Jaka duduk di sofa di depan TV
rumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya."Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka.
"Jaka bingung Bu harus mulai dari mana."
"Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?"
"Laki-laki bajingan itu Bu."
"Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka."
"Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya.
"Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut.
"Aids Bu. Aids."
"A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?"
"Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati."
"Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kopi dan dua gelas teh. Diletakkannya di atas meja di hadapan bu Ratna dan Jaka.
"Ada apa Bu?"
"Kata masmu, dia tertular Aids karena mantan suami Wati."
"Apa mas? Jadi mantan suami mba Wati meninggal karena HIV?" Desi terkejut.
"Iya Des. Kamu tau kan virus HIV itu dalam jangka panjang baru bereaksi. Sedangkan mas menikah dengan mbakmu baru dua tahun lebih setelah satu tahun dia bercerai dengan suaminya."
"Mas dan mba Wati kan belum melakukan tes HIV. Jadi jangan buru-buru menyimpulkan mas tertular."
"Tapi yang mas dengar, kondisi terakhir Rendra badannya tinggal tulang yang dibalut kulit. Bukankah itu artinya dia sudah tertular lama Des?"
"Apa sudah dipastikan badannya seperti itu karena HIV? Bisa sajakan mantan suami mba Wati juga punya penyakit lainnya mas. Atau bisa jadi dia depresi karena ditinggal mba Wati kemudian diperburuk dengan positif HIV."
"Jaka, berpikir positif lah! Sekarang di mana Wati?" Tanya bu Ratna.
"Dia izin menginap di rumah ibunya."
"Pasti dia sakit hati sekali Kamu malah pergi meninggalkannya ke sini." Sesal bu Ratna.
"Jaka bingung Bu harus berbuat apa."
"Jaka, dengan sikapmu begini, Kamu sama saja menyalahkan Wati atas semuanya. Padahal Wati sangat perlu dukunganmu."
"Bu, jika Wati tertular, maka Jaka dan anak-anak pun juga tertular. Bagaimana Jaka bisa tenang Bu kalau sampai anak-anak tertular?"
"Dengar baik-baik Jaka! Mau Kamu tertular atau tidak, kalian tetap satu keluarga. Kalian harus saling dukung Jaka! Bukan Kamu menghindar seperti ini! Wati itu istrimu, Kamu harus selalu di sampingnya menguatkan dia. Bukan Kamu lari dari masalah seperti ini Jaka!"
"Jaka tidak sanggup Bu harus menghadapi takdir seperti ini." Jaka menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Mas Jaka, lebih baik mas Jaka secepatnya ajak mba Wati melakukan tes HIV biar mas Jaka tenang!" Saran Desi.
"Kalau hasilnya positif bagaimana Des?"
"Mas sekeluarga harus berobat seumur hidup untuk bertahan mas. Tapi berdo'a lah Mas, kalau semuanya akan baik-baik saja!"
"Benar kata adikmu Jaka. Sekarang jemputlah Wati! Ibu tidak mau Kamu jadi laki-laki pengecut seperti ini Jaka! Apa pun hasilnya, Ibu akan selalu ada untuk keluarga kalian."
*****
Jaka pergi ke rumah bu Lastri untuk menjemput Wati dan anak-anak. Wati sedang menangis meratapi nasibnya sambil memandang kedua anaknya yang sudah tertidur pulas.
"Jaka? Masuk Nak! Istrimu di dalam kamar." Ucap bu Lastri mempersilahkan menantunya masuk.
"Apa Wati baik-baik saja Bu?" Tanya Jaka hati-hati. Ibu menggeleng dan mata ibu langsung basah. "Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af Jaka belum bisa jadi suami yang baik untuk Wati." Jaka menangis di hadapan bu Lastri. Jaka mencium punggung tangan bu Lastri.
"Jaka, Wati sangat mencintai Kamu. Dia sangat terluka tiap kali Kamu memperlakukannya dengan tidak baik." Ucap bu Lastri menangis tak sanggup menahan air mata. Jaka langsung bersimpuh di hadapan bu Lastri. "Dari awal dia memutuskan menerima lamaranmu, dia sudah tau hidupnya takkan mudah. Tapi dia mau melewati semuanya karena rasa cintanya kepadamu Jaka."
"Ma'afkan Jaka Bu. Ma'af."
"Jika Wati memang sudah menularkan penyakit itu ke Kamu dan anak-anak Ibu meminta ma'af yang sebesar-besarnya Jaka. Tapi Ibu mohon, jagalah perasaaan Wati! Dia sangat merasa bersalah. Dia sangat terpukul."
"Bu, Jaka yang minta ma'af karena bersifat kekanak-kanakan tiap kali ada masalah. Jaka minta ma'af Bu."
"Berdirilah Jaka. Temui Wati di kamar! Ibu yakin dia masih menangis meratapi nasibnya."
Jaka pun menuruti kata-kata bu Lastri. Dia masuk ke kamar Wati tanpa mengetok terlebih dulu. Perlahan dibukanya pintu. Dilihatnya anak-anak sudah tertidur, dan Wati istrinya sedang menangis menatap anak-anaknya. Wati duduk bersender di tembok. Dia tak sadar kalau Jaka sudah masuk ke dalam kamar. Jaka langsung meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya.
"Lepaskan Wati Bang!!!" Wati mencoba mendorong tubuh Jaka. Tapi Jaka semakin erat memeluknya.
"Ma'afkan sikap Abang Wati." Jaka tak kuasa menahan air matanya. "Abang minta ma'af."
"Semua salah Wati Bang. Wati teledor. Harusnya Wati tidak menjerumuskan Abang dan anak-anak." Wati terus berusaha melepaskan pelukan Jaka.
"Kita hadapi semuanya sama-sama!" Ucap Jaka melepaskan pelukannya dan menatap wajah Wati yang berlinang air mata. Diusapnya air mata di pipi istrinya. "Wati, apa pun hasilnya, Abang akan tetap di sisi Kamu. Kita akan lewati sama-sama! Abang sangat mencintai Kamu." Jaka mengecup kening Wati kemudian kembali meraih tubuh Wati ke dalam pelukannya. Wati hanya bisa menangis terisak. "Abang mencintai Kamu. Sangat mencintai Kamu." Ucap Jaka sambil menangis. "Besok Abang akan antar Kamu tes. Kita berdo'a saja semoga semuanya baik-baik saja. Abang sudah siap apa pun hasilnya. Abang sudah siap Wati." Jaka terus menangis begitu pula Wati.
*****
Jaka membawa Wati ke Rumah Sakit untuk melakukan tes HIV. Tangan Wati gemetar. Jaka terus menggenggam tangan istrinya yang begitu dingin karena gugup.
"Kalau Kamu positif, Abang juga akan ikut tes. Anak-anak juga." Ucap Jaka.
"Wati berharap ada keajaiban Bang. Sungguh Wati belum siap Bang. Wati tak akan sanggup melihat Abang dan anak-anak juga harus menerima akibat keteledoran Wati."
"Cukup sayang! Jangan terus-terusan menyalahkan diri sendiri!" Pinta Jaka.
"Ibu Wati!" Perawat memanggil nama Wati. Wati pun masuk ke dalam ruangan. Sementara Jaka menunggu di luar dengan gelisah, harap-harap cemas.
*****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasih sdh mau mampir untuk membacaHappy readingWati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya."Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka."Bagaimana Wati?" Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas."Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia."Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga.""Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya.""Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu La
Wati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira."Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih."Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya."Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?""Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang.""Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar."Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik."Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humair
Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y
Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar."Ada apa?" Tanya Jaka bingung."Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya."Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga."Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur.""Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas."Dito Bang.""Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana."Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati."Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git
Bu Gita menemui Wati yang sedang memasak untuk makan siang. Humaira sedang tertidur di kamarnya. Lintang sudah pergi bekerja sejak tadi. Sementara Jaka ke tempat service electronicknya."Wati, marahlah! Caci makilah Lintang! Jangan diam saja!" Pinta bu Gita."Wati tidak bisa seperti itu Bu.""Lihat kejadian tadi malam? Ibu tau betul anak Ibu. Ibu tidak mau dia merusak rumah tanggamu." Kesal bu Gita. "Percuma kalau Ibu saja yang mencaci makinya. Dia sudah kebal dengan semua cacian dari Ibu. Usir kami dari sini Wati. Ibu mohon!" Bu Gita menggenggam tangan Wati."Wati serba salah Bu. Humaira sangat ingin dekat dengan bang Jaka.""Humaira bukan anak Jaka, Kalian tidak punya tanggung jawab sama sekali atas Humaira. Sudah terlalu banyak kebaikanmu kepada kami.""Apa di usianya seperti ini Humaira bisa mengerti kalau