TATKALA sudah melompat ringan dari motor, mencabut kunci dari tempatnya dan bersenandung riang menuju pintu rumah. Arzan masih saja memasang wajah sumringah luar biasa seolah-olah telah memenangkan lotre bernilai fantastis yang tidak akan kamu sangka-sangka. Senyumnya masih lebar dan hangat ditambah lagi titik cacat di pipi yang mana membuat lelaki itu semakin menawan. Setelah berhasil lolos dari pintu utama dan melepas sepatunya lalu ditaruh di rak. Arzan masih seperti itu dan orang-orang rumah mulai mengernyit heran. Pemuda tersebut tampak tak sadar dan mengucapkan salam seperti biasanya. Dihampirinya Susan lalu mencium punggung tangan si ibu. “Assalamualaikum, Bunda. Maaf aku pulang telat,” ujarnya. Tidak seperti yang sudah-sudah, Susan tak yakin anak bungsunya menyesal saat mengucapkan maaf. Namun si ibu mengangguk kaku meskipun ribuan tanya menyerang pikiran. “Wa'alaikumsalam, iya, nggak papa.”Begitu pula selanjutnya pada David yang duduk di ruang tamu menonton bola dan Krysta
“TERIMA KASIH, silahkan berkunjung lagi nanti, Kak,” ujar sang kasir berhijab putih disertai senyuman ramah. Rosa balas tersenyum seraya mengambil kantong belanjaannya. “Sama-sama, Kak.”Kakinya pun melangkah keluar dari supermarket di dekat komplek perumahan tersebut. Kepalanya menengadah memandangi langit malam. Rosa sering reflek melakukan hal ini karena Jessica. Sahabatnya itu sangat suka memandangi langit malam, katanya, sih, indah. Rosa membenarkan sekali malam ini, khusus malam ini saja sepertinya. Setalah Arzan menurunkannya di depan rumah setengah jam yang lalu dan cowok tersebut sudah mengecil seiring jarak yang mulai membentang antara mereka. Rosa terkejut mendapati mobil Julian berada di pekarangan rumah. Maka dari itu ia berbalik dan menuju supermarket. Rosa belajar dari pengalaman yang kemarin-kemarin, apalagi sejak insiden ia kabur begitu saja seusai pertengkaran dan kelaparan di jalanan. Oleh sebab itu sekarang Rosa sudah mewanti-wanti dengan membeli makanan ringan d
SETIBANYA di rumah sakit, setelah mengendarai motornya seperti orang kesetanan dengan Rosa di punggung yang sudah dalam keadaan pingsan. Jessica berteriak membabi buta memanggil siapapun yang bisa cepat menangani Rosa. Semua suster maupun dokter berhamburan keluar, lalu menatap kaget pada anak pemilik rumah sakit tersebut dan seorang gadis di gendongan dengan kaki berdarah-darah. Rosa pun dengan cepat di bawa menuju UGD untuk penanganan lebih lanjut, sebab Jessica hanya melilitkan sebuah kain di kedua betis sahabatnya itu untuk menahan pendarahan. Setelah gadis tersebut menyaksikan tubuh Rosa mulai mengecil dari pandangannya dan hilang dari balik pintu. Jessica jatuh terduduk di lantai dan kepalanya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya tremor parah karena melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana darah merembes banyak dari kaki gadis tersebut. Air matanya mulai turun sementara bibirnya sudah meloloskan isakan. Sebenarnya Rosa mau sekuat apalagi, sih? Bagaimana gadis itu bisa menah
ESOKNYA sebelum pagi menjemput dan matahari mulai menyembul menunjukkan presensi. Rosa tersentak dari tidurnya. Si gadis dibuat memicingkan mata tatkala cahaya lampu menusuk irisnya. Sementara kepalanya pusing bukan kepalang, seperti baru saja ada orang yang memukul kepalamu dengan batu saking berputarnya. Gadis tersebut berkedip perlahan seraya menatap langit-langit ruangan serba putih. Dalam hati sudah yakin pasti Jessica yang membawanya ke rumah sakit. Helaan napas kasar keluar dari bibir Rosa. Bagian kakinya sakit dan terasa panas saat digerakan. Rosa menyibak pelan selimut yang membungkus tubuh dan menatap miris pada kedua kakinya yang diperban sempurna. Rosa tidak akan lumpuh, 'kan? Atau yang lebih parah, kakinya tak akan diamputasi, 'kan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai memenuhi kepalanya. Kemarin malam ia langsung menantang gelap dan tahu-tahu sudah berada di rumah sakit, lebih tepatnya telah mengenakan baju pasien serta berada di ranjang. Lagi-lagi ia menunjukkan kele
SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajahnya cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Entahlah. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan menunduk kecil, punggung tangannya menempel pada bibir. Segan sekaligus tidak mau di katai gila kalau ketahuan tengah malu-malu kucing begini. Perasaan euforia bekas sehari kemarin masih melekat hingga kini. Jantungnya masih berdentum kuat di dalam kala mengingat wajah manis Rosa, senyum gadis itu, sikap lucu gadis itu. Semuanya. Hal-hal yang baru kali pertama ia lihat. Semalam Arzan sulit tidur sebab gemas sendiri, dirinya mengulang melihat s
“JOAN, lo liat si Arzan kagak?” tanya Martin begitu duduk di kursi kantin, tepat berhadapan dengan Joan. Joan mengedikkan bahunya. “Belum sempet ketemu.” Wajah cowok itu berubah masam sembari menimbang-nimbang. "Apa dia mau kabur dari interogasi, ya?” Galen menggebrak meja pelan dn mengangguk setuju. “Bener! Sialan, gue baru mau minta traktir, anjir. Orangnya kagak ada.”“Makan mulu lo, babon,” ledek Johnny dengan bibir menukik tajam ke atas. Galen mengedikkan bahunya tak peduli lalu beralih pada Dhani yang sibuk mengunyah nasi goreng miliknya. Cowok itupun merangkul Dhani sampai si empunya sedikit terbatuk. "Apaan sih, bangsat! Kesedek gue,” ujar Dhani kesal. Cowok itu terkekeh. “Gue mau nanya, lo ada liat Arzan kagak? Hehe.”Sembari menjauhkan lengan Galen dari pundaknya, Dhani menjawab singkat. “Ada, sih. Tadi pagi.”“Terus-terus?”Kening Dhani mengerut samar. “Maksud lo dengan terus apaan?”Cowok berbadan bongsor tersebut memasang wajah datar. “Ya, lo apa, kek! Dia ngapa, kek
SEJAUH yang pernah Arzan pikirkan selama bertahun-tahun hidup, ia tak pernah berpikir akan mengikuti jejak Alvin. Maksudnya dalam hal mengambil tas dikelas pada jam sekolah, memanjat dinding dan benar-benar keluar dari area sekolah lewat jalan belakang. Pemuda tersebut meringis pelan menatap bangunan sekolahnya. Tak menyangka ia membolos akhirnya, ini perdana, lho, bagi Arzan. Mana pernah cowok itu melanggar peraturan. Apalagi jabatannya di sekolah sebagai Ketua OSIS Bina Bangsa yang mana selama kampanye akan mengenyahkan berbagai macam bentuk pelanggaran oleh para murid. Namun sekarang ia sendiri tengah melanggar dan Arzan rasanya sudah jatuh ke dasar kubangan dosa. Di sisi lain, melihat bagaimana tampang Arzan sekarang, bak anak anjing yang diusir sang pemilik, Alvin jengah sendiri. Arzan tidak salah. Alvin yang salah. Harusnya tidak membawa Arzan yang jelas suci begitu untuk berbuat dosa. Pemuda kelinci tersebut menatap Arzan jengah luar biasa. “Satu menit lagi lo ngegalau di sa
AROMA obat-obatan perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. Menyentak kecil masuk hingga Arzan pening sendiri karena aromanya makin kuat tatkala mereka semakin masuk. Tadi saat ketiga memutuskan untuk masuk kemudian bertanya kepada resepsionis. Sang resepsionis menolak memberitahu awalnya. Sebab keamanan data pasien dijaga ketat karena beberapa hal. Tetapi pada dasarnya si resepsionis perempuan dan ternyata mudah ambyar. Setelah Alvin melancarkan serangan demi serangan mematikan ala-ala gombalan di film. Sang resepsionis mau memberikan nomor kamarnya dengan iming-iming nomor ponsel. Mereka pun di arahkan ke lantai paling atas, tempat para pasien VVIP dirawat. Pemuda tersebut yakin betul bahwa Jessica mengamankan Rosa dengan baik. Pun hal tersebut semakin membuat Arzan makin cemas dan tak berhenti-hentinya untuk menghirup-hembus-hirup-hembuskan oksigen dengan cepat. Apa yang terjadi sehingga Rosa bisa masuk rumah sakit? Arzan yakin betul bahwa ia mengantarkan gadis