PUKUL delapan pagi, tepat, saat Rosa melirik jam dindingnya. Ia merenggangkan tubuhnya pelan dan bangkit dari tidurnya. Masa bodoh dengan keterlambatannya yang memang bukan untuk pertama kalinya. Toh, membolos pelajaran matematika saat pagi memang menyenangkan.
Kalau dijabarkan, seharian penuh tidak akan cukup. Percayalah, betapa Rosa membenci matematika. Setelah mengabari ketiga ibu tirinyaㅡsebut saja Jessica, Jenna dan Chelsieㅡdengan pesan singkat, Rosa segera membersihkan diri. Berendam sejenak, ditemani musik klasik yang mengalun indah. Lima belas menit telah berlalu dan Rosa keluar dengan bathrobes seputih gading. Sembari bersiul pelan Rosa pun mengambil seragamnya. Mengenakan dan berdandan sejenak, memoles bibir dengan lipgloss lalu mengaplikasikan bedak tipis di wajah. Di rasa sempurna, Rosa menjentikkan jarinya dan tersenyum genit menatap pantulan dirinya. "Cantik dari lahir mah beda, dandan dikit udah kek princess," ujarnya berbangga diri. Sekali lagi mengecek penampilannya, Rosa keluar dari kamarnya dan mendapati sticky note di kulkas. Jelas dari adik semata wayangnya. "Kak, jangan lupa sarapan. Kalau nggak sempat, tadi Lion udah bikin roti lapis. Makan itu aja di jalan. Tadi Lion udah gedor pintu kamar Kak Audy, tapi nggak keluar-keluar. See you and have a nice day." Mengangguk pelan kemudian menatap beberapa lembar roti lapis di atas meja. Rosa lantas meletakkan sticky note di laci lalu menyantap sarapannya dengan hikmat. Diliriknya lagi jam di ponsel, 08:45, Rosa hanya mengangguk samar. "Ternyata gue mandi lama juga ya," komentarnya santai. Tak lama kemudian ponselnya berdering, Rosa segera menggeser ikon hijau ke samping. "Halo?" "HALO?" balas sang penelpon geram. "Anjing lo, Ros! Dimana lo?!" Mengerjap pelan, Rosa menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat nama penelpon. "Apaan sih, Jes? Ribut amat lo, ayam mana lagi yang beranak?" "BANGSAT! CEPETAN KE SEKOLAH!" "Kenapa sih? Ngegas lo pagi-pagi," balas Rosa lalu menelan rotinya. "Pagi itu harus dilewati dengan ketenangan." "Gimana gue mau tenang, Rosaline. Ketos kesayangan lo lagi patroli tuh, biasanya juga anak buahnya. Sekarang dia turun tangan, gue butuh lo, Ros. Gue mau selamat. Seenggaknya gue mau numbalin lo." Jessica berbicara dengan nada pelan, nyaris setengah berbisik. Rosa mengernyit jengah. "Bisa basa-basi dulu kagak sih?" "Halah! Nggak penting! Cepetan ke sekolah, Rosalineku. Hanya kaulah yang bisa menyelamatkanku." "Chelsie? Jenna? Kemana tuh dua curut?" "Lo pikir Chelsie bakalan telat? Dia mah tukang bolos bukan tukang telat kayak lo, Dodol!" ucap Jessica setengah menghina. "Jenna udah di kelas, didetik-detik terakhir dia selamet. Gue telat lima menit, anjir!" "Ouh, gitu!" "Cepetan ke sekolah, Rosa, gue jajanin cilok deh lo. Nasgor, batagor, martabak juga boleh. Terserah. Gue nggak mau ketemu Alvin. Ogah! Serangan jantung gue entar." "Dia suka lo kali," "Arzan juga suka lo." "Gue nggak sekolah aja deh hari ini," ujarnya ketus. Terlalu malas untuk di kaitkan dengan ketua OSIS menyebalkan itu. "Jangan dong, Sa! Bobol aja udah ATM gue. Terserah!" Rosa tersenyum penuh kemenangan. "I'm coming, baby!" "Najis!" Seusai mengatakan kalimat tidak sopan, Jessica memutuskan panggilan sepihak. Rosa mantap untuk ke sekolah sekarang. Demi martabak keju dengan toping kacang, batagor, dan ATM Jessica yang bebas di bobol nanti. Rosa akan senang hati pergi ke sekolah. Mungkin kalau Chelsie berada di sampingnya, cewek itu pasti akan berkata, sinting! Menyambar kunci mobilnya dan mengeluarkan mobil dari garasi. Rosa menginjak pedal gas, sekali lagi, masa bodoh dengan peraturan kecepatan berkendara. "Sialan!" umpatnya. Macet. Terdengar bunyi riuh klakson di luar mobilnya. Rosa mengedikkan bahu tak peduli dan kembali mengigit roti lapis buatan Leon. "Hmp! Lion berbakat keknya jadi koki." Dia bersiul pelan setelah lampu berubah hijau. Namun sepertinya ketenangan pagi katanya tadi memang sedang mengalami gangguan. Rosa harus menginjak rem mendadak saat sebuah motor yang lampu sein kanan tetapi berbelok ke kiri. "Sebenarnya, ibu-ibu tuh punya masalah hidup apaan sih? Atau pas kegiatan sosial bareng polisi dia bolos kali? Nggak bisa banget bedain kiri sama kanan. Bangsat!" Masih merutuki sifat ibu-ibu pengendara motor tadi, akhirnya Rosa sampai di sekolah pada pukul 09:15. Perasaannya sudah tidak enak saat gerbang sekolah dibuka lebar padahal sudah jam segini. Memarkirkan si putih kesayangan, Rosa keluar dari mobilnya. Ia bernapas lega. Keadaan sekitar sepi dan otomatis aman. "Rejeki anak sholehah emang nggak kemana." Baru saja ingin melangkah ke kantin. Sebuah suara masuk ke indera pendengarnya. "Tapi rejeki manusia bisa dipatok ayam kalau lo lupa." Sialan dua kali! Rosa berbalik dan mendapati Arzan yang menatapnya lamat-lamat. Ia mendengus keras-keras, menyuarakan ketidaksukaannya terang-terangan. "Musnahkan ayam diseluruh dunia," sahut Rosa asal. Arzan menggelengkan kepalanya pelan. "Lo tau jam berapa sekarang, Rosaline?" "Rosa aja, please, kita nggak deket," ujarnya ketus lalu melirik arlojinya. "Jam sembilan lewat?" "Lo telat dua jam, Rosa." "Dua jam kurang," ralatnya. "Apapun itu lo tetap telat." Arzan menghembuskan napasnya berat. "Ikutin gue ke lapangan." Rosa mendengus. Manut saja dan mengekori Arzan dari belakang. Percuma juga untuk berdebat dengan murid kesayangan guru serta siswi sekolah itu. Yang ada nanti ia bisa saja diceramahi lebih lama. Ah, tidak! Rosa masih sayang batagor hangat di kantin. Enak saja ludes terjual habis tanpa menyisakan sedikitpun untuknya. Padahal Jessica sudah mau berbagi tadi pagi, jelas Rosa harus menagih itu. Tetapi sepertinya 'acara Jessica mentraktir' hanyalah angan-angan belaka. Matanya lurus menatap wajah masam Jessica di lapangan sekolah. Gadis itu duduk bersila di atas tanah. Jessica menatapnya kaget lalu berubah sinis. "Heh! Lama banget lo, kutil!" "Katakan hai dulu sama princess, dasar rakjel lo!" Keduanya total menjadi perhatian para siswa dan siswi yang telat. Namun seakan buta sosial dan memang pada dasarnya memang tidak tahu malu. Dua gadis itu malah melanjutkan debatnya. "Gue suruh lo cepatan, Njing! Berapa botol sabun yang lo abisin pagi ini, hah?!" "Sebotol aja nggak habis, bego! Punya temen kok tolol sih!" Jessica melotot garang. "Nggak ada traktiran batagor, martabak atau apapun itu. ATM gue udah gue buang tadi." "Heh! Nggak adil dong. Nggak bisa batal gitu aja, lo udah janji pas nelpon gue tadi. Enak aja! Nggak bisa!" sanggah Rosa tak terima. "Duit gue, suka-suka gue." "Nggakㅡ" "Kalian kalau mau ribut di tempat lain aja." Dhani menginterupsi sinis. Cowok yang menjabat sebagai wakil ketua OSIS itu menatap Rosa serta Jessica garang. Rosa dan Jessica saling pandang beberapa detik sebelum akhirnya merangkul satu sama lain. "Dengan senang hati, Pak Wakil." Dhani menghela napas berat, melihat dua biang kerok itu sudah melangkah ingin pergi. "Nggak ada! Balik ke tempat kalian." Keduanya berdecak sebal dan berbaris rapi lalu Arzan datang dengan sekretarisnya, Chika. Siswi yang digadang-gadang akan menyandang gelar sebagai kekasih seorang Arzan. Namun malah ditampar kenyataan bahwa Arzan terang-terangan menyukai bahkan bertingkah manis pada Rosa. Arzan menatap wajah satu persatu murid yang terlambat di depannya, dan menatap lama pada Rosa. "Kalian tau sekarang jam berapa?" "Guna arloji lo apaan sih, Zan, pake nanya segala," sahut Jessica kesal. "Ke intinya aja, tolong. Gue nggak berniat dengerin ceramah pagi buta. Toh, bakalan diulang lagi." "Lo-!" Arzan menahan lengan Dhani yang ingin menunjuk Jessica. Cowok itu sudah berperang lama dengan Jessica selaku pembuat onar sekolah. "Ubah kelakuan lo, Jes," Arzan mengalihkan tatapannya dari Jessica pada Rosa. "Minimal... temen lo." Jessica menatap Rosa sejenak lalu merangkulnya. "Ros, nggak rela gue lo sama si ketos. Masa lo selingkuhin gue, sih, Beb?" Rosa balas merangkul Jessica, kali ini lebih mesra. "Enggak kok, Beb, hati aku udah sama kamu. Lopyu muach!" "Muach!" Melihat kelakuan dua cewek itu, sontak membuat orang-orang disana terhibur sekaligus jijik. Apalagi Dhani yang berlagak pura-pura muntah. "Udah-udah. Karena kalian menghalangi proses hukuman. Kalian ngebersihin lapangan outdoor ini berdua dan yang lain bersihin lapangan indoor. Sekian." Arzan sudah melayangkan titahnya. "Dih! Nggak bisa gitu dong. Enak aja." Arzan menatap Rosa dengan smirk kecil dan mengusak kepala si perempuan lembut. "Lain kali jangan telat. Nyapekin diri sendiri aja." Dan pergi berlalu. Rosa mendengus. "Dia gila kali." Jessica mengangguk. "Dia suka lo." Rosa tersenyum kecil dan menatap punggung Arzan yang semakin mengecil dari penglihatannya. Lalu berkata, "Dia nggak suka gue."MENDONGAK pelan dan memicingkan matanya menatap matahari seraya menyeka bulir keringat di pelipis. Rosa dengan malas menyeret sapu ijuk setinggi bahunya dan duduk di pinggir lapangan. Dalam hati mengutuk Arzan mati-matian karena menempatkannya dalam hukuman ini yang panas teriknya bukan main. Rosa berdecak, “Gue kerjain, mampus tuh bocah!”Sebuah kerikil kecil dilempar mengenai keningnya, membuat Rosa mengaduh dan menatap tajam pelakunya. “Apasih, anjing?!”“Harusnya lo ngebujuk si Arzan bukannya nyari pekara. Dasar tolol!” hina Jessica sebal. “Kenapa gue? Kenapa?! Hubungannya apa?!” teriaknya kesal. Jessica menatap jengah pada sahabatnya itu. “Because he loves you.”Rosa sudah terlampau kenyang dicekoki kalimat itu. Sudah muak mendengarnya, Rosa menyentil kening Jessica keras. “Bodo amat! Who's care?”“Walaupun lo nggak suka, seenggaknya dia bisa lo manfaatin.” Jessica berujar santai. “Opsi yang bagus?” Jessica tergelak mendengarnya. “Stop acting like you don't care.”“Gue emang
"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Seolah tak percaya dan mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Dunia mau kiamat?!"Selaku objek pada topik yang tengah diperbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi. Tangannya mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara matanya bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan yang para detektifnya berdebat tentang hal 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'. "Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik. "Di depan mata gue,
MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir, perut Rosa kini berdemo minta segera diisi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Dan pilihan sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya rebus air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah dituang saus. Duduk manis di kursi pantry dan berbinar-binar menatap hasil masakannya sendiri. Baru saja ingin menyendok pasta tersebut ke dalam mulut. Perhatian Rosa teralih pada pintu utama yang terbuka, menampilkan Julian, Marie serta Lion. Rosa berkedip.Kali ini, ke mana lagi mereka bertiga pergi tanpa dirinya? Julian menatap putri sulungnya tanpa minat, "Baru pulang kamu?"Rosa hanya menggeleng sebagai jawaban, sepersekon kemudian buru-buru menyendokkan pasta ke dalam mulut. "Lion, bergunalah sebagai anak laki-laki di keluarga kita," tukas
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Di cuaca pancaroba ini begini, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih ada angin kencang. Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebutnyaㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan begini. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial. Tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya. “Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan. Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lo ngapa
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa. Kondisi sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak seperti gelandangan, tetapi sukses membuatnya cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan. Wajahnya memerah, gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari sepertinya. Jenna bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga. Baju yang dipakai Rosa tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya. “Sa, feel better?” Rosa diam, setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang dilontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir tehnya sementara sorot matanya lurus menatap ke dalam teh. “Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, seperti seorang ibu
BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun. Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arz
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama. Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setel
DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian