Share

BAB 6

BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola.

Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun.

Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arzan yang mewanti-wanti siapa saja, tentunya, mereka lebih takut pada Jessica. Cewek berwajah manis dengan kekuatan hulk. Tak ada yang berani macam-macam dengan Jessica kecuali Alvin.

Arzan sebenarnya ingin sekali menghampiri Rosa dan bertanya keadaan gadis itu. Namun niatnya terurung, ia ingin Rosa lebih punya banyak waktu untuk dirinya sendiri. Mungkin itu lebih baik.

"Zan?"

Arzan menoleh cepat dan meringis sesaat ketika melihat Chika menatapnya lamat-lamat.

"Ah, maaf, Chik," ujarnya menyesal. Lagi-lagi fokus Arzan terganggu.

Chika tersenyum maklum. "Nggak papa, gue cuma mau bilang lagi. Kepsek mau nanti pas acara sekolah, semuanya beres."

"Oke, kita rapat besok, ya, Chik," cetus Arzan seraya merapikan lembaran kertas di meja. "Umumin di grup, ya, Chik. Makasih."

"Oke, gue duluan ya." Chika pun melempar sebuah senyuman sebelum pergi.

Chika tersenyum sendu. Perasaannya pada Arzan akan terus terpendam meski ia tahu, cowok itu pasti peka terhadap perasaannya. Namun seperti ini lebih baik, ia tidak ingin menyatakan apapun lagi pada Arzan.

Chika terhenti berjalan saat Ody berada di depan ruang OSIS. "Ody? Ngapain?"

"Nungguin temen gue," ujarnya dengan kekehan. "Gimana doi lo?”

"Arzan?”

Ody mengangguk. “Jadi lo beliin dia minuman?”

Chika mengangguk. Ia membelikan Arzan sebotol minuman dingin di kantin. Minuman favorite cowok itu malahan. “Udah kok,”

“Chik, lo harus gercep dikit,” cetus Ody seraya mencengkeram sebelah bahu Chika. “Lo harus optimis.”

Ody memang tahu kebenaran perasaannya terhadap Arzan dan selalu mendukungnya agar bisa dekat dengan Arzan. Apalagi sekolah pernah digemparkan dengan Arzan yang terang-terangan mengatakan bahwa ia menyukai Rosa. Ody semakin gencar-gencarnya memperjuangkan Chika untuk bersama Arzan. Memberikan pendapat dan saran untuknya.

Akan tetapi, sebagaimana pun Chika berjuang perasaan untuk Arzan. Pemuda itu tidak akan memandangnya sebagaimana ia menatap Arzan sekarang ini.

“Dia suka Rosa, Dy,” ujar Chika dengan seulas senyum kecut.

Ody mendecak, “Halah! Buta kali si Arzan. Bisa-bisanya suka sama cewek nggak bener kayak Rosa.”

"Dy, nggak boleh gitu. Rosa baik kok, kemarin gue liat dia nolongin anak kucing di jalanan.” Chika memberi peringatan.

“Habisnya ada-ada aja, sih, ngapain dia malah sama si Rosa. Udah jelas-jelas lo nungguin dia dari kelas satu. Heran gue,” ujar Ody tak habis pikir. “Model kek Raisa, kek, jelas.”

“Rosa cantik, kok, Dy,” ucap Chika. Sejujurnya, tidak mengerti mengapa Ody begitu membenci Rosa sebegininya.

“Dia cewek nggak bener, kasar, tukang rusuh, sok-sok sama gengnya tuh,” ralat Ody enteng.

“Emang.”

Keduanya sontak menoleh pada presensi baru di sekitar mereka. Mata Chika membola sempurna kala melihat Rosa yang berdiri tak jauh dari mereka. Gadis tersebut bersandar pada dinding sembari meniupi kuku-kuku jarinya yang dipoles cat kuku.

“Kan, orangnya denger, Dy,” bisik Chika setengah gugup pada Ody.

Ody berdecak pelan. "Apasih yang lo takutin, Chik,” balasnya kesal. Ody kembali mengalihkan pandangan pada Rosa. “Oh! Jadi lo denger?” tanya Ody dengan nada menantang.

Rosa pura-pura berpikir sebelum menjawab singkat, "Kayaknya sih,”

“Sadar diri. Arzan nggak cocok buat lo,” tukasnya sinis.

Rosa tergelak dan menatap Ody mengejek. "Idih! Najis banget gue di cocok-cocokin sama si bangsat itu.”

“Woy! Mulut lo jaga!“

Memutar bola matanya malas, Rosa pun menghampiri mereka. Tatapannya menatap menghina pada Ody. "Bego ya lo?”

"Apaㅡ”

"Bukannya lo yang barusan ngehina-hina gue, tapi sekarang malah nyuruh gue jaga mulut gue,” Rosa mengetuk pelipisnya. "Waras?”

Ody terbakar emosi dan membalas sengit. “Toh! Faktanya emang bener 'kan, lo cuma biang masalah.”

Diam-diam Rosa tersenyum melihat lawan bicaranya terbakar emosi seperti ini. Ia seperti mendapat objek baru untuk melampiaskan rasa kesalnya. Apalagi cewek pendek di depannya ini mudah terpancing emosinya.

Rosa mengedikkan bahunya tak peduli. "Yah, hidup gue udah terlalu enak sih. Jadi cari yang seru aja. Kenapa? Iri ya? Kasian.”

Ody mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Chika yang sejak tadi memperhatikan pun segera menarik pelan lengan Ody. "Dy, ayo pergi aja.”

"Tapi cewek ular ini ngeselin, Chik,” sahut Ody dengan nada meninggi.

Chika makin panik ketika suasananya makin panas. Chika jelas tak mau terjadi aksi saling pukul antara kedua gadis itu.

Ody kembali menatap marah Rosa sementara yang ditatap hanya acuh tak acuh. “Asal lo tau, ya, temen gue harus sakit hati gara-gara lo! Melet Arzan lo?!”

Rosa tertawa mengejek, "Bentar deh,” Gadis itu mengangkat tangannya di udara dengan ekspresi bingung di buat-buat. “Yang suka temen lo, kenapa lo yang ribut?”

Mata Rosa pun menyorot Ody dengan tatapan mengejek sekaligus tajam. "Atau jangan-jangan lo lagi yang suka Arzan? Biasanya musuh dalam selimut,” Rosa beralih menatap Chika iba dan menepuk pundak gadis itu dua kali. “Hati-hati, ya,” sambungnya dan mengedipkan matanya pada Chika.

Rosa kembali menatap iris mata Ody. Cewek di depannya ini tampak gugup dan sempat tersentak tadi. Eh?

“Lo!”

"Gue apa?!” tanya Rosa balik menantang dan bersedekap tangan.

Dan tepat setelah itu, Arzan keluar dari ruangan OSIS dengan raut wajah terkejut sekaligus bingung. Rosa san Ody saling mengibarkan bendera peperangan dan suara keributannya sampai ke dalam.

“Eh, ada apaan nih? Kalian berantem?” tanyanya setengah cemas.

Rosa mundur selangkah dan menatap malas orang-orang di depannya, terutama Arzan. Ia menatap pemuda itu kesal padahal yang Arzan lakukannya hanyalah berdiri. “Lo urusin noh temen lo,”

"Heh! Maksud lo apa?!” Ody kembali emosi.

“Ah! Ribet amat hidup lo! Ngurusin hidup orang aja!” sentak Rosa sebal.

“Lo berani karena sembunyi di balik punggung temen berandalan lo itu!” teriaknya penuh emosi.

Rosa mengangguk dua kali. “Suka-suka gue dong. Selagi punya temen, ya, manfaatin. Tapi gue terang-terangan, nggak kayak lo diam-diam menghanyutkan.”

Ody tertohok. Tangannya terangkat dan mengarah pada wajah Rosa. Sebelum berhasil mendarat, tubuh Ody terjerembab cepat ke lantai. Seseorang menendang pinggang cewek itu tanpa aba-aba. Dan hanya satu orang yang berani melakukan kekerasan di sekolah terang-terangan.

Jessica.

Cewek itu tersenyum penuh kemenangan, seolah apa yang dilakukannya tadi bukanlah perkara yang besar. “Yes! Tepat sasaran!”

"Jessica, lo apa-apaan sih?!” bentak Arzan seraya membantu Ody berdiri.

Jessica mengedikkan bahunya tak peduli dan mendekati Rosa. Cewek itu menoyor kepala gadis itu. “Lama amat, anjir! Gue tungguin juga.”

“Dih! Ngabarin aja kagak lo,” balas Rosa tak terima disalahkan secara tersirat.

“Udah gue WA, anjir! Nggak lo bales-bales,” kesal Jessica.

Keduanya berdebat mengenai siapa yang salah dan benar. Seolah kejadian tadi hanyalah ilusi belaka.

Bagaimana bisa Jessica tetap tenang bahkan setelah menendang Ody ke lantai?

Chika tak paham lagi dengan apa yang terjadi. Semuanya berlalu begitu cepat.

“Jes, lo minta maaf. Lo nggak boleh kayak gitu ke orang lain,” ujar Arzan penuh penekanan.

Jessica mengernyitkan dahinya. “Dia orang lain, 'kan? Jadi ngapain harus gue peduliin, toh, orang asing.”

“Lo mau gue masukin daftar kasus lagi, ya, Jes?” ancam Arzan. Kepalanya mendadak berdenyut pening melihat tingkah laku Jessica.

“Silahkan!”

Berikutnya Jessica pun berjalan perlahan dan berdiri tepat di depan Ody. Jessica menunduk sedikit demi melihat wajah Ody yang tengah menahan sakit dengan tangan memegangi bekas tendangannya tadi.

“Sakit?” tanyanya mengejek.

Secepat angin berlalu. Tidak ada yang bisa mencegah saat Jessica menjambak kasar rambut Ody ke atas dan melayangkan tinjuan di wajah gadis malang itu. Manusia yang berada di sana kaget kecuaii Rosa yang hanya diam memerhatikan.

"Heh! Harusnya lo tau rule buat sekolah tenang di sini,” ketus Jessica seraya mencengkeram kuat dagu Ody hingga empunya balas menatapnya. “Jangan pikir gue nggak di sekolah, gue nggak tau berita. Selama ini gue tahan, ya, anjing!”

Jessica menghempaskan kepala Ody kasar sementara gadis itu mengalami tremor.

Kali ini Jessica menatap Arzan jengah. “Harusnya lo tau, kalau gue nggak bakalan main fisik sama orang tanpa sebab, Zan. Tapi kelakuan temen lo udah mancing-mancing emosi gue dari kelas satu. Temen lo itu udah dari dulu nyebarin rumor nggak bener di sekolah.”

Jessica berlalu begitu saja sedangkan Rosa masih bertahan di sana. Menatap semua kejadian dengan tenang.

Beberapa belas detik berlalu Rosa pun menghampiri Arzan dan menepuk pundak Arzan dua kali sebelum berkata, "Gue orang jahat Arzan, bahkan Jessica bisa ngebunuh dia kalau gue suruh.“

Gadis tersebut mendongak demi menatap iris Arzan yang sedikit terkejut. “Daripada gue, mending lo segera sadar. Jangan nyia-nyiain cewek tulus di sekitar lo.”

Selesai dengan kalimatnya. Rosa pun berlalu dengan harapan kecil di hati.

Lo harus dapet yang lebih baik dengan perasaan tulus lo sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status