Share

BAB 4

TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Di cuaca pancaroba ini begini, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih ada angin kencang. Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang.

Tatapannya masih seperti biasa, sinis.

Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebutnyaㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan begini. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial.

Tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya.

“Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan.

Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lo ngapain di sini, Rosa?”

“Ngejablay,” jawabnya malas.

“Heh! Mulut lo beneran mau gue cium?!” Intonasi Arzan naik satu oktaf, wajahnya memerah walau samar.

Rosa memicingkan matanya, Arzan tengah marah?

“Lo marah?” balas Rosa dengan tatapan polos. Cewek itu malah bertepuk tengan heboh, sesaat mereka menjadi pusat perhatian. “Dua tahun kita kenal dan gue akhirnya bisa bikin lo marah, suatu pencapaian nggak sih,”

“Rosa, gue serius!” tukas Arzan, cowok itu memijat pelipisnya yang berkedut. “Jangan ngomong hal rendah ke diri lo sendiri,” sambungnya tegas.

Rosa bersedekap tangan. “Nggak ada hubungannya sama lo,”

“Jelas ada!”

Alis Rosa naik sebelah, ia menatap Arzan menantang, “Apa? Karena lo suka gue?”

Arzan berdecak kecil kemudian menjawab pelan. “Iya,”

“Nggak punya malu atau lo beneran nggak ada harga diri sih. Lo udah gue tolak masih aja ngerecokin hidup gue,” ketus Rosa, ia sudah cukup untuk berurusan dengan Arzan.

“Sa, gue nggak penting pendapat lo tentang gue. Sementara dari yang gue tau, gue suka bahkan,” Arzan menggantung kalimatnya untuk menarik napas. “Falling love with you,”

Rosa terdiam. Tatapan mata Arzan memang tulus, jujur, Arzan cowok yang tahan banting. Bahkan setelah kalimat menghina, merendahkan, melukai harga diri cowok itu, Arzan tetap bersikap baik padanya. Tetapi ketika Rosa menatap matanya, menyelam pada manik segelap malam itu, Rosa tak perlu lagi untuk merasa bersalah karena ucapannya.

“Gue kehabisan kata kalau ngomong sama lo, Zan,” ujar Rosa, nadanya terdengar muak. Benar-benar lelah batin sekarang ini, sudah tak sanggup lagi rasanya menahan. Tetapi kenapa Arzan tetapnya merecokinya, sih?

Lebih tepatnya, kapan semuanya berhenti?

“Lo bisa diem,” balas Arzan dengan seulas senyum hangat di bibir.

“Terserah!”

Rosa berderap menjauh dari Arzan tetapi cowok itu tetap mengikutinya. Dengan duduk di atas motor dan menyamakan kecepatan kaki Rosa dengan mesin motornya. Rosa jelas kesal tapi meredamnya saja. Ia masih punya malu untuk tidak berteriak menyuruh Arzan pergi di tempat umum begini. Jadinya ia hanya bisa diam.

Tiba-tiba angin berhembus kencang dan Rosa berhenti seraya memeluk tubuhnya sendiri. Astaga! Dinginnya bahkan sudah terasa membekukan darah. Bibir Rosa bergetar kecil.

“Sa, lo mau kemana sebenarnya?” tanya Arzan ketika melihat Rosa yang tengah kedinginan.

“Nggak ada urusannya sama lo!” Rosa menjawab ketus.

Arzan selalu kewalahan dengan sifat keras kepala Rosa ini. Ia pun mematikan mesin motornya lalu meloncat turun, didekatinya gadis itu dan mencengkeram lembut bahu Rosa sehingga mau tak mau gadis itu balas menatapnya.

“Udah mau maghrib, Sa. Lo keluar pake baju kayak gini, mana tipis lagi, lo mau digodain preman-preman di jalan nanti?” Arzan hanya ingin gadis itu aman-aman saja.

Rosa mendengus, “Gue tinggal nelpon Jessica,”

“Nyatanya, lo nggak bawa hp 'kan?” tembak Arzan yang langsung mendapat pelototan mata dari yang lebih pendek.

“Tau dari mana lo?!”

“Lo nggak mainin atau megang hp lo dari tadi,” terang Arzan lalu mengedikkan bahunya. “Ayo gue anterin pulang,”

Rosa menggeleng. “Gue nggak mau pulang,”

“Udah maghrib, Sa,”

Rosa mendelik tak terima, tatapannya sinis ke arah Arzan. “Silahkan lo pulang duluan. Gue nggak keberatan,”

“Tapiㅡ”

“Zan!” sentak Rosa, nadanya meninggi. Tatapannya pun menyorot sendu dengan bahu merosot. “Bisa kita berhenti debat, gue capek, Zan, capek,” sambungnya, suaranya memelan.

Arzan panik seketika kala melihat mata Rosa berkaca-kaca, Rosa kembali bersuara dengan serak. “Gue beneran capek, Zan. Gue mohon sekali ini aja, ya,”

Arzan tertegun di tempat, baru kali melihat Rosa berada di persentase mood terburuk. Arzan menghela napas panjang, dibukanya jaket dan disampirkan pada bahu Rosa. Sementara si empunya menatap heran pada jaket sekaligus pemiliknya. Rosa menghela napas lagi.

“Zan?” panggilnya dengan nada memperingatkan.

Tatapan Arzan menghunus tepat pada iris mata Rosa, membuat perempuan itu terdiam untuk sesaat.

“Sa,” panggilnya dengan suara memberat. “Gue nggak pernah sekalipun mau jadi hama di hidup lo. Dan buat sekali ini aja, nurut sama gue, Sa,” pintanya.

Rosa buru-buru mengalihkan pandangannya, tak sanggup saling pandang bila Arzan seperti ini. Di rematnya ujung jaket Arzan sembari menundukkan kepalanya.

Bohong besar jika selama ini Rosa tidak merasa spesial di perlakukan demikian oleh Arzan. Hatinya tidak sekeras itu. Rosa sadar, kadang ia keterlaluan. Tapi niatnya hanya untuk Arzan mengerti bahwa kata 'kita' mustahil bagi mereka. Rosa hanya ingin cowok itu menjauh dan menyukai perempuan yang juga menyukai Arzan dengan tulus. Tetapi Arzan tetap tak paham juga, masih saja mengejarnya tanpa mementingkan perasaannya sendiri.

Sebanyak itu perempuan di Bina Bangsa yang menyukai cowok itu, kenapa juga harus ia, Rosa pernah bertanya seperti itu pada dirinya. Dan lambat laun ia mengerti, bahwa tatapan Arzan sudah menjelaskan semuanya.

Rosa membenci tatapan cowok itu. Sangat.

“Sa?”

“Gue bingung kenapa lo kayak gini ke gue,” tukas Rosa pelan, namun suaranya tersirat rasa sakit dan putus asa. “Zan, lo salah milih, Zan,” lirihnya dengan senyuman getir.

Arzan tak mengerti maksud ucapan Rosa saat ini, dahinya berkerut dan membalas setengah frustasi. “Maksud lo apa sih, Sa?”

Rosa tak menjawab lagi dan hanya memalingkan wajahnya. Arzan mengacak rambutnya kasar, ia berdecak sebal. Kenapa suasananya mendadak berat begini, sih.

“Sa, ayo pergi,”

Tak kunjung dapat jawaban setelah detik-detik berlalu.

Arzan kembali mencengkeram bahu Rosa dengan lembut, berharap Rosa dapat mengerti niat baiknya ini. “Udah maghrib. Bahaya cewek di luar sendirian, ayo gue anterin lo ke rumah salah satu sahabat lo, kalau lo beneran nggak mau pulang,”

Rosa memandang Arzan dengan sorot tak yakin. Namun tetap menolak dan ditinggal di sini juga bukan pilihan yang tepat.

Ia mengangguk kecil sambil mengenakan dengan benar jaket yang diberikan Arzan tadi. Rosa tercengang sesaat, baru sadar kalau jaket Arzan kebesaran untuk ukuran tubuhnya. Padahal tadi terlihat pas sekali di tubuh cowok itu.

Arzan yang melihat itupun terkekeh kecil,  “Badan lo emang kecil, Sa,” ujarnya.

“Gue baru tau badan gue sekecil itu sampe ke makan badan gue,” balasnya dengan nada tak percaya.

Arzan mengacak gemas puncak kepala Rosa dan meminta gadis itu naik sebelum makin malam. Dan setelah Rosa duduk dan di rasa aman. Arzan menginjak pedal gas dan melaju membelah jalanan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status