SEJAUH yang pernah Arzan pikirkan selama bertahun-tahun hidup, ia tak pernah berpikir akan mengikuti jejak Alvin. Maksudnya dalam hal mengambil tas dikelas pada jam sekolah, memanjat dinding dan benar-benar keluar dari area sekolah lewat jalan belakang. Pemuda tersebut meringis pelan menatap bangunan sekolahnya. Tak menyangka ia membolos akhirnya, ini perdana, lho, bagi Arzan. Mana pernah cowok itu melanggar peraturan. Apalagi jabatannya di sekolah sebagai Ketua OSIS Bina Bangsa yang mana selama kampanye akan mengenyahkan berbagai macam bentuk pelanggaran oleh para murid. Namun sekarang ia sendiri tengah melanggar dan Arzan rasanya sudah jatuh ke dasar kubangan dosa. Di sisi lain, melihat bagaimana tampang Arzan sekarang, bak anak anjing yang diusir sang pemilik, Alvin jengah sendiri. Arzan tidak salah. Alvin yang salah. Harusnya tidak membawa Arzan yang jelas suci begitu untuk berbuat dosa. Pemuda kelinci tersebut menatap Arzan jengah luar biasa. “Satu menit lagi lo ngegalau di sa
AROMA obat-obatan perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. Menyentak kecil masuk hingga Arzan pening sendiri karena aromanya makin kuat tatkala mereka semakin masuk. Tadi saat ketiga memutuskan untuk masuk kemudian bertanya kepada resepsionis. Sang resepsionis menolak memberitahu awalnya. Sebab keamanan data pasien dijaga ketat karena beberapa hal. Tetapi pada dasarnya si resepsionis perempuan dan ternyata mudah ambyar. Setelah Alvin melancarkan serangan demi serangan mematikan ala-ala gombalan di film. Sang resepsionis mau memberikan nomor kamarnya dengan iming-iming nomor ponsel. Mereka pun di arahkan ke lantai paling atas, tempat para pasien VVIP dirawat. Pemuda tersebut yakin betul bahwa Jessica mengamankan Rosa dengan baik. Pun hal tersebut semakin membuat Arzan makin cemas dan tak berhenti-hentinya untuk menghirup-hembus-hirup-hembuskan oksigen dengan cepat. Apa yang terjadi sehingga Rosa bisa masuk rumah sakit? Arzan yakin betul bahwa ia mengantarkan gadis
PEMUDA jangkung tersebut menarik selimut yang membungkus tubuh Rosa hingga leher. Tangannya yang bebas menyelipkan anak rambut si gadis ke belakang telinga. Arzan menatap lamat-lamat wajah si gadis yang sudah terlelap dan tenang. Diusapnya lembut pipi Rosa yang masih ada bekas sisa air mata. Tatapan cowok itu menatap Rosa lamat-lamat sementara memori baru kembali menyentak kepala. Di mana gadis itu berteriak histeris dan Arzan tak bisa untuk mengingatnya lagi. Cukup menyakitkan baginya. Apalagi bagi Rosa. Arzan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setahu yang ia ingat adalah kemarin adalah hari terbahagianya dan sekarang adalah hari terburuknya. Penyebabnya adalah orang yang sama, Rosa. Gadis itu sumber segala emosionalnya, Arzan akui itu. Bahagia kalau gadis itu tersenyum. Kesal kalau gadis itu lebih dekat dengan laki-laki lain. Geram kalau ada orang yang menjelek-jelekkan si gadis. Dan sekarang, sedih melihat Rosa begini. Pandangan Arzan turun menatap tautan tangan mereka. Gadi
BARANGKALI Arzan pernah punya mimpi buruk yang sangat membekas dalam benaknya. Tinggal untuk waktu yang lama dan susah dilupakan hingga membekas dalam relung hati. Pemuda tersebut ingin memperbaiki namun percuma. Sesuatu yang coba ia perbaiki sudah lama pergi dari kehidupan ini. Tuhan mengambilnya terlalu cepat. Mengambilnya dari Arzan. Mengambil senyum manisnya yang sering terbit dengan tulus. Tawa bahagianya. Sikap lucunya. Perhatian cuma-cumanya. Semuanya. Diambil paksa dari hidupnya dan Arzan pernah merasa kosong. Meski sudah di isi dengan berbagai hal, berbagai macam bentuk, dari hal sepele hingga bagian tersulitnya. Namun tak semudah yang ia pikirkan. Bayangan si gadis berambut panjang tersebut tetap tinggal dalam memorinya. “Arzan!”Cowok yang masih mengenakan seragam dongkernya menoleh tatkala namanya dipanggil riang sekali. Senyum Arzan terbit ketika melihat satu sosok gadis di ujung jalan. Si gadis berlari mendekat dan begitu ia sampai di samping Arzan. Gadis tersebut meng
SELEPAS Arzan berpamitan pulang beserta Alvin dan Revin sekaligus pukul 5 sore lebih sedikit. Suasana kamar ruang inap 3018 agaknya langsung sunyi begitu hanya tinggal ke empat gadis. Jessica yang menyilangkan kaki di atas sofa malas; wajahnya tidak bersahabat lagi. Jenna yang bersandar pada dinding. Chelsie yang was-was sendiri melihat ke tiga sahabatnya. Dan terakhir, Rosa dengan pikirannya, posisi si gadis duduk bersandar. Di luar sana langit sudah mulai menggelap meski masih tersisa sedikitnya warna biru ketuaan. Kendati demikian pun lampu-lampu di jalanan sudah hidup demi menerangi para pengendara malam. Namun entah bagaimana dalam satu waktu yang sama ke empatnya menghembuskan napas kasar serentak. Hal itupun sukses membuat mereka saling pandang lalu terbahak bersama. Geli sendiri, entah kenapa. Rosa dan Jessica pun saling tatap beberapa detik sebelum Jessica menajamkan mata. Gadis berponi tersebut mengusap kasar tubuhnya. “Alergi gue diliatin siluman tupai kayak lo,” hinany
TERHITUNG sudah masuk hari ke tiga Rosa di rawat di siniㅡlebih tepatnya 2 hari tiga malam. Kondisi si gadis sudah membaik kian kemari. Lukanya pun tidak sebasah kemarin hingga saat diobati perihnya pun tidak sesakit saat pertama kali ia mengganti perban. Sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sebelumnya Jessica sempat kemari tadi pagi untuk berencana bolos. Ternyata Chelsie juga ikut mampir kemari dan alhasil gadis berponi tersebut diseret paksa ke sekolah. Sementara Jenna tidak bisa datang hari ini karena ada jadwal les. Rosa tidak masalah. Ia sudah terlalu merepotkan mereka tiga hari ini. Tolong jangan katakan hal ini pada Jessica atau mereka akan bertengkar lagi. Jessica paling anti dengan kalimat merepotkan yang keluar dari mulut mereka. Bukan hanya marah, gedung rumah sakit bisa-bisa runtuh. Hiperbolanya, sih, begitu. Lebih kuranglah. Jemari si gadis bergulir di atas layar. Melihat-lihat postingan di akun sosial medianya. Kalau sudah bosan dengan hal itu. Rosa akan membaca no
PEMUDA berlesung pipit tersebut meletakkan tasnya di atas meja. Masih mengenakan seragam sekolah dan datang dengan wajah yang cukup letih. Namun masih menyempatkan diri datang ke sini serta membawa banyak makanan manis untuk Rosa. Si gadis tentunya merasa terharu, sedikit, ya. Tidak usah banyak-banyak. Arzan tipe anak yang dikasih hati minta jantung soalnya. “Gue ganggu nggak?” tanya Arzan dan meringis dalam hati. Tentunya melihat seorang laki-laki bersama gebetan membuatnya cemburu. Jelas. Mana sampai peluk-pelukan segala lagi dan yang makin membuat iri sampai ke sel-sel darah. Rosa juga tidak menolak sama sekali bahkan membalas juga. “Karena lo bawa makanan ke sini jawabannya enggak,” balas Rosa seraya membuka kantong plastik bawaan Arzan. Si gadis serta-merta bergumam 'woah' melihat beragam makanan manis di dalam sana. Arzan tersenyum kecil dan duduk di sisi ranjang. “Kalau gue nggak bawa makanan berarti ganggu dong?”Rosa kontan mendongak dan mengerjap beberapa kali; tengah be
"KEMANA?"Rosa menarik lebar sudut bibirnya ke atas kemudian menyibak selimutnya cepat dan berniat turun. Menyadari hal tersebut pun membuat Arzan dengan sigap menggenggam lengan Rosa. Menuntun pelan-pelan si gadis turun dari ranjangnya. Setelah berhasil turun dengan selamatㅡmeski Rosa meringis tatkala memijakkan kaki, gadis tersebut menarik lengannya dari genggaman Arzan. Cowok tersebut baru saja ingin memprotes takut-takut Rosa limbung namun kendati mendengar sebuah protes, ia mendapati Rosa malah melingkarkan tangan pada lengannya. Arzan membeo menatap lengan Rosa yang sudah bertengger manis di sana sedangkan si gadis mendongak menatap wajahnya sebab perbedaan tinggi mereka. Raut wajah si gadis masih tenang dan lembut meskipun tergurat bingung di sana. Tak lama kemudian Rosa terkekeh. "Lo belum pernah digandeng cewek, ya?" tanyanya menggoda, alisnya naik-turun menatap Arzan. Pemuda berdimple tersebut merasakan jantungnya berdetak melewati batas normal. Mengalihkan pandangan dan