BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola.
Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun. Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arzan yang mewanti-wanti siapa saja, tentunya, mereka lebih takut pada Jessica. Cewek berwajah manis dengan kekuatan hulk. Tak ada yang berani macam-macam dengan Jessica kecuali Alvin. Arzan sebenarnya ingin sekali menghampiri Rosa dan bertanya keadaan gadis itu. Namun niatnya terurung, ia ingin Rosa lebih punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Mungkin itu lebih baik. "Zan?" Arzan menoleh cepat dan meringis sesaat ketika melihat Chika menatapnya lamat-lamat. "Ah, maaf, Chik," ujarnya menyesal. Lagi-lagi fokus Arzan terganggu. Chika tersenyum maklum. "Nggak papa, gue cuma mau bilang lagi. Kepsek mau nanti pas acara sekolah, semuanya beres." "Oke, kita rapat besok, ya, Chik," cetus Arzan seraya merapikan lembaran kertas di meja. "Umumin di grup, ya, Chik. Makasih." "Oke, gue duluan ya." Chika pun melempar sebuah senyuman sebelum pergi. Chika tersenyum sendu. Perasaannya pada Arzan akan terus terpendam meski ia tahu, cowok itu pasti peka terhadap perasaannya. Namun seperti ini lebih baik, ia tidak ingin menyatakan apapun lagi pada Arzan. Chika terhenti berjalan saat Ody berada di depan ruang OSIS. "Ody? Ngapain?" "Nungguin temen gue," ujarnya dengan kekehan. "Gimana doi lo?” "Arzan?” Ody mengangguk. “Jadi lo beliin dia minuman?” Chika mengangguk. Ia membelikan Arzan sebotol minuman dingin di kantin. Minuman favorite cowok itu malahan. “Udah kok,” “Chik, lo harus gercep dikit,” cetus Ody seraya mencengkeram sebelah bahu Chika. “Lo harus optimis.” Ody memang tahu kebenaran perasaannya terhadap Arzan dan selalu mendukungnya agar bisa dekat dengan Arzan. Apalagi sekolah pernah digemparkan dengan Arzan yang terang-terangan mengatakan bahwa ia menyukai Rosa. Ody semakin gencar-gencarnya memperjuangkan Chika untuk bersama Arzan. Memberikan pendapat dan saran untuknya. Akan tetapi, sebagaimana pun Chika berjuang perasaan untuk Arzan. Pemuda itu tidak akan memandangnya sebagaimana ia menatap Arzan sekarang ini. “Dia suka Rosa, Dy,” ujar Chika dengan seulas senyum kecut. Ody mendecak, “Halah! Buta kali si Arzan. Bisa-bisanya suka sama cewek nggak bener kayak Rosa.” "Dy, nggak boleh gitu. Rosa baik kok, kemarin gue liat dia nolongin anak kucing di jalanan.” Chika memberi peringatan. “Habisnya ada-ada aja, sih, ngapain dia malah sama si Rosa. Udah jelas-jelas lo nungguin dia dari kelas satu. Heran gue,” ujar Ody tak habis pikir. “Model kek Raisa, kek, jelas.” “Rosa cantik, kok, Dy,” ucap Chika. Sejujurnya, tidak mengerti mengapa Ody begitu membenci Rosa sebegininya. “Dia cewek nggak bener, kasar, tukang rusuh, sok-sok sama gengnya tuh,” ralat Ody enteng. “Emang.” Keduanya sontak menoleh pada presensi baru di sekitar mereka. Mata Chika membola sempurna kala melihat Rosa yang berdiri tak jauh dari mereka. Gadis tersebut bersandar pada dinding sembari meniupi kuku-kuku jarinya yang dipoles cat kuku. “Kan, orangnya denger, Dy,” bisik Chika setengah gugup pada Ody. Ody berdecak pelan. "Apasih yang lo takutin, Chik,” balasnya kesal. Ody kembali mengalihkan pandangan pada Rosa. “Oh! Jadi lo denger?” tanya Ody dengan nada menantang. Rosa pura-pura berpikir sebelum menjawab singkat, "Kayaknya sih,” “Sadar diri. Arzan nggak cocok buat lo,” tukasnya sinis. Rosa tergelak dan menatap Ody mengejek. "Idih! Najis banget gue di cocok-cocokin sama si bangsat itu.” “Woy! Mulut lo jaga!“ Memutar bola matanya malas, Rosa pun menghampiri mereka. Tatapannya menatap menghina pada Ody. "Bego ya lo?” "Apaㅡ” "Bukannya lo yang barusan ngehina-hina gue, tapi sekarang malah nyuruh gue jaga mulut gue,” Rosa mengetuk pelipisnya. "Waras?” Ody terbakar emosi dan membalas sengit. “Toh! Faktanya emang bener 'kan, lo cuma biang masalah.” Diam-diam Rosa tersenyum melihat lawan bicaranya terbakar emosi seperti ini. Ia seperti mendapat objek baru untuk melampiaskan rasa kesalnya. Apalagi cewek pendek di depannya ini mudah terpancing emosinya. Rosa mengedikkan bahunya tak peduli. "Yah, hidup gue udah terlalu enak sih. Jadi cari yang seru aja. Kenapa? Iri ya? Kasian.” Ody mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Chika yang sejak tadi memperhatikan pun segera menarik pelan lengan Ody. "Dy, ayo pergi aja.” "Tapi cewek ular ini ngeselin, Chik,” sahut Ody dengan nada meninggi. Chika makin panik ketika suasananya makin panas. Chika jelas tak mau terjadi aksi saling pukul antara kedua gadis itu. Ody kembali menatap marah Rosa sementara yang ditatap hanya acuh tak acuh. “Asal lo tau, ya, temen gue harus sakit hati gara-gara lo! Melet Arzan lo?!” Rosa tertawa mengejek, "Bentar deh,” Gadis itu mengangkat tangannya di udara dengan ekspresi bingung di buat-buat. “Yang suka temen lo, kenapa lo yang ribut?” Mata Rosa pun menyorot Ody dengan tatapan mengejek sekaligus tajam. "Atau jangan-jangan lo lagi yang suka Arzan? Biasanya musuh dalam selimut,” Rosa beralih menatap Chika iba dan menepuk pundak gadis itu dua kali. “Hati-hati, ya,” sambungnya dan mengedipkan matanya pada Chika. Rosa kembali menatap iris mata Ody. Cewek di depannya ini tampak gugup dan sempat tersentak tadi. Eh? “Lo!” "Gue apa?!” tanya Rosa balik menantang dan bersedekap tangan. Dan tepat setelah itu, Arzan keluar dari ruangan OSIS dengan raut wajah terkejut sekaligus bingung. Rosa san Ody saling mengibarkan bendera peperangan dan suara keributannya sampai ke dalam. “Eh, ada apaan nih? Kalian berantem?” tanyanya setengah cemas. Rosa mundur selangkah dan menatap malas orang-orang di depannya, terutama Arzan. Ia menatap pemuda itu kesal padahal yang Arzan lakukannya hanyalah berdiri. “Lo urusin noh temen lo,” "Heh! Maksud lo apa?!” Ody kembali emosi. “Ah! Ribet amat hidup lo! Ngurusin hidup orang aja!” sentak Rosa sebal. “Lo berani karena sembunyi di balik punggung temen berandalan lo itu!” teriaknya penuh emosi. Rosa mengangguk dua kali. “Suka-suka gue dong. Selagi punya temen, ya, manfaatin. Tapi gue terang-terangan, nggak kayak lo diam-diam menghanyutkan.” Ody tertohok. Tangannya terangkat dan mengarah pada wajah Rosa. Sebelum berhasil mendarat, tubuh Ody terjerembab cepat ke lantai. Seseorang menendang pinggang cewek itu tanpa aba-aba. Dan hanya satu orang yang berani melakukan kekerasan di sekolah terang-terangan. Jessica. Cewek itu tersenyum penuh kemenangan, seolah apa yang dilakukannya tadi bukanlah perkara yang besar. “Yes! Tepat sasaran!” "Jessica, lo apa-apaan sih?!” bentak Arzan seraya membantu Ody berdiri. Jessica mengedikkan bahunya tak peduli dan mendekati Rosa. Cewek itu menoyor kepala gadis itu. “Lama amat, anjir! Gue tungguin juga.” “Dih! Ngabarin aja kagak lo,” balas Rosa tak terima disalahkan secara tersirat. “Udah gue WA, anjir! Nggak lo bales-bales,” kesal Jessica. Keduanya berdebat mengenai siapa yang salah dan benar. Seolah kejadian tadi hanyalah ilusi belaka. Bagaimana bisa Jessica tetap tenang bahkan setelah menendang Ody ke lantai? Chika tak paham lagi dengan apa yang terjadi. Semuanya berlalu begitu cepat. “Jes, lo minta maaf. Lo nggak boleh kayak gitu ke orang lain,” ujar Arzan penuh penekanan. Jessica mengernyitkan dahinya. “Dia orang lain, 'kan? Jadi ngapain harus gue peduliin, toh, orang asing.” “Lo mau gue masukin daftar kasus lagi, ya, Jes?” ancam Arzan. Kepalanya mendadak berdenyut pening melihat tingkah laku Jessica. “Silahkan!” Berikutnya Jessica pun berjalan perlahan dan berdiri tepat di depan Ody. Jessica menunduk sedikit demi melihat wajah Ody yang tengah menahan sakit dengan tangan memegangi bekas tendangannya tadi. “Sakit?” tanyanya mengejek. Secepat angin berlalu. Tidak ada yang bisa mencegah saat Jessica menjambak kasar rambut Ody ke atas dan melayangkan tinjuan di wajah gadis malang itu. Manusia yang berada di sana kaget kecuaii Rosa yang hanya diam memerhatikan. "Heh! Harusnya lo tau rule buat sekolah tenang di sini,” ketus Jessica seraya mencengkeram kuat dagu Ody hingga empunya balas menatapnya. “Jangan pikir gue nggak di sekolah, gue nggak tau berita. Selama ini gue tahan, ya, anjing!” Jessica menghempaskan kepala Ody kasar sementara gadis itu mengalami tremor. Kali ini Jessica menatap Arzan jengah. “Harusnya lo tau, kalau gue nggak bakalan main fisik sama orang tanpa sebab, Zan. Tapi kelakuan temen lo udah mancing-mancing emosi gue dari kelas satu. Temen lo itu udah dari dulu nyebarin rumor nggak bener di sekolah.” Jessica berlalu begitu saja sedangkan Rosa masih bertahan di sana. Menatap semua kejadian dengan tenang. Beberapa belas detik berlalu Rosa pun menghampiri Arzan dan menepuk pundak Arzan dua kali sebelum berkata, "Gue orang jahat Arzan, bahkan Jessica bisa ngebunuh dia kalau gue suruh.“ Gadis tersebut mendongak demi menatap iris Arzan yang sedikit terkejut. “Daripada gue, mending lo segera sadar. Jangan nyia-nyiain cewek tulus di sekitar lo.” Selesai dengan kalimatnya. Rosa pun berlalu dengan harapan kecil di hati. Lo harus dapet yang lebih baik dengan perasaan tulus lo sendiri.TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama. Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setel
DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup ditempuh selama 15 menit dari sekolah. Menurut Rosa, kafe tersebut sangat nyaman. Banyak macam-macam bunga di dalam maupaun di luar bangunan, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Kafe yang memilih nama 'Paradise' untuk panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin menarik minat pembeli untuk datang lagi. Sebab pemandangan yang disuguhkan sangat memanjakan mata. Dan disanalah Rosa duduk setelah di arahkan oleh pelayan sementara Arzan memesan makanan. “Gue harus foto, pamerlah. Biar makin panas lambe-lambe di sekolah,” ujarnya lalu tertawa jahat di dalam kepala. Gerak kesana, cekrek. Gerak kesini, cheese. Pose begini, cekrek. Pose
TATKALA sudah melompat ringan dari motor, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka. Senyumnya masih lebar dan hangat ditambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin menawan. Setelah berhasil lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu ditaruh di rak. Arzan masih seperti itu dan orang-orang rumah mulai mengernyit heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar dan mengucapkan salam seperti biasanya. Dihampirinya Susan lalu mencium punggung tangan si ibu. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya menyesal saat mengucapkan maaf. Namun si ibu mengangguk kaku meskipun ribuan tanya menyerang pikiran. “Wa'alaikumsalam, iya, nggak papa.”Begitu pula selanjutnya pada David yang duduk di ruang tamu menonton bola dan Krysta
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.”Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan d
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motornya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapapun yang bisa cepat menangani Rosa. Semua suster maupun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut dan seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan. Setelah gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica jatuh terduduk di lantai dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki gadis tersebut. Air matanya mulai turun sementara bibirnya sudah meloloskan isakan. Sebenarnya Rosa mau sekuat apalagi, sih? Bagaimana gadis itu bisa menah
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis dibuat memicingkan mata tatkala cahaya lampu menusuk irisnya. Sementara kepalanya pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih. Dalam hati sudah yakin pasti Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari bibir Rosa. Bagian kakinya sakit dan terasa panas saat digerakan. Rosa menyibak pelan selimut yang membungkus tubuh dan menatap miris pada kedua kakinya yang diperban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kakinya tak akan diamputasi, 'kan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai memenuhi kepalanya. Kemarin malam ia langsung menantang gelap dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit, lebih tepatnya telah mengenakan baju pasien serta berada di ranjang. Lagi-lagi ia menunjukkan kele