"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Barangkali sensasinya sama persis ketika berita dunia akan kiamat berhamburan di sosial media. Terdengar mutlak mustahil, tentu saja! Seolah tak percaya dan ia mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Seriusan?! Kok bisa?! Ini dunia mau kiamatkah?!"
Selaku objek pada topik yang tengah di perbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Dian benar-benar kehabisan begitu banyak energi kalau laki-laki pejabat sekolah tersebut masuk ke dalam percakapan mereka berempat. Rosa sudah pasti mual dan muak mendengarnya. Telinganya terasa pengang akibat ketidaknyamanan itu. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul begini. Harusnya ia rajam sang sahabat dengan mangkuk bakso saat mereka di kantin tadi. Rosa menyesal tidak melakukan hal itu, jujur saja. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan kebeneran peristiwa pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya sepanjang perjalanan mereka meninggalkan area kantin. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi. Tangan gadis tersebut mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara mata cokelat itu bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan kelas berat di mana para detektifnya berdebat tentang kategori mana yang tergolong 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'. "Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik tidak terima. Dia menunjuk matanya sendiri saat menyambung kilat. "Di depan mata gue, Jennady." Kini mereka menatap Rosa dengan pandangan sulit di artikan sedangkan si empunya hanya balas menyorot mereka sangat-sangat datar. Betulan tidak punya minat berlebih dengan topik konyol ini. Chelsie bersuara, air wajah gadis ini ikut menyuarakan ketidakpercayaan absolut atas cerita nan baru saja Jessica bagikan. Dia memandang kosong pada Rosa. "Lo beneran nyium si Arzan?" "Suka lo sama dia?!" tambah Jenna menimpali dengan alis terangkat. Rasa penasaran dalam dadanya sangat-sangat menggebu-gebu. Rosa berdecak, mengibaskan tangan sebal dan segera melakukan klarifikasi sesingkat mungkin. "Gue nggak nyium dia. Cuma narik kerah kemejanya aja supaya 'keliatan ciuman' padahal mah enggak," terangnya menjelaskan. "Gila kali ya gue beneran nyium dia, mana di area sekolah. Males banget di jadiin bahan gosip sama dia mulu. Gue juga punya hati yang harus di jaga kedamaiannya.""Lagak lo!"
"Serius anjir!"
"Serius?" Jessica memicingkan matanya curiga ke arah Rosa. "Beneran kagak sebenarnya ini?" "Demi semua makanan gue di kulkas!" tegasnya membalas. "Lagian gue masih gedeg sama lo ya! Bisa-bisanya gue di tuker sama batagor hasil traktiran si monyet! Mana rasa kesetiakawanan lo itu, setan?! Nggak ada akhlak budiman banget tindak-tanduk lo itu!" Jessica nyengir. "Kapan lagi, Sa." Rosa mengangkat ujung bibirnya jengah dan melempar keripik kentang pada Jessica. "Pengkhianat lo!" "Lo ngelakuin itu di depan anak OSIS?" tanya Chelsie lagi; mungkin beralih profesi dari pelajar menjadi detektif magang sungguhan. Rasa penasarannya benar-benar tidak tertuntaskan. "Iya. Di depan Dhani, Chika, dan gue nggak tau lagi namanya," jawab Rosa seadanya. Ia fokus mengunyah keripik kentang di dalam mulut. Rasa asin dan gurih membuat perasaan sebalnya menjadi lebih ternetralisir. Ini baru kehidupan seimbang, pikirnya dalam hati. "Gue tau lo udah gila, tapi kalau segila tadi gue masih aja kaget." Chelsie berucap setengah menghina. Keterkejutan di dalam dada masih sangat membekas. Ini jelas merupakan sejarah yang akan terus mereka ingat sampai mati nanti; serius, Chelsie tidak sedang bercanda. "Kalau sampe keciduk guru gimana coba, di nikahin di tempat lo sama Arzan." Kontan melotot horor dan dengan cepat menekuk kakinya yang semula lurus di atas sofa. Rosa terbelalak bukan main dengan air muka seakan baru saja mendengar bahwa semua makanan di dunia ini akan punah dalam hitungan detik. Sang puan lantas memandang tak percaya sekaligus tajam pada Chelsie. "Ogah! Gila aja! Never! " Chelsie menggeleng tegas. Sorot mata yang mengarah pada perempuan mirip tupai tersebut betulan serius. Sesuai akan apa yang ingin Chelsie katakan selanjutnya. "Nggak ada yang nggak mungkin. Buktinya aja Jessica, masih hidup walaupun pernah ketabrak." "Dia ketabrak odong-odong doang, Esie," sahut Jenna jengkel. Tidak mengerti mengapa sahabatnya itu mengambil contoh aneh tadi. Perumpamaannya tidak cocok sama sekali. "Lecet aja kagak dia. Yang bener aja dong lo, elah." "Dikira gue gampang mati kali," timpal Jessica setuju dengan Jenna. Gadis penyabet juara pertama dalam pekan sains bulan lalu lantas mengibaskan tangannya tak peduli. "Dia tetep ditabrak!" katanya tidak mau mengalah. "Lagian bukan itu fokusnya, anjir! Balik ke topik awal. Jangan melenceng begitu lo berdua. Please, deh!" Puan berponi itu manggut-manggut, ogah memperpanjang perdebatan yang tidak perlu dan menimpali semangat. "Harus gue vedioin reaksi para anak pengabdi sekolah itu. Lawak banget, anjir!" ujar Jessica dengan kikikan kecil di sela bibir. "Bengong semua kayak kerasukan setan! HUAHAHAHA!" "Bodo amat!"Jessica menatap genit pada gadis tupai itu, ia bahkan menusuk-nusuk pipi Rosa yang masih sibuk mengunyah. "Hayo-hayo, lo sekarang lagi salting, ya?"
"Pale lo kotak salting! Gue emosi yang ada, setan! Sahabat macem apa lo yang nggak ngebantuin gue sama sekali?! Kemusuhan kita, sat!" tukas Rosa murka.
Jenna menggeleng lelah, takut terjadi perkelahian yang tidak di inginkan. Ia kemudian melayangkan satu pertanyaan. "Kita sampe kapan di sini?" tanya Jenna; cepat-cepat menukar topik sebelum selesai dan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu. Rosa menimang sejenak, menatap satu persatu gadis di sana dan memiringkan kepala. "Cabut?" "Cabut mulu. Emoh! Cabut yang kemarin gue di marahin abis-abisan sama Bu Nuri. Masih terngiang-ngiang di telinga gue nih," keluh Chelsie seraya menarik pelan telinganya. "Pengang banget, buset. Skip dulu, yang lain." "Kantin?" Usulan Jenna segera mendapatkan penolakan dari Rosa. "Nggak! Entar masih ada si monyet lagi. Gue nggak mau ketemu dia. Ogah. Alergi gue. Gatel sebadan-badan entar gue!" tolaknya cepat. "Gue sebenarnya bingung maksimal, kenapa Arzan bisa suka sama lo, ya," celetuk Chelsie heran. Dahinya ikut mengkerut kebingungan. "Padahal udah di tolak berkali-kali. Masih aja kek orang senewen gitu suka sama lonya. Ngejarnya brutal, anjir. Ngeri gue lama-lama." "Pertanyaan yang sama, Chel," balas Rosa lalu menghela napas pendek. "Tapi yang jelas, dia nggak suka gue." "Lo selalu bilang itu. Sampe bosen gue dengernya. Udah segila itu dia, masih di katain nggak suka lo melulu. Minimal jangan disrespect begitulah." "Karena gue tau kebenarannya dan adanya emang begitu." Rosa tersenyum tipis, bahkan terlalu tipis untuk di kira sebagai senyuman. "Faktanya aja, sih. Dia beneran nggak suka gue." ⓗⓞⓦ ⓑⓐⓓ ⓓⓞ ⓨⓞⓤ ⓦⓐⓝⓣ ⓜⓔ Di liriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan, pukul satu siang lebih sedikit. Arzan merenggangkan tubuhnya pada kursi kebesarannya di ruang OSIS. Baru selesai mengerjakan tugas sebagai siswa dan kewajiban sebagai ketua OSIS. Otot-otot tubuhnya terasa kaku, Arzan menghela napas pendek. Merasakan sesak, Arzan lantas membuka jendela ruangan, yang langsung menampilkan anak-anak kelas sebelah tengah berbaris rapi di lapangan di jam olahraga. Beberapa menit menikmati pemandangan di luar jendelaㅡwalaupun sudah sering lalu-lalang di sana setiap harinya. Kegiatannya terhenti saat pintu utama terbuka lebar, menampilkan Dhani dan Chika. Dhani mengerutkan keningnya menatap Arzan; jelas meminta penjelasan padanya lewat tatapan tanpa perlu mengeluarkan suara. Tetapi Chika menyahutㅡseakan mewakili Dhani akan hal itu, seraya meletakkan sebuah file di atas meja. "Ngapain, Zan?" "Cuma liat kelas sebelah olahraga di lapangan," jawabnya dengan seulas senyum. "Itu apalagi?" "Agenda absensi minggu ini, baru gue minta dari BP," terang Chika. "Banyak yang cabut atau bolos?" "Orangnya itu-itu aja," Kali ini Dhani menyahut datar lalu menunjuk sebentar pada file berwarna hijau lumut tersebut. "Yang jelas nama cewek lo ada di sana," sambung Dhani. Chika langsung melihat raut wajah Arzan sementara cowok itu buru-buru melihat agenda dengan teliti. Melihat tatapan Arzan setengah kecewa, Chika lantas tesenyum kecut. "Rosa cabut dua kali kok, Zan," ujar Chika lembut dengan seulas senyum. "Nggak bolos sama sekali minggu ini." Arzan mendongak menatap Chika lalu tersenyum ringan seolah tanpa beban. "Iya, bagus kalau gitu." "Kalau gitu gue ke kelas dulu, bentar lagi ada ulangan soalnya. Duluan ya, Zan, Dhani." Chika menarik diri dengan cepat dari sana. Tubuhnya sukses ditelan pintu. Selepas kepergian perempuan itu, Dhani menatap Arzan dengan tatapan tak mengerti. Hampir dua tahun temannya itu melabuhkan diri pada gadis yang sudah terang-terangan menolaknya. Terang-terangan merendahkan cowok itu. Tetapi Arzan seolah sudah kebal dan tak bergeser sedikit pun dari posisinya. Masih berusaha mengejar hal yang ia sebut cinta. Itu pembodohan menurut Dhani. Arzan tetap mengejar Rosa. Pantang menyerah. Dhani pun sudah begitu banyak gosip dan rumor yang beredar. Yang paling melekat di otaknya, Arzan setia pada cintanya; pertama. Kedua, mungkin mereka di jodohkan, oke, mungkin saja. Ketiga, ini yang paling mistis dan entah kenapa Dhani sangat ingin mempercayainya. Arzan di guna-guna cewek itu. Namun asumsi terakhir dengan cepat di patahkan, karena Rosa selalu memberikan lampu merah secara terang-terangan kapan pun itu sementara kalau iya, harusnya gadis itu seharusnya mau-mau saja saat di dekati Arzan. Padahal ia pikir, Arzan akan menjadikan Chika pacarnya karena keduanya tampak dekat selama ini. Tetapi seolah guntur datang secepat kilat, malah sudah beredar bahwa Arzan terang-terangan menyukai Rosa. "Lo kenapa natap gue kayak gitu?" tanya Arzan heran. Dhani ditarik kembali pada kenyataan kemudian berujar menghina. "Lo tolol!" Arzan tergelak. Tak merasa sakit hati ataupun masalah dengan umpatan Dhani. Ia sudah menerima kenyataan itu selama tiga tahun terakhir. "Salah gue dimana?" "Chika suka lo." "Terus?" Dhani mendengus, "Lo suka Rosa." "Itu lo tau." "Ini alasan kenapa gue nyebut lo tolol!" tandas Dhani kesal. "Lo cuma belum paham aja, Dhan." Arzan menunduk kecil dan melempar pandangan ke luar jendela. Melirik random pada objek apa saja yang bisa ia tatap. "Itu karena lo nggak pernah cerita. Yang gue tau, lo cinta mati sama cewek yang nolak lo!" Kantung kesabaran Dhani mulai habis satu per satu di buatnya. "Nanti," ujar Arzan dan balas menatap Dhani dengan sorot mata penuh makna. "Nanti lo bakalan tau, alasan kenapa gue kayak gini." Dhani menghela napas dalam-dalam. Sudah tak bisa mengeruk apapun lagi jika Arzan sudah begini. Memasang wajah sendu dengan sejuta misteri yang tak pernah ia ketahui. Aura temannya itu meredup dan Dhani tiba-tiba dirundungi perasaan bersalah. Kalau begini apa boleh buat, Dhani akan bersikap longgar. "Gue beliin kopi," ujarnya pelan. "Sebagai ucapan maaf juga." Arzan menoleh dan memperhatikan Dhani hingga temannya itu benar-benar keluar dari ruangan. Arzan kembali menatap keluar dan berkedip sekali saat menemukan presensi Rosa di dekat pohon rindang. Gadis itu bersama teman-temannya, tersenyum lebar dan tertawa. "Gue nggak mau kehilangan, lagi."MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir selama beberapa jam terakhir ini, perut Rosa kini berdemo minta segera di isi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Di samping itu juga, alasan lainnya ialah sebab si gadis tidak ingin harus jatuh sakit dan mendekam yang lama di rumah. Tidak, tidak, tidak! Itu sama saja dengan mimpi buruk. Rosa mana tahan harus mendekam untuk waktu yang lama di rumahnya ini. Lebih baik dia membersihkan halaman sekolah lagi. Itu jelas jauh lebih baik baginya. Dan pilihan makanannya sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya didihkan air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah di tuang saus. Sederhana, bisa masak dalam jumlah porsi besar sekaligus. praktis dan cepat. Sesuai untuk perutnya yang kelaparan. Sesudahnya sang puan buru-buru duduk manis di
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Ada sekelumit heran, cemas dan tanda tanya besar dalam benak si pemuda tatkala tidak sengaja menjumpai Rosa di pinggir jalan saat ini. Di cuaca pancaroba pula, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih di sertai angin kencang. Dinginnya saja membuat kulit Arzan tertusuk, apalagi Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali memandang penampilan lawan sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis.Mungkin saja kalau berbentuk pedas, Arzan sudah tewas di buatnya. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis dan jalan-jalan singkat guna menghilangkan rasa bosan ketika habis di gasak laporan sekaligus tugas sekolah. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebut berkah Tuhan-Nya iniㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan sekarang. Apalagi penampilan cewe
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa yang sedang terduduk lemas tanpa semangat tidak seperti biasanya. Kondisi sahabatnya itu terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak mirip serupa gelandangan, tetapi sukses membuat gadis bermanik kucing tersebut di landa cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan saja dengan motornya. Wajah sang sahabatan betulan memerah, bisa jadi gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari. Jenna bertanya-tanya apa yang telah terjadi, akan tapi ia jauh lebih lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut tamabahan di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga anggrek. Baju yang tengah di pakai Rosa terlampau tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya berhembus. “Sa, feel better?” Rosa diam, belum mau menjawab. Setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang di lontarkan Julian seakan benar-ben
BESOKNYA dengan langit biru serta cahaya mentari nan berpendar cerah menerangi separuh bumi, dapat Arzan lihat Rosa sedang duduk di bawah pohon rindang. Telinganya di sumpal dengan AirPods putih gading dan mata gadis itu tertutup rapat. Seolah benar-benar ingin menikmati acara kecil-kecilannya dengan tenang tanpa gangguan apa pun. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah di dirikan. Kendati begitu Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara perempuan nan mirip tupai tersebut tampaknya tak terganggu sedikit pun dan seringkali menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tumbuh tinggi menjulang dan besar, memiliki dedaunan yang rindang sekali. Angin sepoi-sepoi yang jelas-jelas akan mampir di sana m
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi dan memiliki reputasi terbaik untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalau pun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan wali kelas meringis. Sementara si empunya sendiri, Arzan, dia cuma fokus belajar dan memberi mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama tiap kali ada kesempatan. Bukannya Arzan cuek dan tidak peduli akan dengan pendidikannya sendiriㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi mengejar nilai yang bagus dan mumpuni untuk mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari di
DULU sekali, saat Rosa masih kecil, ia sering di tinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang menggemaskan lainnya dan itu membuat Rosa iri. Sangat-sangat iri. Rosa tidak pernah di ajak kemanapun oleh Julian mau pun Marie, pernah sih, itu pun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa di anggap seperti makhluk tak kasat mata di sana. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya ia habiskan di rumahnya, rumah Jessica, Jenna atau pun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca menjelang waktu tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Ya sudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Karena anak manja adalah anak nakal. Suatu ketika, pernah sekali Ros
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit dari singgasana kebanggannya. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan samar-samar langit biru, eksistensinya selalu saja dapat membuat semua manusia terkagum-kagum atas ciptaan Tuhan tersebut. Apalagi tepat di jam-jam rawan begini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu kesatuan absolut, meminta sang tuan agar segera buru-buru mengecap empuknya pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan juga, pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi para penikmatnya. Obat yang gratis di berikan guna mengusir lelah nan seharian menghinggapi badan. Kendati begitu pun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tahu benar tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat dari deretan kegiatan nan tiada henti-hentinya menyedot energi. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada yang harus memastikan keamanan lingkungan sek
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup d itempuh selama 15 menit berkendara dari sekolah. Menurut puan mawar itu, kafe tersebut tergolong sangat nyaman bagi kaum-kaum muda nan ingin mencari kesegaran dari hiruk-pikuk dunia. Beragam macam-macam bunga di dalam mau pun di luar bangunan, memberikan rasa nyaman lewat aroma wangi bunga-bunga beragam warna itu, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas sebagai konsumen utama. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Percayalah, sudut-sudut itu sangat kapabel sekali untuk di pamerkan pada sosial media. Kafe yang memilih nama 'Paradise' sebagai panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin akan menarik minat pembeli untuk datang lagi. Lantaran pemandangan yang di suguhkan sa
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak