Share

BAB 2

"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Seolah tak percaya dan mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Dunia mau kiamat?!"

Selaku objek pada topik yang tengah diperbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi.

Tangannya mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara matanya bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan yang para detektifnya berdebat tentang hal 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'.

"Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik. "Di depan mata gue, Jennady."

Kini mereka menatap Rosa dengan pandangan sulit diartikan sedangkan si empunya hanya membalas datar.

Chelsie bersuara, "Lo beneran nyium si Arzan?"

"Suka lo sama dia?" tambah Jenna dengan alis terangkat.

Rosa berdecak. "Gue nggak nyium dia. Cuma narik kerah kemejanya aja supaya 'keliatan ciuman' padahal mah enggak."

"Serius?" Jessica memicingkan matanya curiga ke arah Rosa.

"Demi semua makanan gue di kulkas!" tegasnya. "Lagian gue masih gedeg sama lo ya! Gue dituker sama batagor hasil traktiran si monyet!"

Jessica nyengir. "Kapan lagi, Sa."

Rosa mengangkat ujung bibirnya jengah dan melempar keripik kentang pada Jessica. "Pengkhianat lo!"

"Lo ngelakuin itu di depan anak OSIS?" tanya Chelsie lagi; mungkin beralih profesi dari pelajar menjadi detektif magang sungguhan.

"Iya. Di depan Dhani, Chika, dan gue nggak tau lagi namanya," jawab Rosa tenang.

"Gue tau lo udah gila, tapi kalau segila tadi gue masih aja kaget." Chelsie berucap setengah menghina. "Kalau sampe keciduk guru gimana coba, dinikahin di tempat lo sama Arzan."

Kontan melotot dan dengan cepat menekuk kakinya yang semula lurus di atas sofa. Rosa melotot dengan air muka seakan baru saja mendengar bahwa semua makanan di dunia ini akan punah. Memandang tak percaya sekaligus tajam pada Chelsie.

"Ogah! Gila aja! Never! "

Chelsie menggeleng tegas. "Nggak ada yang nggak mungkin. Buktinya aja Jessica, masih hidup walaupun pernah ketabrak."

"Dia ketabrak odong-odong doang, Esie," sahut Jenna jengkel. Tidak mengerti mengapa sahabatnya itu mengambil contoh aneh tadi.

"Dikira gue gampang mati kali," timpal Jessica.

Gadis penyabet juara pertama dalam pekan sains bulan lalu lantas mengibaskan tangannya tak peduli. "Dia tetep ditabrak."

"Harus gue vedioin reaksi para anak pengabdi sekolah itu. Lawak banget, anjir!" ujar Jessica dengan kikikan kecil di sela bibir.

"Bodo amat!"

"Kita sampe kapan di sini?" tanya Jenna; cepat-cepat menukar topik sebelum selesai dan berdiam diri tanpa melakukan sesuatu.

Rosa menimang sejenak, "Cabut?"

"Cabut mulu. Emoh! Cabut yang kemarin gue dimarah abis-abisan sama Bu Nuri. Masih terngiang-ngiang di telinga gue nih," keluh Chelsie seraya menarik pelan telinganya.

"Kantin?"

Usulan Jenna segera mendapatkan penolakan dari Rosa. "Nggak! Entar masih ada si monyet lagi. Gue gamau ketemu dia."

"Gue sebenarnya bingung maksimal, kenapa Arzan bisa suka sama lo," celetuk Chelsie heran.

"Pertanyaan yang sama, Chel," balas Rosa lalu menghela napas pendek. "Tapi yang jelas, dia nggak suka gue."

"Lo selalu bilang itu."

Rosa tersenyum tipis, bahkan terlalu tipis untuk dikira sebagai senyuman. "Faktanya begitu. Dia nggak suka gue."

ⓗⓞⓦ ⓑⓐⓓ ⓓⓞ ⓨⓞⓤ ⓦⓐⓝⓣ ⓜⓔ

Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan, pukul satu siang lebih sedikit. Arzan merenggangkan tubuhnya pada kursi kebesarannya di ruang OSIS. Baru selesai mengerjakan tugas sebagai siswa dan kewajiban sebagai ketua OSIS. Otot-otot tubuhnya terasa kaku, Arzan menghela napas pendek. Merasakan sesak, Arzan lantas membuka jendela ruangan, yang langsung menampilkan anak-anak kelas sebelah tengah berbaris rapi di lapangan di jam olahraga.

Beberapa menit menikmati pemandangan di luar jendelaㅡwalaupun sudah sering lalu-lalang di sana setiap harinya. Kegiatannya terhenti saat pintu utama terbuka lebar, menampilkan Dhani dan Chika. Dhani mengerutkan keningnya menatap Arzan; jelas meminta penjelasan padanya lewat tatapan tanpa perlu mengeluarkan suara.

Tetapi Chika menyahutㅡseakan mewakili Dhani akan hal itu, seraya meletakkan sebuah file di atas meja. "Ngapain, Zan?"

"Cuma liat kelas sebelah olahraga di lapangan," jawabnya dengan seulas senyum. "Itu apalagi?"

"Agenda absensi minggu ini, baru gue minta dari BP," terang Chika.

"Banyak yang cabut atau bolos?"

"Orangnya itu-itu aja," Kali ini Dhani menyahut datar lalu menunjuk sebentar pada file berwarna hijau lumut tersebut. "Yang jelas nama cewek lo ada di sana," sambung Dhani.

Chika langsung melihat raut wajah Arzan sementara cowok itu buru-buru melihat agenda dengan teliti. Melihat tatapan Arzan setengah kecewa, Chika lantas tesenyum kecut.

"Rosa cabut dua kali kok, Zan," ujar Chika lembut dengan seulas senyum. "Nggak bolos sama sekali minggu ini."

Arzan mendongak menatap Chika lalu tersenyum ringan seolah tanpa beban. "Iya, bagus kalau gitu."

"Kalau gitu gue ke kelas dulu, bentar lagi ada ulangan soalnya. Duluan ya, Zan, Dhani." Chika menarik diri dengan cepat dari sana. Tubuhnya sukses ditelan pintu.

Selepas kepergian perempuan itu, Dhani menatap Arzan dengan tatapan tak mengerti. Hampir dua tahun temannya itu melabuhkan diri pada gadis yang sudah terang-terangan menolaknya. Terang-terangan merendahkan cowok itu. Tetapi Arzan seolah sudah kebal dan tak bergeser sedikitpun dari posisinya. Masih berusaha mengejar hal yang ia sebut cinta. Itu pembodohan menurut Dhani.

Arzan tetap mengejar Rosa. Pantang menyerah.

Dhani pun sudah begitu banyak gosip dan rumor yang beredar. Yang paling melekat di otaknya, Arzan setia pada cintanya; pertama. Kedua, mungkin mereka di jodohkan, oke, mungkin saja. Ketiga, ini yang paling mistis dan entah kenapa Dhani sangat ingin mempercayainya. Arzan diguna-guna cewek itu. Namun asumsi terakhir dipatahkan, karena Rosa selalu memberikan lampu merah sementara kalau iya, harusnya gadis itu mau-mau saja saat di dekati Arzan.

Padahal ia pikir, Arzan akan menjadikan Chika pacarnya karena keduanya tampak dekat. Tetapi seolah guntur datang secepat kilat, malah sudah beredar bahwa Arzan terang-terangan menyukai Rosa.

"Lo kenapa natap gue kayak gitu?" tanya Arzan heran.

Dhani ditarik kembali pada kenyataan kemudian berujar menghina. "Lo tolol!"

Arzan tergelak. Tak merasa sakit hati ataupun masalah dengan umpatan Dhani. Ia sudah menerima kenyataan itu selama tiga tahun terakhir.

"Salah gue dimana?"

"Chika suka lo."

"Terus?"

Dhani mendengus, "Lo suka Rosa."

"Itu lo tau."

"Ini alasan kenapa gue nyebut lo tolol!" tutur Dhani.

"Lo cuma belum paham aja, Dhan." Arzan menunduk kecil dan melempar pandangan ke luar jendela. Melirik random pada objek apasaja yang bisa ia tatap.

"Itu karena lo nggak pernah cerita. Yang gue tau, lo cinta mati sama cewek yang nolak lo!" Kantung kesabaran Dhani mulai habis satu per satu.

"Nanti," ujar Arzan dan balas menatap Dhani. "Nanti lo bakalan tau, alasan kenapa gue kayak gini."

Dhani menghela napas dalam-dalam. Sudah tak bisa mengeruk apapun lagi jika Arzan sudah begini. Memasang wajah sendu dengan sejuta misteri yang tak pernah ia ketahui. Aura temannya itu meredup dan Dhani tiba-tiba dirundungi perasaan bersalah. Kalau begini apa boleh buat, Dhani akan bersikap longgar.

"Gue beliin kopi," ujarnya pelan. "Sebagai ucapan maaf juga."

Arzan menoleh dan memperhatikan Dhani hingga temannya itu benar-benar keluar dari ruangan. Arzan kembali menatap keluar dan berkedip sekali saat menemukan presensi Rosa di dekat pohon rindang. Gadis itu bersama teman-temannya, tersenyum lebar dan tertawa.

"Gue nggak mau kehilangan, lagi."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status