Jaka mencoba menyadarkan Wati yang ambruk. Diletakkannya botol minyak kayu putih yang terbuka di depan hidung Wati. Perlahan Wati mulai bereaksi. Wati terbaring di sofa ruang tengah. Anak-anak menungguinya.
"Ada apa?" Tanya Jaka khawatir.
"Abang, bisa tinggalkan Wati sendiri dulu!" Pinta Wati.
"Ada apa? Aku suamimu Wati, bagaimana Aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Jaka semakin khawatir. Wati beranjak dan mengambil posisi duduk bersender. Dia menatap anak-anaknya. Air matanya meleleh. "Ada apa?" Tanya Jaka sambil memegang kedua lengan atas Wati.
"Aditya, ajak adikmu ke ruang depan sebentar ya! Mamah mau bicara sama Bapak." Pinta Wati. Aditya mengangguk dan membawa Habibi ke ruang depan.
"Telpon dari siapa tadi?"
"Bang, Wati yakin Abang tidak akan bisa menerima kabar buruk ini."
"Kabar buruk apa Wati?"
"Abang, Wati minta ma'af." Wati menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Air matanya terus meleleh. Jaka meraihnya dan memeluknya erat. "Tadi telpon dari Radit adik Rendra."
"Lalu?"
"Bang, ma'afkan Wati." Wati tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Jaka melepaskan pelukannya. Dipegangnya wajah Wati lekat-lekat. "Radit minta Wati untuk cek lab, apa Wati tertular virus HIV atau tidak." Wati menunduk.
"Apa maksudmu?" Jaka meninggikan suaranya. Dia menjauh dari Wati. Jaka berdiri membelakangi Wati menutupi rasa kecewa yang tiba-tiba datang.
"Bang, ma'afkan Wati, seharusnya sebelum Wati menikah dengan Abang, Wati memeriksakan diri Wati."
"Apa bajingan itu meninggal karena penyakit terkutuk itu Wati?"
"Iya Bang."
"Laki-laki brengsek itu, bahkan sudah mati pun masih meninggalkan masalah." Geram Jaka. Jaka berbalik badan, dan menatap tajam ke arah Wati. "Jika kamu tertular, apa itu artinya Aku dan anak-anak juga tertular?" Tanya Jaka menahan amarah. Wati mengangguk. Jaka kemudian beranjak pergi meninggalkan Wati.
"Abang mau kemana?"
"Aku mau ke rumah ibu. Jangan tunggu Aku Wati!"
"Makan lah dulu Bang! Aku sudah menyiapkannya."
"Aku tidak punya selera makan Wati." Jaka berlalu begitu saja.
"Abang, Aku harus bagaimana? Aku perlu abang! Apa abang akan menjauhiku dan anak-anak seperti abang menjauhi Humaira?" Gumam Wati. Air matanya berlinang.
"Mamah, Bapak Jaka mau pergi kemana?" Tanya Aditya mengagetkan Wati. Buru-buru Wati menghapus air matanya. "Mamah menangis?"
"Sayang, Kita makan malam ya!Mamah sudah siapin." Ucap Wati mengalihkan perhatian anak-anaknya. Wati mengajak anak-anaknya makan malam.
"Bapak Jaka kenapa tidak makan di rumah Mah?" Tanya Aditya.
"Bapak Jaka mau ke rumah nek Ratna. Kita juga akan menginap di rumah nek Lastri malam ini. Selesai makan kemasi barang Adit!" Wati mencoba menyembunyikan rasa sakit hatinya di hadapan anak-anaknya. Aditya mengangguk.
*****
Bu Lastri terkejut melihat Wati tiba-tiba datang bersama anak-anaknya.
"Ada apa Wati? Kenapa datang malam-malam begini? Jaka mana?" Tanya bu Lastri cemas.
"Wati numpang menginap di sini Bu."
"Kamu ribut sama suami Kamu?"
"Nanti Wati cerita Bu. Wati mau menidurkan Habibi dulu di kamar."
Usai Habibi tertidur dan Aditya pun tertidur, Wati menemui ibunya yang menunggunya di ruang makan.
"Ada apa?" Tanya ibu cemas. Wati langsung memeluk ibunya dan menangis sejadi-jadinya. "Katakan pada Ibu Nak!"
"Bu, Wati bingung harus memulai dari mana."
"Jangan buat Ibu bingung Wati. Apa Jaka tau Kamu menginap di sini?"
"Wati sudah kirim WA ke bang Jaka."
"Duduk lah! Sebentar Ibu buatkan teh hangat." Tidak lama kemudian ibu meletakkan segelas teh hangat di atas meja makan. "Minumlah!" Wati menyeruput tehnya. "Tenangkan dirimu Nak!"
"Bu, Apa Ibu tau mas Rendra sakit apa?"
"Tidak Wati. Bu Linda tidak mau memberitahukannya."
"Mas Rendra kena AIDS Bu." Wati kembali menangis.
"Astagfirullah, siapa yang bilang Wati?" Ibu terkejut.
"Radit adiknya Bu."
"Lalu masalahnya sama Kamu apa Wati? Rendra sudah tenang."
"Bu, sebenarnya selama menikah mas Rendra pengguna narkoba, dan dia juga melakukan seks bebas."
"Apa?" Ibu sangat terkejut. "Apa selama menikah Kamu tau kelakuan Rendra Wati?" Wati mengangguk. "Wati, bagaimana mungkin Kamu..." Ibu tak bisa melanjutkan kata-katanya. Beliau menangis.
"Ma'afkan Wati Bu."
"Kamu tidak perlu minta ma'af pada Ibu. Ibu tidak menyangka begitu berat hidup yang Kamu jalani. Dan sekarang, a.. Apa ada kemungkinan Rendra menularkannya padamu?" Wati mengangguk. "Jaka dan anak-anak?" Wati mengangguk. Mereka pun saling berpelukan.
"Wati tidak tau harus bagaimana Bu."
"Sabar Wati, sabar. Jaka bagaimana?"
"Mas Jaka setelah tau, dia pergi ke rumah ibunya."
"Kamu harus mengerti perasaan Jaka. Tidak mudah baginya menerima ini. Ibu pun tau, apa lagi buatmu Wati."
"Wati merasa bersalah Bu."
"Tidak Wati. Buanglah perasaan itu! Jangan siksa dirimu dengan perasaan itu!"
"Wati menularkan ke orang-orang yang Wati cintai Bu. Wati tidak pernah berpikir kalau mas Rendra akan menularkan penyakit itu Bu."
"Dengar baik-baik, secepatnya Kamu harus periksa untuk memastikannya Wati!"
"Bu, Wati tidak sanggup."
"Wati, berdo'alah kepada Allah. Tidak ada cobaan yang tidak bisa dilewati."
"Jika Wati positif, bang Jaka dan anak-anak juga Bu. Cobaan ini terlalu berat Bu buat Wati."
"Wati, Ibu yakin anak Ibu tidak tertular penyakit itu." Ibu mencoba membesarkan hati Wati.
"Kalau ternyata positif bagaimana Bu?"
"Ibu akan selalu di samping Kamu Nak. Ibu berjanji. Ibu tidak akan meninggalkan Kamu." Ibu memeluk Wati erat-erat.
"Ibu, terima kasih selalu ada untuk Wati."
"Begitulah seharusnya seorang Ibu. Kamu pun dengan anak-anakmu harus seperti itu Wati."
*****
Mohon votenya ya readersMohon kritik dan sarannyaTerima kasihHappy readingMenyambung dari Part 50 di ISTRI KEDUA ya readers.
Jaka duduk di sofa di depan TVrumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya."Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka."Jaka bingung Bu harus mulai dari mana.""Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?""Laki-laki bajingan itu Bu.""Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka.""Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya."Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut."Aids Bu. Aids.""A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?""Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati.""Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kop
Wati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya."Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka."Bagaimana Wati?" Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas."Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia."Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga.""Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya.""Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu La
Wati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira."Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih."Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya."Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?""Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang.""Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar."Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik."Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humair
Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y
Jaka tiba di ruangan Humaira. Dilihatnya Humaira sedang tertidur. Sedangkan Wati dan bu Gita terlihat gusar."Ada apa?" Tanya Jaka bingung."Tidak apa Bang." Jawab Wati menutupi kegusarannya."Tapi yang Abang lihat tidak seperti itu Wati. Apa lagi yang Kamu sembunyikan dari Abang?" Tanya Jaka curiga."Nanti Wati cerita Bang. Tidak sekarang. Kasian Humaira baru tidur.""Ayo kita keluar. Abang mau tau sekarang Wati!" Desak Jaka sambil mengenggam tangan Wati untuk mengajaknya keluar. "Ada apa? Bukannya harusnya kita terlihat senang karena Hunaira hari ini diperbolehkan pulang?" Tanya Jaka sesampainya di depan pintu. Wati menarik Jaka lebih jauh dari ruangan Humaira. "Ada apa sayang?" Jaka mulai cemas."Dito Bang.""Dito? Dito laki-laki brengsek itu?" Seketika wajah Jaka berubah. Terlihat kekesalan di sana."Tenangkan diri Abang dulu, baru Wati cerita!" Ucap Wati."Katakan saja
Lintang sangat senang bisa menginjakkan kakinya lagi di rumah yang pernah ia diami bersama Jaka dan Humaira. Lintang masuk ke dalam rumah tanpa salam, karena pintu rumah terbuka lebar. Lintang tersenyum melihat ke dalam rumah. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Hanya foto-fotonya bersama Jaka sudah berubah menjadi foto-foto Jaka bersama Wati dan anak-anaknya. Lintang tersenyum kecut melihat foto berukuran besar yang ada di ruang tengah. Foto Jaka dan Wati mengenakan pakaian serba putih."Sepertinya ini foto pernikahan mereka." Batin Lintang kesal. Ingin sekali dia menurunkan foto itu. Membuang jauh dari hadapannya."Lintang!" Tegur bu Gita. Lintang menoleh. "Bisa kita bicara dulu!" Ucap bu Gita."Ada apa Bu?" Tanya Lintang dengan raut wajah tidak senang karena melihat gelagat ibunya yang ingin ceramah."Tolong jaga sikapmu selama di rumah ini!""Aku tau Ibu akan mengatakan hal itu.""Ibu serius Lintang!" Kesal bu Git