TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama.
Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setelah ayahnya memintanyaㅡsetengah memaksa dan sempat berdebat dengan ibuㅡuntuk mendaftar pada SMA Bina Bangsa, Arzan manut walau setengah ragu. Ia mendengar dari temannya, bahwa sekolah tersebut terlibat aksi tauran belum lama ini. Tetapi Arzan tetap mendaftar dan namanya masuk pada urutan kelima yang menjadi siswa prioritas masuk. Arzan tersenyum simpul menatap namanya sendiri sebelum akhirnya atensi diambil alih oleh presensi lain. Saat itu, pertama kalinya Arzan melihat Rosa. Bibirnya terus bergerak seraya merangkul Chelsie dan tertawa. Arzan tertegun, iris matanya terus memindai bagaimana cara Rosa tersenyum, tertawa bahkan merengut bak anak kecil. Arzan menunduk kecil dengan dentuman jantung yang tak seiras, bibirnya dilipat cepat. Arzan menghela napas panjang kala memorinya dipaksa terjun bebas ke bawah. “Gue masuk kok, Jes,” sungutnya sebal. “Nyogok ya?” tuding Jessica seraya terkekeh kecil. “Dih! Bukan Rosaline namanya kalau nyogok, cuih, najis!” Arzan membeo, namanya Rosaline? Satu detik kemudian Arzan tersentak tatkala si objek perhatian tadi tiba-tiba berada di sampingnya. Arzan dapat melihat jelas wajah anak perempuan itu yang kini tengah menatapnya. Arzan mendadak gugup sendiri dan reflek mengelus tengkuknya. “Lo daftar di sini juga?” tanyanya santai, layaknya teman lama yang baru jumpa. Arzan mengangguk pelan sebagai jawaban, masih terserang gugup hingga telinga memerah. “Nama lo?” tanya Rosa lagi. “Arzan,” cicitnya. Rosa mengangguk dan memicingkan matanya menatap daftar nama, tak lama kemudian gadis tersebut bertepuk tangan kecil. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekaguman, diam-diam Arzan tersenyum melihat ekspresi balita di wajah Rosa. “Peringkat lima, lho, nama lo. Selamat ya!” Rosa mengulurkan tangannya pada Arzan. Arzan menatap lamat-lamat tangan Rosa tersebut untuk beberapa detik kemudian, membuat si empu menunggu dan berakhir berdecak sebal. Tangannya ditarik paksa dan si gadis menyatukan telapak tangan mereka. Arzan kembali tertegun, ia merasa baru saja disengat listrik. Sementara Rosa tersenyum hingga menampakkan deretan giginya. “Gueㅡ” “Sa, ayo! Kita pulang!” Rosa menarik tangannya seraya menatap pelaku yang menginterupsi. "Iya, bentar,” sahutnya setengah berteriak dan kembali menatap Arzan. “Gue cabut duluan, bye!” Arzan baru mengangkat kepalanya dan memperhatikan setiap langkah ringan Rosa yang berlari menuju teman-temannya. Tetap begitu kala Rosa sudah hilang dari pandangannya. Arzan menghela napas pendek sementara dadanya seakan dihantam sesak. “Rosa?” Arzan mengerjap sebelum menerbitkan seulas senyum kecil. “Mawar maksudnya?” Seketika Arzan mendapat alasan dan tujuan yang jelas mengapa ia harus bersekolah di siniㅡselain paksaan sang ayah. Seakan matanya yang buta warna kini dapat dengan jelas menatap ribuan ragam warna di depan mata. Hatinya bergemuruh hebat, Arzan mendadak ingin buru-buru MOS dilaksanakan, agar dapat bertemu Nona Mawar. Dua minggu berlalu ketika ia benar-benar diterima setelah mendaftar ulang. Arzan bangun pagi dengan semangat dan sampai terjatuh pada anak tangga terakhir rumahnya, sampai-sampai satu rumah heboh. Ayahnya sampai menjatuhkan gelas kopi, ibunya histeris dan kakaknya meluncurkan meriam pertanyaan yang mana membuat Arzan pusing. Arzan mungkin bisa mengerti, sebab ibunya bilang, Arzan termasuk anak yang hati-hati bahkan tidak pernah terluka apalagi terjatuh saat belajar naik sepeda. Tapi kejadian ini jelas membuat sang ibu setengah lega, bahwa Arzan terlihat seperti anak pada umumnya. Entah Arzan harus kesal atau tidak melihat ekspresi sang ibu. “Kaki kamu beneran nggak papa?” tanya Susan seraya menatap wajah dan kaki si bungsu bergantian. “Nggak papa, Bun,” balas Arzan setelah menelan susu coklatnya. “Aku nggak lumpuh, Bunda. Nggak usah khawatir.” “Gimana Bunda nggak khawatir, kalau ini perdana kamu jatoh dari tangga. Biasanya kakakmu tuh yang kesandung,” ujar Susan cemas. Krystal mendengus. “Nggak usah bawa-bawa nama aku, please!” Susan terkekeh kecil dan menyodorkan pie susu pada si sulung hingga si gadis tertawa senang. Arzan terkekeh, Krystal sangat suka berbagai macam pie, asalkan bukan pie mentah. “Aku sehat, Bun,” tutur Arzan kala mendapati Susan masih menatapnya ragu. Susan pun mengangguk dan mengambil selembar uang seratus kemudian disodorkannya pada Arzan. Susan tersenyum sedangkan Arzan bingung, “Jajan tambahan buat kamu karena kamu jatoh, hati-hati dijalan nanti ya.” Hal itu pun tak luput dari pandangan Krystal yang masih mengunyah pie susu. Krystal menatap tak terima pada ibunya. “Bun, aku 'kan sering jatoh. Kenapa nggak dapet juga?” protesnya. “Kamu keseringan, bisa bangkrut Bunda,” kekeh Susan. “Lagian kamu udah gede juga, cepet nikah makanya. Minta suamimu,” tambah Susan dengan nada menggoda. “Masih kuliah. Aku nggak jadi protes, assalamualaikum.” Krystal bangkit dari kursinya dan menuju ruang tamu. Arzan pun begitu. Setelah menenggak habis susu di gelas, ia segera berpamitan dan segera menuju sekolah barunya. Ia tak sabar. Tapi setelah sampai di sekolah, bergabung sebentar dengan temen baru lalu pamit undur diri untuk mencari Nona Mawar yang ditunggu-tunggu, senyum Arzan luntur seketika. Tatkala melihat seseorang yang dicari tengah menangis di sebuah pohon besar. Ia mendekat dan menyodorkan sebuah sapu tangan. Terdengar ragu dan pelan namun Arzan yakin bahwa ia berkata, “Lo nggak papa?” Sang empu dengan cepat mendongak hingga Arzan meringis, takut kalau tengkuknya si gadis bisa sakit. Arzan terkesiap kala netranya saling bertabrakan dengan netra Rosa, namun bukan lagi ramah seperti dua minggu lalu. Tetapi malah kilatan kebencian. Rosa berdiri dan melangkah menjauh dari sana. Arzan terbius beberapa detik di tempat sebelum menoleh kembali mencari Rosa. Ia mengumpat dalam hati kala tak menemuka Rosa di antara kerumunan orang. Detik itu Arzan sadar. Bahwa meraih Rosa adalah hal tersulit di hidupnya. ⓗⓞⓦⓑⓐⓓⓓⓞⓨⓞⓤⓦⓐⓝⓣⓜⓔ “Lo nggak papa, Zan?” tanya Joan kala melihat Arzan selalu salah sasaran kala menembak bola basket menuju ring. Arzan menghela napas dalam-dalam, bahunya naik-turun dan disertai dengan keringatnya yang semakin membanjiri wajahnya hingga ke leher. Arzan membanting dirinya sendiri ke lantai lapangan indoor, pikirannya sedang kusut. “Muka lo udah kayak kanebo kering.” Galen menimpali seraya mengambil tempat disamping Arzan. “Ditolak mbak doi lagi lo?” Joan mengangguk setuju. “Galau ye?” “Mumet OSIS gue,” sanggah Arzan meskipun ia tetap memikirkan Rosa juga, mustahil ia tidak memikirkan gadis tukang onar itu sehari saja. “Lo nggak bosen apa ngejar dia terus, udah dua tahun, anjir!” ujar Joan tak habis pikir. “Galen aja mantannya udah sepuluh asal lo tau!” Galen merengut. “Nggak usah bawa-bawa nama gue,” tukasnya. “Kalian nggak bosen nanya hal itu terus,” balas Arzan sinis. Amat sangat muak ditanya hal itu terus menerus oleh orang lain. Seakan mencintai dan melupakan adalah perkara mudah, seolah menjentikkan jari saja. “Gue dengernya aja capek.” “Kok lo sewot sih?” tanya Galen tak terima yang malah disikut Joan setelahnya. “Apaan sih, Jo?” “Diem lo bego!” Arzan menghela napas pendek dan segera bangkit. “Gue cabut duluan. Sorry.” Langkah kakinya dipercepat untuk keluar dari ruangan. Ia pun mendudukkan diri di kursi panjang di depan gedung. Menikmati angin sepoi-sepoi yang mulai membelai lembut wajahnya. Mengabaikan banyak tatapan kagum dari orang yang berlalu-lalang, namun tetap balas tersenyum tatkala namanya dipanggil untuk sapa. Arzan mengacak rambutnya kasar. Mengapa dari sekian banyak orang yang jatuh padanya, Rosa tak masuk pada lingkaran itu? Rosa seakan langit luas sementara ia hanya seonggok tanah yang berharap cerahnya langit ikut menyinari juga. Seakan benar-benar mustahil untuk membuat Rosa jatuh padanya. Bagian mana caranya yang salah? Ia selalu memastikan Rosa makan dengan baik selama di sekolah, dengan meletakkan makanan kesukaan gadis itu loker atau mejanya. Bersikap lembut, manis dan tetap sabar selama dua tahun ini agar sedikitnya Rosa, Nona Mawarnya, mau menatapnya yang berbaur dengan banyaknya duri di batang. Bagian mananya yang salah? Caranya yang mana yang salah? Arzan menghembuskan napas berat. Ia pun mendongak kala melihat salah satu adik kelasnya. “Lion?” “Ternyata beneran Bang Arzan, gue kira siapa yang lagi galau di depan gedung.” Lion terkekeh dan duduk di samping Arzan. Arzan menegakkan tubuhnya dan tertawa kecil. “Gue nggak galau, cuma mumet doang.” “Kalau galau, gue sih maklum Bang.” Senyuman Lion teduh seperti biasanya. “Namanya aja ngejar, pasti capek, keringetan, bau.” Arzan mau tak mau tertawa mendengarnya. “Ngelawak lo?” Lion merupakan adik kelasnya sekaligus junior di tim basket, meskipun ia lebih tua namun Lion memiliki tubuh yang lebih tunjang daripada dirinya. Lion pun sudah dianggap sebagai adik sendiri, selain karena mereka dekat karena basket, Lion satu-satunya orang yang mendukung Arzan dengan Rosa. Selalu memberikan nasihat yang mana tahu berguna untuk mendekati Rosa. Arzan tertolong banyak walaupun tidak ampuh sama sekali pada sang objek. “Kagak Bang, mana berani gue menari-nari diatas penderitaan lo,” sahut Lion sembari mengangkat tangannya di atas kepala. “Doain gue ya, semoga kakak ipar lo cepet luluh,” ujar Arzan dengan seulas senyum simpul. Lion terdiam sejenak setelah mendengarnya sebelum berakhir ikut tersenyum. “Pasti, Bang.”DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup ditempuh selama 15 menit dari sekolah. Menurut Rosa, kafe tersebut sangat nyaman. Banyak macam-macam bunga di dalam maupaun di luar bangunan, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Kafe yang memilih nama 'Paradise' untuk panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin menarik minat pembeli untuk datang lagi. Sebab pemandangan yang disuguhkan sangat memanjakan mata. Dan disanalah Rosa duduk setelah di arahkan oleh pelayan sementara Arzan memesan makanan. “Gue harus foto, pamerlah. Biar makin panas lambe-lambe di sekolah,” ujarnya lalu tertawa jahat di dalam kepala. Gerak kesana, cekrek. Gerak kesini, cheese. Pose begini, cekrek. Pose
TATKALA sudah melompat ringan dari motor, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka. Senyumnya masih lebar dan hangat ditambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin menawan. Setelah berhasil lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu ditaruh di rak. Arzan masih seperti itu dan orang-orang rumah mulai mengernyit heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar dan mengucapkan salam seperti biasanya. Dihampirinya Susan lalu mencium punggung tangan si ibu. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya menyesal saat mengucapkan maaf. Namun si ibu mengangguk kaku meskipun ribuan tanya menyerang pikiran. “Wa'alaikumsalam, iya, nggak papa.”Begitu pula selanjutnya pada David yang duduk di ruang tamu menonton bola dan Krysta
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.”Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan d
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motornya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapapun yang bisa cepat menangani Rosa. Semua suster maupun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut dan seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan. Setelah gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica jatuh terduduk di lantai dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki gadis tersebut. Air matanya mulai turun sementara bibirnya sudah meloloskan isakan. Sebenarnya Rosa mau sekuat apalagi, sih? Bagaimana gadis itu bisa menah
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis dibuat memicingkan mata tatkala cahaya lampu menusuk irisnya. Sementara kepalanya pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih. Dalam hati sudah yakin pasti Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari bibir Rosa. Bagian kakinya sakit dan terasa panas saat digerakan. Rosa menyibak pelan selimut yang membungkus tubuh dan menatap miris pada kedua kakinya yang diperban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kakinya tak akan diamputasi, 'kan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai memenuhi kepalanya. Kemarin malam ia langsung menantang gelap dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit, lebih tepatnya telah mengenakan baju pasien serta berada di ranjang. Lagi-lagi ia menunjukkan kele
SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajahnya cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Entahlah. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan menunduk kecil, punggung tangannya menempel pada bibir. Segan sekaligus tidak mau di katai gila kalau ketahuan tengah malu-malu kucing begini. Perasaan euforia bekas sehari kemarin masih melekat hingga kini. Jantungnya masih berdentum kuat di dalam kala mengingat wajah manis Rosa, senyum gadis itu, sikap lucu gadis itu. Semuanya. Hal-hal yang baru kali pertama ia lihat. Semalam Arzan sulit tidur sebab gemas sendiri, dirinya mengulang melihat s