MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir, perut Rosa kini berdemo minta segera diisi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh.
Dan pilihan sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya rebus air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah dituang saus. Duduk manis di kursi pantry dan berbinar-binar menatap hasil masakannya sendiri. Baru saja ingin menyendok pasta tersebut ke dalam mulut. Perhatian Rosa teralih pada pintu utama yang terbuka, menampilkan Julian, Marie serta Lion. Rosa berkedip. Kali ini, ke mana lagi mereka bertiga pergi tanpa dirinya? Julian menatap putri sulungnya tanpa minat, "Baru pulang kamu?" Rosa hanya menggeleng sebagai jawaban, sepersekon kemudian buru-buru menyendokkan pasta ke dalam mulut. "Lion, bergunalah sebagai anak laki-laki di keluarga kita," tukas Julian seraya melirik sinis pada si sulung, lalu dia melanjutkan. "Jangan sampai mencoreng nama baik keluarga," Rosa tersenyum sinis. Pasta yang berada di mulutnya mendadak hambar seketika. Padahal sebelumnya Rosa yakin sekali bahwa rasanya akan enak. Kenapa bisa begini, sih? Menulikan telinganya, Rosa menelan kasar pasta bersaus pedas itu dan kembali menyendokkannya ke mulut. Sementara itu Julian menyodorkan sebuah undangan pada Lion ketika mereka duduk di ruang tamu. "Ada acara perusahaan minggu depan, kamu harus datang," titah Julian. "Iya, Pa," balas Lion singkat dan mengambil undangan mewah berukuran sedang tersebut. "Rosaline, kamu ikutㅡ" Julian memotong cepat kalimat Marie hingga membuat istrinya tersentak. "Rosa tidak perlu ikut," tandasnya tajam. Rosa mengepalkan tangannya saat Julian melirik sinis sejenak dan menambahkan. "Bisa berbahaya bagi perusahaanku kalau anakmu mengacau," "Julian!" Rosa kelihangan selera makannya. Ia turun dari kursi dan membanting kasar piring berisi pasta itu ke wastafel. Rosa pun menenggak segelas air dingin sampai habis. Mencoba menabahkan hatinya sendiri bahwa ia baik-baik saja, sudah biasa, jadi tidak akan begitu berpengaruh lagi; seharusnya. Tak apa, Rosa baik-baik saja. Langkahnya sukses terhenti saat Julian melayangkan kalimat sarkastik, "Memang memiliki anak perempuan itu tidak ada gunanya," Marie berteriak lantang, "Julian!" Rosa berputar dan menatap pria paruh baya yang selama ini ia sebut 'Papa'. Rosa membalas tajam, "Harusnya bunuh aku waktu Mama ngandung aku. Biar nggak ada aib di rumah ini," Julian balas menatap putrinya, sorot matanya mengejek, "Benar kata kakekmu, kebanyakan perempuan memiliki mulut rendahan," Wajah Rosa memerah dan matanya sukses menajam. Tak sampai di situ, Julian menambahkan. "Benahi sikapmu, Rosaline. Setidaknya buat dirimu berharga untuk hidup enak di keluarga ini, jangan hidup seperti pecundang rendahan," Bahkan Rosa tidak terkejut lagi kalau kalimat menusuk itu keluar dari bibir Julian. Rosa tertawa hambar, ia melirik pada pot bunga di samping tangga. Mendekat ke arah kanan dengan tatapan masih lurus menatap Julian. Rosa menghempas kasar pot bunga ke lantai, bunyinya nyaring sebab keadaan rumah yang hening. Julian sontak berdiri dan menatap berang pada Rosa. "Rosaline!" bentaknya. "Apa-apaan kamu?!" Rosa tak terganggu akan hal itu, ia malah tersenyum miring, "Aku cuma ngelakuin apa yang Papa bilang. Salah?" "Rosaline, jaga sikap kamu!" Air mukanya berubah masam beriringan dengan kakinya yang menendang pecahan pot kaca itu pelan. "Malesin, nggak ada untungnya juga buat aku. Toh, di mata Papa aku tetap sampah 'kan," "Dasar anak nggak berguna!" "Aku juga nggak mau ada di keluarga ini! Aku berharap nggak pernah lahir asal kalian tau!" Selesai dengan kalimatnya. Rosa berlari cepat keluar rumah. Muak. Ia muak sekali. Bertahun-tahun hidup tanpa diakui, bahkan bernapas tenang di rumah saja rasanya sulit. Rosa tertawa sumbang, bahkan bangunan tadi tak dapat ia sebut rumah lagi. Kalau saja ia sanggup, dari dulu ia sudah keluar dari rumah itu. Tapi Rosa juga tidak bisa munafik bahwa ia masih membutuhkan uang Julian untuk melanjutkan hidup. Hidup di kota besar tentu bukan hal mudah bila tidak ada pegangan uang sepersen pun. Untuk mencari pekerjaan paruh waktu sangat sulit karena di Indonesia belum adanya kebijakan tersebut, karena bekerja hanya diperuntukkan untuk orang dewasa bukan anak di bawah umur. Apalagi masih pelajar. Rosa menatap kakinya yang hanya terbalut sendal jepit. Ia menghela napas panjang dan menatap pantulan dirinya di kubangan air. Sweater putih gading, celana selutut, dan sendal jepit di cuaca dingin bekas hujan begini. Sial. Dia kedinginan. Rosa memeluk erat tubuhnya sendiri, ia kabur hanya membawa badan saja. Sementara ponsel, kunci mobil beserta dompet ia tinggalkan di kamar. Perasaan menyesal lambat laun merambat hingga ke ubun-ubun kepala. Kalau tahu akan kabur begini, harusnya Rosa membawa ponselnya kemana-mana tadi. Jadi bila ia kabur seperti ini, setidaknya ia tidak kesulitan untuk menghubungi salah satu sahabatnya dan meminta bantuan. Ia melangkahkan kakinya lambat-lambat dan tahu-tahu sudah berada di tepi jalan besar. Satu per satu mobil lewat, motor melaju kencang, odong-odong juga tak mau ketinggalan sepertinya. Matanya beralih menatap pedagang batagor, bibirnya melengkung sedih sedangkan tangan menyentuh perut. Ia lapar, sekali. Lagi-lagi menyesal karena tak menghabiskan pastanya dan malah ia buang begitu saja. Memang benar, membuang makanan bukanlah tindakan terpuji. Memang benar lagi, kalau menyesal itu urusan belakangan. Rosa sudah cukup kesal dengan hidup beserta jalannya. Sudah cukup benci dengan kenapa sekolah memberikan pekerjaan rumah yang banyak. Sudah kesal dengan pastanya yang terbuang. Ia yang bertengkar dengan Julian. Harinya sudah cukup buruk dan Rosa memang tak berpikir lebih buruk lagi dari pada hal ini. Tetapi Rosa baru ingat, bahwa kehidupan tenang serta bahagia seperti dongeng tidak di takdirkan untuknya. Dan jujur saja, ia juga tak berniat menjadi princess menye-menye seperti yang pernah ia tonton. Rosa berkedip menatap ke lurus ke samping, bukan gerobak sate yang berhenti di sana. Namun eksistensi yang menatapnya penuh minat dan tanda tanya. Demi apapun. Dari sekian banyak orang yang ia kenal di kota ini. Dari sekian orang yang bisa saja berada di sana. Kenapa Tuhan menakdirkannya bertemu satu presensi yang ia tidak sukai sama sekali? Apa takdir tengah berguyon padanya? Ck! Rosa tidak berada dalam posisi seperti itu. Ia berbalik dan cepat-cepat pergi, tak ingin lama-lama berada di tempat itu. Tetapi tak lama setelah itu, lengan Rosa ditarik hingga tubuhnya melangkah mundur. Rosa memasang wajah tak sukanya, sebab orang itu kini sudah berada di sampingnya. "Ada yang perlu gue banting, Arzan?" Arzan tersenyum simpul, sedangkan Rosa mendelik kesal. Apapun selain Arzan!TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Di cuaca pancaroba ini begini, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih ada angin kencang. Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebutnyaㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan begini. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial. Tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya. “Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan. Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lo ngapa
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa. Kondisi sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak seperti gelandangan, tetapi sukses membuatnya cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan. Wajahnya memerah, gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari sepertinya. Jenna bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga. Baju yang dipakai Rosa tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya. “Sa, feel better?” Rosa diam, setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang dilontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir tehnya sementara sorot matanya lurus menatap ke dalam teh. “Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, seperti seorang ibu
BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun. Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arz
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama. Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setel
DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup ditempuh selama 15 menit dari sekolah. Menurut Rosa, kafe tersebut sangat nyaman. Banyak macam-macam bunga di dalam maupaun di luar bangunan, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Kafe yang memilih nama 'Paradise' untuk panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin menarik minat pembeli untuk datang lagi. Sebab pemandangan yang disuguhkan sangat memanjakan mata. Dan disanalah Rosa duduk setelah di arahkan oleh pelayan sementara Arzan memesan makanan. “Gue harus foto, pamerlah. Biar makin panas lambe-lambe di sekolah,” ujarnya lalu tertawa jahat di dalam kepala. Gerak kesana, cekrek. Gerak kesini, cheese. Pose begini, cekrek. Pose
TATKALA sudah melompat ringan dari motor, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka. Senyumnya masih lebar dan hangat ditambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin menawan. Setelah berhasil lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu ditaruh di rak. Arzan masih seperti itu dan orang-orang rumah mulai mengernyit heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar dan mengucapkan salam seperti biasanya. Dihampirinya Susan lalu mencium punggung tangan si ibu. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya menyesal saat mengucapkan maaf. Namun si ibu mengangguk kaku meskipun ribuan tanya menyerang pikiran. “Wa'alaikumsalam, iya, nggak papa.”Begitu pula selanjutnya pada David yang duduk di ruang tamu menonton bola dan Krysta