Share

BAB 5

JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa. Kondisi sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak seperti gelandangan, tetapi sukses membuatnya cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan. Wajahnya memerah, gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari sepertinya. Jenna bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya?

Mengambil selimut di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga. Baju yang dipakai Rosa tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya.

“Sa, feel better?”

Rosa diam, setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang dilontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir tehnya sementara sorot matanya lurus menatap ke dalam teh.

“Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, seperti seorang ibu. Hati Rosa menghangat mendengarnya. “Cerita kalau lo udah siap,” tambah Jenna dan gadis itu berlalu menuju dapur.

Jenna agaknya mengerti, dan memberinya waktu sendiri di ruang tamu gadis itu.

Rasanya tidak etis kalau masih menyimpan semua kisahnya. Namun Rosa juga sulit untuk menceritakannya, seakan tenggorokannya tercekat, lidahnya kelu. Sementara perasaan benci, sakit, hancur serta sedih bergumul di hatinya. Seakan menjerat kakinya hingga jatuh ke dalam lubang hitam. Kepalanya makin pening. Kepingan-kepingan memori mulai menyeruak masuk ke dalam otaknya. Perlahan-lahan memunculkan buliran air mata di pelupuk mata yang siap jatuh kapan saja. Dadanya sesak.

Rasanya sulit bernapas.

Rosa tak mengerti kenapa ia selemah ini. Umurnya sudah 17 tahun, selama itu pula ia sudah merasakan tekanan dari Julian. Merasakan keasingan warnanya dalam keluarganya sendiri. Tetapi mengapa masih tetap sakit baginya. Kenapa masih tetap terasa ngilu di lubuk hatinya? Kenapa? Padahal ia sudah menguatkan batinnya agar kebal. Tetapi sakitnya benar-benar merusak dinding pertahanannya.

Isakan kecil lolos dari bibirnya. Ketika terbayang wajah ibunya yang tak dapat membantu, wajah Lion yang bergeming di tempat serta Julian dengan kekesalannya.

Rosa tak pernah minta dilahirkan di keluarga itu. Sekalipun tak pernah, bahkan setelah dia mengecap kehidupan selama belasan tahun. Rosa berharap kalau ia lahir di keluarga yang sederhana. Ayah yang melindungi, ibu yang menyayangi dan saudara yang menemani hari-hari. Tiap detik berlalu seakan kasih sayang mengalir deras untuknya. Tetap tidak, khayalannya benar-benar semu. Tidak akan pernah terjadi.

Hanya karena perkara ia perempuan.

Perempuan.

Perempuan.

Karena Rosa perempuan.

Memangnya kenapa kalau perempuan?

Perempuan itu aib.

Perempuan itu aib.

Malapetaka keluarga.

Perempuan itu pembawa masalah, sial, harusnya mati saja.

Menyusahkan.

Aib. Aib. Aib.

Aib.

“ARRGGHH!”

Kepalanya bagai dihantam batu, Rosa histeris. Cangkirnya ia lempar kasar ke bawah. Tangannya terangkat untuk memukuli kepalanya sendiri, berusaha mengenyahkan suara-suara menyakitkan itu. Rosa tak ingin dengar. Tidak lagi. Ia bukan aib. Bukan. Bukan. Rosa terisak-isak dan matanya tertuju pada pecahan cangkir tadi. Tangannya buru-buru terjulur untuk menggapainya, tidak, ia tidak ingin merasakan sakit lagi.

Sudah cukup.

Sebelum tangannya menggapai pecahan kaca, sebuah tangan menarik lengan Rosa dan memeluknya erat-erat. Tangan itu mengelus punggungnya, menyalurkan perasaan aman pada gadis itu.

Rosa terdiam untuk beberapa detik sebelum kembali menangis, lebih keras, lebih memilukan lagi. Siapapun yang mendengarnya serasa merasakan kesedihan gadis itu. Tangan Rosa lantas balas memeluk sosok itu tak kalah erat.

“Capek, capek, Sica,” adunya seperti anak kecil. “Capek banget.”

Jessica mengangguk kecil, tangannya masih mengelus punggung Rosa. “Iya, tau,”

“Gue bukan aib!”

“Bukan, bukan aib.”

“Kalau perempuan emangnya kenapa?!” tanyanya frustasi, walau terdengar putus asa bagi Jessica. “Gue manusia, gue berhak buat bahagia,” isaknya.

“Iya, lo berhak. Berhak banget.”

“Tapi kenapa dia gitu? Kenapa?”

Jessica tak menjawab, ia memilih menjauhkan diri dan menggenggam tangan Rosa. Senyumannya yang lembut mampu membuat Rosa sedikit lebih tenang.

“Mereka salah, Sa, salah besar,” tutur Jessica lembut, sangat lembut bahkan seperti bukan dirinya saja. “Lo bukan aib. Nggak ada anak di dunia ini yang aib, nggak ada, Sa.”

Air mata Rosa kembali jatuh, “Terus kenapa papa gitu?”

“Bokap lo cuma belum ngerti seberapa berharganya lo.” Jessica membetulkan letak selimut yang membungkus tubuh Rosa tadi. Menariknya sampai pinggang kemudian melanjutkan. “Kalau bokap lo nggak anggep lo berharga. Jangan khawatir, Sa, jangan pernah khawatir.

“Kita sayang lo, sayang banget. Gue, Jenna, Chelsie, semuanya sayang sama lo. Karena lo sahabat kita, kita bakalan selalu ada buat lo. Dari dulu dan seterusnya, bakalan selalu gitu. Jangan takut.”

Jessica kembali memeluk tubuh Rosa ketika sahabatnya itu kembali menangis. Sementara otaknya tetap tak bisa mengenyahkan keterkejutan. Kalau saja ia telat datang saat Jenna mengabarinya tadi, mungkin Rosa sudah ... bersimbah darah. Tanpa sadar Jessica mengepalkan tangannya dan menatap Jenna yang berdiri tak jauh dari mereka. Gadis itu juga sama terkejutnya dengan dia.

Sepuluh menit kemudian Rosa sudah tenang dan terlelap dalam mimpinya. Jenna pun meminta bantuan Revin untuk menggendong Rosa ke kamarnya. Revin sempat bertanya apa yang terjadi, namun belum sempat Jenna menjawab. Jessica melotot dan cowok itu langsung dejavu sesaat. Mendadak teringat kalau pernah dihajar Jessica habis-habisan waktu kecil.

Setelah kepergian Revin, kedua gadis itu melihat Rosa dari daun pintu.

“Dia mau bunuh diri kayaknya tadi,” ujar Jessica datar, matanya masih menatap Rosa lekat-lekat.

Jenna menahan napas. “Jangan bilang pake pecahan kaca tadi?” tanyanya menolak percaya dengan dugaan di kepala.

Jessica mengangguk dua kali sebelum menghela napas. “Gue nggak tau apa yang tua bangka itu bilang sama Rosa. Tapi gue berani jamin, bukan kalimat manis kek tua bangka di rumah gue.”

Jenna terdiam sejenak, perasaan menyesal mulai menggerogoti hatinya. “Harusnya gue nggak ninggalin Rosa sendirian tadi. Harusnya gue di samping dia dan nggak ke rumah Revin buat nanya bumbu dapur. Harusnya gue di sini aja.”

“Na, lo nggak salah. Rosa juga nggak salah,” tegas Jessica, mata kini menatap Jenna. “Takdir aja yang lagi ngelucu sama kita.”

“Seenggaknya dia nggak ngelakuin tindakan bodoh,” tambah Jessica, nadanya tenang walaupun Jenna yakin ada kecemasan di dalam kalimatnya.

“Gue kaget tadi pas Arzan nganterin Rosa ke sini. Bajunya tipis, bahkan nggak bawa hp juga. Kayaknya Rosa kabur selesai berantem sama bokapnya,” tutur Jenna sembari memeluk tubuhnya dengan gerakan pelan.

“Kalau gue nggak mikirin harga diri Rosa yang bakalan jatoh,” Jessica menjeda dengan mata yang berkobar marah. "Udah gue hancurin perusahaan bokapnya lewat si tua bangka. Biar si tua bangka ada gunanya hidup.”

Jenna dapat merasakan aura Jessica mulai meredup. Cahaya dan keceriannya saat siang hari benar-benar mulai hilang seperti pergantian siang dan malam. Jenna mengutuk dirinya sendiri. Di saat-saat seperti ini, dia tidak bisa membantu apa-apa. Tak berguna sebagai sahabat mereka. Jessica pemberani, tidak takut untuk membela mereka habis-habisan. Walaupun sering kali caranya salah. Sementara dirinya nyaris membuat Rosa kehilangan nyawa, kalau saja Jessica tidak cepat datang.

“Na?”

“Ah, iya?”

Tatapan gadis itu lebih lunak dari tadi, Jenna terkesiap sejenak. Jessica memeluknya erat-erat, sempat heran sejenak namun ia tetap membalas pelukan sahabatnya itu.

“Kalian semua. Lo, Chelsie dan Rosa penting banget buat gue. Jangan mikir kalau lo nggak berguna buat kita, Na. Lo rumah bagi kita, Na, lo harus tau dan inget itu.”

Jenna mengerjap kemudian tersenyum tipis. Jessica benar, Jenna harusnya tidak sepesimis tadi. Benar, ia bisa jadi rumah bagi ketiga sahabatnya.

ⓗⓞⓦ ⓑⓐⓓ ⓓⓞ ⓨⓞⓤ ⓦⓐⓝⓣ ⓜⓔ

Esok paginya, ketika burung-burung mulai berkicau di angkasa dan matahari mulai menyembul malu-malu. Rosa terbangun, kepalanya sedikit pening dan tubuhnya bergetar pelan; kedinginan. Rosa menyamankan diri dalam selimut tebalnya, ia tidak kedinginan seperti kemarin sore. Kamar Jenna benar-benar nyaman untuk di tempati.

Tiba-tiba Rosa berhenti bergerak ketika ia mengingat kejadian kemarin.

Ah, ia mengacau lagi.

Rosa menghela napas berat dengan mata menerawang ke langit-langit kamar.

Pasti Jenna kesulitan membersihkan pecahan cangkir yang ia lempar begitu saja ke lantai. Harusnya ia bisa menahan diri sebaik mungkin dan tidak lepas kendali seperti kemarin malam.

Rosa segera bangkit dari tidurnya dan turun ke bawah. Matanya mengerjap kala Jenna dan Chelsie sibuk menyiapkan sarapan, tetapi dalam jumlah banyak. Sementara Jessica yang tengah mengupas apel di meja makan.

Jenna menatapnya dengan senyuman, "Udah bangun ternyata, sono mandi terus kita sarapan bareng.”

“Sana, nggak usah mandi pake tiga botol sabun lo,” tambah Jessica tanpa menatapnya. "Sabun mahal, plis.”

Terdengar menyebalkan memang, tetapi entah kenapa hatinya senang dan menghangat.

"Apaan sih anjir!” omel Chelsie pada Jessica, tak lupa dengan pelototan lalu menghampiri Rosa. Chelsie menyuapinya dengan satu potongan apel. “Sana mandi. Tadi pagi gue ke rumah lo ngambil hp, dompet terus sabun bentukannya kayak mawar gitu. Nggak tau, deh, gue, tapi gue bawa aja semuanya. Tas warna biru di meja kamar Jenna.”

Jessica menatap kemusuhan pada kedua orang di depannya itu. “Pilih kasih, jingan! Dasar emak tiri lo!” murkanya.

“Anal dakjal nggak usah bacot. Mingkem!” balas Chelsie tak kalah garang.

“Jenna!” rengek Jessica tak terima.

Jenna pun tergelak namun membalas kocak. Wajahnya pun sudah berubah sedihㅡmenghayati peran. “Tenang, Nak, kita orang susah sering di gituin.”

“Tapi, Ma, aku nggak mau. Jambakin rambutnya, plissss!” rengek Jessica.

Mereka kontan ngakak mendengarnya, sudah seperti menonton ftv secara langsung. Rosa tersenyum lebar melihat pemandangan ini.

“Heh, lo!” Jessica menunjuk Rosa dengan telunjuknya, wajahnya berubah garang. “Lo berharga buat gue, Jenna, Chelsie. Jadi jangan ngadi-ngadi lo di bath tub nanti atau gue bumi hanguskan makanan di seluruh penjuru dunia.”

Rosa mengerjap beberapa kali, lamunannya pun buyar ketika Chelsie merangkulnya lembut sementara Jessica serta Jenna menatapnya hangat.

Rosa tak dapat menyembunyikan air matanya lagi, bukan kesedihan lagi namun sebab terharu. Rosa mengelap air matanya dengan gerakan pelan.

"Anjir! Terharu 'kan gue.” Kalimat pertama Rosa pagi ini, gadis itu tersenyum.

Jessica ngakak, "Dih! Apaan deh, geli,”

“Esie,” rengeknya pada Chelsie seraya memeluk cewek yang lebih pendek darinya itu.

“JESSICA! NGGAK USAH MAKAN YA LO?!”

"DIH! BENERAN JADI BAWANG PUTIH GUE.”

“SIAPA YANG NGASIH MAKANAN KE BAWANG PUTIH?!” Jenna berteriak garang, menirukan vedio yang tengah viral kini.

“AU DEH! AU DEH! DEH-DEH, JANGAN BANYAK BIKIN GUE PIKIRAN!” Jessica membalas dan kontan ngakak.

Rosa lega.

Tidak seperti yang sudah-sudah. Ia hampir melupakan suatu hal, bahwa ia memiliki sahabat yang menganggap dirinya berharga.

“Thank's.”

Ketiganya balas tersenyum atas ucapan tulus dari Rosa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status