Share

BAB 3

MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir, perut Rosa kini berdemo minta segera diisi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh.

Dan pilihan sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya rebus air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah dituang saus.

Duduk manis di kursi pantry dan berbinar-binar menatap hasil masakannya sendiri. Baru saja ingin menyendok pasta tersebut ke dalam mulut. Perhatian Rosa teralih pada pintu utama yang terbuka, menampilkan Julian, Marie serta Lion.

Rosa berkedip.

Kali ini, ke mana lagi mereka bertiga pergi tanpa dirinya?

Julian menatap putri sulungnya tanpa minat, "Baru pulang kamu?"

Rosa hanya menggeleng sebagai jawaban, sepersekon kemudian buru-buru menyendokkan pasta ke dalam mulut.

"Lion, bergunalah sebagai anak laki-laki di keluarga kita," tukas Julian seraya melirik sinis pada si sulung, lalu dia melanjutkan. "Jangan sampai mencoreng nama baik keluarga,"

Rosa tersenyum sinis. Pasta yang berada di mulutnya mendadak hambar seketika. Padahal sebelumnya Rosa yakin sekali bahwa rasanya akan enak. Kenapa bisa begini, sih?

Menulikan telinganya, Rosa menelan kasar pasta bersaus pedas itu dan kembali menyendokkannya ke mulut.

Sementara itu Julian menyodorkan sebuah undangan pada Lion ketika mereka duduk di ruang tamu.

"Ada acara perusahaan minggu depan, kamu harus datang," titah Julian.

"Iya, Pa," balas Lion singkat dan mengambil undangan mewah berukuran sedang tersebut.

"Rosaline, kamu ikutㅡ" Julian memotong cepat kalimat Marie hingga membuat istrinya tersentak. "Rosa tidak perlu ikut," tandasnya tajam.

Rosa mengepalkan tangannya saat Julian melirik sinis sejenak dan menambahkan. "Bisa berbahaya bagi perusahaanku kalau anakmu mengacau,"

"Julian!"

Rosa kelihangan selera makannya. Ia turun dari kursi dan membanting kasar piring berisi pasta itu ke wastafel. Rosa pun menenggak segelas air dingin sampai habis. Mencoba menabahkan hatinya sendiri bahwa ia baik-baik saja, sudah biasa, jadi tidak akan begitu berpengaruh lagi; seharusnya.

Tak apa, Rosa baik-baik saja.

Langkahnya sukses terhenti saat Julian melayangkan kalimat sarkastik, "Memang memiliki anak perempuan itu tidak ada gunanya,"

Marie berteriak lantang, "Julian!"

Rosa berputar dan menatap pria paruh baya yang selama ini ia sebut 'Papa'. Rosa membalas tajam, "Harusnya bunuh aku waktu Mama ngandung aku. Biar nggak ada aib di rumah ini,"

Julian balas menatap putrinya, sorot matanya mengejek, "Benar kata kakekmu, kebanyakan perempuan memiliki mulut rendahan,"

Wajah Rosa memerah dan matanya sukses menajam. Tak sampai di situ, Julian menambahkan. "Benahi sikapmu, Rosaline. Setidaknya buat dirimu berharga untuk hidup enak di keluarga ini, jangan hidup seperti pecundang rendahan,"

Bahkan Rosa tidak terkejut lagi kalau kalimat menusuk itu keluar dari bibir Julian. Rosa tertawa hambar, ia melirik pada pot bunga di samping tangga. Mendekat ke arah kanan dengan tatapan masih lurus menatap Julian. Rosa menghempas kasar pot bunga ke lantai, bunyinya nyaring sebab keadaan rumah yang hening.

Julian sontak berdiri dan menatap berang pada Rosa. "Rosaline!" bentaknya. "Apa-apaan kamu?!"

Rosa tak terganggu akan hal itu, ia malah tersenyum miring, "Aku cuma ngelakuin apa yang Papa bilang. Salah?"

"Rosaline, jaga sikap kamu!"

Air mukanya berubah masam beriringan dengan kakinya yang menendang pecahan pot kaca itu pelan. "Malesin, nggak ada untungnya juga buat aku. Toh, di mata Papa aku tetap sampah 'kan,"

"Dasar anak nggak berguna!"

"Aku juga nggak mau ada di keluarga ini! Aku berharap nggak pernah lahir asal kalian tau!"

Selesai dengan kalimatnya. Rosa berlari cepat keluar rumah. Muak. Ia muak sekali. Bertahun-tahun hidup tanpa diakui, bahkan bernapas tenang di rumah saja rasanya sulit. Rosa tertawa sumbang, bahkan bangunan tadi tak dapat ia sebut rumah lagi. Kalau saja ia sanggup, dari dulu ia sudah keluar dari rumah itu. Tapi Rosa juga tidak bisa munafik bahwa ia masih membutuhkan uang Julian untuk melanjutkan hidup.

Hidup di kota besar tentu bukan hal mudah bila tidak ada pegangan uang sepersen pun. Untuk mencari pekerjaan paruh waktu sangat sulit karena di Indonesia belum adanya kebijakan tersebut, karena bekerja hanya diperuntukkan untuk orang dewasa bukan anak di bawah umur. Apalagi masih pelajar.

Rosa menatap kakinya yang hanya terbalut sendal jepit. Ia menghela napas panjang dan menatap pantulan dirinya di kubangan air. Sweater putih gading, celana selutut, dan sendal jepit di cuaca dingin bekas hujan begini.

Sial. Dia kedinginan.

Rosa memeluk erat tubuhnya sendiri, ia kabur hanya membawa badan saja. Sementara ponsel, kunci mobil beserta dompet ia tinggalkan di kamar.

Perasaan menyesal lambat laun merambat hingga ke ubun-ubun kepala. Kalau tahu akan kabur begini, harusnya Rosa membawa ponselnya kemana-mana tadi. Jadi bila ia kabur seperti ini, setidaknya ia tidak kesulitan untuk menghubungi salah satu sahabatnya dan meminta bantuan.

Ia melangkahkan kakinya lambat-lambat dan tahu-tahu sudah berada di tepi jalan besar. Satu per satu mobil lewat, motor melaju kencang, odong-odong juga tak mau ketinggalan sepertinya. Matanya beralih menatap pedagang batagor, bibirnya melengkung sedih sedangkan tangan menyentuh perut.

Ia lapar, sekali.

Lagi-lagi menyesal karena tak menghabiskan pastanya dan malah ia buang begitu saja. Memang benar, membuang makanan bukanlah tindakan terpuji. Memang benar lagi, kalau menyesal itu urusan belakangan.

Rosa sudah cukup kesal dengan hidup beserta jalannya. Sudah cukup benci dengan kenapa sekolah memberikan pekerjaan rumah yang banyak. Sudah kesal dengan pastanya yang terbuang. Ia yang bertengkar dengan Julian.

Harinya sudah cukup buruk dan Rosa memang tak berpikir lebih buruk lagi dari pada hal ini.

Tetapi Rosa baru ingat, bahwa kehidupan tenang serta bahagia seperti dongeng tidak di takdirkan untuknya. Dan jujur saja, ia juga tak berniat menjadi princess menye-menye seperti yang pernah ia tonton.

Rosa berkedip menatap ke lurus ke samping, bukan gerobak sate yang berhenti di sana. Namun eksistensi yang menatapnya penuh minat dan tanda tanya.

Demi apapun. Dari sekian banyak orang yang ia kenal di kota ini. Dari sekian orang yang bisa saja berada di sana. Kenapa Tuhan menakdirkannya bertemu satu presensi yang ia tidak sukai sama sekali?

Apa takdir tengah berguyon padanya?

Ck! Rosa tidak berada dalam posisi seperti itu. Ia berbalik dan cepat-cepat pergi, tak ingin lama-lama berada di tempat itu. Tetapi tak lama setelah itu, lengan Rosa ditarik hingga tubuhnya melangkah mundur.

Rosa memasang wajah tak sukanya, sebab orang itu kini sudah berada di sampingnya. "Ada yang perlu gue banting, Arzan?"

Arzan tersenyum simpul, sedangkan Rosa mendelik kesal. Apapun selain Arzan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status