Wati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya.
"Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka.
"Bagaimana Wati?" Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas.
"Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia.
"Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga."
"Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya."
"Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu Lastri terlihat cemas.
"Ada apa Bu?" Wati dan Jaka bingung.
"Tadi Lintang datang." Mendengar nama Lintang Jaka langsung beranjak dari tempat duduknya. Wati menarik tangan Jaka.
"Humaira masuk Rumah Sakit."
"Humaira sakit apa Bu?" Tanya Wati terkejut.
"Badannya panas tinggi. Dia selalu mencari Kamu Jaka." Ucap bu Lastri sambil menatap Jaka. Jaka hanya diam.
"Bang. Mau sampai kapan hati Abang seperti batu?" Tanya Wati.
"Wati, jangan sebut nama mereka di hadapanku!" Tegas Jaka.
"Abang, pikirkan perasaan Humaira Bang! Apa salah dia? Dia sangat sayang pada Abang. Yang dia tau Abanglah ayahnya."
"Jaka, ma'af kalau Ibu harus ikut bicara. Bukalah hatimu Jaka! Humaira berhak mendapat kasih sayang. Jika Kamu tidak bisa menyayanginya lagi, setidaknya berpura-puralah tetap menjadi ayahnya untuk menyenangkannya sampai dia bisa mengerti keadaan yang terjadi!"
"Jaka tidak sanggup Bu."
"Abang pasti bisa Bang! Ayo lah Bang! Humaira perlu kasih sayang Abang! Dia sudah terbiasa dengan kasih sayang Abang sejak dia ada dalam kandungan. Apakah perasaan cinta Abang ke Humaira tidak tersisa sama sekali? Dimana hati nurani Abang?"
"Abang ingin sendiri dulu Wati. Ibu, Jaka permisi. Assalammu'alaikum... " Jaka pamit. Diciumnya punggung tangan bu Lastri. Dikecupnya kening Wati.
"Bapak mau kemana?" Tanya Habibi.
"Habibi sama ibu ya. Bapak pergi dulu." Dikecupnya pipi anaknya kiri dan kanan kemudian Jaka berlalu bersama motornya.
*****
Wati, bu Lastri, dan bu Ratna membesuk Humaira di rumah sakit. Humaira terbaring lemas di tempat tidur dengan selang infus. Wati mengelus rambut Humaira.
"Ayah mana Bunda?" Tanya Humaira.
"Ayah... " Wati bingung harus jawab apa.
"Ayah sedang banyak kerjaan sayang. Nanti Ayah nyusul." Ucap bu Ratna.
"Dulu kalau Humaira sakit, ayah selalu jaga Humaira, Ayah tidak mau tinggalkan Humaira. Sekarang Ayah jahat. Ayah tidak sayang lagi pada Humaira." Humaira menangis.
"Ayah sayang Humaira. Ayah sangat sayang Humaira." Ucap Wati menahan tangis. "Sebentar ya Bunda keluar dulu." Ucap Wati. Wati keluar ruangan, air matanya jatuh.
"Apa mas Jaka sama sekali tidak mau melihat Humaira?" Tanya Lintang yang menyusul Wati ke luar. Wati mengangguk. "Apa yang harus Aku lakukan Wati?"
"Aku sudah berusaha membujuknya, tapi hatinya masih keras. Sebentar Aku coba kirim WA ke bang Jaka." Wati mengirim foto Humaira yang terbaring lemas ke Jaka. Jaka membuka pesan dari Wati tapi tidak meresponnya.
"Bagaimana?" Tanya Lintang. Wati menggeleng.
"Humaira sakit apa?"
"Aku belum dapat hasil tesnya. Aku harap cuma demam biasa. Bisakah bantu Aku membujuk mas Jaka? Aku mohon Wati, Aku mohon!" Lintang menggenggam erat tangan Wati.
"Tanpa Kamu minta pun Aku pasti melakukannya. Humaira sudah Aku anggap seperti anakku sendiri."
"Terima kasih banyak Wati." Lintang memeluk Wati.
"Aku tidak menyangka bang Jaka akan setega ini terhadap Humaira."
"Semua salahku Wati. Semua salahku." Lintang menangis terisak.
*****
Wati dan anak-anaknya pulang ke rumah. Dilihatnya Jaka sedang duduk di ruang tengah menatap ke layar ponselnya. Wati menyuruh Adit membawa Habibi ke kamar.
"Bang... " Wati duduk di samping Jaka. Jaka mengusap air matanya. "Abang menangis?" Jaka langsung memeluk Wati. Dilihat Wati ponsel Jaka. Ternyata Jaka sedang menatap foto Humaira yang dikirimkannya. "Abang masih sayang Humaira kan Bang?" Tanya Wati. Jaka hanya diam. "Jujurlah pada hati Abang!"
"Iya Wati, iya... Abang masih sangat menyayangi gadis kecil itu." Jawab Jaka sambil terisak.
"Lalu kenapa Abang tidak mau melihat Humaira?"
"Abang tidak sanggup Wati. Abang belum bisa menerima kenyataan kalau Humaira bukan darah daging Abang."
"Abang... Tidak harus memiliki hubungan darah untuk memberikan kasih sayang Abang. Bukankah Abang bisa menyayangi Adit anak Wati seperti anak Abang. Lakukanlah juga pada Humaira Bang!"
"Dulu, tiap kali mendengar Humaira sakit, Abang langsung panik. Abang selalu di sampingnya. Humaira memang sangat dekat pada Abang."
"Tetaplah seperti itu Bang! Humaira belum siap kehilangan kasih sayang Abang."
"Hati Abang sangat berat Wati. Sangat berat."
"Bang, pikirkanlah perasaan Humaira. Kita orang dewasa pasti bisa mengabaikan perasaan kita. Tapi Humaira masih anak-anak Bang. Semua akan berdampak untuk masa depannya kelak. Pikirkanlah itu Bang! Jangan rusak masa kecil Humaira karena keegoisan Abang. Wati mohon Bang!" Jaka hanya terdiam. Wati kemudian beranjak meninggalkan Jaka sendiri.
"Aku masih bingung Wati." Gumam Jaka. "Sungguh Aku sangat mencintai gadis kecilku itu. Tapi Aku masi tidak bisa terima perbuatan Lintang yang membohongiku bertahun-tahun. Menyembunyikan jati diri Humaira. Aku menumpahkan kasih sayangku sepenuhnya untuk gadis kecil itu, gadis kecil yang Aku pikir darah dagingku, ternyata darah daging laki-laki bajingan." Kesal Jaka.
****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasih sdh mau mampir untuk membacaHappy readingWati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira."Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih."Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya."Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?""Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang.""Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar."Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik."Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humair
Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y
Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar."Ada apa?" Tanya Jaka bingung."Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya."Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga."Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur.""Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas."Dito Bang.""Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana."Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati."Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git
Bu Gita menemui Wati yang sedang memasak untuk makan siang. Humaira sedang tertidur di kamarnya. Lintang sudah pergi bekerja sejak tadi. Sementara Jaka ke tempat service electronicknya."Wati, marahlah! Caci makilah Lintang! Jangan diam saja!" Pinta bu Gita."Wati tidak bisa seperti itu Bu.""Lihat kejadian tadi malam? Ibu tau betul anak Ibu. Ibu tidak mau dia merusak rumah tanggamu." Kesal bu Gita. "Percuma kalau Ibu saja yang mencaci makinya. Dia sudah kebal dengan semua cacian dari Ibu. Usir kami dari sini Wati. Ibu mohon!" Bu Gita menggenggam tangan Wati."Wati serba salah Bu. Humaira sangat ingin dekat dengan bang Jaka.""Humaira bukan anak Jaka, Kalian tidak punya tanggung jawab sama sekali atas Humaira. Sudah terlalu banyak kebaikanmu kepada kami.""Apa di usianya seperti ini Humaira bisa mengerti kalau
Jaka memutuskan untuk menginap di tempat ibunya. Dia tidak ingin menghadapi keadaan tidak nyaman di rumahnya."Jaka, keputusanmu menginap di sini sangat benar." Ucap bu Ratna."Wati terlalu baik Bu. Bahkan mungkin terlalu bodoh." Kesal Jaka."Hei, jangan sebut bidadarimu seperti itu!""Jaka tidak sanggup melihatnya menangis karena sikap Lintang Bu.""Wati tidak akan tega melihat Humaira bersedih Jaka. Dia seorang ibu.""Lintang memanfaatkan semuanya Bu. Jaka muak melihat Lintang di jarak yang sangat dekat." Jaka mengacak-ngacak rambutnya saking kesalnya."Sabarlah Jaka! Wati pasti bingung harus bagaimana pada Humaira. Yang Humaira tau Wati hanyalah istri keduamu.""Kenapa masalah tak henti-henti menghampiri keluarga Kami?""
"Humaira, nenek mohon bertahanlah!" Bu Gita sesenggukan sambil membersihkan darah segar yang tak henti-henti mengalir dari hidung Humaira. Beliau meraih phonsel di atas meja. "Ada apa Bu?" Tanya Jaka di seberang. "Cepat ke kamar Humaira! Cepatlah!!!""Kenapa Bu?" Jaka terdengar panik. Bergegas dia bangunkan Wati. "Humaira... Humaira..." Ucap Jaka gemetar. "Kenapa Bang? Ada apa?" Tanya Wati terkejut. Jaka mondar mandir tidak jelas di depan tempat tidur. "Bang, ayolah Bang!""Otakku ngga bisa berpikir."Phonsel Wati kini yang berbunyi. Telpon dari bu Gita. Buru-buru diraihnya phonselnya yang ada di atas meja. "Apa? Baik Bu." Telpon ditutup, Wati langsung berlari sambil menarik tangan Jaka menuju lantai bawah, ke kamar Humaira. Wati dan Jaka sampai di depan pintu kamar Humaira, perlahan mereka membuka pintu. Jaka dan Wati terpaku melihat keadaan Humaira. Darah segar mengalir dari hidung Humaira. Wajahnya begitu pucat. Nafasnya mulai berat. Hidungnya kembang kempis. Bu Gita tak henti
Enam bulan berlalu, Humaira sudah tidak memiliki rambut lagi. Setiap dia menatap kaca, dia menangis. Dia rindu rambutnya yang panjang, yang selalu disisir lembut oleh bunda Wati. Ada semangat yang mulai mengendur dalam diri Humaira. Ada rasa lelah karena harus terus kemo. "Sayang, jangan menangis!" Ucap Wati yang ada di sampingnya. Wati mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Ya, matanya basah melihat pantulan bayangan Humaira di cermin. "Humaira lelah bunda." Ucap Humaira dengan suara lemah. "Tidak sayang. Humaira harus semangat! Banyak yang sayang Humaira." Wati langsung memeluk Humaira. Wati tidak bisa lagi membendung air matanya. "Sampai kapan Bunda? Sampai kapan Humaira harus seperti ini?" Humaira sesenggukan. "Rasanya sakit sekali Bunda. Humaira lelah Bunda. Lelah.""Maafkan Bunda dan ayah yang belum bisa memberikan pengobatan maksimal untuk Humaira. Untuk operasi tulang sum sum mencari donor yang cocok susah karena Humaira tidak punya saudara kandung.""Bunda. Humair
Humaira berjalan perlahan di tepi pantai bersama Dito. Dito berjalan di samping Humaira sambil menggenggam erat tangan Humaira. Semilir angin pantai yang bertiup melambai-lambaikan rambut Humaira yang panjang. Kaki Humaira yang tanpa alas membuat pasir pantai yang dijajakinya mencetak telapak kakinya. Humaira tersenyum riang menatap ke arah lautan. "Ayah, terima kasih." Ucapnya. "Aku yang harus berterima kasih Humaira." "Tidak Ayah. Humaira sangat senang bisa bersama Ayah, melihat pantai yang indah ini." Humaira tersenyum menatap ayahnya dari samping. Dito menghentikan langkahnya. Dia pindah ke hadapan Humaira. Humaira meraih tangan Dito yang satunya. "Ayah, apa Ayah mencintaiku?" Dito tersenyum mendengar pertanyaan Humaira. "Cinta? Apa Aku mengerti apa itu cinta?" Batin Dito. "Ayah..." Humaira menggoyang-goyang kedua tangan Dito, tanda menunggu jawaban. Dito mengangguk. "Ayah, bungkukkan badan Ayah!" Pinta Humaira. Dito pun menuruti. Humaira langsung mengecup pipi kanan Dito. Di
Wati menemui Dito bersama Jaka. Jaka sempat menolak ajakan Wati karena takut tidak bisa mengontrol emosinya. Dito hanya menunduk di hadapan Jaka dan Wati. "Aku minta maaf atas sikapku selama ini." Ucap Dito. Jaka terkejut mendengar ucapan Dito. "Apa Aku tidak salah dengar Sayang?" Tanya Jaka pada Wati. "Tidak Bang." Ucap Wati. "Anak itu, anak itu dalam hitungan menit membuatku merasa hancur. Aku bersungguh-sungguh meminta maaf pada kalian. Terima kasih sudah mau datang menjengukku. Terima kasih sudah menjaga anak itu. Anak yang tidak pernah Aku anggap.""Alhamdulillah kalau Kamu sadar Dito. Kami kesini atas permintaan Humaira." Ucap Jaka. "Maksudnya?""Lusa Humaira jadwal kemo. Dia ingin Kamu menemaninya Dito.""Tapi..." Dito terkejut dengan ucapan Jaka. Dia menatap ke arah Jaka. "Aku..." Dito bingung harus berkata apa. "Kami sudah memintakan izin untukmu agar bisa datang ke rumah sakit. Dia darah dagingmu Dito. Dia ingin Kamu menemaninya. Menamaninya sebagai ayahnya." Ucap Jaka
"Apa kata Dito?" Tanya Rini di dalam mobil. "Dia bernegosiasi denganku. Minta Aku rutin menjenguknya dan membawakan uang untuknya." Jawab Wati. "Dasar laki-laki brengsek." Kesal Beni. "Lalu, apa Kamu mau menurutinya Wati?" Tanya Rini lagi."Tidak Rin. Tidak akan. Bang Jaka bakalan marah besar kalau Aku masih mau bernegosiasi dengan Dito.""Syukurlah otakmu sudah waras." Ucap Rini lega. "Sialan Kamu Rin." Wati mendorong badan Rini yang duduk di depannya. "Hahahaha... Ya kali Kamu mau lagi di kerjain sama bajingan tengik itu.""Jangan cerita ke Bang Jaka ya soal sikap Dito tadi!" Pinta Wati. "Aku saja rasanya mendidih, apa lagi Jaka." Ucap Beni kesal. "Laki-laki itu benar-benar bajingan." Kesal Rini. "Kasian Humaira. Apa dia siap menerima ayah kandungnya adalah Dito?""Ya, mau bagaimana lagi Wati."Mobil mereka memasuki halaman rumah Wati. Jaka ternyata sudah menunggu mereka di teras. "Liat tuh lakimu Wati. Sampai nongkrong di teras. Kayanya nungguin Kamu." Ledek Rini. Mereka k
Aditya dan Habibi bermain bola di halaman rumah. Humaira yang duduk di kursi roda hanya bisa menonton. Humaira sangat ingin ikut permainan mereka. Ikut berlari-larian tanpa kenal lelah. Humaira mencoba menggerakkan kakinya, tapi tidak ada hasil. Tiba-tiba Humaira menangis. Aditya langsung berlari mendekati Humaira. "Mba Humaira kenapa?" Tanya Aditya. Humaira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa ada yang sakit Mba?" Humaira kembali menggelengkan kepalanya. "Adit panggil mamah ya mba." Humaira langsung mencekal tangan Aditya yang ingin beranjak meninggalkannya. "Mba jangan menangis." Aditya mengusap air mata Humaira. Humaira berusaha tersenyum. Habibi yang sedari tadi hanya memperhatikannya tiba-tiba memeluknya. "Habibi sayang Mba." Ucap Habibi. "Aditya juga." Aditya turut memeluk Humaira. Air mata Humaira kembali mengalir. "Mba harus sembuh!!!""Terima kasih." Ucap Humaira sambil mengusap air matanya. "Mba jangan nangis!" Pinta Aditya. "Kita sayang Mba.""Mba juga sayang Adit dan H
Pagi yang cerah, suara kicau burung bersahut-sahutan, kupu-kupu terbang dan menari-nari di antara bunga-bunga yang ada di taman Rumah Sakit. Humaira duduk di kursi rodanya sambil menatap kupu-kupu yang modar-mandir di hadapannya. Ingin sekali dia berlari mengejar kupu-kupu itu. Tapi kakinya tidak cukup kuat untuk beranjak dari kursi roda. "Nek, kapan Humaira bisa bermain seperti dulu?" Tanya Humaira pada bu Gita yang duduk di kursi di samping kursi rodanya. "Sayang, kata dokter Humaira tidak boleh main yang bikin Humaira capek.""Nek, apa Humaira bisa bertemu ayah Humaira?" Bu Gita terkejut mendengar pertanyaan Humaira. Bu Gita hanya diam. "Nek, Humaira ingin bertemu ayah Humaira." Bu Gita menunduk. Air mata beliau menetes. "Laki-laki itu tidak pantas kamu panggil ayah Humaira." Batin bu Gita. "Nek, kenapa ayah Humaira tidak pernah ke sini?""Humaira, ayahmu ada di penjara." Jawab bu Gita sedikit kesal. Beliau menyeka air matanya. "Jangan tanya tentang ayahmu ya Humaira!" Pinta bu
Wati menemui Lintang di Lapas Banjarmasin untuk memberitahukan Lintang kalau Humaira sudah sadarkan diri. "Alhamdulillah... " Ucap Lintang. "Aku sudah memintakan izin untukmu agar Kamu bisa menemui Humaira. Humaira mencari bundanya, mencarimu Lintang." "Apa Aku masih pantas dipanggil bunda?" Tanya Lintang sedih. Wati menggenggam tangan Lintang. Air mata Lintang menetes di tangan Wati. "Aku ibu yang jahat." Lintang terisak. "Aku minta maaf Lintang. Aku minta maaf tidak bisa membebaskanmu dari sini." Mata Wati mulai basah. Lintang menatap lekat-lekat wajah Wati. Kemudian Lintang berlutut di hadapan Wati. "Kenapa Lintang?" Wati bingung. "Aku lah yang seharusnya minta maaf padamu. Aku sudah terlalu banyak menyakitimu. Aku juga selalu membalas kebaikanmu dengan kejahatan. Aku minta maaf Wati. Aku pantas ada di sini Wati." Tangis Lintang pecah."Sudahlah Lintang. Aku selalu memaafkanmu. Aku minta sama Kamu, berubahlah. Bertobatlah. Berdirilah Lintang!" Wati membantu Lintang berdiri. Li
"Bunda... Bunda..." Humaira mengigau. Berulang kali dia menyebut kata Bunda. Bu Gita yang menungguinya hanya bisa meneteskan air mata. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong anak dan cucunya. Perlahan jari Humaira bergerak. Bu Gita langsung beranjak mencari perawat. Perawat langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Humaira. "Semoga ini pertanda baik Bu." Ucap dokter usai memeriksa Humaira. "Apa ada harapan untuk cucu Saya sembuh Dok?""Kalau untuk sembuh, sangat tipis harapannya Bu. Tapi untuk bertahan hidup lebih lama Saya rasa Humaira bisa. Cucu Ibu gadis yang kuat. Sejauh ini dia bisa bertahan saja itu luar biasa Bu.""Terima kasih banyak Dok.""Sama-sama Bu." Kemudian dokter berlalu meninggalkan bu Gita. "Humaira Sayang, cepatlah sadar. Nenek kesepian Sayang. Nenek kangen Humaira yang ceria, Humaira yang bawel." Air mata bu Gita tumpah. "Kamu harus jadi anak yang kuat ya Sayang. Kamu harus bisa menerima keadaan di sekitarmu. Nenek sayang sama Kamu Humaira." Bu G