DULU sekali, saat Rosa masih kecil, ia sering di tinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang menggemaskan lainnya dan itu membuat Rosa iri. Sangat-sangat iri. Rosa tidak pernah di ajak kemanapun oleh Julian mau pun Marie, pernah sih, itu pun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa di anggap seperti makhluk tak kasat mata di sana.
Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya ia habiskan di rumahnya, rumah Jessica, Jenna atau pun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca menjelang waktu tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Ya sudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Karena anak manja adalah anak nakal. Suatu ketika, pernah sekali Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan wangi dengan rambut di sisir rapih oleh Marie. Namun alih-alih ikut serta membawanya, Julian malah membentaknya begitu keras dan mengunci Rosa di kamar agar berhenti merengek sekaligus mengganggu persiapan mereka. Rosa kecil menangis sejadi-jadinya dan dua jam kemudian baru sang ART membukakan pintu kamar. Untuk menghibur Rosa kecil yang tengah bersedih saat itu, ART rumah bernama Bude Ayu menunjukkannya sebuah tape recorder, sudah cukup usang tapi katanya masih bagus. Rosa takjub sekali dan berhenti menangis saat sebuah lagu klasik di putar melalui benda berukuran sedang tersebut. Dan di saat-saat Rosa di tinggal sendiri untuk ke sekian kalinya, ia tak pernah menangis lagi, bertanya mau pun menuntut pergi seperti yang sudah-sudah. Tetapi ia akan segera berlari dengan kaki-kaki kecilnya menuju kamar Bude Ayu setelah mobil Julian keluar dari pekarangan rumah. Bernyanyi mengikuti lagu seolah-olah sedang mengadakan konser besar. Tak di sangka-sangka aksi mininya dulu malah berujung baik untuknya sekarang. Sekarang Rosa memiliki suara yang bagus dan guru seninya selalu memuji suara Rosa karena katanya ia memiliki suara merdu dan juga unik. Ia pun lolos masuk klub padus tanpa seleksi seperti anggota paduan suara lainnya. Rosa menghela napas kasar. Baginya menyanyi sudah seperti jiwanya sendiri, di saat sedih maupun senang. Menyanyi benar-benar sudah menjadi sahabat bisu baginya. Rosa akan bernyanyi di rumahnya yang lengang hingga suaranya bergema ke seluruh penjuru rumah. Matanya pun mengedar menatap ruangan padus beserta isi-isinya. Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing sedangkan Rosa sudah selesai menyanyikan lagu miliknya. Gadis tersebut pun memilih pergi dan menyampaikan amanah pada wakil ketua klub agar anggota-anggota padus tetap kondusif saat ia tinggal. Omong-omong, Rosa kini menjabat sebagai ketua paduan suara. Rosa melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Menunjukkan pukul tiga sore di sana dan Rosa tidak ingin melewatkannya. Si gadis reflek mendongak dengan mata menyipit saat cahaya matahari mulai menyinari setiap inci tubuhnya. Angkasa terbentang luas berwarna biru serta di hiasi awan-awan yang bertukar bentuk seiring dengan pergerakan angin. Rosa lantas menyunggingkan senyuman kecil lalu menurunkan pandangannya ke arah lapangan. Gadis tersebut pun mendaratkan bokongnya di bangku panjang di depan kelas yang tak jauh dari lapangan. Meski membenci orang tuanya, Rosa tetap menyayangi Lion yang merupakan adik satu-satunya. Lion tetap akan menjadi satu-satu anggota keluarga yang ingin Rosa pertahankan kebahagiaannya walau harus menggadaikan kebahagiaannya. Rosa tidak apa-apa. Rosa tidak masalah, sama sekali tidak. Selagi sang adik berbahagia, maka Rosa akan tetap baik-baik saja. Sungguh. Rosa tersenyum ketika Lion berhasil mencetak poin bahkan ia bertepuk tangan kecil karena ikut senang untuk Lion. Begini saja sudah cukup, melihat senyuman Lion mengembang seraya bertos ria dengan teman-temannya. Rosa tak bisa menjadi kakak yang baik seperti yang lain. Menghampiri Lion dan memberikan semangat penuh untuk adiknya itu di hadapan semua orang. Benar. Rosa sengaja menyembunyikan hubungan persaudaraan mereka dari orang-orang di sekolah. Rosa tak mau Lion ikut terkena getah akibat ulahnya. Julian jelas tak akan suka kalau anak emasnya terluka meski hanya lecet. Lagipula bisa menjadi masalah pelik jikalau sang adik di sangkut-pautkan dengan segala tindak-tanduknya.Diam-diam Rosa tersenyum miris.
Yah, dia mana pernah mendapat kekhawatiran serupa.
Mustahil. Jelas-jelas mustahil.
“Rosa?” Kepala sang empu reflek mendongak cepat dan langsung melebarkan matanya kala menatap presensi lain di samping. “Juna?” Rosa pun berdiri saat pemuda yang di panggil Juna melangkah mendekat. “Masih di sekolah lo?” Juna nyengir, “Iya, abis remed gue,” kekehnya seraya mengelus tengkuknya yang tak gatal. “Oh, mapel apa?” “Matematika.” “Masih hidup Pak Dandi?” candanya. “Hush! Sekate-kate lo kalau ngomong, gitu-gitu orang tua, Sa. Wah, parah lo,” tukas Juna geleng-geleng kepala, tidak percaya dengan apa yang sang lawan katakan. “Bercanda elah. Tegang amat hidup lo udah kayak kanebo kering,” cibir Rosa. “Terus lo ngapain di sini?” Rosa bungkam. Jelas tak bisa menjawab dengan baik, Rosa menggigit pipi bagian dalamnya bersama perasaan gelisah. Sementara itu Juna memberikannya tatapan menuding ke arahnya yang mau tak mau membuat Rosa seperti di sudutkan secara tak langsung. Mendadak linglung harus memberikan jawaban yang tepat seperti apa, namun belum sempat menjawab, laki-laki itu terlebih dahulu membuat ia makin waspada di posisinya. “Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanyanya was-was sembari memundurkan kepalanya dengan perasaan tidak enak. Juna menaik-turunkan alisnya lalu berujar setengah menggoda, “Lo ngeliatin Arzan ya?” Rosa membeo. Arzan? Kepalanya dengan spontan menoleh mencari orang yang di maksudkan oleh Juna dan terkesiap tatkala Arzan tengah menatapnya juga jauh di sana. Rosa langsung membuang pandangannya seketika, tiba-tiba grogi sendiri di tatap demikian dalamnya oleh Arzan. Tatapannya itu, lho, menusuk seakan Rosa bisa terbelah dua hanya karena manik tajam Arzan sekarang sedang memindainya secara terang-terangan. Rosa menggeleng dua kali demi memfokuskan diri yang tadi sempat buyar. Sedangkan ia sendiri juga baru ingat bahwa Arzan juga termasuk anggota tim basket sekolah. Sial, dia benar-benar lupa.Diam-diam sang gadis mawar merutuki kebodohannya ini.
“Jadi bener nih, Mbak Rosa udah luluh oleh Kang Mas Arzan?” goda Juna lagi di iringi seringaian. “Apaan sih, enggak! Gila lo! Ah! Jangan bikin gue teriak, ya, Jun!” sentaknya sebal yang mana membuat Juna terbahak-bahak. “Kok emosi sih lo, anjir? Hahaha!” “Lo resek!” “Dih, PMS?” Rosa mendelik sebal. “Mau gue suruh Jessica buat ngehajar lo, hah?!” geramnya. Juna langsung memasang wajah datarnya seketika, hatinya terkesiap. “Temen lo badak, Sa. Mana ganas lagi, ogah, bisa mampus gue.” “Makanya jangan nyebelin. Bawel amat lo! Hush! Mending pulang, merusak view aja hidup lo. Mati bisa?!” Juna menghela napas pendek. Rosa kalau menghina orang memang tidak pernah tanggung-tanggung. Maka dari itu, “Gue doain lo jomblo,” teriaknya lalu berlari menjauh sebelum di amuk sang empunya. Sementara Rosa terpaksa harus menelan amarahnya bulat-bulat dan mendesis setelahnya, menyesal habis pernah menerima Juna di klub paduan suaranya walau pun hanya bertahan dua minggu karena cowok itu pemalas tingkat dewa dalam menghadiri sesi latihan. Awas saja cowok berjambul itu, Rosa akan balas nanti. Pasti! Sementara itu di sisi lain Arzan benar-benar menyaksikan adegan demi adegan yang terpampang nyata di depan mata. Ia mendengus kecil dan menghela napas kasar. Jujur saja, orang mana yang tidak cemburu kala melihat orang yang di sukai bercanda tawa bersama orang lain. Arzan cemburu! Jelas saja! Tapi ia tak ada hak untuk melarang apapun pada Rosa sedangkan ia tahu bahwa gadis itu sangat tidak menyukai keberadaannya sedikit pun. Bahkan kalau boleh berlebihan, barangkali posisi Arzan dalam hidup Rosa tidak lebih dari sekadar seorang figuran nan tidak penting keberadaannya. Bahunya di ketuk dua kali membuat Arzan menoleh dan mendapati Joan di sampingnya. “Aman, Zan?” “Kalau gue bilang patah hati, lebay kagak?” Arzan balas bertanya yang langsung di hadiahi kekehan ringan dari Joan. “Namanya hidup, Zan. Nggak patah hati enggak gokil,” ujar Joan sembari menepuk pundak Arzan dua kali. Memberi semangat lewat itu. “Rosa ya?” Arzan mengangguk lemah dan kembali menatap Rosa lamat-lamat dengan sorot mata sendu. Raut wajahnya masam tatkala netranya seakan melihat aura merah muda di sekitar dua orang tersebut. Arzan mendadak ingin menghantam Juna sekarang juga. “Kenapa enggak lo datengin aja dia?” Arzan kontan menoleh dengan kening berkerut. “Hah?” “Lo datengin Rosa, 'kan dia berdiri di sana tuh. Terus ajakin pulang bareng sekalian makan bareng, paham?” terang Joan dalam satu tarikan napas. Melihat sorot ragu di mata Arzan pun membuat Joan meringis dalam hati. Arzan saja sudah sepesimis ini untuk kelangsungan kisah cintanya. Temannya yang satu selalu tampak menyedihkan jikalau berhubungan dengan kisah cintanya. “Dia nggak bakalan mau, Jo,” ucap Arzan sendu. Raut wajahnya yang masam berubah muram bukan kepalang dan Joan mendadak gemas sendiri. "Lo tau sendiri dia nggak suka gue. Benci banget dia sama gue." Biasanya juga Arzan paling semangat untuk mendekati Rosa. Tak bosan-bosannya malahan selama dua tahun ini. Kenapa malah mendadak lembek sekarang? “Etdah! Nggak usah alay, coba dulu, Zan. Masa depan nggak ada yang tau. Serius, deh. Coba aja dulu.” “Pasti di tolak, Jo.” Arzan memang sudah sepesimis itu hari ini. Apalagi setelah pertengkaran tak langsung di depan ruang OSIS. Mana mungkin ia punya keberanian sebesar itu. Tidak tahu diri namanya. “Rosa suka makan, 'kan. Ajakin makan, kalau bisa makanan favoritenya,” usul Joan sumringah. Masih mencoba untuk memberikan energi tambahan kepada lawan bicara. “Kalau di tolak juga?” Joan berdesis. “Culik aja, kurung di kamar lo.” “Heh! Anak gadis orang, anjir!” “Lo bacot, sih! Tanya, kek! Apa, kek! Malah udah nyerah aja, mana Arzan yang gue kenal bakalan ngebacot abis di depan Rosa?” tukasnya sembari merangkul Arzan sebagai bentuk memberikan dukungan pada temannya itu. “Sono! Juna udah kabur noh!” Arzan mengangguk mantap lalu menghela napas pelan dan berderap menuju Rosa yang sudah mau pergi. Pemuda tersebut semakin memanjangkan langkahnya agar bisa segera berjalan sejajar dengan Rosa. Arzan tersenyum simpul kala Rosa menatapnya dengan ekspresi kaget sekaligus bingung. “Arzan? Ngapain lo di sini?” “Mau ketemu lo,” jawabnya dengan sorot polos. Rosa berdecak. “Sana balik latihan,” usirnya. "Gue mau balik." “Ayo pulang bareng, Sa!” ajaknya dengan suara setengah berteriak, setelah sekuat tenaga mengumpulkan niat bulat-bulat saat perjalanan kemari. Kini Arzan gugup setengah mati, harap-harap cemas menanti jawaban Rosa. Rosa sendiri sedikit tersentak kemudian mengerjap pelan. “Lo bilang apa?” “Ayo pulang bareng!” ulangnya. “Sekalian makan bareng, menunya terserah lo dan gue yang traktir,” tambahnya cepat. "Lo boleh minta apa aja, serius. Bills on me." Rosa bersedekap tangan dan tingkah gadis itu justru makin membuat pemuda jangkung di sana semakin gugup bukan main. Selalu saja seperti ini, padahal ini bukan kali pertama atau kedua ia mengajak Rosa walau pun telah di tolak berkali-kali juga oleh gadis itu. Arzan sudah menabahkan hati kalau-kalau Rosa menolak lagi. Ia sudah terlampau biasa dengan semua penolakan Nona Mawar di hadapannya. Sekurang-kurangnya Arzan sudah mencoba dan urusan di tolak, ya, sudahㅡ “Yaudah, ayo.” ㅡresiko. Mata Arzan sukses membola kemudian mendengar penuturan Rosa sebentar ini. Arzan tidak salah dengar, 'kan?! “Hah?” Rosa mengangguk sekali, memasang ekspresi serius dan berkedip kala balas bertanya. “Kenapa? Nggak jadi?” “Eh-eh, enggak gitu,” sambarnya cepat, kelewat cepat sebab panik. Arzan menghembuskan napasnya pelan dan kembali menatap Rosa. “Yaudah, entar gue jemput di ruangan padus ya?” lanjutnya hati-hati. Rosa mengangguk. “Telat, gue pulang,” ancamnya. “Oke, nggak bakalan telat,” ucapnya dengan cengiran lebar. Rosa ikut tersenyum dan melenggang pergi, meninggalkan Arzan dengan euphoria di dalam dada. Degupan jantung, serta desiran hangat di relung hati. Arzan tak dapat lagi menahan senyumannya, ia tak menyangka kalau Rosa akan setuju dengan ajakannya. Arzan menggigit bibirnya kuat-kuat untuk mencegah pekikan euphoria miliknya. Cowok itu meninju-ninju udara saking gemasnya. Arzan berlari cepat berlawanan arah sambil berteriak. “JO, GUE NGGAK DITOLAK LAGI!”SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit dari singgasana kebanggannya. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan samar-samar langit biru, eksistensinya selalu saja dapat membuat semua manusia terkagum-kagum atas ciptaan Tuhan tersebut. Apalagi tepat di jam-jam rawan begini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu kesatuan absolut, meminta sang tuan agar segera buru-buru mengecap empuknya pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan juga, pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi para penikmatnya. Obat yang gratis di berikan guna mengusir lelah nan seharian menghinggapi badan. Kendati begitu pun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tahu benar tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat dari deretan kegiatan nan tiada henti-hentinya menyedot energi. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada yang harus memastikan keamanan lingkungan sek
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup d itempuh selama 15 menit berkendara dari sekolah. Menurut puan mawar itu, kafe tersebut tergolong sangat nyaman bagi kaum-kaum muda nan ingin mencari kesegaran dari hiruk-pikuk dunia. Beragam macam-macam bunga di dalam mau pun di luar bangunan, memberikan rasa nyaman lewat aroma wangi bunga-bunga beragam warna itu, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas sebagai konsumen utama. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Percayalah, sudut-sudut itu sangat kapabel sekali untuk di pamerkan pada sosial media. Kafe yang memilih nama 'Paradise' sebagai panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin akan menarik minat pembeli untuk datang lagi. Lantaran pemandangan yang di suguhkan sa
TATKALA berhasil melompat ringan dari motor dan mendarat dengan baik, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja setia memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka ada di dunia ini. Senyumnya sungguh-sungguh lebar dan hangat di tambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin terlihat menawan. Setelah sukses lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu di taruh pada rak sepatu. Arzan masih seperti itu memasuki rumah dan karena itulah orang-orang rumah mulai mengernyitkan dahi heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar akan tatapan demi tatapan bingung dari seisi rumah dan mengucapkan salam seperti biasanya. Di hampirinya sang ibu lalu mencium punggung tangan Susan cukup lama. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Nada suaranya terdengar riang. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya merasa me
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.” Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motor hitamnya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapa saja yang bisa cepat menangani Rosa. Beberapa suster mau pun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut nan datang bersama seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya sempat melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan sebagai bentuk pertolongan pertama. Seusai gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica serta-merta jatuh terduduk di lantai dengan kepalanya yang tertunduk dalam-dalam. Tubuh gadis berponi tersebut tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki sang sahabat. Air matanya mulai turun perlahan-
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi gagahnya. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis di buat memicingkan mata tatkala cahaya lampu mulai menusuk-nusuk irisnya. Sementara kepala pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Berdenyut-denyut kejam sampai-sampai untuk sekadar mengedarkan pandangan saja tidak cukup mampu, pandangannya goyah tiap kali bergerak. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih nan tinggi di sana. Dalam hati sudah yakin pasti bahwa Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari dua belah bibir Rosa. Di bawah sana, bagian kakinya terasa sakit luar biasa dan kapabel memberikan rasa panas menjalar saat di gerakan. Rosa menyibak lambat selimut yang membungkus tubuh dan serta-merta menatap miris pada kedua kakinya yang sekarang di perban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kak
SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajah pemuda itu sungguh-sungguh cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat semakin menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Dan yang terpenting dari yang terpenting, apakah gadis itu juga menikmati waktu mereka bersama kemari ini sama persis seperti dirinya yang juga sangat-sangat menikmati tiap detik kebersamaan mereka tersebut? Entahlah. Semoga saja begitu. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa hari ini. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Astaga, belum 24 jam saja rindunya sudah sampai antartika begini. Arzan betul-betul di buat gila oleh Nona Mawarnya tersebut. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan lantas menunduk kecil, punggung tangannya menempel pad
“JOAN, lo liat si Arzan kagak?” tanya Martin begitu duduk di kursi kantin, tepat berhadapan dengan Joan nan tengah menyantap makan siangnya. Joan mengedikkan bahunya. “Belum sempet ketemu.” Wajah cowok itu berubah masam sembari menimbang-nimbang. "Apa dia mau kabur dari interogasi, ya? Secara abis bikin gempar dunia gitu.” Galen menggebrak meja pelan dan mengangguk setuju bersama ekspresi serius bukan main. “Bener! Sialan, gue baru mau minta traktir, anjir. Orangnya kagak ada.” “Makan mulu lo, babon,” ledek Johnny dengan bibir menukik tajam ke atas. Galen mengedikkan bahunya tak peduli akan hinaan sang kawan lalu beralih pada Dhani yang sibuk mengunyah nasi goreng miliknya. Cowok itupun merangkul Dhani sampai si empunya sedikit terbatuk. "Apaan sih, bangsat! Kesedek gue,” ujar Dhani kesal. Cowok itu terkekeh. “Gue mau nanya, lo ada liat Arzan kagak? Hehe.” Sembari menjauhkan lengan Galen dari pundaknya, Dhani menjawab singkat. “Ada, sih. Tadi pagi.” “Terus-terus?” Kening
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak