PUKUL delapan pagi, tepat, saat Rosa melirik jam dindingnya. Ia merenggangkan tubuhnya pelan dan bangkit dari tidurnya. Masa bodoh dengan keterlambatannya yang memang bukan untuk pertama kalinya. Toh, membolos pelajaran matematika saat pagi memang menyenangkan. Dan lagipula, tidak baik untuk terburu-buru bukan? Percayalah, Kawan! Segala hal yang di lakukan dengan terburu-buru bisa saja akan membuat petaka. Jadi lakukanlah dengan perlahan. Barangkali kalian takkan banyak melewatkan detail-detail penting. Santai saja. Jangan terlalu gembar-gembor seperti buronan begitu.
Mengalirlah bagaikan air di sungai.
Rosa serius mengatakan ini. Lakukanlah kalau tidak percaya.
Pun kalau di jabarkan dengan sebaik mungkin mengenai alasan kebenciannya pada mata pelajaran yang selalu berhasil menyedot rohnya tersebut, seharian penuh tidak akan cukup. Percayalah, betapa Rosa membenci matematika dan rangkaian rumus nan selalu kapabel merenggut kewarasannya. Benar-benar menyusahkan jiwa dan raganya. Setelah mengabari ketiga ibu tirinyaㅡsebut saja Jessica, Jenna dan Chelsieㅡdengan pesan singkat, Rosa segera membersihkan diri. Berendam sejenak, di temani musik klasik yang mengalun indah. Menikmati setiap ketukan melodi, aroma buah-buah dari sabun dan juga kesunyian nan membuatnya jauh lebih rileks. Kenyamanan ini sungguhan membuat ia nyaman tanpa bisa di jelaskan maknanya lebih jauh.Hanya saja ini membantu membuat sel-sel dalam tubuh termanjakan.
Bagus pula untuk kesehatan mental.
Lima belas menit telah berlalu tanpa di sadari dan Rosa keluar dengan bathrobes seputih gadingbersama rambut basah nan mana menitikkan air pada setiap langkahnya. Seolah tidak terganggu sama sekali dengan hal tersebut, sembari bersiul pelan Rosa pun mengambil seragamnya di dalam lemari. Mengenakan dan berdandan usai mengeringkan rambut dengan hairdryer, memoles bibir dengan lipgloss berwarna merah jambu dan mengaplikasikan bedak tipis di wajah. Di rasa sempurna, Rosa menjentikkan jarinya dan tersenyum genit menatap pantulan dirinya. "Cantik dari lahir mah beda, dandan dikit udah kek princess," ujarnya berbangga diri. Ia kemudian mengibaskan rambutnya pongah bukan kepalang. "Nggak perlu usaha lebih. Poles sana dikit, poles sini dikit. Udah cantik ngalahin Miss Indonesia, hehe! Sekali lagi mengecek penampilannya pada pantulan cermin, Rosa keluar dari kamarnya dan mendapati sticky note di kulkas. Jelas dari adik semata wayangnya. "Kak, jangan lupa sarapan. Kalau nggak sempat, tadi Lion udah bikin roti lapis. Makan itu aja di jalan. Tadi Lion udah gedor pintu kamar Kak Audy, tapi nggak keluar-keluar. See you and have a nice day." Manggut-manggut pelan dan menoleh menatap beberapa lembar roti lapis di atas meja. Rosa lantas meletakkan sticky note di laci lalu menyantap sarapannya dengan hikmat. Di liriknya lagi jam di ponsel, 08:45, Rosa hanya mengangguk samar. Sang gadis benar-benar tidak terganggu atas fakta tersebut. Ia hanya menikmati tiap gigitan roti lapisan buatan sang adik. "Ternyata gue mandi lama juga ya," komentarnya santai. Tak lama kemudian ponselnya berdering, Rosa segera menggeser ikon hijau ke samping. "Halo?" "HALO?" balas sang penelepon geram. "Anjing lo, Ros! Dimana lo?!" Mengerjap pelan, Rosa menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat nama penelepon. Gadis tersebut memutarkan matanya gondok. "Apaan sih, Jes? Ribut amat lo, ayam mana lagi yang beranak?" "BANGSAT! CEPETAN KE SEKOLAH!" "Kenapa sih? Ngegas lo pagi-pagi," balas Rosa usai menelan rotinya. Tangan si empu meraih gelas berisi susu dan menyeruputnya sebelum menyambung lugas. "Pagi itu harus di lewati dengan ketenangan." "Gimana gue mau tenang, Rosaline. Ketos kesayangan lo lagi patroli tuh, biasanya juga anak buahnya. Sekarang dia turun tangan, gue butuh lo, Ros. Gue mau selamat. Seenggaknya gue mau numbalin lo." Jessica berbicara dengan nada pelan, nyaris setengah berbisik. Ada nada was-was di sana. Rosa mengernyit jengah. "Bisa basa-basi dulu kagak sih?" "Halah! Nggak penting! Cepetan ke sekolah, Rosalineku. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkanku." "Chelsie? Jenna? Kemana tuh dua curut?" tanyanya kemudian. "Lo pikir Chelsie bakalan telat? Dia mah tukang bolos bukan tukang telat kayak lo, Dodol!" ucap Jessica setengah menghina. "Jenna udah di kelas, di detik-detik terakhir dia selamet. Gue telat lima menit, anjir!" "Ouh, gitu!" "Cepetan ke sekolah, Rosa, gue jajanin cilok deh lo. Nasgor, batagor, martabak juga boleh. Terserah. Gue nggak mau ketemu Alvin. Ogah! Serangan jantung gue entar." "Dia suka lo kali," "Arzan juga suka lo." Jessica menyahut cepat, nyaris berteriak kalau-kalau tidak mengingat situasinya sendiri sekarang. "Gue nggak sekolah aja deh hari ini," ujarnya ketus. Terlalu malas untuk di kaitkan dengan ketua OSIS menyebalkan itu. "Jangan dong, Sa! Bobol aja udah ATM gue. Terserah!" Rosa tersenyum penuh kemenangan. "I'm coming, baby!" "Najis!" Seusai mengatakan kalimat tidak sopan tersebut, Jessica memutuskan panggilan sepihak. Rosa mantap untuk datang ke sekolah sekarang. Demi martabak keju dengan toping kacang, batagor, dan ATM Jessica yang bebas di bobol nanti. Rosa akan senang hati pergi ke sekolah. Mungkin kalau Chelsie berada di sampingnya, cewek itu pasti akan berkata, sinting! Akan tetapi ia mana peduli, ia jauh lebih peduli dengan jejeran makanan di kantin yang pasti akan menggugah seleranya.Rosa bertahan di sekolah dan serangkaian mata pelajaran yang mampu membuat otaknya meledak karena makanan di kantin sekolah sudah cukup menjadi obatnya.
Menyambar kilat kunci mobilnya dan mengeluarkan mobil dari garasi. Rosa menginjak pedal gas, sekali lagi, masa bodoh dengan peraturan kecepatan berkendara. Rosa akan melakukan semua hal yang ia sukai. "Sialan!" umpatnya. Macet. Pukul sembilan lewat dan jalan raya masih padat akan kendaraan. Luar biasa. Rosa jadi bertanya-tanya, apakah semua orang juga telat seperti dirinya? Terdengar bunyi riuh klakson di luar mobilnya. Rosa mengedikkan bahu tak peduli dan kembali mengigit roti lapis buatan Leon. "Hmp! Lion berbakat keknya jadi koki." Dia bersiul pelan setelah lampu berubah hijau. Namun sepertinya ketenangan pagi katanya tadi memang sedang mengalami gangguan. Rosa harus menginjak rem mendadak saat sebuah motor yang lampu sein kanan tetapi berbelok ke kiri. "Sebenarnya, ibu-ibu tuh punya masalah hidup apaan sih?! Atau pas kegiatan sosial bareng polisi dia bolos kali?! Nggak bisa banget bedain kiri sama kanan. Bangsat!" cerocosnya sebal bukan main. Masih merutuki sifat ibu-ibu pengendara motor tadi, akhirnya Rosa sampai di sekolah pada pukul 09:15. Perasaannya sudah tidak enak saat gerbang sekolah di buka lebar padahal sudah jam segini. Memarkirkan si putih kesayangan, Rosa keluar dari mobilnya. Ia bernapas lega usai mengedarkan pandangannya ke sekitaran parkiran. Keadaan sekitar sepi dan otomatis aman. "Rejeki anak sholehah emang nggak kemana." Baru saja ingin melangkah ke kantin. Sebuah suara familiar masuk ke indera pendengarnya. "Tapi rejeki manusia bisa dipatok ayam kalau lo lupa." Sialan dua kali! Rosa lekas berbalik dan mendapati Arzan yang menatapnya lamat-lamat. Ia mendengus keras-keras, menyuarakan ketidaksukaannya terang-terangan. "Musnahkan ayam diseluruh dunia," sahut Rosa asal. Arzan menggelengkan kepalanya pelan. "Lo tau jam berapa sekarang, Rosaline?" "Rosa aja, please, kita nggak deket," ujarnya ketus dan melirik arlojinya. "Jam sembilan lewat?" jawabnya polos. "Lo telat dua jam, Rosa." "Dua jam kurang," ralatnya. "Apapun itu lo tetap telat." Arzan menghembuskan napasnya berat. Tidak habis pikir dengan bagaimana jalan pikiran gadis tersebut. "Ikutin gue ke lapangan." dan memilih memberi titah mutlak selaku ketua OSIS Bina Bangsa. Rosa mendengus. Manut saja dan mengekori Arzan dari belakang. Percuma juga untuk berdebat dengan murid kesayangan guru serta siswi sekolah itu. Yang ada nanti ia bisa saja di ceramahi lebih lama. Ah, tidak, tidak, tidak! Rosa masih sayang batagor hangat di kantin. Enak saja ludes terjual habis begitu saja tanpa menyisakan sedikit pun untuknya. Padahal Jessica sudah mau berbagi tadi pagi, jelas Rosa harus menagih itu. Tetapi sepertinya 'acara Jessica mentraktir' hanyalah angan-angan belaka. Iris kecokelatannya tersebut lurus menatap wajah masam Jessica di lapangan sekolah. Gadis itu tengah duduk bersila di atas tanah. Jessica menatapnya kaget saat mendapati sang sahabat berada di belakang Arzan kemudian menyorot berubah sinis. "Heh! Lama banget lo, kutil!" "Katakan hai dulu sama princess, dasar rakjel lo!" Keduanya total menjadi perhatian para siswa dan siswi yang telat. Namun seakan buta sosial dan memang pada dasarnya memang tidak tahu malu. Dua gadis itu malah melanjutkan perdebatannya. "Gue suruh lo cepatan, Njing! Berapa botol sabun yang lo abisin pagi ini, hah?!" "Sebotol aja nggak habis, bego! Punya temen kok tolol sih!" Jessica melotot garang. "Nggak ada traktiran batagor, martabak atau apapun itu. ATM gue udah gue buang tadi." "Heh! Nggak adil dong. Nggak bisa batal gitu aja, lo udah janji pas nelpon gue tadi. Enak aja! Nggak bisa!" sanggah Rosa tak terima. "Duit gue, suka-suka gue." "Nggakㅡ" "Kalian kalau mau ribut di tempat lain aja." Dhani menginterupsi sinis. Pemuda dengan tinggi semampai alias tidak tinggi-tinggi amat tersebut yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS memandang Rosa serta Jessica garang. "Berisik tau nggak!" Rosa dan Jessica saling bertukar pandang selama beberapa detik sebelum akhirnya merangkul satu sama lain. "Dengan senang hati, Pak Wakil!" Dhani menghela napas berat, kepalanya selalu ingin pecah menghadapi dua manusia sejoli tersebut, kemudian melihat dua biang kerok itu sudah melangkah ingin pergi, ia buru-buru mencegahnya. "Nggak ada! Balik ke tempat kalian." Keduanya berdecak sebal dan berbaris rapi lalu Arzan datang dengan sekretarisnya, Chika. Siswi yang di gadang-gadang akan menyandang gelar sebagai kekasih seorang Arzan. Namun malah di tampar kenyataan bahwa Arzan terang-terangan menyukai bahkan bertingkah manis pada Rosa. Arzan menatap wajah satu persatu murid yang terlambat di depannya, dan menatap lama pada Rosa. "Kalian tau sekarang jam berapa?" "Guna arloji lo apaan sih, Zan, pake nanya segala," sahut Jessica kesal. "Ke intinya aja, tolong. Gue nggak berniat dengerin ceramah pagi buta. Toh, bakalan di ulang lagi." "Lo-!" Arzan menahan lengan Dhani yang ingin menunjuk Jessica. Cowok itu sudah berperang lama dengan Jessica selaku pembuat onar sekolah. "Ubah kelakuan lo, Jes," Arzan mengalihkan tatapannya dari Jessica pada Rosa. "Minimal... temen lo." Jessica menatap Rosa sejenak lalu merangkulnya. "Ros, nggak rela gue lo sama si ketos. Masa lo selingkuhin gue, sih, Beb?" Rosa balas merangkul Jessica, kali ini lebih mesra. "Enggak kok, Beb, hati aku udah sama kamu. Lopyu muach!" "Muach!" Melihat kelakuan dua cewek itu, sontak membuat orang-orang disana terhibur sekaligus jijik. Apalagi Dhani yang berlagak pura-pura muntah. "Udah-udah. Karena kalian menghalangi proses hukuman. Kalian ngebersihin lapangan outdoor ini berdua dan yang lain bersihin lapangan indoor. Sekian." Arzan sudah melayangkan titahnya. "Dih! Nggak bisa gitu dong. Enak aja." Arzan menatap Rosa dengan smirk kecil dan mengusak kepala si perempuan lembut. "Lain kali jangan telat. Nyapekin diri sendiri aja." Dan pergi berlalu. Rosa mendengus. "Dia gila kali." Jessica mengangguk. "Dia suka lo." Rosa tersenyum kecil dan menatap punggung Arzan yang semakin mengecil dari penglihatannya. Lalu berkata, "Dia nggak suka gue."MENDONGAK pelan dan memicingkan matanya menatap matahari nan sombong sekali menunjukkan sinarnya seraya menyeka bulir keringat di pelipis. Rosa dengan malas menyeret sapu ijuk setinggi bahunya dan duduk di pinggir lapangan. Mengambil napas dalam-dalam dengan beristirahat sejenak usai menguras tenaganya untuk menjalani hukuman pagi ini. Dalam hati mengutuk Arzan mati-matian karena menempatkannya pada hukuman ini ketika panas mentari teriknya bukan main. Jikalau boleh hiperbola, ubun-ubun Rosa rasanya benar-benar akan meleleh kalau jauh lebih lama lagi membakar dirinya di bawah sinar matahari hari ini. Rosa berdecak, kakinya menginjak-injak tanah dengan perasaan sebal. “Gue kerjain, mampus tuh bocah!” Sebuah kerikil kecil dilempar mengenai keningnya, membuat Rosa mengaduh dan menatap tajam pelakunya. “Apasih, anjing?!” berangnya pada sang sahabat. “Harusnya lo ngebujuk si Arzan bukannya nyari pekara. Dasar tolol!” hina Jessica sebal. “Kenapa gue? Kenapa?! Hubungannya apa?!” teriakny
"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Barangkali sensasinya sama persis ketika berita dunia akan kiamat berhamburan di sosial media. Terdengar mutlak mustahil, tentu saja! Seolah tak percaya dan ia mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Seriusan?! Kok bisa?! Ini dunia mau kiamatkah?!" Selaku objek pada topik yang tengah di perbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Dian benar-benar kehabisan begitu banyak energi kalau laki-laki pejabat sekolah tersebut masuk ke dalam percakapan mereka berempat. Rosa sudah pasti mual dan muak mendengarnya. Telinganya terasa pengang akibat ketidaknyamanan itu. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul begini. Harusnya ia rajam sang sahabat dengan mangkuk bakso saat mereka di kantin tadi. Rosa menyesal tidak melakukan hal itu, jujur saja. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan keben
MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir selama beberapa jam terakhir ini, perut Rosa kini berdemo minta segera di isi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Di samping itu juga, alasan lainnya ialah sebab si gadis tidak ingin harus jatuh sakit dan mendekam yang lama di rumah. Tidak, tidak, tidak! Itu sama saja dengan mimpi buruk. Rosa mana tahan harus mendekam untuk waktu yang lama di rumahnya ini. Lebih baik dia membersihkan halaman sekolah lagi. Itu jelas jauh lebih baik baginya. Dan pilihan makanannya sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya didihkan air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah di tuang saus. Sederhana, bisa masak dalam jumlah porsi besar sekaligus. praktis dan cepat. Sesuai untuk perutnya yang kelaparan. Sesudahnya sang puan buru-buru duduk manis di
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Ada sekelumit heran, cemas dan tanda tanya besar dalam benak si pemuda tatkala tidak sengaja menjumpai Rosa di pinggir jalan saat ini. Di cuaca pancaroba pula, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih di sertai angin kencang. Dinginnya saja membuat kulit Arzan tertusuk, apalagi Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali memandang penampilan lawan sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis.Mungkin saja kalau berbentuk pedas, Arzan sudah tewas di buatnya. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis dan jalan-jalan singkat guna menghilangkan rasa bosan ketika habis di gasak laporan sekaligus tugas sekolah. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebut berkah Tuhan-Nya iniㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan sekarang. Apalagi penampilan cewe
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa yang sedang terduduk lemas tanpa semangat tidak seperti biasanya. Kondisi sahabatnya itu terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak mirip serupa gelandangan, tetapi sukses membuat gadis bermanik kucing tersebut di landa cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan saja dengan motornya. Wajah sang sahabatan betulan memerah, bisa jadi gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari. Jenna bertanya-tanya apa yang telah terjadi, akan tapi ia jauh lebih lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut tamabahan di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga anggrek. Baju yang tengah di pakai Rosa terlampau tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya berhembus. “Sa, feel better?” Rosa diam, belum mau menjawab. Setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang di lontarkan Julian seakan benar-ben
BESOKNYA dengan langit biru serta cahaya mentari nan berpendar cerah menerangi separuh bumi, dapat Arzan lihat Rosa sedang duduk di bawah pohon rindang. Telinganya di sumpal dengan AirPods putih gading dan mata gadis itu tertutup rapat. Seolah benar-benar ingin menikmati acara kecil-kecilannya dengan tenang tanpa gangguan apa pun. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah di dirikan. Kendati begitu Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara perempuan nan mirip tupai tersebut tampaknya tak terganggu sedikit pun dan seringkali menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tumbuh tinggi menjulang dan besar, memiliki dedaunan yang rindang sekali. Angin sepoi-sepoi yang jelas-jelas akan mampir di sana m
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi dan memiliki reputasi terbaik untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalau pun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan wali kelas meringis. Sementara si empunya sendiri, Arzan, dia cuma fokus belajar dan memberi mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama tiap kali ada kesempatan. Bukannya Arzan cuek dan tidak peduli akan dengan pendidikannya sendiriㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi mengejar nilai yang bagus dan mumpuni untuk mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari di
DULU sekali, saat Rosa masih kecil, ia sering di tinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang menggemaskan lainnya dan itu membuat Rosa iri. Sangat-sangat iri. Rosa tidak pernah di ajak kemanapun oleh Julian mau pun Marie, pernah sih, itu pun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa di anggap seperti makhluk tak kasat mata di sana. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya ia habiskan di rumahnya, rumah Jessica, Jenna atau pun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca menjelang waktu tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Ya sudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Karena anak manja adalah anak nakal. Suatu ketika, pernah sekali Ros
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak