Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar.
"Ada apa?" Tanya Jaka bingung.
"Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya.
"Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga.
"Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur."
"Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas.
"Dito Bang."
"Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana.
"Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati.
"Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git
Bu Gita menemui Wati yang sedang memasak untuk makan siang. Humaira sedang tertidur di kamarnya. Lintang sudah pergi bekerja sejak tadi. Sementara Jaka ke tempat service electronicknya."Wati, marahlah! Caci makilah Lintang! Jangan diam saja!" Pinta bu Gita."Wati tidak bisa seperti itu Bu.""Lihat kejadian tadi malam? Ibu tau betul anak Ibu. Ibu tidak mau dia merusak rumah tanggamu." Kesal bu Gita. "Percuma kalau Ibu saja yang mencaci makinya. Dia sudah kebal dengan semua cacian dari Ibu. Usir kami dari sini Wati. Ibu mohon!" Bu Gita menggenggam tangan Wati."Wati serba salah Bu. Humaira sangat ingin dekat dengan bang Jaka.""Humaira bukan anak Jaka, Kalian tidak punya tanggung jawab sama sekali atas Humaira. Sudah terlalu banyak kebaikanmu kepada kami.""Apa di usianya seperti ini Humaira bisa mengerti kalau
Jaka memutuskan untuk menginap di tempat ibunya. Dia tidak ingin menghadapi keadaan tidak nyaman di rumahnya."Jaka, keputusanmu menginap di sini sangat benar." Ucap bu Ratna."Wati terlalu baik Bu. Bahkan mungkin terlalu bodoh." Kesal Jaka."Hei, jangan sebut bidadarimu seperti itu!""Jaka tidak sanggup melihatnya menangis karena sikap Lintang Bu.""Wati tidak akan tega melihat Humaira bersedih Jaka. Dia seorang ibu.""Lintang memanfaatkan semuanya Bu. Jaka muak melihat Lintang di jarak yang sangat dekat." Jaka mengacak-ngacak rambutnya saking kesalnya."Sabarlah Jaka! Wati pasti bingung harus bagaimana pada Humaira. Yang Humaira tau Wati hanyalah istri keduamu.""Kenapa masalah tak henti-henti menghampiri keluarga Kami?""
Lintang gelisah di dalam kamarnya setelah membaca pesan WA dari Dito. Dia menggigit ujung telunjuknya. Bu Gita memperhatikan Lintang.'Besok kamu harus membawanya menemuiku, dan kamu harus membuatnya tertidur, agar kita bisa melancarkan aksi kita.' Pesan dari Dito."Ada apa Lintang?" Lintang terkejut. "Ada apa?" Bu Gita mengulang ucapannya."Tidak apa Bu.""Besok tolong Kamu urus Dito!!! Tadi siang dia sudah berani datang kemari. Bukan hanya itu, dia juga bersikap kurang ajar pada Wati." Kesal bu Gita."Iya Bu. Iya..." Jawab Lintang tak kalah kesal."Ibu mau bantu Wati menyiapkan makan malam. Kamu harusnya juga ikut bantu-bantu di rumah ini Lintang.""Aku lelah Bu. Aku kan baru pulang kerja." Bu Gita berlalu meninggalkan Lintang."Aku harus car
Jaka gelisah di dalam mobil. Diliriknya jam tangannya. Waktu terasa begitu lambat baginya."Sialan lampu merah!!!" Umpat Jaka. Dia mengacak-ngacak rambutnya. Jaka benar-benar panik. "Tenang Jaka, tenang!!!" Gumamnya. "Astagfirullah... Astagfirullah... Ya Allah lindungi bidadariku." Air mata Jaka meleleh. Dia sangat frustasi. "Tenang Jaka!!!" Gumamnya terus menerus sepanjang jalan. "Harusnya Aku menyuruh orang mengemudikan mobil ini." Sesal Jaka yang sangat tau dirinya kalau sedang panik tidak bisa konsentrasi. Jaka menepikan mobilnya. Tubuhnya gemetar. "Ayolah Jaka, kamu bisa!!!" Teriaknya. Dilihatnya ke depan. Hotel yang dimaksud Rini sudah terlihat dari tempatnya berhenti. "Sedikit lagi Jaka. Cepatlah!!!" Jaka benar-benar frustasi. Dia hanya bisa menangis, tubuhnya semakin gemetar. "Apa yang harus Aku lakukan? Apa yang dilakukan laki-laki itu pada bidadariku? Sungguh Aku tidak berguna. Di saat seperti ini Aku tidak bisa melakukan apa-apa." Jaka mengu
Rini menulis nama dan nomer telponnya di counter reception. Kemudian menyerahkannya pada receptionist yang ada di hadapannya."Mba, tolong nanti kabari Saya di kantor polisi mana pemeriksaannya! Saya harus membawa teman Saya ke Rumah Sakit dulu.""Baik Bu.""Saya ucapkan terima kasih banyak atas bantuannya. Saya tidak tau bagaimana nasib teman Saya kalau terlambat menolongnya.""Terima kasih kembali Bu." Jawab receptionist dengan senyum ramah.Rini kemudian keluar dari hotel mengemudikan mobilnya. Menuju Rumah Sakit yang dituju Beni dan Jaka.*****Bu Lastri dan Bu Gita sedang membereskan meja makan setelah usai makan malam. Wati menitipkan anak-anaknya pada ibunya."Kenapa Wati belum juga kembali ya Bu?" Tanya bu Lastri kepada bu Gita. 
Wati bersama Jaka sampai di rumah. Bu Lastri langsung menyambut Wati dengan pelukan."Apa yang terjadi?" Tanya bu Lastri khawatir."Wati baik-baik saja Bu. Anak-anak mana?""Sudah tidur. Tolong katakan pada Ibu ada apa? Bu Gita bilang terjadi sesuatu sama Kamu Wati.""Tidak apa Bu. Semua baik-baik saja. Seperti yang Ibu lihat." Jaka mencoba menenangkan mertuanya."Tadi bu Gita memaksa ingin keluar dari rumah ini Wati. Ibu menahannya.""Besok Kita bicarakan ya Bu." Jawab Wati yang terlihat lelah."Kamu istirahat ya Wati." Ucap bu Lastri. Kemudian Jaka dan Wati berlalu menaiki tangga menuju kamar mereka."Sayang mau mandi dulu?" Tanya Jaka. Wati mengangguk pelan. "Biar Abang yang mandikan ya.""Ng
Humaira yang sedang memeluk Jaka tak henti-hentinya menangis. Dia sesenggukan. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya. Ada rasa sakit yang teramat menjalari seluruh tubuhnya. Dia menahannya dengan semakin mempererat pelukannya di leher Jaka."Ayah, Jawab!" Ucapnya pelan."Maafkan Ayah Humaira." Jaka mulai bicara. Wati terisak seakan tau apa yang akan dikatakan suaminya. "Ayah bukan Ayahmu." Ucap Jaka kemudian. Jaka meneteskan air mata. Perlahan tangannya memeluk erat Humaira."Terima kasih jawabannya Ayah." Ucap Humaira dengan suara samar-samar. Semua langsung beranjak. Tubuh Humaira lemas dalam pelukan Jaka. Humaira kehilangan kesadarannya."Humaira... Humaira... " Panggil semuanya. Jaka menepuk-nepuk pipi Humaira. Tidak ada respon. Jaka langsung bergegas mengangkat tubuh mungil Humaira, membawanya ke dalam mobil. Bu Gita dan bu Ratna ikut masuk ke dalam mobil."Ibu, titip anak-a
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka
"Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k
Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G