"Non, ada tamu. Dipesenin nyonya lewat telepon tadi kalau Non Rissa disuruh temui tamunya." Ucap seorang tukang bersih-bersih rumah Rissa sore ini.
"Lah, mami mana, Bi?" Tanya Rissa yang sedang memakai hijab pinky-nya untuk bersiap-siap ke rumah Rara yang malam nanti bakal ada acara tunangan Rara dan Chandra."Mami pergi dari siang tadi, Non. Katanya ada meeting." Jawab Bi Ija."Siapa sih, Bi, yang harus ditemui? Rissa mau pergi nih!" Kata Rissa lagi dengan hati tak tenang."Namanya, Ri, Ri, Ri,... Lupa Non." Gubrak!"Ri, Rissa?" Tanya Rissa menebak konyol."Ric... Richi, eh, Richi, Non." Jawab Bi Ija kini merasa tak salah lagi."Richi mane?" Tanya Rissa meneliti mencari data di otaknya, apakah ada temannya selama ini yang bernama Richi?Si Bi Ija pun pamit keluar. Lalu ia menutup kembali pintu kamar aesthetic milenial itu dan menghilang ke arah kamar mandi luar. Rissa yang selesai memakai hijabnya, mencoba turun ke lantai bawah.Tiba-tiba ada telepon dari mami."Hallo mami? Ada apa mi?" Tanya Rissa masih memegang gagang pintu kamarnya. "Iya, mi. Ini Rissa baru aja mau turun. Lagian, Richi mana sih mi? Rissa mau ke rumah Rara." Kata Rissa keki."Ya, temuin aja dulu si Richi. Anak teman papi yang mau dijodohkan sama kamu." Kata mami Rissa dari seberang telepon.WADAU!"Mau dijodohkan?" Rissa menutup gagang pintu yang dipegangnya. Ia kembali ke ranjangnya, duduk di sana, dan menatap dirinya di dalam kaca berbingkai putih, yang dikelilingi lampu neon pada setiap sisinya."Ini sangat menyebalkan! Aaaaggh!"***
Rissa yang sudah siap ke rumah Rara terpaksa ditunda dulu sampai sudah maghrib. Mami sangat wanti-wanti kalau Rissa harus dan harus menemui Richi.
Ia menuruni anak tangga satu per satu ke arah ruang tamu. Dari atas tadi ia telah melihat sesosok manusia yang kata Bi Ija bernama Richi dengan balutan baju katun berwarna merah dan berkerah, penuh bunga-bunga berpadu dengan celana krem setengah tiang yang penuh dengan kantong celana di setiap sisinya. Pikir Rissa, ini orang mau ngapel atau mau ke pantai, ya? Lelaki berbaju pantai yang sering dijual di pinggir pantai Bali itu malah membuat Rissa tertawa terbahak-bahak tepat ketika lelaki itu menyodorkan tangannya untuk bersalaman."Richi." Kata lelaki itu mengenalkan dirinya pada Rissa yang masih tak tahan menahan tawanya. Kini tawanya meredup perlahan-lahan. "Nyari siapa, Mas Richi?" Tanya Rissa pura-pura tak tahu. Ia tertawa di balik tangan kanannya yang masih memegang mulut, seperti tak bersalah."Ehm, em, nyari Rissa, eh... Nyari kamu. Eh kamu namanya Rissa ya?" Tanya Richi yang duduk di sofa hitam itu. Rissa duduk di seberangnya, dipisahkan oleh meja tamu. Bi Ija datang dari dapur, menyiapkan orange jus dan kue mochi warna-warni penuh dengan taburan topping putih khas mochi Cianjur."Ngapain masnya nyari saya?" Tanya Rissa menambah-nambah bingung orang di seberangnya. "Ehm, anu, anu, eh... Anu!" Jawab Richi gemetaran.Rissa menahan tawanya. Dipandangnya wajah putih berambut keriting, hidung mancung, bertopi Mr. Bean, berbaju pantai, berkaca mata hitam, seperti tukang urut buta. Kurang bawa tongkat saja. "Kamu anaknya teman papiku ya?" Tanya Rissa."Iya, eh... Iya." Jawab Richi masih gemetaran."Eh, ehm, Rissa mau Abang ajak ke Disney Land?" Tanya Richi sembarang."Enggak!" Jawab Rissa cuek. "Eh, siapa tadi? Abang?" Rissa tertawa tak tertahankan. Richi senyum-senyum saja."Atau Rissa mau aku ajak ke Jeju Island?" Tanya Richi lagi."Nggak." Rissa menggeleng lagi."Rissa mau ke mana?" Tanya Richi melembut."Mau ke rumah Rara." Jawab Rissa jujur."Yaelah, Abang antar yuk!" Tawar Richi."Kagak dah!" Jawab Rissa."Nanti mau ikut Abang ke Inggris?""Enggak!""Paris yang seksi?" Tanya Richi dengan muka serius."Nggak!""Mau ke pantai Bali?" Tanya Richi lagi."Nggak dulu lah, Bang." Jawab Rissa dengan tekanan yang menyakitkan."Kenapa gak mau semua?" Tanya Richi."Karena sama kamu." Jawab Rissa sangat menyakitkan. Richi diam. Rissa merasa tidak enak.Agar meminimalisir sakit hati Richi, Rissa berkata lagi. "Ada yang saya mau!" Richi yang tadi menunduk melihat meja. Kini menatap Rissa kembali.Lanjut Rissa, "Rissa mau ke Palestina!"Richi terbelalak. Diam sejenak, lalu membalas ucapan Rissa."Palestina tempat perang begitu?" Tanya Richi meneliti lagi."Iya." Jawab Rissa mantap."Kenapa kamu mau ke sana?" Tanya Richi lagi ingin mendengar argumen Rissa."Menjadi tenaga medis volunteer." Jawab Rissa mantap."Serius?" Tanya Richi lagi. Karena sebenarnya Rissa tidak serius, ia mengalihkan pembicaraan."Kamu kok gak pake masker? Terus pakai bertamu ke rumah orang di saat pandemi. Katanya dokter? Kok gak ngerti?" Kini Rissa menaikkan sedikit oktaf suaranya. Lalu berkata lagi, "Maaf ya Richi, saya gak punya waktu banyak. Saya mau ke rumah teman saya yang sebentar lagi mau tunangan."Richi diam, tetapi kemudian bersuara lagi."Lah, itu kamu juga mau bertamu ke rumah teman kamu yang mau tunangan, kerumunan. Katanya dokter, kok.....?!" Richi tak melanjutkan perkataannya karena Rissa di depan sana menyeka matanya seperti menangis.Rissa cuma pura-pura menangis agar Richi tak membalas serangannya barusan."Richi, aku pergi dulu ya." Kata Rissa."Aku antar ya?!" Dalam hati Rissa "malas banget.""Gak usah, Mas Richi." Jawab Rissa."Panggil Abang aja. Gakpapa." Richi bangkit dari tempat duduknnya."Gak usah." Rissa menaikkan tangannya berkata tak usah."Gakpapa." Rissa dan Richi kini berkejar-kejaran di ruang tamu yang luas itu. Lalu Rissa pura-pura ke toilet lalu pergi lewat pintu belakang rumahnya."Aman gue dari kejaran burung hantu!" Rissa membatin. Ia memegang dadanya untuk melihat apakah masih berdebar atau tidak setelah mencoba melarikan diri dari Richi. Di belakang rumah, ia menuju arah samping rumah mencari Toyota Yaris hitamnya. Ternyata tidak ada. Mungkin dipakai mami. Lalu ia balik lagi ke dalam rumah mencoba mencari kunci Honda Jazz putihnya. Ketemu."Wah, sepi. Tampaknya Richi sudah kabur. Bebas nih gue!" Kata Rissa lirih.Kini hatinya plong. Senyumnya melebar. Setelah mengambil kunci Honda Jazz putihnya di lantai atas, Rissa keluar rumah tak perlu lagi lewat samping. "Bi Ija, Rissa pergi dulu ya." Sapa Rissa kepada Bi Ija yang sedang membereskan hidangan tamunya tadi."Iya, Non. Hati-hati. Pesan mami, jangan pulang larut malam ya."Dalam hati Rissa, "Ya udah, gak boleh pulang larut malam, gue pulangnya besok pagi aja maksut lo?" Rissa membuka pintu utama rumah menuju ke arah mobilnya."Tadaaa!" Tiba-tiba Richi meluncur di depan Rissa yang baru menutup kembali pintu rumah. Alphard hitam Richi berhenti tepat di depan Rissa. Richi pun turun membukakan pintu mobilnya untuk Rissa masuki. Rissa terbelalak karena kaget. Rissa membatu. Rasanya seperti dikutuk Mak Malin Kundang. Ternyata Rissa belum lepas dari kejaran burung hantu.Dokter Rissa sampai di IGD. Tak ada pasien baru. Ia pun segera mandi di ruang jaga dokter ujung sana."Eh, kamu baru ya?" Tanya dokter IGD senior bernama Susan kepada pemuda pengantar lima bungkus bakso mercon terpedas sedunia itu. Pemuda putih behidung mancung tinggi tampan berjidat mulus tertutup masker itu hanya mengangguk. Tak tampak wajah penuhnya, apakah ia mengangguk sambil tersenyum atau manyun. Tapi dia tampak tenang, hormat, dan lembut, khas Sunda."Dok, baksonya udah dianterin." Sahut Susan kepada Rissa yang baru keluar dari kamar jaga setelah mandi. Ia keluar Lamar jaga lengkap dengan setelan medis birunya."Iya makasih Dokter Susan." Kata dr. Rissa ramah. Rissa yang masih merapikan hijabnya berjalan perlahan menuju meja besar dokter umum tempat menerima konsultasi pasien dan keluarga pasien IGD.Mereka pun makan bersama dengan para dokter dan perawat jaga. Malam ini memang sepi. Warung IGD belum punya pengunjung baru. Alhamdulillah ka
Cerita RichiTit totTit totGetar suara pesan WhatsApp menyembul dari saku celananya. Ada pesan dari Rissa."Cep, tolong ke kosan Rissa sekarang ya. Rissa pesen bakso 2 bungkus. Laper nih." Senyum Cecep mengembang seketika.Cecep yang berada di Klinik Ibu dan Anak segera memesan Bakso Mercon di kantin RSUD Gading Cempaka yang hanya berjarak 15 menit."Pas banget jam selesai visit, lanjut ngelayanin si Ayang Rissa." Lirih Dokter Richi yang sudah sebulan kembali bekerja menjalankan profesi aslinya sebagai dokter."Jujur saya lelah berpura-pura seperti ini." Lirih Richi lagi.***PadangLelaki itu berdiri di depan pancuran taman kampus yang airnya bertingkat-tingkat. Ia menatap universitas swasta besar di Padang, Sumatera Barat. Wajahnya penuh haru. Ia masih mengenang ayahnya saat susah."Apak keliling jualan minyak dulu ya, Nak." Dikecupnya kening Richi dan berpamitan ketika hari masih sangat pagi. Amak tersenyum melepas Apak yang ma
31 Desember 2019Virus Covid-19 yang menyerupai SARS dan MERS menyebar di seluruh Wuhan, China. Ilmuwan yang berselisih tak sengaja mengeluarkan virus percobaan dari sarangnya. Seluruh kota terkena dampak sifat virus itu, hidup pada inang makhluk hidup yang memberi makan mereka.Seluruh mahasiswa terkepung di dalam rumah inap mereka masing-masing, terutama yang kita sorot adalah mahasiswa asal Indonesia. Mereka terkepung virus itu di dormitori masing-masing tanpa bisa pulang ke Indonesia. Kampus di Wuhan meliburkan mereka sementara waktu, sampai waktu yang belum ditetapkan. Seluruh kampus di Wuhan meliburkan perkuliahan.Lama-lama seluruh Wuhan dan China melakukan lock-down karena laju penularan virus sialan itu sangat cepat."Ini bukan seperti virus influenza yang bersifat air soluble." Prof. Ling Chu menjelaskan pada publik."Maksudnya apa, Pak?" Ketika siaran tivi menanyakan hal itu lebih jelas secara daring menggunakan zoom.
8 April 2020Dokter Susan menangis di telepon. Ia kembali menghubungi Dokter Andi."Dok, hari ini bisa ganti hari jaga lagi?" Tanya Dokter Susan mencoba menenangkan diri sendiri."Dokter Susan, mohon maaf tapi saya dinas di RSUD Muhammad 24 jam ke depan." Jawab Dokter Andi tak enak."Ada apa Dokter Susan?" Tanya Dokter Andi lagi."Kami sekeluarga diisolasi di RSUD Muhammad." Jawab Dokter Susan lagi.Dokter Andi terbelalak. Itu RSUD tempatnya kini ia akan dinas 24 jam ke depan. Dokter Andi yang berperawakan gemuk dan berkacamata itu mencoba menenangkan dan memberikan semangat kepada rekan kerjanya agar segera sembuh walaupun Dokter Susan dengannya pernah mengalami peristiwa hitam, ketika di SMA dulu wanita gemuk putih berambut keriting panjang itu pernah ditolaknya. Tapi kini mereka malah menjadi rekan kerja baru di RSUD Gading Cempaka. Dokter Susan ditempatkan di RSUD yang alatnya lebih lengkap daripada RSUD Tipe D Gading Cempaka."Kenapa
Lelaki itu akhirnya memunggungi kolam air mancur di taman Fakultas Kedokteran swasta milik Apaknya itu. Satu persatu ia menuruni anak tangga taman menuju ke parkiran mobilnya. Lalu ia menaiki Alphard hitamnya dan kembali ke rumah.Langit siang ini cerah. Richi membelah jalanan Kota Padang. Kanan kiri kota itu sangat indah karena setiap bangunan pemerintahan maupun swasta selalu memiliki atap melengkung ke kanan dan ke kiri seperti tanduk kerbau. Sama seperti kampus kedokteran swasta tadi. Namanya atap gonjong. Seperti sejarah Minangkabau, yaitu berasal dari kata Minang yang berarti menang dan Kabau yang berarti kerbau. Kerbau yang menang. Terinspirasi dari tanduk kerbau, Minangkabau menjadi ranah yang memesona dan terkenal budayanya hingga ke pelosok dunia.Richi telah sampai di rumahnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Negeri terkenal di Jakarta itu, kampus kuning, ia pulang ke Padang. Apaknya memang membuka Fakultas Kedokteran swasta di Padang, tet
5 Januari 2020Richi terbangun dari tidurnya. Rupanya sejak dari Jakarta ia belum menemukan Apak dan Amak di rumah. Letih dari perjalanan Jakarta - Padang membuatnya tertidur pulas beberapa jam di kamarnya."Bang Richi?" Seorang gadis SMP menepuk bahu abangnya."Ama?" Tanya Richi tak kuasa memeluk adiknya yang paling kecil, sedangkan adiknya mencium tangan abangnya penuh rasa rindu dan hormat. "Ama tambah besar ya, dan cantik." Puji Richi. ""Ah, Bang Richi bisa aja." Ucap Rahmah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ama."Sudah kelas berapa Ama kini?" Tanya Richi lagi bukan basa-basi. Dia lupa adiknya kelas berapa SMP."Ih abang, masa kelas adiknya sendiri gak tahu." Kata Rahmah sebal."Mana yang lain? Rahmi, Fitri, dan Echa?" Tanya Richi lagi."Masih di sekolah, Bang." Jawab Rahmah. "Ama di sini cuma pulang sebentar ke rumah mau mengambil buku PR Ama yang tinggal." Jawab Rahmah manja."Oke." Jawab Ric
Rissa memintaku mengantar Bakso Mercon lagi malam nanti. Kutelepon Mak Siti yang tidak tampak batang hidungnya di kegiatan swab PCR massal karyawan Rumah Sakit Gading Cempaka sejak siang tadi. Kususuri lorong Ruang Mawar yang berdekatan dengan kantin. Tak ada Mak Siti di sana. Gerobak di kantin tutup semua. Gelap. Sepi. Semilir angin malam membuat bulu kuduk Cecep merinding. Sejak tracing covid-19 di RSUD Gading Cempaka, banyak gerobak kantin menutup diri. Bahkan pasien jika tidak terpaksa, tak akan pergi berobat ke RS. Apalagi kabar di tivi, banyak perawat dan dokter tertular covid. "Sepi banget kantinnya." Lirih Cecep sebal. Lalu ia mengorek saku celananya mencari hand phone untuk menelepon Mak Siti. "Mak di rumah, Cep. Kamu mau ke rumah?" Ujar Mak Siti. "Iya, Mak. Rissa mesan bakso Emak." Jawab Cecep. "Tapi tadi Mak lihat kamu berdua Rissa duduk di tangga antrean swab PCR ya, Cep?" Tanya Mak Siti lagi. "Kamu kan tahu Kalau Dokter Susan kini
1 Februari 2020 Lalu lalang kendaraan Jakarta membuat macet jalanan. Asap knalpot motor dan mobil beradu brutal di udara. Suara bajaj merah dan biru memekakkan telinga. Terkadang Abang Bajaj menggiling tepi batas antara jalan umum dan jalan khusus busway. Ia giling kembali ketika jauh di depan sana ada busway yang akan melintas datang. Biasanya Abang Bajaj itu berebut jalan dengan pengendara lainnya agar mengalah pada bajaj yang merasa akan terlindas busway. Pengendara lainnya diminta memaklumi bajaj agar selamat, daripada dilindas busway yang tetap melaju kencang dan hanya berhenti di halte-halte. Pemandangan ini sudah biasa bagi Richi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa di Jakarta. Terkadang bila bernasib buruk, polisi akan menghukum bajaj yang nakal dengan memintai denda ratusan ribu agar kapok. Pagi itu Richi ke kampus Rissa di Jakarta. Ia sempatkan perjalanan terbang dari Padang ke Jakarta kembali. Dimasukinya kantor Fakultas Kedokteran itu. Ia ingin tahu k
"Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu