Rini menulis nama dan nomer telponnya di counter reception. Kemudian menyerahkannya pada receptionist yang ada di hadapannya."Mba, tolong nanti kabari Saya di kantor polisi mana pemeriksaannya! Saya harus membawa teman Saya ke Rumah Sakit dulu.""Baik Bu.""Saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tau bagaimana nasib teman Saya kalau terlambat menolongnya.""Terima kasih kembali Bu." Jawab receptionist dengan senyum ramah.Rini kemudian keluar dari hotel mengemudikan mobilnya. Menuju Rumah Sakit yang dituju Beni dan Jaka.*****Bu Lastri dan Bu Gita sedang membereskan meja makan setelah usai makan malam. Wati menitipkan anak-anaknya pada ibunya."Kenapa Wati belum juga kembali ya Bu?" Tanya bu Lastri kepada bu Gita. 
Wati bersama Jaka sampai di rumah. Bu Lastri langsung menyambut Wati dengan pelukan."Apa yang terjadi?" Tanya bu Lastri khawatir."Wati baik-baik saja Bu. Anak-anak mana?""Sudah tidur. Tolong katakan pada Ibu ada apa? Bu Gita bilang terjadi sesuatu sama Kamu Wati.""Tidak apa Bu. Semua baik-baik saja. Seperti yang Ibu lihat." Jaka mencoba menenangkan mertuanya."Tadi bu Gita memaksa ingin keluar dari rumah ini Wati. Ibu menahannya.""Besok Kita bicarakan ya Bu." Jawab Wati yang terlihat lelah."Kamu istirahat ya Wati." Ucap bu Lastri. Kemudian Jaka dan Wati berlalu menaiki tangga menuju kamar mereka."Sayang mau mandi dulu?" Tanya Jaka. Wati mengangguk pelan. "Biar Abang yang mandikan ya.""Ng
Humaira yang sedang memeluk Jaka tak henti-hentinya menangis. Dia sesenggukan. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya. Ada rasa sakit yang teramat menjalari seluruh tubuhnya. Dia menahannya dengan semakin mempererat pelukannya di leher Jaka."Ayah, Jawab!" Ucapnya pelan."Maafkan Ayah Humaira." Jaka mulai bicara. Wati terisak seakan tau apa yang akan dikatakan suaminya. "Ayah bukan Ayahmu." Ucap Jaka kemudian. Jaka meneteskan air mata. Perlahan tangannya memeluk erat Humaira."Terima kasih jawabannya Ayah." Ucap Humaira dengan suara samar-samar. Semua langsung beranjak. Tubuh Humaira lemas dalam pelukan Jaka. Humaira kehilangan kesadarannya."Humaira... Humaira... " Panggil semuanya. Jaka menepuk-nepuk pipi Humaira. Tidak ada respon. Jaka langsung bergegas mengangkat tubuh mungil Humaira, membawanya ke dalam mobil. Bu Gita dan bu Ratna ikut masuk ke dalam mobil."Ibu, titip anak-a
Humaira yang terbaring tak sadarkan diri di IGD tiba-tiba mencoba menarik nafas dalam-dalam sampai bagian dadanya terangkat. Darah masih terus mengalir dari hidung Humaira. Tim dokter dan perawat segera mengambil tindakan. Sementara Jaka tak sanggup melihat keadaan Humaira. Pandangannya kosong. Jaka mulai melangkah meninggalkan Humaira dengan langkah lunglai. "Ayah tidak kuat Humaira, Ayah tidak kuat." Gumamnya sepanjang jalan menuju pintu keluar IGD. Humaira sedang kritis. Dokter dan perawat berusaha melakukan yang terbaik untuk Humaira. Sampai akhirnya Humaira bisa bernafas normal lagi."Tolong dipantau terus! Siapkan ruang ICU untuk pasien." Perintah dokter pada perawat. Wati yang menerobos masuk menghampiri Humaira. "Bagaimana keadannya Dok?" Tanya Wati sangat cemas. "Kondisinya masih kritis Bu. Kami akan memindahkannya ke ruang ICU." Jawab dokter. Wati mendekati Humaira. Air matanya tumpah. "Sayang, Bunda dan ayah akan selalu berdo'a untuk Humaira. Humaira harus kuat ya Sa
Wati bertamu ke rumah Rini. Sudah lama sekali dia tidak datang ke rumah sahabatnya ini karena terlalu sibuk dengan keluarganya. Dia hanya menyempatkan menyambung silaturahmi lewat chat dan telpon. "Bagaimana keadaan Humaira?" Tanya Rini. "Kritis Rin." Jawab Wati dengan mata yang basah. "Semua akan baik-baik saja kan?""Ntahlah Rin. Hatiku sangat hancur melihat keadaan Humaira. Gadis sekecil itu harus di rawat dengan banyak kabel, selang dan ntah apa lagi yang menempel di tubuhnya." Air mata Wati mulai mengalir. Rini menyerahkan kotak tisu ke tangan Wati. Diambilnya tisu itu, diusapkannya ke pipinya. "Aku bukan ibu kandungnya Rin. Tapi, Aku tidak sanggup melihat keadaan Humaira. Bagaimana dengan Lintang yang mengandung dan melahirkannya? Pasti hatinya jauh lebih hancur Rin.""Apa Lintang sudah ke sana?" "Kemarin. Dia sempat marah pada bang Jaka. Setelah dia melihat Humaira, wajahnya terlihat sangat muram. Bahkan dia pergi tanpa menatap kami.""Apa Kamu akan berpikir melepasnya Wati
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu