"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Seolah tak percaya dan mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Dunia mau kiamat?!"
Selaku objek pada topik yang tengah diperbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi. Tangannya mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara matanya bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan yang para detektifnya berdebat tentang hal 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'. "Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik. "Di depan mata gue, Jennady." Kini mereka menatap Rosa dengan pandangan sulit diartikan sedangkan si empunya hanya membalas datar. Chelsie bersuara, "Lo beneran nyium si Arzan?" "Suka lo sama dia?" tambah Jenna dengan alis terangkat. Rosa berdecak. "Gue nggak nyium dia. Cuma narik kerah kemejanya aja supaya 'keliatan ciuman' padahal mah enggak." "Serius?" Jessica memicingkan matanya curiga ke arah Rosa. "Demi semua makanan gue di kulkas!" tegasnya. "Lagian gue masih gedeg sama lo ya! Gue dituker sama batagor hasil traktiran si monyet!" Jessica nyengir. "Kapan lagi, Sa." Rosa mengangkat ujung bibirnya jengah dan melempar keripik kentang pada Jessica. "Pengkhianat lo!" "Lo ngelakuin itu di depan anak OSIS?" tanya Chelsie lagi; mungkin beralih profesi dari pelajar menjadi detektif magang sungguhan. "Iya. Di depan Dhani, Chika, dan gue nggak tau lagi namanya," jawab Rosa tenang. "Gue tau lo udah gila, tapi kalau segila tadi gue masih aja kaget." Chelsie berucap setengah menghina. "Kalau sampe keciduk guru gimana coba, dinikahin di tempat lo sama Arzan." Kontan melotot dan dengan cepat menekuk kakinya yang semula lurus di atas sofa. Rosa melotot dengan air muka seakan baru saja mendengar bahwa semua makanan di dunia ini akan punah. Memandang tak percaya sekaligus tajam pada Chelsie. "Ogah! Gila aja! Never! " Chelsie menggeleng tegas. "Nggak ada yang nggak mungkin. Buktinya aja Jessica, masih hidup walaupun pernah ketabrak." "Dia ketabrak odong-odong doang, Esie," sahut Jenna jengkel. Tidak mengerti mengapa sahabatnya itu mengambil contoh aneh tadi. "Dikira gue gampang mati kali," timpal Jessica. Gadis penyabet juara pertama dalam pekan sains bulan lalu lantas mengibaskan tangannya tak peduli. "Dia tetep ditabrak." "Harus gue vedioin reaksi para anak pengabdi sekolah itu. Lawak banget, anjir!" ujar Jessica dengan kikikan kecil di sela bibir. "Bodo amat!" "Kita sampe kapan di sini?" tanya Jenna; cepat-cepat menukar topik sebelum selesai dan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu. Rosa menimang sejenak, "Cabut?" "Cabut mulu. Emoh! Cabut yang kemarin gue dimarah abis-abisan sama Bu Nuri. Masih terngiang-ngiang di telinga gue nih," keluh Chelsie seraya menarik pelan telinganya. "Kantin?" Usulan Jenna segera mendapatkan penolakan dari Rosa. "Nggak! Entar masih ada si monyet lagi. Gue gamau ketemu dia." "Gue sebenarnya bingung maksimal, kenapa Arzan bisa suka sama lo," celetuk Chelsie heran. "Pertanyaan yang sama, Chel," balas Rosa lalu menghela napas pendek. "Tapi yang jelas, dia nggak suka gue." "Lo selalu bilang itu." Rosa tersenyum tipis, bahkan terlalu tipis untuk dikira sebagai senyuman. "Faktanya begitu. Dia nggak suka gue." ⓗⓞⓦ ⓑⓐⓓ ⓓⓞ ⓨⓞⓤ ⓦⓐⓝⓣ ⓜⓔ Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan, pukul satu siang lebih sedikit. Arzan merenggangkan tubuhnya pada kursi kebesarannya di ruang OSIS. Baru selesai mengerjakan tugas sebagai siswa dan kewajiban sebagai ketua OSIS. Otot-otot tubuhnya terasa kaku, Arzan menghela napas pendek. Merasakan sesak, Arzan lantas membuka jendela ruangan, yang langsung menampilkan anak-anak kelas sebelah tengah berbaris rapi di lapangan di jam olahraga. Beberapa menit menikmati pemandangan di luar jendelaㅡwalaupun sudah sering lalu-lalang di sana setiap harinya. Kegiatannya terhenti saat pintu utama terbuka lebar, menampilkan Dhani dan Chika. Dhani mengerutkan keningnya menatap Arzan; jelas meminta penjelasan padanya lewat tatapan tanpa perlu mengeluarkan suara. Tetapi Chika menyahutㅡseakan mewakili Dhani akan hal itu, seraya meletakkan sebuah file di atas meja. "Ngapain, Zan?" "Cuma liat kelas sebelah olahraga di lapangan," jawabnya dengan seulas senyum. "Itu apalagi?" "Agenda absensi minggu ini, baru gue minta dari BP," terang Chika. "Banyak yang cabut atau bolos?" "Orangnya itu-itu aja," Kali ini Dhani menyahut datar lalu menunjuk sebentar pada file berwarna hijau lumut tersebut. "Yang jelas nama cewek lo ada di sana," sambung Dhani. Chika langsung melihat raut wajah Arzan sementara cowok itu buru-buru melihat agenda dengan teliti. Melihat tatapan Arzan setengah kecewa, Chika lantas tesenyum kecut. "Rosa cabut dua kali kok, Zan," ujar Chika lembut dengan seulas senyum. "Nggak bolos sama sekali minggu ini." Arzan mendongak menatap Chika lalu tersenyum ringan seolah tanpa beban. "Iya, bagus kalau gitu." "Kalau gitu gue ke kelas dulu, bentar lagi ada ulangan soalnya. Duluan ya, Zan, Dhani." Chika menarik diri dengan cepat dari sana. Tubuhnya sukses ditelan pintu. Selepas kepergian perempuan itu, Dhani menatap Arzan dengan tatapan tak mengerti. Hampir dua tahun temannya itu melabuhkan diri pada gadis yang sudah terang-terangan menolaknya. Terang-terangan merendahkan cowok itu. Tetapi Arzan seolah sudah kebal dan tak bergeser sedikitpun dari posisinya. Masih berusaha mengejar hal yang ia sebut cinta. Itu pembodohan menurut Dhani. Arzan tetap mengejar Rosa. Pantang menyerah. Dhani pun sudah begitu banyak gosip dan rumor yang beredar. Yang paling melekat di otaknya, Arzan setia pada cintanya; pertama. Kedua, mungkin mereka di jodohkan, oke, mungkin saja. Ketiga, ini yang paling mistis dan entah kenapa Dhani sangat ingin mempercayainya. Arzan diguna-guna cewek itu. Namun asumsi terakhir dipatahkan, karena Rosa selalu memberikan lampu merah sementara kalau iya, harusnya gadis itu mau-mau saja saat di dekati Arzan. Padahal ia pikir, Arzan akan menjadikan Chika pacarnya karena keduanya tampak dekat. Tetapi seolah guntur datang secepat kilat, malah sudah beredar bahwa Arzan terang-terangan menyukai Rosa. "Lo kenapa natap gue kayak gitu?" tanya Arzan heran. Dhani ditarik kembali pada kenyataan kemudian berujar menghina. "Lo tolol!" Arzan tergelak. Tak merasa sakit hati ataupun masalah dengan umpatan Dhani. Ia sudah menerima kenyataan itu selama tiga tahun terakhir. "Salah gue dimana?" "Chika suka lo." "Terus?" Dhani mendengus, "Lo suka Rosa." "Itu lo tau." "Ini alasan kenapa gue nyebut lo tolol!" tutur Dhani. "Lo cuma belum paham aja, Dhan." Arzan menunduk kecil dan melempar pandangan ke luar jendela. Melirik random pada objek apasaja yang bisa ia tatap. "Itu karena lo nggak pernah cerita. Yang gue tau, lo cinta mati sama cewek yang nolak lo!" Kantung kesabaran Dhani mulai habis satu per satu. "Nanti," ujar Arzan dan balas menatap Dhani. "Nanti lo bakalan tau, alasan kenapa gue kayak gini." Dhani menghela napas dalam-dalam. Sudah tak bisa mengeruk apapun lagi jika Arzan sudah begini. Memasang wajah sendu dengan sejuta misteri yang tak pernah ia ketahui. Aura temannya itu meredup dan Dhani tiba-tiba dirundungi perasaan bersalah. Kalau begini apa boleh buat, Dhani akan bersikap longgar. "Gue beliin kopi," ujarnya pelan. "Sebagai ucapan maaf juga." Arzan menoleh dan memperhatikan Dhani hingga temannya itu benar-benar keluar dari ruangan. Arzan kembali menatap keluar dan berkedip sekali saat menemukan presensi Rosa di dekat pohon rindang. Gadis itu bersama teman-temannya, tersenyum lebar dan tertawa. "Gue nggak mau kehilangan, lagi."MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir, perut Rosa kini berdemo minta segera diisi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Dan pilihan sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya rebus air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah dituang saus. Duduk manis di kursi pantry dan berbinar-binar menatap hasil masakannya sendiri. Baru saja ingin menyendok pasta tersebut ke dalam mulut. Perhatian Rosa teralih pada pintu utama yang terbuka, menampilkan Julian, Marie serta Lion. Rosa berkedip.Kali ini, ke mana lagi mereka bertiga pergi tanpa dirinya? Julian menatap putri sulungnya tanpa minat, "Baru pulang kamu?"Rosa hanya menggeleng sebagai jawaban, sepersekon kemudian buru-buru menyendokkan pasta ke dalam mulut. "Lion, bergunalah sebagai anak laki-laki di keluarga kita," tukas
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Di cuaca pancaroba ini begini, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih ada angin kencang. Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebutnyaㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan begini. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial. Tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya. “Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan. Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lo ngapa
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa. Kondisi sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak seperti gelandangan, tetapi sukses membuatnya cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan. Wajahnya memerah, gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari sepertinya. Jenna bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga. Baju yang dipakai Rosa tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya. “Sa, feel better?” Rosa diam, setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang dilontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir tehnya sementara sorot matanya lurus menatap ke dalam teh. “Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, seperti seorang ibu
BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun. Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arz
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama. Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setel
DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng
ARZAN membawa Rosa ke sebuah kafe yang jaraknya cukup ditempuh selama 15 menit dari sekolah. Menurut Rosa, kafe tersebut sangat nyaman. Banyak macam-macam bunga di dalam maupaun di luar bangunan, kafe tersebut juga mengusung gaya ala trend kekinian. Mengingatㅡmungkinㅡkafe ini menargetkan para kaum milenial ke atas. Di beberapa sudut kafe, terdapat spot foto yang sudah di sediakan. Kalau Rosa tidak salah hitung, ada sekitar 5 tempat. Kafe yang memilih nama 'Paradise' untuk panggilan juga memiliki sebuah balkon luas sebab mereka hanya memiliki satu lantai. Sementara balkon yang memuat dua meja beserta kursinya mungkin menarik minat pembeli untuk datang lagi. Sebab pemandangan yang disuguhkan sangat memanjakan mata. Dan disanalah Rosa duduk setelah di arahkan oleh pelayan sementara Arzan memesan makanan. “Gue harus foto, pamerlah. Biar makin panas lambe-lambe di sekolah,” ujarnya lalu tertawa jahat di dalam kepala. Gerak kesana, cekrek. Gerak kesini, cheese. Pose begini, cekrek. Pose