SIULAN senang lolos dari kedua belah bibir Arzan. Wajahnya cerah sekali hingga titik cacat di pipinya terlihat menawan kala tersenyum. Sebelum berangkat sekolah, saking tidak fokusnya, Arzan sampai-sampai terjatuh di tangga, lagi. Alasannya masih sama, tak sabar berjumpa dengan Rosa di pagi yang cerah ini. Ah! Gadis itu tidur dengan nyenyak tidak ya? Apa hari ini akan telat lagi? Entahlah. Arzan hanya berharap cepat-cepat bertemu dengan Rosa. Mungkin kalau kata orang, Arzan tengah merindu. Senyum malu-malu tiba-tiba naik ke permukaan dan Arzan menunduk kecil, punggung tangannya menempel pada bibir. Segan sekaligus tidak mau di katai gila kalau ketahuan tengah malu-malu kucing begini. Perasaan euforia bekas sehari kemarin masih melekat hingga kini. Jantungnya masih berdentum kuat di dalam kala mengingat wajah manis Rosa, senyum gadis itu, sikap lucu gadis itu. Semuanya. Hal-hal yang baru kali pertama ia lihat. Semalam Arzan sulit tidur sebab gemas sendiri, dirinya mengulang melihat s
“JOAN, lo liat si Arzan kagak?” tanya Martin begitu duduk di kursi kantin, tepat berhadapan dengan Joan. Joan mengedikkan bahunya. “Belum sempet ketemu.” Wajah cowok itu berubah masam sembari menimbang-nimbang. "Apa dia mau kabur dari interogasi, ya?” Galen menggebrak meja pelan dn mengangguk setuju. “Bener! Sialan, gue baru mau minta traktir, anjir. Orangnya kagak ada.”“Makan mulu lo, babon,” ledek Johnny dengan bibir menukik tajam ke atas. Galen mengedikkan bahunya tak peduli lalu beralih pada Dhani yang sibuk mengunyah nasi goreng miliknya. Cowok itupun merangkul Dhani sampai si empunya sedikit terbatuk. "Apaan sih, bangsat! Kesedek gue,” ujar Dhani kesal. Cowok itu terkekeh. “Gue mau nanya, lo ada liat Arzan kagak? Hehe.”Sembari menjauhkan lengan Galen dari pundaknya, Dhani menjawab singkat. “Ada, sih. Tadi pagi.”“Terus-terus?”Kening Dhani mengerut samar. “Maksud lo dengan terus apaan?”Cowok berbadan bongsor tersebut memasang wajah datar. “Ya, lo apa, kek! Dia ngapa, kek
SEJAUH yang pernah Arzan pikirkan selama bertahun-tahun hidup, ia tak pernah berpikir akan mengikuti jejak Alvin. Maksudnya dalam hal mengambil tas dikelas pada jam sekolah, memanjat dinding dan benar-benar keluar dari area sekolah lewat jalan belakang. Pemuda tersebut meringis pelan menatap bangunan sekolahnya. Tak menyangka ia membolos akhirnya, ini perdana, lho, bagi Arzan. Mana pernah cowok itu melanggar peraturan. Apalagi jabatannya di sekolah sebagai Ketua OSIS Bina Bangsa yang mana selama kampanye akan mengenyahkan berbagai macam bentuk pelanggaran oleh para murid. Namun sekarang ia sendiri tengah melanggar dan Arzan rasanya sudah jatuh ke dasar kubangan dosa. Di sisi lain, melihat bagaimana tampang Arzan sekarang, bak anak anjing yang diusir sang pemilik, Alvin jengah sendiri. Arzan tidak salah. Alvin yang salah. Harusnya tidak membawa Arzan yang jelas suci begitu untuk berbuat dosa. Pemuda kelinci tersebut menatap Arzan jengah luar biasa. “Satu menit lagi lo ngegalau di sa
AROMA obat-obatan perlahan-lahan menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. Menyentak kecil masuk hingga Arzan pening sendiri karena aromanya makin kuat tatkala mereka semakin masuk. Tadi saat ketiga memutuskan untuk masuk kemudian bertanya kepada resepsionis. Sang resepsionis menolak memberitahu awalnya. Sebab keamanan data pasien dijaga ketat karena beberapa hal. Tetapi pada dasarnya si resepsionis perempuan dan ternyata mudah ambyar. Setelah Alvin melancarkan serangan demi serangan mematikan ala-ala gombalan di film. Sang resepsionis mau memberikan nomor kamarnya dengan iming-iming nomor ponsel. Mereka pun di arahkan ke lantai paling atas, tempat para pasien VVIP dirawat. Pemuda tersebut yakin betul bahwa Jessica mengamankan Rosa dengan baik. Pun hal tersebut semakin membuat Arzan makin cemas dan tak berhenti-hentinya untuk menghirup-hembus-hirup-hembuskan oksigen dengan cepat. Apa yang terjadi sehingga Rosa bisa masuk rumah sakit? Arzan yakin betul bahwa ia mengantarkan gadis
PEMUDA jangkung tersebut menarik selimut yang membungkus tubuh Rosa hingga leher. Tangannya yang bebas menyelipkan anak rambut si gadis ke belakang telinga. Arzan menatap lamat-lamat wajah si gadis yang sudah terlelap dan tenang. Diusapnya lembut pipi Rosa yang masih ada bekas sisa air mata. Tatapan cowok itu menatap Rosa lamat-lamat sementara memori baru kembali menyentak kepala. Di mana gadis itu berteriak histeris dan Arzan tak bisa untuk mengingatnya lagi. Cukup menyakitkan baginya. Apalagi bagi Rosa. Arzan tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setahu yang ia ingat adalah kemarin adalah hari terbahagianya dan sekarang adalah hari terburuknya. Penyebabnya adalah orang yang sama, Rosa. Gadis itu sumber segala emosionalnya, Arzan akui itu. Bahagia kalau gadis itu tersenyum. Kesal kalau gadis itu lebih dekat dengan laki-laki lain. Geram kalau ada orang yang menjelek-jelekkan si gadis. Dan sekarang, sedih melihat Rosa begini. Pandangan Arzan turun menatap tautan tangan mereka. Gadi
BARANGKALI Arzan pernah punya mimpi buruk yang sangat membekas dalam benaknya. Tinggal untuk waktu yang lama dan susah dilupakan hingga membekas dalam relung hati. Pemuda tersebut ingin memperbaiki namun percuma. Sesuatu yang coba ia perbaiki sudah lama pergi dari kehidupan ini. Tuhan mengambilnya terlalu cepat. Mengambilnya dari Arzan. Mengambil senyum manisnya yang sering terbit dengan tulus. Tawa bahagianya. Sikap lucunya. Perhatian cuma-cumanya. Semuanya. Diambil paksa dari hidupnya dan Arzan pernah merasa kosong. Meski sudah di isi dengan berbagai hal, berbagai macam bentuk, dari hal sepele hingga bagian tersulitnya. Namun tak semudah yang ia pikirkan. Bayangan si gadis berambut panjang tersebut tetap tinggal dalam memorinya. “Arzan!”Cowok yang masih mengenakan seragam dongkernya menoleh tatkala namanya dipanggil riang sekali. Senyum Arzan terbit ketika melihat satu sosok gadis di ujung jalan. Si gadis berlari mendekat dan begitu ia sampai di samping Arzan. Gadis tersebut meng
SELEPAS Arzan berpamitan pulang beserta Alvin dan Revin sekaligus pukul 5 sore lebih sedikit. Suasana kamar ruang inap 3018 agaknya langsung sunyi begitu hanya tinggal ke empat gadis. Jessica yang menyilangkan kaki di atas sofa malas; wajahnya tidak bersahabat lagi. Jenna yang bersandar pada dinding. Chelsie yang was-was sendiri melihat ke tiga sahabatnya. Dan terakhir, Rosa dengan pikirannya, posisi si gadis duduk bersandar. Di luar sana langit sudah mulai menggelap meski masih tersisa sedikitnya warna biru ketuaan. Kendati demikian pun lampu-lampu di jalanan sudah hidup demi menerangi para pengendara malam. Namun entah bagaimana dalam satu waktu yang sama ke empatnya menghembuskan napas kasar serentak. Hal itupun sukses membuat mereka saling pandang lalu terbahak bersama. Geli sendiri, entah kenapa. Rosa dan Jessica pun saling tatap beberapa detik sebelum Jessica menajamkan mata. Gadis berponi tersebut mengusap kasar tubuhnya. “Alergi gue diliatin siluman tupai kayak lo,” hinany
TERHITUNG sudah masuk hari ke tiga Rosa di rawat di siniㅡlebih tepatnya 2 hari tiga malam. Kondisi si gadis sudah membaik kian kemari. Lukanya pun tidak sebasah kemarin hingga saat diobati perihnya pun tidak sesakit saat pertama kali ia mengganti perban. Sekarang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sebelumnya Jessica sempat kemari tadi pagi untuk berencana bolos. Ternyata Chelsie juga ikut mampir kemari dan alhasil gadis berponi tersebut diseret paksa ke sekolah. Sementara Jenna tidak bisa datang hari ini karena ada jadwal les. Rosa tidak masalah. Ia sudah terlalu merepotkan mereka tiga hari ini. Tolong jangan katakan hal ini pada Jessica atau mereka akan bertengkar lagi. Jessica paling anti dengan kalimat merepotkan yang keluar dari mulut mereka. Bukan hanya marah, gedung rumah sakit bisa-bisa runtuh. Hiperbolanya, sih, begitu. Lebih kuranglah. Jemari si gadis bergulir di atas layar. Melihat-lihat postingan di akun sosial medianya. Kalau sudah bosan dengan hal itu. Rosa akan membaca no