DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata.
Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian malah membentaknya dan mengunci Rosa di kamar agar berhenti merengek. Rosa kecil menangis sejadi-jadinya dan dua jam kemudian baru sang ART membukakan pintu kamar. Untuk menghiburnya yang tengah bersedih saat itu, ART rumah bernama Bude Ayu menunjukkannya sebuah tape recorder, sudah cukup usang tapi katanya masih bagus. Rosa takjub sekali dan berhenti menangis saat sebuah lagu klasik di putar melalui benda berukuran sedang tersebut. Dan di saat-saat Rosa ditinggal sendiri untuk kesekian kalinya, ia tak pernah menangis, bertanya maupun menuntut pergi seperti yang sudah-sudah. Tetapi ia akan segera berlari dengan kaki-kaki kecilnya menuju kamar Bude Ayu setelah mobil Julian keluar dari pekarangan rumah. Bernyanyi mengikuti lagu seolah-olah sedang mengadakan konser besar. Tak disangka-sangka aksi mininya dulu malah berujung baik untuknya. Sekarang Rosa memiliki suara yang bagus dan guru seninya selalu memuji suara Rosa karena katanya merdu dan juga unik. Ia pun lolos masuk klub padus tanpa seleksi seperti anggota paduan suara lainnya. Rosa menghela napas kasar. Baginya menyanyi sudah seperti jiwanya sendiri, di saat sedih maupun senang. Rosa akan bernyanyi di rumahnya yang lengang hingga suaranya bergema ke seluruh penjuru rumah. Matanya pun mengedar menatap ruangan padus beserta isi-isinya. Semua orang sibuk dengan urusan mereka masing-masing sedangkan Rosa sudah selesai menyanyikan lagu miliknya. Gadis tersebut pun memilih pergi dan menyampaikan amanah pada wakil ketua klub agar anggota-anggota padus tetap kondusif saat ia tinggal. Omong-omong, Rosa kini menjabat sebagai ketua paduan suara. Rosa melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Menunjukkan pukul tiga sore dan Rosa tidak ingin melewatkannya. Si gadis reflek mendongak dengan mata menyipit saat cahaya matahari mulai menyinari setiap inci tubuhnya. Angkasa terbentang luas berwarna biru serta dihiasi awan-awan yang bertukar bentuk seiring dengan pergerakan angin. Rosa lantas menyunggingkan senyuman kecil lalu menurunkan pandangannya ke arah lapangan. Gadis tersebut pun mendaratkan bokongnya di bangku panjang di depan kelas yang tak jauh dari lapangan. Meski membenci orang tuanya, Rosa tetap menyayangi Lion yang merupakan adik satu-satunya. Lion tetap akan menjadi satu-satu anggota keluarga yang ingin Rosa pertahankan kebahagiaannya. Rosa tersenyum saat Lion, berhasil mencetak poin bahkan ia bertepuk tangan kecil karena ikut senang untuk Lion. Begini saja sudah cukup, melihat senyuman Lion mengembang seraya bertos ria dengan teman-temannya. Rosa tak bisa menjadi kakak yang baik seperti yang lain. Menghampiri Lion dan memberikan semangat penuh untuk adiknya itu. Benar. Rosa sengaja menyembunyikan hubungan persaudaraan mereka dari orang-orang di sekolah. Rosa tak mau Lion ikut terkena getah akibat ulahnya. Julian jelas tak akan suka kalau anak emasnya terluka meski hanya lecet. Diam-diam Rosa tersenyum miris. “Rosa?” Kepala sang empu reflek mendongak dan langsung melebarkan matanya kala menatap presensi lain di samping. “Juna?” Rosa pun berdiri saat pemuda yang dipanggil Juna melangkah mendekat. “Masih di sekolah lo?” Juna nyengir, “Iya, abis remed gue,” kekehnya. “Oh, mapel apa?” “Matematika.” “Masih hidup Pak Dandi?” candanya. “Hush! Sekate-kate lo kalau ngomong, gitu-gitu orang tua, Sa. Wah, parah lo,” tukas Juna geleng-geleng kepala. “Bercanda elah. Tegang amat hidup lo udah kayak kanebo kering,” cibir Rosa. “Terus lo ngapain di sini?” Rosa bungkam. Jelas tak bisa menjawab dengan baik, Rosa menggigit pipi bagian dalamnya. Sementara Juna memberikannya tatapan menuding ke arahnya yang mau tak mau membuat Rosa seperti di sudutkan secara tak langsung. “Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?” tanyanya was-was sembari memundurkan kepalanya. Juna menaik-turunkan alisnya lalu berujar, “Lo ngeliatin Arzan ya?” Rosa membeo. Arzan? Kepalanya reflek menoleh mencari orang yang dimaksudkan oleh Juna dan terkesiap tatkala Arzan tengah menatapnya juga. Rosa langsung membuang pandangannya, tiba-tiba grogi sendiri di tatap demikian oleh Arzan. Tatapannya itu, lho, menusuk seakan Rosa bisa terbelah dua hanya karena manik tajam Arzan sekarang. Rosa menggeleng dua kali demi memfokuskan diri yang tadi sempat buyar. Sedangkan ia sendiri juga baru ingat bahwa Arzan termasuk anggota tim basket sekolah. Diam-diam merutuki kebodohannya ini. “Jadi bener nih, Mbak Rosa udah luluh oleh Kang Mas Arzan?” goda Juna lagi diiringi seringaian. “Apaan sih, enggak! Gila lo! Ah! Jangan bikin gue teriak, ya, Jun!” sentaknya sebal yang mana membuat Juna terbahak-bahak. “Kok emosi sih lo, anjir? Hahaha,” “Lo resek!” “Dih, PMS?” Rosa mendelik sebal. “Mau gue suruh Jessica buat ngehajar lo, hah?!” geramnya. Juna langsung memasang wajah datarnya seketika. “Temen lo badak, Sa. Mana ganas lagi, ogah, bisa mampus gue.” “Makanya jangan nyebelin. Bawel amat lo! Hush! Mending pulang, merusak view aja hidup lo. Mati bisa?!” Juna menghela napas pendek. Rosa kalau menghina orang memang tidak pernah tanggung-tanggung. Maka dari itu, “Gue doain lo jomblo,” teriaknya lalu berlari menjauh sebelum diamuk sang empunya. Sementara Rosa mendesis, menyesal habis pernah menerima Juna di klub padusnya walaupun hanya bertahan dua minggu karena cowok itu pemalas tingkat dewa dalam menghadiri sesi latihan. Awas saja cowok berjambul itu, Rosa balas nanti. Sementara itu di sisi lain Arzan benar-benar menyaksikan adegan demi adegan yang terpampang nyata di depan mata. Ia mendengus kecil dan menghela napas kasar. Jujur saja, orang mana yang tidak cemburu kala melihat orang yang disukai bercanda tawa bersama orang lain. Arzan cemburu! Jelas saja! Tapi ia tak ada hak untuk melarang apapun pada Rosa sedangkan ia tahu bahwa gadis itu sangat tidak menyukai keberadaannya sedikitpun. Bahunya diketuk dua kali membuat Arzan menoleh dan mendapati Joan di sampingnya. “Aman, Zan?” “Kalau gue bilang patah hati, lebay kagak?” Arzan balas bertanya yang langsung di hadiahi kekehan ringan daru Joan. “Namanya hidup, Zan. Nggak patah hati enggak gokil,” ujar Joan sembari menepuk pundak Arzan dua kali. “Rosa ya?” Arzan mengangguk dan kembali menatap Rosa lamat-lamat. Raut wajahnya masam tatkala netranya seakan melihat aura merah muda di sekitar dua orang tersebut. Arzan mendadak ingin menghantam Juna sekarang juga. “Kenapa enggak lo datengin aja dia?” Arzan kontan menoleh dengan kening berkerut. “Hah?” “Lo datengin Rosa, 'kan dia berdiri di sana tuh. Terus ajakin pulang bareng sekalian makan bareng, paham?” terang Joan dalam satu tarikan napas. Melihat sorot ragu di mata Arzan pun membuat Joan meringis. Arzan saja sudah sepesimis ini untu kelangsungan kisah cintanya. “Dia nggak bakalan mau, Jo,” ucap Arzan sendu. Raut wajahnya yang masam berubah sendu dan Joan mendadak gemas sendiri. Biasanya juga Arzan paling semangat untuk mendekati Rosa. Tak bosan-bosannya selama dua tahun ini. Kenapa malah lembek sekarang? “Etdah! Nggak usah alay, coba dulu, Zan.” “Pasti ditolak, Jo.” Arzan memang sudah sepesimis itu hari ini. Apalagi setelah pertengkaran tak langsung di depan ruang OSIS. “Rosa suka makan, 'kan. Ajakin makan, kalau bisa makanan favoritnya,” usul Joan sumringah. “Kalau ditolak juga?” Joan berdesis. “Culik aja, kurung di kamar lo.” “Heh! Anak gadis orang, anjir!” “Lo bacot, sih! Tanya, kek! Apa, kek! Malah udah nyerah aja, mana Arzan yang gue kenal bakalan ngebacot abis di depan Rosa?” tukasnya sembari merangkul Arzan sebagai bentuk memberikan semangat pada temannya itu. “Sono! Juna udah kabur noh!” Arzan mengangguk mantap lalu menghela napas pelan dan berderap menuju Rosa yang sudah mau pergi. Pemuda tersebut semakin memanjangkan langkahnya agar bisa berjalan sejajar dengan Rosa. Arzan tersenyum simpul kala Rosa menatapnya dengan ekspresi kaget sekaligus bingung. “Arzan? Ngapain lo di sini?” “Mau ketemu lo,” jawabnya dengan sorot polos. Rosa berdecak. “Sana balik latihan,” usirnya. “Ayo pulang bareng, Sa!” ajaknya dengan suara setengah berteriak, setelah mengumpulkan niat bulat-bulat saat perjalanan kemari. Kini Arzan gugup setengah mati, harap-harap cemas menanti jawaban Rosa. Rosa sendiri sedikit tersentak kemudian mengerjap pelan. “Lo bilang apa?” “Ayo pulang bareng!” ulangnya. “Sekalian makan bareng, menunya terserah lo dan gue yang traktir,” tambahnya cepat. Rosa bersedekap dan tingkah gadis itu makin membuatnya gugup. Selalu saja seperti ini, padahal ini bukan kali pertama atau kedua ia mengajak Rosa walaupun ditolak berkali-kali juga oleh gadis itu. Arzan sudah menabahkan hati kalau-kalau Rosa menolak lagi. Ia sudah terlampau biasa dengan semua penolakan Nona Mawar di hadapannya. Sekurang-kurangnya Arzan sudah mencoba dan urusan ditolak, ya, sudahㅡ “Yaudah, ayo.” ㅡresiko. Mata Arzan sukses membola mendengar penuturan Rosa sebentar ini. Arzan tidak salah dengar, 'kan? “Hah?” Rosa mengangguk sekali. “Kenapa? Nggak jadi?” “Eh-eh, enggak gitu,” sambarnya cepat, kelewat cepat sebab panik. Arzan menghembuskan napasnya pelan dan kembali menatap Rosa. “Yaudah, entar gue jemput di ruangan padus ya?” lanjutnya. Rosa mengangguk. “Telat, gue pulang,” ancamnya. “Oke, nggak bakalan telat,” ucapnya dengan cengiran lebar. Rosa ikut tersenyum dan melenggang pergi, meninggalkan Arzan dengan euphoria di dalam dada. Degupan jantung, serta desiran hangat di relung hati. Arzan tak dapat lagi menahan senyumannya, ia tak menyangka kalau Rosa akan setuju dengan ajakannya. Arzan menggigit bibirnya kuat-kuat untuk mencegah pekikan euphoria miliknya. Cowok itu meninju-ninju udara saking gemasnya. Arzan berlari cepat berlawanan arah sambil berteriak. “JO, GUE NGGAK DITOLAK LAGI!”SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup ditempuh selama 15 menit dari sekolah. Menurut Rosa, kafe tersebut sangat nyaman. Banyak macam-macam bunga di dalam maupaun di luar bangunan, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Kafe yang memilih nama 'Paradise' untuk panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin menarik minat pembeli untuk datang lagi. Sebab pemandangan yang disuguhkan sangat memanjakan mata. Dan disanalah Rosa duduk setelah di arahkan oleh pelayan sementara Arzan memesan makanan. “Gue harus foto, pamerlah. Biar makin panas lambe-lambe di sekolah,” ujarnya lalu tertawa jahat di dalam kepala. Gerak kesana, cekrek. Gerak kesini, cheese. Pose begini, cekrek. Pose
TATKALA sudah melompat ringan dari motor, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka. Senyumnya masih lebar dan hangat ditambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin menawan. Setelah berhasil lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu ditaruh di rak. Arzan masih seperti itu dan orang-orang rumah mulai mengernyit heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar dan mengucapkan salam seperti biasanya. Dihampirinya Susan lalu mencium punggung tangan si ibu. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya menyesal saat mengucapkan maaf. Namun si ibu mengangguk kaku meskipun ribuan tanya menyerang pikiran. “Wa'alaikumsalam, iya, nggak papa.”Begitu pula selanjutnya pada David yang duduk di ruang tamu menonton bola dan Krysta
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.”Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan d
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motornya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapapun yang bisa cepat menangani Rosa. Semua suster maupun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut dan seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan. Setelah gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica jatuh terduduk di lantai dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki gadis tersebut. Air matanya mulai turun sementara bibirnya sudah meloloskan isakan. Sebenarnya Rosa mau sekuat apalagi, sih? Bagaimana gadis itu bisa menah
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis dibuat memicingkan mata tatkala cahaya lampu menusuk irisnya. Sementara kepalanya pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih. Dalam hati sudah yakin pasti Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari bibir Rosa. Bagian kakinya sakit dan terasa panas saat digerakan. Rosa menyibak pelan selimut yang membungkus tubuh dan menatap miris pada kedua kakinya yang diperban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kakinya tak akan diamputasi, 'kan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai memenuhi kepalanya. Kemarin malam ia langsung menantang gelap dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit, lebih tepatnya telah mengenakan baju pasien serta berada di ranjang. Lagi-lagi ia menunjukkan kele
SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajahnya cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Entahlah. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan menunduk kecil, punggung tangannya menempel pada bibir. Segan sekaligus tidak mau di katai gila kalau ketahuan tengah malu-malu kucing begini. Perasaan euforia bekas sehari kemarin masih melekat hingga kini. Jantungnya masih berdentum kuat di dalam kala mengingat wajah manis Rosa, senyum gadis itu, sikap lucu gadis itu. Semuanya. Hal-hal yang baru kali pertama ia lihat. Semalam Arzan sulit tidur sebab gemas sendiri, dirinya mengulang melihat s
“JOAN, lo liat si Arzan kagak?” tanya Martin begitu duduk di kursi kantin, tepat berhadapan dengan Joan. Joan mengedikkan bahunya. “Belum sempet ketemu.” Wajah cowok itu berubah masam sembari menimbang-nimbang. "Apa dia mau kabur dari interogasi, ya?” Galen menggebrak meja pelan dn mengangguk setuju. “Bener! Sialan, gue baru mau minta traktir, anjir. Orangnya kagak ada.”“Makan mulu lo, babon,” ledek Johnny dengan bibir menukik tajam ke atas. Galen mengedikkan bahunya tak peduli lalu beralih pada Dhani yang sibuk mengunyah nasi goreng miliknya. Cowok itupun merangkul Dhani sampai si empunya sedikit terbatuk. "Apaan sih, bangsat! Kesedek gue,” ujar Dhani kesal. Cowok itu terkekeh. “Gue mau nanya, lo ada liat Arzan kagak? Hehe.”Sembari menjauhkan lengan Galen dari pundaknya, Dhani menjawab singkat. “Ada, sih. Tadi pagi.”“Terus-terus?”Kening Dhani mengerut samar. “Maksud lo dengan terus apaan?”Cowok berbadan bongsor tersebut memasang wajah datar. “Ya, lo apa, kek! Dia ngapa, kek