Pandemi Covid-19 melanda dunia. Tenaga kesehatan menjadi target utama kelelahan oleh virus ini. Pasien membludak pada fase kedua. Dokter Rissa yang sedang hamil tetap bertugas merawat pasien covid. Dokter Rissa merupakan dokter internship yang terjebak cinta di ranah tempat ia mengabdikan dirinya di sebuah kota kecil di Sumatera. Namanya Cecep, seorang Sunda, anak tukang bakso mercon yang berhasil meraih hatinya. Di sisi lain dr. Rissa dijodohkan papinya dengan dokter juga, yaitu dr. Richi, anak teman dekat papinya di Padang. Siapakah Cecep sebenarnya? Bagaimana kisahnya dengan Cecep dan Richi? Siapakah Mitha? Bagaimana Mitha mengenal Richi? Apa kenangan masa kecil mereka?Namun, si tokoh berengsek ini tidak mengakuinya. Memiliki istri seperti Amaknya dan suci lebih diutamakannya daripada menerima anak yang belum tentu darah dagingnya sendiri. Lalu bagaimana dengan nasib Rissa setelah hamil. Siapa yang akan menjadi ayah dari bayi Rissa. Apakah Dokter Yusuf, Dokter Richi, ataukah Dokter Wendy? Cecep pun menjauh dari Rissa karena tahu Rissa hamil. Cecep menghilang ditelan bumi. Ia meninggalkan jejak nama Cecep dan menjadi Richi kembali tanpa memberi tahu Mak Siti. Lalu kenangan masa kecil bersama Richi itu bersemi lagi di hati MithaAkankah Richi memilih Mitha atau Rissa untuk menjadi kekasihnya? Bagaimana Rissa menjalani hidupnya dengan menjadi ibu apabila tanpa suami? Bagaimana ujung kisah ini. Apakah Rissa bersatu lagi dengan Richi atau tetap bersama Mitha? Bagaimana dengan Wendy dan Yusuf? Bagaimana pandemi covid-19 ini akan berakhir?
Voir plus*RSUD Gading Cempaka*
Dokter Rissa melewati lorong-lorong rumah sakit sendirian malam itu. Wanita tinggi langsing ini mengalungkan stetoskop hitam tanpa memakai jas putih dan memegang dompet kecil beige. Ia mengenakan rok berbunga putih pink dan baju pink senada, lengkap dengan jilbab kremnya yang ujungnya terjuntai ke depan dan ke belakang tubuhnya, sedikit mengikat lehernya. Sepatunya berhak tinggi lima senti berwarna krem. Lenggak-lenggok pinggulnya membuat rok itu terayun-ayun mengikuti gerakan angin malam. Ia berjalan mulai dari IGD (Instalasi Gawat Darurat), lorong Ruang Mawar hingga Ruang Melati (Bangsal). Lalu untuk sampai di ruang tim covid-19, ia harus melewati kamar jenazah yang tidak ada jenazahnya. Barulah ia bisa melakukan visite dokter di ruang isolasi covid-19 yang letaknya hampir di ruangan paling belakang dari rumah sakit itu tentunya setelah memakai APD lengkap bersama dengan dokter lain senior yang sudah duluan memakai hazmat dari ruang khusus tim covid yang penuh dengan barang-barang logistik keperluan perawatan pasien covid-19.Setelah selesai mengerjakan tugas visite, para dokter dan juga ditemani perawat kembali ke ruang jaga masing-masing setelah menyemprot APD itu dengan alkohol semprot lalu membuka hazmat, tetapi masih mengenakan APD level dua yang basah karena keringat mengucur dari balik pengapnya alat pelindung diri dari virus menyebalkan itu. Malam itu dr. Rissa sedang dinas malam di ruang IGD. Jadi ia harus berjalan jauh dari belakang rumah sakit menuju IGD yang letaknya paling depan dari rumah sakit. Malam ini tak seperti malam-malam biasanya sebelum datang pandemi covid-19. Biasanya tiap lorong penuh orang berlalu lalang hilir mudik. Tak perlu masker dan tak perlu rasa takut dari para pengunjung yang datang menjenguk. Alih-alih menjenguk, Rumah Sakit Gading Cempaka kini persis seperti kuburan, kosong, sepi, benar-benar menjadi malam yang mencekam hampir setiap harinya. Bahkan bila dapat jatah dinas pagi pun masih terasa seperti kuburan, kecuali bila rumah sakit kedatangan pasien baru pengidap covid-19, pasien kecelakaan lalu lintas atau sakit perut mendadak. Selain itu, sepi, sunyi, dr. Rissa merinding. Ia mempercepat langkahnya. Rasanya ada bayangan mengikutinya dari belakang. Ketika dilihat, tidak ada. Ia melangkah lagi tanpa ragu, tetapi tetap ditemani rasa takut yang tersembunyi di balik wajah cantik dan tenangnya itu.
"Ini baru di depan ruangan bangsal," Lirihnya. "Apa aku masuk ke bangsal dulu, ya?" Lirihnya lagi dengan sedikit rasa takut yang mendadak menyelimuti perasaannya. Tapi kakinya tetap mengayun ke depan. Ia terus berjalan, tak mau berhenti."Sebentar lagi dekat ruang mawar kok. Barulah nyampe IGD." Dokter Rissa menegarkan diri. Ia memberanikan diri karena ini memang profesinya. "Menyesal tadi tidak jalan bareng perawat mawar," katanya dalam hati.Ketika visit di ruang isolasi tadi, Dokter Rissa malah sibuk membaca hasil ekspertise dokter radiologi untuk 5 pasien covid yang dirawat. Semuanya positif pneumonia. Para dokter harus memastikan bahwa setiap pasien sudah makan makanan berprotein tinggi dan sudah minum azitromicyn dan vitamin lainnya. Pasien juga harus banyak minum air putih agar virus dapat keluar lewat ekskresi tubuh, seperti lewat BAB, BAK, dan keringat."Pakk!" Kali ini pundak dr. Rissa benar-benar merasa dipukul oleh seseorang di belakangnya. Seseorang berjaket hitam tebal menyenggol dr. Rissa dengan pundaknya. Dokter cantik itu langsung pucat pasi dan pasrah. Lelaki itu menyodorkan pisau kecil yang masih disembunyikan di balik jaket hitamnya. Hanya ujungnya saja terlihat bahwa itu pisau kecil.
Dokter muda tinggi, cantik, mulus, dan modis itu benar-benar kaget. Matanya terbelalak dan melihat ke kanan dan kirinya tak ada seorang pun yang lewat untuk ia meminta bantuan. Tak disangka firasatnya tadi benar bahwa ada seseorang yang mengikutinya dari belakang. Rissa masih terbungkam dengan rasa takut. Menyesal dulu pikirnya tak ambil kelas taekwondo yang disarankan papinya. Laki-laki paruh baya tadi mulai menjelaskan misinya ingin meminta uang."Kata masyarakat, kalian para dokter diberi insentif covid sangat besar, bukan?!" Mata lelaki paruh baya bertubuh gemuk pendek itu mulai melihat dompet kecil yang dipegang dr. Rissa. "Maaf pak, saya barusan visite pasien covid. Saya, saya, em, emm, belum mandi pak." Kata dr. Rissa ketakutan. Lalu ia melanjutkan berbicara, "takutnya virusnya masih nempel di ujung APD saya. Peralatan mandi saya ada di IGD." Kata dr. Rissa lagi mencoba membujuk lelaki berjaket hitam itu agar segera menjauh darinya. “jangan sampai bapak tertular covid-19 dari saya karena saya belum mandi, pak.” Bujuk Rissa lagi."Saya tidak takut covid. Anak istri saya kelaparan karena saya di-PHK." Kata lelaki itu lagi. Kali ini tangannya hendak merampas dompet itu. Rissa mengeluarkan seratus ribuan. Tapi bapak itu ingin lebih.Rumah sakit ini rumah sakit tipe D, tetapi sangat luas. Antar ruangan bukan sekat tipis seperti rumah sakit di kota Jakarta atau di kota besar lainnya. Rumah sakit ini memiliki gedung bagungan ruangan masing-masing dan gedung antar ruangan atau antar instalasi terpisah sekitar 5 meter. Rumah sakit ini betul-betul luas dengan hutan kecil di kiri kanannya, juga di belakang rumah sakit dekat ruang isolasi covid-19. Rumah sakit ini bukan rumah sakit rujukan covid-19, tetapi tetap memiliki pasien covid rawat inap. Oleh karena itu, rumah sakit ini tidak memiliki satpam yang hilir mudik di mana-mana, tetapi hanya bersiap siaga di pos satpam di dekat gapura masuk rumah sakit. Benar-benar tempat yang berisiko tinggi bila berjalan sendirian di lorong-lorong rumah sakit yang sepi seperti kuburan semenjak diberlakukan anjuran di rumah saja oleh presiden demi menekan laju penularan covid sialan ini sehingga para pengunjung pasien benar-benar dilarang berkunjung atau membesuk si pesakit.HEI!
Tiba-tiba ada seseorang menangkis tangan bapak berjaket hitam tadi dari samping. Ia main silat dengan bapak itu demi memperebutkan dompet dr. Rissa. Karena teriakan kencang dari dr. Rissa dan pemuda penolong ini, otomatis perawat ruang melati mendengar dan menelepon pos satpam untuk mengamankan situasi.
Dokter cantik mulus itu, masih dengan APD level duanya terlihat masih pucat. Untung tidak diperkosa seperti di berita baru-baru ini, batinnya. Sudah pakai mukena dan salat di masjid, masih saja menjadi korban pemerkosaan."Makasih ya Mas." Ucap dokter cantik ini kepada pemuda di depannya. Tatapan dokter Rissa tak biasa. Ia masih merasa sedang berada di negeri dongeng, di mana tuan putri diselamatkan oleh pangeran tampan berkuda putih."Saya Rissa." Rissa mengenalkan dirinya dengan menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Seperti protokol kesehatan yang dianjurkan presiden semenjak terjadinya pandemi covid-19 di seluruh dunia."Saya Cecep." Balasnya dengan logat halus Sunda.Lelaki tertutup masker di depannya hanya bilang lain kali hati-hati dan jangan suka jalan sendirian di lorong sepi. Lalu ia memunggungi Rissa dan berlalu pergi.Rissa masih menatap kosong. Antara masih trauma, sedih, senang, bingung, dan berdebar."Siapakah dia? Kayak pernah lihat." Rissa yang baru seminggu bertugas menjadi dokter internship di Bengkulu-Sumatera ini, belum terlalu mengenal lingkungannya bagaimana. Bahkan antar teman-teman iship saja juga baru kenal, baru berjumpa. Tapi, ngomong-ngomong, ini di Sumatera, tetapi tetap saja dapat kenalan yang kalau ngomong, logatnya Sunda. Namanya pun Cecep. Pasti Cecep merantau, lirihnya dalam hati."Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires