istirahat ya Wati." Ucap bu Lastri. Kemudian Jaka dan Wati berlalu menaiki tangga menuju kamar mereka."Sayang mau mandi dulu?" Tanya Jaka. Wati mengangguk pelan. "Biar Abang yang mandikan ya.""Ng
Humaira yang sedang memeluk Jaka tak henti-hentinya menangis. Dia sesenggukan. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya. Ada rasa sakit yang teramat menjalari seluruh tubuhnya. Dia menahannya dengan semakin mempererat pelukannya di leher Jaka."Ayah, Jawab!" Ucapnya pelan."Maafkan Ayah Humaira." Jaka mulai bicara. Wati terisak seakan tau apa yang akan dikatakan suaminya. "Ayah bukan Ayahmu." Ucap Jaka kemudian. Jaka meneteskan air mata. Perlahan tangannya memeluk erat Humaira."Terima kasih jawabannya Ayah." Ucap Humaira dengan suara samar-samar. Semua langsung beranjak. Tubuh Humaira lemas dalam pelukan Jaka. Humaira kehilangan kesadarannya."Humaira... Humaira... " Panggil semuanya. Jaka menepuk-nepuk pipi Humaira. Tidak ada respon. Jaka langsung bergegas mengangkat tubuh mungil Humaira, membawanya ke dalam mobil. Bu Gita dan bu Ratna ikut masuk ke dalam mobil."Ibu, titip anak-a
Humaira yang terbaring tak sadarkan diri di IGD tiba-tiba mencoba menarik nafas dalam-dalam sampai bagian dadanya terangkat. Darah masih terus mengalir dari hidung Humaira. Tim dokter dan perawat segera mengambil tindakan. Sementara Jaka tak sanggup melihat keadaan Humaira. Pandangannya kosong. Jaka mulai melangkah meninggalkan Humaira dengan langkah lunglai. "Ayah tidak kuat Humaira, Ayah tidak kuat." Gumamnya sepanjang jalan menuju pintu keluar IGD. Humaira sedang kritis. Dokter dan perawat berusaha melakukan yang terbaik untuk Humaira. Sampai akhirnya Humaira bisa bernafas normal lagi."Tolong dipantau terus! Siapkan ruang ICU untuk pasien." Perintah dokter pada perawat. Wati yang menerobos masuk menghampiri Humaira. "Bagaimana keadannya Dok?" Tanya Wati sangat cemas. "Kondisinya masih kritis Bu. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU." Jawab dokter. Wati mendekati Humaira. Air matanya tumpah. "Sayang, Bunda dan ayah akan selalu berdo'a untuk Humaira. Humaira harus kuat ya Sa
Wati bertamu ke rumah Rini. Sudah lama sekali dia tidak datang ke rumah sahabatnya ini karena terlalu sibuk dengan keluarganya. Dia hanya menyempatkan menyambung silaturahmi lewat chat dan telpon. "Bagaimana keadaan Humaira?" Tanya Rini. "Kritis Rin." Jawab Wati dengan mata yang basah. "Semua akan baik-baik saja kan?""Ntahlah Rin. Hatiku sangat hancur melihat keadaan Humaira. Gadis sekecil itu harus di rawat dengan banyak kabel, selang dan ntah apa lagi yang menempel di tubuhnya." Air mata Wati mulai mengalir. Rini menyerahkan kotak tisu ke tangan Wati. Diambilnya tisu itu, diusapkannya ke pipinya. "Aku bukan ibu kandungnya Rin. Tapi, Aku tidak sanggup melihat keadaan Humaira. Bagaimana dengan Lintang yang mengandung dan melahirkannya? Pasti hatinya jauh lebih hancur Rin.""Apa Lintang sudah ke sana?" "Kemarin. Dia sempat marah pada bang Jaka. Setelah dia melihat Humaira, wajahnya terlihat sangat muram. Bahkan dia pergi tanpa menatap kami.""Apa Kamu akan berpikir melepasnya Wati