Share

Part 5 Harap-harap Cemas

Jaka duduk di sofa di depan TV 

rumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya. 

"Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka. 

"Jaka bingung Bu harus mulai dari mana."

"Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?" 

"Laki-laki bajingan itu Bu."

"Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka."

"Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya. 

"Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut. 

"Aids Bu. Aids."

"A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?" 

"Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati."

"Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kopi dan dua gelas teh. Diletakkannya di atas meja di hadapan bu Ratna dan Jaka. 

"Ada apa Bu?"

"Kata masmu, dia tertular Aids karena mantan suami Wati." 

"Apa mas? Jadi mantan suami mba Wati meninggal karena HIV?" Desi terkejut. 

"Iya Des. Kamu tau kan virus HIV itu dalam jangka panjang baru bereaksi. Sedangkan mas menikah dengan mbakmu baru dua tahun lebih setelah satu tahun dia bercerai dengan suaminya."

"Mas dan mba Wati kan belum melakukan tes HIV. Jadi jangan buru-buru menyimpulkan mas tertular."

"Tapi yang mas dengar, kondisi terakhir Rendra badannya tinggal tulang yang dibalut kulit. Bukankah itu artinya dia sudah tertular lama Des?"

"Apa sudah dipastikan badannya seperti itu karena HIV? Bisa sajakan mantan suami mba Wati juga punya penyakit lainnya mas. Atau bisa jadi dia depresi karena ditinggal mba Wati kemudian diperburuk dengan positif HIV."

"Jaka, berpikir positif lah! Sekarang di mana Wati?" Tanya bu Ratna. 

"Dia izin menginap di rumah ibunya."

"Pasti dia sakit hati sekali Kamu malah pergi meninggalkannya ke sini." Sesal bu Ratna. 

"Jaka bingung Bu harus berbuat apa."

"Jaka, dengan sikapmu begini, Kamu sama saja menyalahkan Wati atas semuanya. Padahal Wati sangat perlu dukunganmu."

"Bu, jika Wati tertular, maka Jaka dan anak-anak pun juga tertular. Bagaimana Jaka bisa tenang Bu kalau sampai anak-anak tertular?"

"Dengar baik-baik Jaka! Mau Kamu tertular atau tidak, kalian tetap satu keluarga. Kalian harus saling dukung Jaka! Bukan Kamu menghindar seperti ini! Wati itu istrimu, Kamu harus selalu di sampingnya menguatkan dia. Bukan Kamu lari dari masalah seperti ini Jaka!"

"Jaka tidak sanggup Bu harus menghadapi takdir seperti ini." Jaka menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. 

"Mas Jaka, lebih baik mas Jaka secepatnya ajak mba Wati melakukan tes HIV biar mas Jaka tenang!" Saran Desi. 

"Kalau hasilnya positif bagaimana Des?"

"Mas sekeluarga harus berobat seumur hidup untuk bertahan mas. Tapi berdo'a lah Mas, kalau semuanya akan baik-baik saja!"

"Benar kata adikmu Jaka. Sekarang jemputlah Wati! Ibu tidak mau Kamu jadi laki-laki pengecut seperti ini Jaka! Apa pun hasilnya, Ibu akan selalu ada untuk keluarga kalian."

*****

Jaka pergi ke rumah bu Lastri untuk menjemput Wati dan anak-anak. Wati sedang menangis meratapi nasibnya sambil memandang kedua anaknya yang sudah tertidur pulas. 

"Jaka? Masuk Nak! Istrimu di dalam kamar." Ucap bu Lastri mempersilahkan menantunya masuk. 

"Apa Wati baik-baik saja Bu?" Tanya Jaka hati-hati. Ibu menggeleng dan mata ibu langsung basah. "Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af Jaka belum bisa jadi suami yang baik untuk Wati." Jaka menangis di hadapan bu Lastri. Jaka mencium punggung tangan bu Lastri. 

"Jaka, Wati sangat mencintai Kamu. Dia sangat terluka tiap kali Kamu memperlakukannya dengan tidak baik." Ucap bu Lastri menangis tak sanggup menahan air mata. Jaka langsung bersimpuh di hadapan bu Lastri. "Dari awal dia memutuskan menerima lamaranmu, dia sudah tau hidupnya takkan mudah. Tapi dia mau melewati semuanya karena rasa cintanya kepadamu Jaka."

"Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af."

"Jika Wati memang sudah menularkan penyakit itu ke Kamu dan anak-anak Ibu meminta ma'af yang sebesar-besarnya Jaka. Tapi Ibu mohon, jagalah perasaaan Wati! Dia sangat merasa bersalah. Dia sangat terpukul."

"Bu, Jaka yang minta ma'af karena bersifat kekanak-kanakan tiap kali ada masalah. Jaka minta ma'af Bu."

"Berdirilah Jaka. Temui Wati di kamar! Ibu yakin dia masih menangis meratapi nasibnya."

Jaka pun menuruti kata-kata bu Lastri. Dia masuk ke kamar Wati tanpa mengetok terlebih dulu. Perlahan dibukanya pintu. Dilihatnya anak-anak sudah tertidur, dan Wati istrinya sedang menangis menatap anak-anaknya. Wati duduk bersender di tembok. Dia tak sadar kalau Jaka sudah masuk ke dalam kamar. Jaka langsung meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya. 

"Lepaskan Wati Bang!!!" Wati mencoba mendorong tubuh Jaka. Tapi Jaka semakin erat memeluknya.

"Ma'afkan sikap Abang Wati." Jaka tak kuasa menahan air matanya. "Abang minta ma'af."

"Semua salah Wati Bang. Wati teledor. Harusnya Wati tidak menjerumuskan Abang dan anak-anak." Wati terus berusaha melepaskan pelukan Jaka. 

"Kita hadapi semuanya sama-sama!" Ucap Jaka melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wati yang berlinang air mata. Diusapnya air mata di pipi istrinya. "Wati, apa pun hasilnya, Abang akan tetap di sisi Kamu. Kita akan lewati sama-sama! Abang sangat mencintai Kamu." Jaka mengecup kening Wati kemudian kembali meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya. Wati hanya bisa menangis terisak. "Abang mencintai Kamu. Sangat mencintai Kamu." Ucap Jaka sambil menangis. "Besok Abang akan antar Kamu tes. Kita berdo'a saja semoga semuanya baik-baik saja. Abang sudah siap apa pun hasilnya. Abang sudah siap Wati." Jaka terus menangis begitu pula Wati. 

*****

Jaka membawa Wati ke Rumah Sakit untuk melakukan tes HIV. Tangan Wati gemetar. Jaka terus menggenggam tangan istrinya yang begitu dingin karena gugup. 

"Kalau Kamu positif, Abang juga akan ikut tes. Anak-anak juga." Ucap Jaka. 

"Wati berharap ada keajaiban Bang. Sungguh Wati belum siap Bang. Wati tak akan sanggup melihat Abang dan anak-anak juga harus menerima akibat keteledoran Wati."

"Cukup sayang! Jangan terus-terusan menyalahkan diri sendiri!" Pinta Jaka. 

"Ibu Wati!" Perawat memanggil nama Wati. Wati pun masuk ke dalam ruangan. Sementara Jaka menunggu di luar dengan gelisah, harap-harap cemas. 

*****

Mohon votenya ya readers

Mohon kritik dan sarannya

Terima kasih sdh mau mampir untuk membaca

Happy reading

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status