Jaka menggendong Humaira kecil yang masih bangun. Diliriknya jam dinding, sudah pukul delapan malam.
"Lintang belum pulang juga Nak Jaka?" Tanya bu Gita.
"Iya Bu. Hapenya tidak bisa dihubungi."
"Keluyuran kemana lagi sih si Lintang?" Kesal bu Gita.
"Sudah ngga papa Bu. Sebentar lagi Humaira juga tertidur."
"Ma'afkan Lintang ya Nak." Ucap bu Gita. Jaka mengangguk.
Lintang datang dengan santainya, seolah tak merasa memiliki kewajiban sebagai ibu. Dia sering meninggalkan Humaira bersama Jaka dan ibunya.
"Bunda, kok malam pulangnya?" Tanya Jaka.
"Ayah, bunda kan tidak tiap hari keluarnya." Jawab Lintang cuek. "Bunda mandi dulu ya Ayah." Lintang masuk ke dalam kamar mandi. Jaka hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan istrinya.
Humaira sudah tertidur pulas. Diletakkan Jaka Humaira di dalam boxnya. Jaka menunggu Lintang di depan kamar mandi.
"Ayah nungguin bunda?" Tanya Lintang yang hanya memakan handuk di badannya. Jaka menghela nafas. "Ayah kangen ya? Pengen bercinta sama Bunda ya?" Goda Lintang.
"Bukan, bukan itu." Jawab Jaka santai.
"Lalu?"
"Bunda, kalau Bunda sering meninggalkan Humaira begini, bagaimana bisa Ayah bekerja lagi di tambang? Bunda tau kan, kalau kerja di Tambang tidak ada yang dekat sini. Ayah pun pasti harus tinggal di mess."
"Lalu?"
"Ya, Ayah tidak akan kerja di tambang dulu, setidaknya sampai Humaira cukup besar. Ayah ingin melihat perkembangan Humaira."
"Ayah, kalau Ayah cuma mengharapkan penghasilan di ponsel, Bunda ngga bisa sering shopping dong." Ucap Lintang cemberut. Lintang mengambil satu set piyama di dalam lemarinya. Kemudian dia lepaskan handuknya di hadapan Jaka.
"Bunda ini kebiasaan, kalau ganti baju sesukanya saja." Ucap Jaka menahan diri melihat tubuh tanpa sehelai kain di hadapannya.
"Ayah mau?" Goda Lintang.
"Ayah ngantuk." Jawab Jaka cuek kemudian membaringkan diri di ranjang.
*****
Bu Ratna dan suaminya datang ke rumah Jaka untuk melihat cucu mereka.
"Ibu, Bapak." Jaka mencium tangan kedua orang tuanya.
"Humaira mana Jaka?" Tanya pak Santoso bapak Jaka.
"Di kamar sama Lintang Pak." Jawab Jaka.
"Ibu boleh ke sana?" Tanya ibu sungkan.
"Tentu Bu." Jawab Jaka. Bu Ratna melangkah menaiki tangga, menuju kamar Jaka.
Pintu kamar Jaka tidak dikunci. Dilihat bu Ratna, Lintang sedang asyik memegang hape, sedangkan Humaira yang terbangun sedang menatap ibunya sambil menggerak-gerakkan kakinya.
"Assalamu'alaikum." Ucap ibu di depan pintu. Lintang sangat terkejut. Buru-buru diturunkannya hapenya.
"Wa'alaikumsalam Bu. Silakan masuk." Ucap Lintang manis.
"Waduh cucu nenek sudah besar..." Ucap bu Ratna terlihat senang melihat cucunya. Bu Ratna menggendong Humaira. "Boleh Ibu bawa ke bawah?" Tanya bu Ratna.
"E... I.. Iya Bu." Jawab Lintang gugup. Bu Ratna membawa Humaira. "Nenek tua itu buat kaget saja." Gumam Lintang.
Bu Ratna menemui pak Santoso dengan membawa Humaira. Pak Santoso sangat senang melihat cucu pertamanya yang begitu cantik. Kulitnya yang putih kemerahan, hidungnya yang mancung, matanya yang besar.
"Cantik sekali cucu mbah akung... " Ucap pak Santoso gemas sambil menciumi Humaira.
"Bapak, pelan-pelan dong ciumnya! Nanti lecet kulit Humaira." Tegur bu Ratna.
"Ibu berlebihan sekali." Protes pak Santoso.
"Jaka, ajaklah sekali-kali anak dan istrimu ke rumah!" Pinta bu Ratna.
"Ma'af Bu. Lintang tidak pernah mau." Jawab Jaka. Bu Ratna hanya bisa menahan kekecewaan.
*****
Setahun Kemudian
Jaka memutuskan kembali bekerja di tambang. Kali ini dia mendapat pekerjaan di Berau Kalimantan Timur. Di perusahaan tambang yang cukup ternama.
Jaka tinggal di mess yang disediakan perusahaan. Sangat berat bagi Jaka meninggalkan Humaira gadis kecilnya. Karena dia sudah jatuh cinta pada gadis kecilnya itu. Jaka menyimpan foto Humaira di dompetnya. Sesekali di waktu senggang dia selalu memandang foto gadis kecilnya itu.
"Tunggu Ayah ya sayang!" Ucap Jaka pada foto Humaira.
Sementara Jaka banting tulang, Lintang istrinya berani membawa Dito ke rumah.
"Lintang, kamu sudah gila?" Bentak bu Gita.
"Sudah lah Bu, tidak usah ikut campur!"
"Itu kamar Kamu dengan suamimu. Bisa-bisanya Kamu bawa bajingan itu ke kamar." Bu Gita sangat marah.
"Bu, Aku perlu belaian. Mas Jaka sangat dingin padaku Bu." Keluh Lintang.
"Bukankah dari awal Kamu sudah tau. Jaka terpaksa menikahimu karena dia pikir telah menghamilimu."
"Sudah lah Bu, jangan bahas itu lagi!"
"Seharusnya Kamu berusaha mengambil hatinya Lintang! Bukan seperti ini. Jaka itu tambang emas kita. Kamu tidak boleh menyia-nyiakannya!"
"Ibu, Aku perlu kepuasan Bu, bukan hanya uang dan uang. Aku perlu kasih sayang Bu, bukan hanya harta dan harta."
"Kasih sayang? Apa menurutmu laki-laki bajingan itu punya kasih sayang padamu?"
"Setidaknya dia memperlakukan aku sebagaimana harusnya wanita dewasa diperlakukan Bu. Tidak seperti mas Jaka. Melihat Aku telanjang di hadapannya saja dia cuek. Setiap kali selalu Aku dan Aku yang harus agresif."
"Setidaknya dia sangat memperhatikanmu Lintang. Ingat saat Kamu hamil? Dia sangat menyayangimu. Dia mencurahkan seluruh perhatiannya."
"Percuma Bu. Dia terlalu dingin di ranjang."
"Apa yang Kamu pikirkan hanya urusan ranjang saja Lintang?" Kesal bu Gita.
"Bu, dalam rumah tangga hal itu penting. Mas Jaka memang baik. Tapi ya, memang manusia tidak ada yang sempurna. Kekurangannya adalah di ranjang."
"Susah sekali bicara denganmu Lintang." Kesal bu Gita.
*****
Mohon votenya ya readers
Mohon kritik dan sarannyaTerima kasihHappy readingEmpat Tahun KemudianWati menyiapkan barang-barangnya dan anak-anak, termasuk barang Humaira. Hari ini mereka akan pergi ke Berau setelah Jaka resmi bercerai dengan Lintang istri pertamanya."Bunda, Humaira apa nanti akan pindah sekolah di sana?" Tanya Humaira pada Wati."Tentu sayang. Karena Humaira akan lebih lama bersama Ayah dan Bunda Wati. Kalau Ayah cuti baru Ayah pulang bawa Humaira ketemu bunda Lintang.""Apa Ayah berantem sama bunda Lintang?""Tidak sayang. Ayah dan bunda Lintang baik-baik saja.""Bunda Wati mau kan anggap Humaira seperti anak Bunda?""Tentu saja sayang." Wati mengecup kening Humaira."Sudah siap berangkat?" Tanya Jaka yang sedang menggendong Habibi."Sudah Bang." Jawab Wati.Mereka pun diantar bang Rahman dan ibu ke bandara yang tidak jauh dari rumah bu Lastri.
Jaka mencoba menyadarkan Wati yang ambruk. Diletakkannya botol minyak kayu putih yang terbuka di depan hidung Wati. Perlahan Wati mulai bereaksi. Wati terbaring di sofa ruang tengah. Anak-anak menungguinya."Ada apa?" Tanya Jaka khawatir."Abang, bisa tinggalkan Wati sendiri dulu!" Pinta Wati."Ada apa? Aku suamimu Wati, bagaimana Aku meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini?" Jaka semakin khawatir. Wati beranjak dan mengambil posisi duduk bersender. Dia menatap anak-anaknya. Air matanya meleleh. "Ada apa?" Tanya Jaka sambil memegang kedua lengan atas Wati."Aditya, ajak adikmu ke ruang depan sebentar ya! Mamah mau bicara sama Bapak." Pinta Wati. Aditya mengangguk dan membawa Habibi ke ruang depan."Telpon dari siapa tadi?""Bang, Wati yakin Abang tidak akan bisa menerima kabar buruk ini.""Kabar buruk apa Wati?""Abang, Wati minta ma'af."
Jaka duduk di sofa di depan TVrumah ibunya. Wajahnya memperlihatkan ke gusarannya."Jaka, cerita lah pada Ibu! Ada masalah apa?" Ibu duduk di samping Jaka."Jaka bingung Bu harus mulai dari mana.""Apa Kamu sedang ada masalah dengan Wati?" Jaka mengangguk. "Apa yang dipermasalahkan?""Laki-laki bajingan itu Bu.""Ada apa lagi? Dia sudah tenang Jaka.""Dia menularkan penyakit terkutuk kepada kami semua." Kesal Jaka sambil menekan keningnya dengan kelima jarinya."Maksud Kamu penyakit apa Jaka?" Ibu terkejut."Aids Bu. Aids.""A... Apa?" Ibu sangat terkejut. "Astagfirullah Jaka. Kenapa bisa begitu?""Ntah Bu. Wati tidak pernah cerita tentang mantan suaminya itu. Yang Jaka tau hanya mantan suaminya itu melakukan KDRT kepada Wati.""Desi!!!" Teriak bu Ratna memanggil adiknya Jaka. Desi yang sedang di dapur membuat kopi dan teh menghampiri ibu dengan satu gelas kop
Wati dan Jaka sampai di halaman rumah bu Lastri. Jaka memarkir roda duanya. Habibi yang duduk di teras bersama bu Lastri langsung berlari menghampiri ibu dan bapaknya."Ibu... Bapak... " Teriaknya. Jaka langsung meraih tubuh mungil Habibi. Habibi memeluk erat Jaka."Bagaimana Wati?" Tanya bu Lastri tak sabar. Wati langsung memeluk bu Lastri dan tangisnya pecah. "Semua baik-baik sajakan?" Tanya bu Lastri cemas."Alhamdulillah Bu. Alhamdulillah hasilnya negatif." Ucap Wati bahagia."Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah." Ucap ibu dengan mata yang basah. "Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian sekeluarga.""Iya Bu. Wati sangat bersyukur. Tadi di Rumah Sakit Wati ditanya, apa saat hamil Wati tidak melakukan pemeriksaan untuk ibu hamil. Itu lah salah Wati. Wati hanya USG saja. Tanpa melakukan tes lain-lainnya.""Alhamdulillah Allah masih melindungi kalian Wati." Ibu menggenggam erat tangan Wati. "Tapi..." Bu La
Wati menunggui Humaira di Rumah Sakit bersama bu Gita. Lintang harus bekerja seperti biasanya jadi dia tidak bisa menunggui Humaira. Sudah tiga hari Humaira di rawat di Rumah Sakit. Wajah gadis kecil itu semakin pucat. Jaka sampai sekarang belum muncul di hadapan Humaira. Wati menggenggam erat tangan Humaira."Bunda, kenapa ayah belum datang juga? Apa ayah marah pada Humaira?" Tanya Humaira sedih."Ma'afkan ayah sayang. Ayah sedang sibuk." Jawab Wati sekenanya."Ayah tidak sayang lagi kan pada Humaira?""Ayah sangat sayang Humaira. Ayah harus menyelesaikan pekerjaan ayah sayang.""Sampai kapan Humaira harus menunggu ayah?" Humaira mulai menangis. Wati pun tak sanggup menahan air matanya. Tiba-tiba darah keluar dari hidung Humaira. Buru-buru Wati mengambil tisu untuk membersihkan darah yang keluar."Bu, Humaira mimisan." Ucap Wati sedikit panik."Iya, dari hari pertama sudah begitu Wati. Dan kemarin Humair
Wati menjemput anak-anak di rumah bu Lastri. Mata Wati sembab karena sepanjang jalan dia terus menangis. Sesampainya bertemu ibunya dia langsung memeluk erat ibunya."Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri cemas."Humaira Bu. Humaira.""Humaira kenapa?" Ibu semakin cemas."Humaira divonis leukimia Bu.""Leukimia? Kanker maksud Kamu Wati?" Bu Lastri sangat terkejut."Iya Bu.""Innalillahi wa innailaihi roji'un.""Kasian Humaira Bu.""Apa Jaka sudah tau?" Wati menggeleng. "Cepatlah beri tahu Jaka. Semoga hatinya bisa luluh. Ibu khawatir Wati. Bukankah banyak orang yang tidak bisa bertahan kalau punya penyakit itu?" Bu Lastri tak kuasa menahan tangis. Wati mengangguk.*****Wati keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitnya di dada. Jaka menghampirinya dan langsung menyambar bibirnya."Abang... " Ucap Wati. Dilepas Jaka handuk yang melilit tubuh Wati. "Jangan sekarang
Lintang tiba di depan ruang perawatan Humaira. Dilihatnya bu Gita dan Wati duduk di depan ruangan."Ada apa Bu? Kenapa duduk di luar? Humaira kenapa?" Lintang panik dan ingin menerobos ke dalam. Ibu Gita dengan sigap menarik tangan Lintang."Jaka ada di dalam. Biarkan dia bersama Humaira!" Ucap bu Gita. Tapi Lintang justru semakin ingin masuk ke dalam. Dia menerobos pintu tanpa mengetuk terlebih dulu. Wati mengekorinya. Lintang berlari kepelukan Jaka yang sedang duduk di samping Humaira yang terbaring. Jaka terperanjat.Wati mematung melihat pemandangan itu. Hatinya begitu panas. Dadanya terasa sesak. Wati terbakar cemburu.Mata Jaka tertuju pada Wati. Sedikit pun dia tidak membalas pelukan Lintang. Ingin sekali Jaka berteriak pada Lintang. Tapi tangan Humaira menggenggam erat tangannya."Ayah jangan marah lagi ke bunda!" Pinta Humaira. Wati beranjak ke luar ruangan. Kemudian pergi. Bu Git
Kondisi Humaira mulai membaik, dokter memperbolehkan Humaira pulang siang ini. Bu Gita berkemas di ruang perawatan Humaira."Tok... Tok... Tok... " Suara pintu kamar Humaira diketok. Bu Gita menghentikan kegiatannya. Beliau membuka pintu. Betapa terkejutnya beliau nelihat siapa yang datang. Beliau mematung. Darah beliau tiba-tiba terasa mendidih. Namun, orang tersebut langsung masuk tanpa permisi."Hai gadis cantik." Sapa orang itu tanpa menghiraukan bu Gita. Humaira terlihat sedikit bingung. Orang tersebut menyerahkan boneka beruang berwarna pink berukuran sedang. "Lupa ya sama Om?" Tanyanya. Humaira tersenyum menerima boneka tersebut."Om teman bunda kan?" Tanya Humaira. Ya, orang yang datang itu adalah Dito. Ayah biologis Humaira. Sementara bu Gita menatap Dito penuh amarah. Beliau ingin sekali menyeret laki-laki itu keluar. Tapi beliau mencoba menahan diri. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. "Terima kasih bonekanya y