8 April 2020
Dokter Susan menangis di telepon. Ia kembali menghubungi Dokter Andi.
"Dok, hari ini bisa ganti hari jaga lagi?" Tanya Dokter Susan mencoba menenangkan diri sendiri.
"Dokter Susan, mohon maaf tapi saya dinas di RSUD Muhammad 24 jam ke depan." Jawab Dokter Andi tak enak.
"Ada apa Dokter Susan?" Tanya Dokter Andi lagi.
"Kami sekeluarga diisolasi di RSUD Muhammad." Jawab Dokter Susan lagi.
Dokter Andi terbelalak. Itu RSUD tempatnya kini ia akan dinas 24 jam ke depan. Dokter Andi yang berperawakan gemuk dan berkacamata itu mencoba menenangkan dan memberikan semangat kepada rekan kerjanya agar segera sembuh walaupun Dokter Susan dengannya pernah mengalami peristiwa hitam, ketika di SMA dulu wanita gemuk putih berambut keriting panjang itu pernah ditolaknya. Tapi kini mereka malah menjadi rekan kerja baru di RSUD Gading Cempaka. Dokter Susan ditempatkan di RSUD yang alatnya lebih lengkap daripada RSUD Tipe D Gading Cempaka."Kenapa gak isolasi di rumah saja, Dok?" Tanya Dokter Andi.
"Si Adi penurunan kesadarannya sangat besar." Kata Dokter Susan mengabari kondisi adiknya yang baru pulang dari Bandung itu. Saya takut ada apa-apa kalau di rumah." Jawab Dokter Susan lagi lalu meminta izin mematikan telepon.
Dokter Andi yang terbelalak kini menelepon kepala ruangan IGD RSUD Gading Cempaka, menanyakan siapa saja yang telah terlanjur kontak erat dengan Dokter Susan sewaktu jaga IGD sejak bulan lalu setelah adiknya datang dari Bandung dan Jakarta.
Nurse Gunawan sebagai kepala ruangan mencoba memulai rapat kecil di grup W******p IGD. Lalu ia membicarakan hal ini kepada direktur. Seluruh dokter iship, perawat IGD, serta petugas yang kontak erat dengan Dokter Susan, ditracing, lalu dilakukan pemeriksaan rapid test.
"Kontak erat itu artinya kalian selama minimal lima belas menit berada dengan jarak minimal 1 m terhadap penderita terkonfirmasi covid-19 dan tanpa masker." Kata direktur rumah sakit mengarahkan Nurse Gunawan agar menginformasikan kepada seluruh petugas IGD.
Rapid test pun diselenggarakan kecil-kecilan kepada seluruh petugas IGD, labor, dan radiologi yang kontak erat maupun tidak kontak erat pada ibu itu.
Perawat Vivi, Bonar, Roger, dan Bidan IGD Pipit segera melakukan rapid test hari itu. Juga 3 dokter iship ikut melakukan rapid test. Disusul petugas laboratorium dan petugas instalasi radiologi juga dilakukan Rapid Test. Semua hasilnya negatif, kecuali Nurse Bonar.
Semua mata terbelalak melihat tabel bahwa Nurse Bonar hasil Rapid Testnya positif. Nurse Bonar sempat shock melihat hasilnya. Bagaimana tidak, ia sudah kontak dengan seluruh anggota keluarganya dan beberapa rekan kerjanya, pergi ke atm bank, makan bakso bakar di kantin RSUD, mencuci motor di tempat cuci motor yang masih buka, dan banyak lagi.
"Kamu yakin hasil Rapid Test itu akurat, Vi? Kata dr. Rissa yang hasil Rapid Testnya negatif.
"Gak tahu juga, Dok. Saya benar-benar blank. Bukankah Bonar punya anak bayi di rumahnya?" Tanya Vivi lagi. Perawat yang sedang memerhatikan buku register IGD itu kini menatap Dokter Rissa yang dinas hari itu.
"Istri Nurse Bonar bukannya yang baru melahirkan dua bulan yang lalu ya?" Tanya Dokter Rissa lagi meyakinkan Nurse Vivi.
"Iya, Dok." Nurse Vivi mengangguk. Lalu mereka berdua memukul jidat sambil bilang "Cape deh!" Sesuatu yang sangat disayangkan dan dikhawatirkan.
"Bagaimana kalau bayi mungil itu tertular, Dok?" Tanya Nurse Vivi. Muka Vivi tampak sedih membayangkan bayi mungil Nurse Bonar tertular bila kontak erat dengan ayahnya.
"Sedih ya. Paling mungkin tertular kalau bayinya kontak erat." Jawab Nurse Vivi.
"Tapi Nurse Bonar tidak menampakkan gejala." Ujar Nurse Vivi menyelidik sendiri.
"Itu namanya OTG, Mbak Vivi. OTG itu kepanjangan Orang Tanpa Gejala." Jelas Dokter Rissa. Nurse Vivi manyun.
Nurse Gunawan menyarankan agar Nurse Bonar melakukan isolasi mandiri di rumahnya.
"Besok pagi Nurse Bonar harus diswab PCR." Ujar kepala ruangan IGD itu.
Karena masih baru, tes swab PCR memakan waktu beberapa hari untuk mengantre dicek di laboratorium RSUD Muhammad. Hari itu juga hasil swab Nurse Bonar dan keluarganya diantar ke RSUD Pusat.
Pengumuman pagi ini ditempel di majalah dinding RSUD Gading Cempaka untuk dibaca oleh seluruh karyawan.
SEMUA KARYAWAN TANPA TERKECUALI HARUS DISWAB PCR MULAI SORE INI.
TERTANDA
DIREKTUR RSUD"Seru banget ya tu pengumuman. Membayangkannya saja gua mual." Lirih Dokter Rissa pada teman sejawatnya di IGD hari ini. "Gua hari ini lepas dinas dan ngantuk berat kayak gini, entar sore disuruh datang pula ke RSUD ini lagi buat swab." Dokter Rissa berjalan dari kamar jaga dokter sambil mengomel sepanjang jalan. Ia membawa seluruh barang-barang kebutuhan dinas malamnya di RSUD malam tadi ke bagasi Honda Jazz putihnya.
Mana tidak, bukan hanya IGD yang kontak erat seluruhnya dengan Dokter Susan, melainkan juga Ruangan Bangsal Melati kecolongan merawat pasien covid tanpa APD karena APD digunakan hanya apabila ke ruangan isolasi covid paling belakang dari gedung RSUD Gading Cempaka.Seluruh karyawan rumah sakit mulai dari dokter spesialis hingga pak satpam dan cleaning service pun wajib swab PCR."Ugh, sakit sekali hidungku dicungkil."
"Udah ah, jangan ngomel terus. Hajar aja!"
"Ya Ampun, gara-gara corona, hidung kita semuanya dicungkil."
Banyak karyawan yang mengomel. Dokter Rissa kebagian diswab jam lima sore.
Seorang lelaki yang sudah ia kenali sebagai anak penjual Bakso Mercon terpedas di kantin RSUD itu duduk tidak jauh dari Dokter Rissa. Karena karyawan sangat banyak, tempat duduk yang terbatas membuat mereka "ngemper" di tangga dan di lantai RSUD."Ikut diswab PCR, Dok?" Tanya lelaki bermata tampan yang wajahnya sebagian ditutupi masker hijau muda itu.
"Iya," Dokter Rissa yang duduk di tangga sambil memainkan hapenya mengangguk.
"Kamu gak takut duduk di dekat Rissa?" Tanya Dokter Rissa tiba-tiba.Lelaki itu kembali menatap Dokter Rissa. Lalu ia mengatakan, "Kalau Dokternya secantik Neng Dokter, aku sanggup tertular covid." Kata-kata menjijikkan itu keluar spontan dari mulut Cecep.
"Anjirr!" Lirih Dokter Rissa sambil tertawa kecil.
"Lu liat aja nanti, Cep. Kalau gua positif karena kontak sama Dokter Susan gimana?" Tanya Dokter Rissa lagi.
"Ya, gak papa, Neng. Nanti biar Cecep yang ngerawat Neng Dokter." Jawab Cecep asal. Rissa kembali tertawa kecil.
"Ya. Terus gue tiap hari lu kasih makan Bakso Mercon ya?" Tanya Dokter Rissa garing.
"Hahaha! Tahu aja Neng Dokter." Kini mereka tertawa bersama.
"Mau Cecep anterin Bakso Merconnya, Neng?" Tanya Cecep nakal.
"Kini?" Tanya Rissa yang masih agak mengantuk.
"Entar malam ya, Cep." Jawab Rissa.
"Tapi, ehm, ehm..., ehm." Cecep mau mengatakan bahwa Rissa harus pakai hijab kalau selama ada cowok delivery makanan atau siapa pun yang bukan mahram, tapi masih takut. Agak sungkan bila diungkapkan di depan orang banyak.
"Gak papa, Neng Dokter. Malam nanti Cecep anterin." Jawab Cecep.
Rissa juga masih mengenang kala Cecep mengantar Bakso Mercon, diujinya Cecep, apakah Cecep termasuk lelaki hidung belang atau lelaki lurus. Waktu itu Rissa tertawa terpingkal-pingkal dari balik jendela melihat tingkah Cecep yang lurus dan lucu. Ternyata Cecep bukan lelaki nakal.
"Eh, jam berapa mau Cecep anterin, Neng Dokter?" Tanya Cecep lagi.
"Eh, BTW, bukannya kantin harus tutup mulai besok?" Tanya Rissa yang sama seperti Cecep untuk swab PCR.
"Malam nanti bisa, Neng. Tapi buat ke depannya, belum tahu." Jawab Cecep lagi. "Tapi apa sih yang gak bisa Cecep anterin buat Neng Dokter Rissa?!" Kata Cecep menggombal.
Cecep ini lelaki lurus, tetapi agak gombal sedikit. Batin Rissa. Rissa hanya tersenyum.
Selang lima hari kemudian, hasil swab PCR keluar. Jadi, selama lima hari itu, RSUD Gading Cempaka ditutup resmi oleh direktur. Terciduklah sejumlah karyawan RSUD Gading Cempaka yang terkonfirmasi positif covid.
***
14 April 2020
IGD kembali menampakkan senyumnya, tetapi kali ini senyum itu agak kecut. Matahari pagi mengikhlaskan hatinya untuk selalu setia menerangi jiwa-jiwa manusia yang penuh dosa. Semilir angin menyelinap masuk di antara pintu-pintu dan jendela Rumah Sakit.
Malam tadi direktur meminta bawahannya untuk mengabari siapa saja karyawan yang sudah keluar hasil swab PCR-nya yang terkonfirmasi positif. Seluruh karyawan yang hasil swabnya negatif disuruh masuk pagi harinya untuk mengatur jadwal dinas yang baru. Sedangkan karyawan yang positif covid-19 dirawat di ruang isolasi darurat RSUD Gading Cempaka itu sendiri. RSUD menggunakan ruangan besar tetapi kosong yang berada tepat di posisi paling belakang rumah sakit.
"Lu tahu gak kalau hasil swab PCR Nurse Bonar negatif sekeluarga?" Tanya Nurse Vivi dengan dada senang karena ia juga memiliki anak batita (bawah tiga tahun) di rumahnya. Jadi dia tahu bagaimana perasaan rekan sejawatnya itu bila sang ayah benar-benar terkonfirmasi positif."Lah, bukannya hasil Rapid Test Nurse Bonar kemarin positif?" Timpa Pipit si bidan IGD yang juga kembali dinas hari itu."Kita yang dinas hari ini hasil swabnya negatif, makanya disuruh direktur jaga gawang lagi. Kirain bisa libur lama ya. Hahaha...!" Kata Bidan Pipit lagi sambil ngakak."Lah, mana Nurse Bonar? Kenapa gak datang hari ini?" Tanya Nurse Vivi.
"Besok kan jadwal dia." Jawab Bidan Pipit yang sedang mengamati film kartun pagi youtube di komputer IGD. Dasar Pipit.
"Hmm... Itu artinya hasil rapid test yang positif belum tentu hasil swab PCR-nya positif juga ya?" Tanya Vivi menyimpulkan.Dokter Rissa mengangguk. "Iya, Nurse Vivi. Rapid Test hanya menunjukkan antibodi seseorang. Bahkan jika seseorang yang terkena DBD dilakukan rapid test, bisa jadi hasilnya positif." Jelas Dokter Rissa.
"Kalau swab PCR, Dok?" Tanya Pipit menyambung tanya.
"PCR hanya bisa membaca khusus virus covid-19. Apabila hasil swab ini positif, hampir 100% memang terkonfirmasi positif atau memang terpapar covid-19." Jawab Dokter Rissa.
"Hampir saja Nurse Bonar yak!" Kata Vivi geram.
"Iya, syukur alhamdulillah." Timpal Pipit."Pantesan teman aku yang di Jakarta. Hasil Rapid Testnya negatif, tapi kok dia merasa telah kontak erat dengan adiknya yang konfirmasi positif. Akhirnya dia swab PCR mandiri. Tahu gak hasilnya?" Kata Pipit lagi panjang kali lebar dengan antusias seperti main teka-teki saja.
"Apa Pit?" Vivi mendelik.
"Hasilnya positif, Vi." Jawab Pipit lagi.
"Dok," Vivi memanggil Dokter Rissa dengan suara pelan.
"Apa Mbak Vivi?" Tanya Rissa.
"Dokter Rissa tahu gak kalau jumlah teman kita yang konfirmasi positif dari IGD sama dari Ruang Bangsal totalnya ada 11 orang?
Dokter Vivi menggeleng tak tahu.
"Dan masih banyak lagi yang hasil swabnya belum keluar." Lirih Vivi.
"Apaan sih, Vi. Bisik-bisik. Pipit tahu lho siapa aja 11 orang itu." Kata Pipit sok tahu.
"Termasuk Dokter Andi kan?" Jawab Vivi mengoreksi Dokter Andi yang memang bekerja di dua tempat. Double job istilahnya, di RSUD Muhammad yang zona merah dan RSUD Gading Cempaka.
"Nurse Lina dan Vira dari Bangsal." Kata Pipit lagi.
"Mitha instalasi Radiologi seorang." Kata Vivi lagi menambah daftar nama rekan kerja mereka yang dinyatakan positif covid.
"Dokter Laksmana, Dokter Spesialis THT juga. Tapi isolasi mandiri dirumahnya." Timpal Pipit lagi.
Dokter Rissa hanya membatin. Ia menahan pilu. "Sisa yang belum diswab berapa orang, Mbak Vivi?" Tanya Rissa penasaran.
"Masih 200 an orang lagi, Dok." Imbuh Nurse Vivi. Mulut Dokter Rissa hanya sedikit ternganga di balik masker itu.
"Mampus!" Kata Pipit menambahkan. "Total IGD terkonfirmasi ada 7 orang. Bangsal cuma dua orang, radiologi 1 orang, Poli THT 1 orang." Tambah Pipit lagi.
Pandemi ini bukan hanya menginfeksi perekonomian dunia, melainkan juga sudah banyak tenaga kesehatan dan masyarakat yang telah terkonfirmasi posititf. Entah kapan pandemi ini segera berakhir. Bahkan mungkin baru mulai.
Lelaki itu akhirnya memunggungi kolam air mancur di taman Fakultas Kedokteran swasta milik Apaknya itu. Satu persatu ia menuruni anak tangga taman menuju ke parkiran mobilnya. Lalu ia menaiki Alphard hitamnya dan kembali ke rumah.Langit siang ini cerah. Richi membelah jalanan Kota Padang. Kanan kiri kota itu sangat indah karena setiap bangunan pemerintahan maupun swasta selalu memiliki atap melengkung ke kanan dan ke kiri seperti tanduk kerbau. Sama seperti kampus kedokteran swasta tadi. Namanya atap gonjong. Seperti sejarah Minangkabau, yaitu berasal dari kata Minang yang berarti menang dan Kabau yang berarti kerbau. Kerbau yang menang. Terinspirasi dari tanduk kerbau, Minangkabau menjadi ranah yang memesona dan terkenal budayanya hingga ke pelosok dunia.Richi telah sampai di rumahnya. Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Negeri terkenal di Jakarta itu, kampus kuning, ia pulang ke Padang. Apaknya memang membuka Fakultas Kedokteran swasta di Padang, tet
5 Januari 2020Richi terbangun dari tidurnya. Rupanya sejak dari Jakarta ia belum menemukan Apak dan Amak di rumah. Letih dari perjalanan Jakarta - Padang membuatnya tertidur pulas beberapa jam di kamarnya."Bang Richi?" Seorang gadis SMP menepuk bahu abangnya."Ama?" Tanya Richi tak kuasa memeluk adiknya yang paling kecil, sedangkan adiknya mencium tangan abangnya penuh rasa rindu dan hormat. "Ama tambah besar ya, dan cantik." Puji Richi. ""Ah, Bang Richi bisa aja." Ucap Rahmah yang memanggil dirinya dengan sebutan Ama."Sudah kelas berapa Ama kini?" Tanya Richi lagi bukan basa-basi. Dia lupa adiknya kelas berapa SMP."Ih abang, masa kelas adiknya sendiri gak tahu." Kata Rahmah sebal."Mana yang lain? Rahmi, Fitri, dan Echa?" Tanya Richi lagi."Masih di sekolah, Bang." Jawab Rahmah. "Ama di sini cuma pulang sebentar ke rumah mau mengambil buku PR Ama yang tinggal." Jawab Rahmah manja."Oke." Jawab Ric
Rissa memintaku mengantar Bakso Mercon lagi malam nanti. Kutelepon Mak Siti yang tidak tampak batang hidungnya di kegiatan swab PCR massal karyawan Rumah Sakit Gading Cempaka sejak siang tadi. Kususuri lorong Ruang Mawar yang berdekatan dengan kantin. Tak ada Mak Siti di sana. Gerobak di kantin tutup semua. Gelap. Sepi. Semilir angin malam membuat bulu kuduk Cecep merinding. Sejak tracing covid-19 di RSUD Gading Cempaka, banyak gerobak kantin menutup diri. Bahkan pasien jika tidak terpaksa, tak akan pergi berobat ke RS. Apalagi kabar di tivi, banyak perawat dan dokter tertular covid. "Sepi banget kantinnya." Lirih Cecep sebal. Lalu ia mengorek saku celananya mencari hand phone untuk menelepon Mak Siti. "Mak di rumah, Cep. Kamu mau ke rumah?" Ujar Mak Siti. "Iya, Mak. Rissa mesan bakso Emak." Jawab Cecep. "Tapi tadi Mak lihat kamu berdua Rissa duduk di tangga antrean swab PCR ya, Cep?" Tanya Mak Siti lagi. "Kamu kan tahu Kalau Dokter Susan kini
1 Februari 2020 Lalu lalang kendaraan Jakarta membuat macet jalanan. Asap knalpot motor dan mobil beradu brutal di udara. Suara bajaj merah dan biru memekakkan telinga. Terkadang Abang Bajaj menggiling tepi batas antara jalan umum dan jalan khusus busway. Ia giling kembali ketika jauh di depan sana ada busway yang akan melintas datang. Biasanya Abang Bajaj itu berebut jalan dengan pengendara lainnya agar mengalah pada bajaj yang merasa akan terlindas busway. Pengendara lainnya diminta memaklumi bajaj agar selamat, daripada dilindas busway yang tetap melaju kencang dan hanya berhenti di halte-halte. Pemandangan ini sudah biasa bagi Richi yang sudah tujuh tahun menjadi mahasiswa di Jakarta. Terkadang bila bernasib buruk, polisi akan menghukum bajaj yang nakal dengan memintai denda ratusan ribu agar kapok. Pagi itu Richi ke kampus Rissa di Jakarta. Ia sempatkan perjalanan terbang dari Padang ke Jakarta kembali. Dimasukinya kantor Fakultas Kedokteran itu. Ia ingin tahu k
"Hari ini dokter jaga siapa ya, Mas?" Tanya Mitha yang berdiri di depan pintu ruang loket radiologi klinik itu kepada perawat Poli Umum yang mengantar pasien. "Dokter Richi, Mbak." Jawab Alexander si perawat bertubuh tinggi langsing bagai bambu kuning karena kulitnya kuning langsat seperti artis iklan Citra. Mitha mengangguk. Lalu ia bersuara lagi. "Mohon maaf, Mas Alex, ini amprah permintaan dokternya belum diconteng mau rontgen apa ya?" Tanya Mitha lagi pada rekan kerjanya yang dipanggil Mas Alex itu. Alexander pun memeriksa kertas amprah yang berisi daftar pemeriksaan radiologi yang sudah tertulis sebagaimana format yang sudah ditetapkan. Tapi kotak-kotak itu kosong. Seharusnya seorang dokter yang menyontengnya. "Oia, belum diconteng ya, Mbak?" Mitha mengangguk. Pasien yang tampak sehat itu hanya pasrah duduk di kursi tunggu tepat di depan Mitha berdiri itu diam saja karena tidak mengerti. Dipikirnya dia berobat ke klini
Rissa yang masih memakai gaun tidur itu kebingungan karena ketika baru saja hendak membisikkan sesuatu ke telinga Cecep sambil menginjitkan kakinya, lelaki tinggi gagah itu langsung pingsan. Cecep tergeletak di lantai depan tivi."Duh Cecep. Gimana nih Rissa bisa angkat Cecep?" Tanya Rissa pada dirinya sendiri yang melihat betapa besar dan tingginya lelaki yang ada di hadapannya itu.Karena tidak bisa memindahkan lelaki itu ke atas ranjang, Rissa segera memeriksa nadinya."Masih berdenyut." kata Rissa setelah menempelkan kedua jarinya pada leher Cecep.Rissa berjalan cepat mencari tasnya di atas ranjang, menggeledahnya untuk menemukan stetoskop hitamnya. Wanita itu melepaskan hijabnya karena ujungnya terkulai-kulai di atas muka Cecep. Itu agak mengganggu Rissa yang akan memeriksa Cecep dengan stetoskopnya. Dibukanya kancing baju Cecep satu per satu untuk meletakkan stetoskop itu di atas dadanya. Lalu Rissa terpaksa melepas masker Cecep
Papi Rissa menerima telepon dari sahabatnya di Padang. Pak Sutan Syahrial yang berhasil membangun sarana pendidikan dari TK hingga universitas swasta di ranah minang. Suatu hasil yang sangat membanggakan. Semua itu berawal dari nol. Papi Rissa senang sekali berbincang-bincang dengan sahabatnya yang sudah sukses dan memiliki harta yang berlimpah itu. Begitu juga dengan Pak Sutan Syahrial yang bangga dan bahagia menelepon sahabatnya yang sudah menjadi pengusaha Pabrik Levis yang sukses di ibu kota Jakarta dan Bandung. Semua pencapaian ini sangatlah membahagiakan jika mengingat pahit getir kehidupan mereka dulu sebelum sekaya kini. "Assalamualaikum Pak Darmansyah sahabatku. Apa kabar sobat?" kata Pak Sutan Syahrial dari jauh. "Wah, Alhamdulillah baik sekali sahabat terbaikku." jawab Papi Rissa penuh suka cita dan semangat bicara yang membara. "Ba a kaba?" Apa kabarmu, tanya papi Rissa pada sahabatnya itu. "Alhamdulillah rancak-rancak se nyo, Pak Da
"Apak, Apak, Apaaaak!"Mitha menangis di dalam parit kecil di bibir sawah. Bajunya kotor karena tanah sawah yang baru selesai ditanami padi sore kemarin. Semua anak-anak sepermainannya mengejeknya karena memakai kaca mata dan kawat gigi ala Betty Lafea, sinetron yang ditontonnya setiap sore itu. Satu dari lima kawannya mendorong Mitha ke bibir sawah, lalu ia tergelak diikuti dengan anak lelaki lainnya. Semuanya lelaki, hanya Mitha yang perempuan.Richi melewati setapak jalan menuju sawah itu bersama adiknya dengan sepeda tua milik Apak. Ia melihat Amak Mitha berjalan ke arah sawah. Menarik tangan anaknya berdiri dari parit itu dan memarahinya."Amak alah mengecek kalau anak gadih dilarang main jo anak laki-laki. Main boneka se lah nyo jo adik awak di rumah." Kata Amak Mitha yang mengomel di sepanjang jalan sambil memapah anak gadisnya.Mitha lebih dekat dengan Apaknya karena Apaknya seorang lelaki yang lembut dan pengertian. Apak adalah cinta pertam
"Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu