TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi dan memiliki reputasi terbaik untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalau pun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan wali kelas meringis. Sementara si empunya sendiri, Arzan, dia cuma fokus belajar dan memberi mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama tiap kali ada kesempatan.
Bukannya Arzan cuek dan tidak peduli akan dengan pendidikannya sendiriㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi mengejar nilai yang bagus dan mumpuni untuk mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi karena itu Arzan tidak terlalu berlebihan memusingkannya dan mengikuti alur seperti air mengalir, sebab rasa-rasanya semua tujuan mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setelah sang ayah memintanyaㅡsetengah memaksa dan sempat berdebat dengan ibuㅡuntuk mendaftar menuju SMA Bina Bangsa, Arzan manut walau ada rasa ragu dalam dada. Ia mendengar dari beberapa teman, bahwa sekolah tersebut terlibat aksi tauran belum lama ini nan mana hal tersebut jelas-jelas bukanlah kabar berita baik pada tahun ajar baru kala itu. akan tetapi Arzan tetap mendaftarkan diri berkat dorongan orang tua dan namanya masuk pada urutan ke lima yang menjadi siswa prioritas masuk. Arzan tersenyum simpul menatap namanya sendiri nan tertera pada kertas di papan pengumuman sebelum akhirnya atensi di ambil alih oleh presensi lain yang berada di sana. Waktu itu, pertama kalinya Arzan melihat Rosa. Bibir kecil gadis tersebut terus-menerus bergerak seraya merangkul Chelsie, mengeluarkan lelucon ringan lalu tertawa. Arzan tertegun sejenak dalam bungkamnya, iris mata pemuda tersebut tiada lelah dalam memindai bagaimana cara Rosa tersenyum, tergelak bahkan merengut bak anak kecil di hadapan sahabat-sahabatnya. Arzan menunduk kecil kemudian dengan dentuman jantung yang tak lagi seiras menggema di rongga dada, bibirnya dilipat cepat namun ada resah di sana. Takut apabila objek pandangan menyadari tingkah anehnya ini. Arzan menghela napas panjang kala memorinya di paksa terjun bebas ke bawah. “Gue masuk kok, Jes!” sungutnya sebal. “Nyogok ya?” tuding Jessica seraya terkekeh kecil, ia menjawil dagu lawan. “Dih! Bukan Rosaline namanya kalau nyogok, cuih, najis!” Arzan membeo, namanya Rosaline? Satu detik kemudian Arzan tersentak tatkala si objek perhatian tadi tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Menatap penuh minat dan bertanya-tanya bersama seulas senyuman. Arzan dapat dengan jelas melihat wajah anak perempuan itu yang kini tengah memandangnya. Arzan pun mendadak gugup sendiri dan reflek mengelus tengkuknya yang mulai panas. “Lo daftar di sini juga?” tanyanya santai, layaknya teman lama yang baru jumpa. Arzan mengangguk kaku sebagai jawaban, masih terserang gugup hingga telinga memerah. “Nama lo?” tanya Rosa lagi. “Arzan,” cicitnya. Rosa manggut-manggut dan memicingkan matanya menatap daftar nama, tak lama kemudian gadis tersebut bertepuk tangan kecil. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekaguman luar biasa, sementara itu juga, diam-diam Arzan tersenyum gemas melihat ekspresi balita di wajah Rosa. “Peringkat lima, lho, nama lo. Selamat ya!” Rosa mengulurkan tangannya pada Arzan; ingin memberi selamat. Arzan terdiam sejenak menatap lamat-lamat tangan Rosa tersebut untuk beberapa detik kemudian, membuat si empu menunggu dan berakhir berdecak sebal. Tangannya pun ditarik paksa dan si gadis menyatukan telapak tangan mereka untuk kemudian digoyangkan perlahan. Arzan kembali tertegun, ia merasa baru saja di sengat listrik. Sementara Rosa tersenyum lebar hingga menampakkan deretan giginya. “Gueㅡ” “Sa, ayo! Kita pulang!” Rosa kontan menarik tangannya setelah suara itu menginterupsi mereka seraya menatap pelaku di sebelah sana. "Iya, bentar!” sahutnya setengah berteriak dan kembali menatap Arzan. “Gue cabut duluan, bye! Sekali lagi selamat, ya, Arzan.” Arzan baru mengangkat kepalanya usai manik tidak lagi mendapati kaki sang lawan bicara di bawah sana dan memilih memperhatikan setiap langkah ringan Rosa yang berlari menuju teman-temannya. Tetap begitu sampai Rosa sudah hilang dari pandangannya. Arzan serta-merta menghela napas pendek sementara dadanya seakan di hantam sesak. “Rosa?” Arzan mengerjap beberapa kali sebelum menerbitkan seulas senyum kecil. “Mawar maksudnya?” Hari itu seketika saja Arzan mendapat alasan dan tujuan yang pasti akan mengapa ia harus bersekolah di siniㅡselain paksaan sang ayah. Seakan matanya yang buta warna kini dapat dengan jelas menatap ribuan ragam warna di depan mata. Hatinya juga di buat bergemuruh hebat, Arzan mendadak ingin buru-buru MOS di laksanakan, agar dapat segera bertemu lagi dengan Nona Mawar.Iya, Nona Mawar.
Arzan lancang ingin memberikan panggilan manis untuk gadis tersebut.
Dua minggu berlalu tatkala ia benar-benar di terima setelah mendaftar ulang. Arzan bangun pagi dengan semangat berapi-api bahkan ia sampai terjatuh pada anak tangga terakhir rumahnya, sampai-sampai satu rumah berhasil heboh karena insiden kecil tersebut. Ayahnya juga terkaget hingga menjatuhkan gelas kopi, sang ibu histeris dan kakaknya tanpa menunggu apa-apa lagi langsung meluncurkan meriam pertanyaan yang mana membuat Arzan pusing tujuh keliling. Arzan mungkin bisa tidak merasa bahwa ini merupakan masalah besar, sebab ibunya pernah bilang, Arzan termasuk anak yang hati-hati bahkan tidak pernah terluka apalagi terjatuh saat belajar naik sepeda. Tapi kejadian ini jelas membuat sang ibu setengah lega, bahwa sang putra terlihat seperti anak lain pada umumnya. Entah Arzan harus merasa kesal atau tidak melihat ekspresi sang ibu. “Kaki kamu beneran nggak papa?” tanya Susan seraya menatap wajah dan kaki si bungsu bergantian. “Nggak papa, Bun,” balas Arzan setelah menelan susu coklat hangatnya. “Aku nggak lumpuh, Bunda. Nggak usah khawatir.” “Gimana Bunda nggak khawatir, kalau ini perdana kamu jatoh dari tangga. Biasanya kakakmu tuh yang kesandung,” ujar Susan cemas. Krystal mendengus, tidak terima ia di sangkut-pautkan dalam hal ini. “Nggak usah bawa-bawa nama aku, please!” Susan terkekeh kecil dan menyodorkan pie susu pada si sulung hingga si gadis tertawa senang. Arzan terkekeh, Krystal sangat suka berbagai macam pie, asalkan bukan pie mentah. “Aku sehat, Bun,” tutur Arzan berusaha menenangkan kala mendapati Susan masih menatapnya ragu. Susan kemudian menganggukkan kepala dan mengambil selembar uang merah muda di dalam dompet kemudian di sodorkannya pada Arzan. Susan mengembangkan senyuman hangat sembari mengusap kepala putra bungsunya dengan sayang sedangkan Arzan sendiri malah kebingungan, “Jajan tambahan buat kamu karena kamu jatoh, hati-hati di jalan nanti ya.” Hal itu pun tak luput dari pandangan Krystal yang masih mengunyah pie susu. Krystal menatap tak terima pada ibunya. “Bun, aku 'kan sering jatoh. Kenapa nggak dapet juga?” protesnya. “Kamu keseringan, bisa bangkrut Bunda yang ada,” balas Susan, terkekeh-kekeh kemudian. “Lagian kamu udah gede juga, cepet nikah makanya terus minta suamimu,” tambah Susan dengan nada menggoda. “Masih kuliah. Aku nggak jadi protes, assalamualaikum.” Krystal bangkit dari kursinya dan cepat-cepat berjalan menuju ruang tamu. Arzan pun begitu. Seusai menenggak habis susu di gelas, ia segera berpamitan dan segera menuju sekolah barunya. Ia betulan tidak sabar lagi. Akan tetapi tatkala ia sampai di sekolah, bergabung sebentar dengan teman-teman baru lalu pamit undur diri guna mencari keberadaan Nona Mawar yang di tunggu-tunggu beberapa minggu belakangan ini, senyum Arzan luntur seketika tatkala melihat seseorang yang telah ia cari kemana-mana tengah menangis di bawah pohon besar. Ia lantas mendekat dan menyodorkan sebuah sapu tangan dari kantung almamater. Suaranya terdengar ragu keluar dari dua belah bibir dan juga pelan namun Arzan yakin ketika ia melayangkan pertanyaan berbalut cemas, “Lo nggak papa?” Sang empu berambut panjang tersebut dengan cepat mendongak hingga Arzan meringis, takut kalau tengkuknya si gadis bisa sakit. Namun tidak berselang lama, Arzan sukses di buat terkesiap kala netranya saling bertabrakan dengan netra Rosa, namun bukan lagi ramah seperti dua minggu lalu. Tetapi malah kilatan kebencian. Rosa berdiri dan melangkah menjauh dari sana. Arzan terbius beberapa detik di tempat sebelum menoleh kembali mencari Rosa. Ia mengumpat dalam hati kala tak menemuka Rosa di antara kerumunan orang. Detik itu Arzan sadar akan suatu hal.Bahwa meraih Rosa adalah hal tersulit di dalam hidupnya.
ⓗⓞⓦⓑⓐⓓⓓⓞⓨⓞⓤⓦⓐⓝⓣⓜⓔ “Lo nggak papa, Zan?” tanya Joan ketika menyadari Arzan selalu salah sasaran kala menembak bola basket menuju ring. Arzan menarik napas dalam-dalam, bahu si pemuda naik-turun dan di sertai dengan keringat yang semakin membanjiri wajahnya hingga turun ke leher. Arzan membanting dirinya sendiri ke atas lantai lapangan indoor, pikirannya yang sudah kalut beberapa hari ini makin kusut. “Muka lo udah kayak kanebo kering.” Galen menimpali seraya mengambil tempat di samping Arzan. “Di tolak mbak doi lagi lo?” Joan mengangguk setuju dan menaikkan sebelah alis. “Galau ye?” “Mumet OSIS gue,” sanggah Arzan meski pun benar adanya demikian dan ia tetap memikirkan Rosa juga, mustahil ia tidak memikirkan gadis tukang onar itu sehari saja. Itu sudah merupakan rutinitas dalam hidupnya semenjak mengenal perempuan nakal tersebut. “Lo nggak bosen apa ngejar dia terus, udah dua tahun, anjir!” ujar Joan tak habis pikir. “Galen aja mantannya udah sepuluh asal lo tau!” Galen merengut sebal, ia mengambil bola oranye dan di lempar dengan sekuat tenaga kepada sang kawan. “Nggak usah bawa-bawa nama gue,” tukasnya galak. “Kalian nggak bosen nanya hal itu terus,” balas Arzan sinis. Amat sangat muak di tanya hal itu terus menerus oleh orang lain. Seakan mencintai dan melupakan adalah perkara mudah, seolah menjentikkan jari saja. “Gue dengernya aja capek.” “Kok lo sewot sih?” tanya Galen tak terima yang malah di sikut Joan setelahnya. “Apaan sih, Jo?” “Diem lo bego!” Arzan menghela napas pendek dan segera bangkit. “Gue cabut duluan. Sorry.” Langkah kakinya di percepat untuk keluar dari ruangan. Ia pun mendudukkan diri di kursi panjang yang berada di depan gedung. Menikmati angin sepoi-sepoi yang mulai membelai lembut wajahnya. Mengabaikan banyak tatapan kagum dari orang yang berlalu-lalang, namun tetap balas tersenyum tatkala namanya di panggil untuk sebuah sapa basa-basi. Arzan mengacak rambutnya kasar. Mengapa dari sekian banyak orang yang jatuh padanya, Rosa tak masuk pada lingkaran itu? Padahal dia sudah berusaha sebaik dan semaksimal mungkin, namun mengapa Rosa tidak kunjung memandangnya juga? Setidaknya tolong anggap dia ada. Mungkin ia akan merasa jauh lebih bahagia lagi dari ini. Rosa seakan langit luas sementara ia hanya merupakan seonggok tanah yang berharap cerahnya angkasa ikut menyinarinya juga. Seakan benar-benar mustahil untuk membuat Rosa jatuh padanya. Bagian mana dari caranya yang salah? Ia selalu memastikan Rosa makan dengan baik selama di sekolah, dengan meletakkan makanan kesukaan gadis itu loker atau mejanya. Bersikap lembut, manis dan tetap sabar menghadapi gadis itu meski selama dua tahun ini agar sedikitnya Rosa, Nona Mawarnya, mau menatapnya yang berbaur dengan banyaknya duri di batang. Bagian mananya yang salah? Caranya yang mana yang salah?Tindakannya yang mana yang salah?
Arzan menghembuskan napas berat. Ia pun mendongak kala melihat salah satu adik kelasnya. “Lion?” “Ternyata beneran Bang Arzan, gue kira siapa yang lagi galau di depan gedung.” Lion terkekeh dan ikut duduk di samping Arzan. Arzan menegakkan tubuhnya dan tertawa kecil. “Gue nggak galau, cuma mumet doang.” “Kalau galau, gue sih maklum Bang.” Senyuman Lion teduh seperti biasanya. “Namanya aja ngejar, pasti capek, keringetan, bau.” Arzan mau tak mau tertawa mendengarnya. “Ngelawak lo?” Lion merupakan adik kelasnya sekaligus junior di tim basket, meskipun ia lebih tua namun Lion memiliki tubuh yang lebih tunjang daripada dirinya. Lion pun sudah di anggap sebagai adik sendiri, selain karena mereka dekat sebab sama-sama dari klub basket, Lion satu-satunya orang yang mendukung Arzan dengan Rosa. Selalu memberikan nasihat yang mana tahu berguna baginya untuk mendekati Rosa. Arzan tertolong banyak walaupun tidak ada satu pun ampuh pada sang objek. “Kagak Bang, mana berani gue menari-nari di atas penderitaan lo,” sahut Lion sembari mengangkat tangannya di atas kepala. “Doain gue ya, semoga kakak ipar lo cepet luluh,” ujar Arzan dengan seulas senyum simpul. Lion terdiam sejenak setelah mendengarnya sebelum berakhir ikut tersenyum. “Pasti, Bang.”DULU sekali, saat Rosa masih kecil, ia sering di tinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang menggemaskan lainnya dan itu membuat Rosa iri. Sangat-sangat iri. Rosa tidak pernah di ajak kemanapun oleh Julian mau pun Marie, pernah sih, itu pun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa di anggap seperti makhluk tak kasat mata di sana. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya ia habiskan di rumahnya, rumah Jessica, Jenna atau pun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca menjelang waktu tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Ya sudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Karena anak manja adalah anak nakal. Suatu ketika, pernah sekali Ros
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit dari singgasana kebanggannya. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan samar-samar langit biru, eksistensinya selalu saja dapat membuat semua manusia terkagum-kagum atas ciptaan Tuhan tersebut. Apalagi tepat di jam-jam rawan begini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu kesatuan absolut, meminta sang tuan agar segera buru-buru mengecap empuknya pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan juga, pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi para penikmatnya. Obat yang gratis di berikan guna mengusir lelah nan seharian menghinggapi badan. Kendati begitu pun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tahu benar tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat dari deretan kegiatan nan tiada henti-hentinya menyedot energi. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada yang harus memastikan keamanan lingkungan sek
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup d itempuh selama 15 menit berkendara dari sekolah. Menurut puan mawar itu, kafe tersebut tergolong sangat nyaman bagi kaum-kaum muda nan ingin mencari kesegaran dari hiruk-pikuk dunia. Beragam macam-macam bunga di dalam mau pun di luar bangunan, memberikan rasa nyaman lewat aroma wangi bunga-bunga beragam warna itu, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas sebagai konsumen utama. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Percayalah, sudut-sudut itu sangat kapabel sekali untuk di pamerkan pada sosial media. Kafe yang memilih nama 'Paradise' sebagai panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin akan menarik minat pembeli untuk datang lagi. Lantaran pemandangan yang di suguhkan sa
TATKALA berhasil melompat ringan dari motor dan mendarat dengan baik, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja setia memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka ada di dunia ini. Senyumnya sungguh-sungguh lebar dan hangat di tambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin terlihat menawan. Setelah sukses lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu di taruh pada rak sepatu. Arzan masih seperti itu memasuki rumah dan karena itulah orang-orang rumah mulai mengernyitkan dahi heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar akan tatapan demi tatapan bingung dari seisi rumah dan mengucapkan salam seperti biasanya. Di hampirinya sang ibu lalu mencium punggung tangan Susan cukup lama. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Nada suaranya terdengar riang. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya merasa me
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.” Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motor hitamnya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapa saja yang bisa cepat menangani Rosa. Beberapa suster mau pun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut nan datang bersama seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya sempat melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan sebagai bentuk pertolongan pertama. Seusai gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica serta-merta jatuh terduduk di lantai dengan kepalanya yang tertunduk dalam-dalam. Tubuh gadis berponi tersebut tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki sang sahabat. Air matanya mulai turun perlahan-
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi gagahnya. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis di buat memicingkan mata tatkala cahaya lampu mulai menusuk-nusuk irisnya. Sementara kepala pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Berdenyut-denyut kejam sampai-sampai untuk sekadar mengedarkan pandangan saja tidak cukup mampu, pandangannya goyah tiap kali bergerak. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih nan tinggi di sana. Dalam hati sudah yakin pasti bahwa Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari dua belah bibir Rosa. Di bawah sana, bagian kakinya terasa sakit luar biasa dan kapabel memberikan rasa panas menjalar saat di gerakan. Rosa menyibak lambat selimut yang membungkus tubuh dan serta-merta menatap miris pada kedua kakinya yang sekarang di perban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kak
SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajah pemuda itu sungguh-sungguh cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat semakin menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Dan yang terpenting dari yang terpenting, apakah gadis itu juga menikmati waktu mereka bersama kemari ini sama persis seperti dirinya yang juga sangat-sangat menikmati tiap detik kebersamaan mereka tersebut? Entahlah. Semoga saja begitu. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa hari ini. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Astaga, belum 24 jam saja rindunya sudah sampai antartika begini. Arzan betul-betul di buat gila oleh Nona Mawarnya tersebut. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan lantas menunduk kecil, punggung tangannya menempel pad
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak