MENDONGAK pelan dan memicingkan matanya menatap matahari seraya menyeka bulir keringat di pelipis. Rosa dengan malas menyeret sapu ijuk setinggi bahunya dan duduk di pinggir lapangan. Dalam hati mengutuk Arzan mati-matian karena menempatkannya dalam hukuman ini yang panas teriknya bukan main.
Rosa berdecak, “Gue kerjain, mampus tuh bocah!” Sebuah kerikil kecil dilempar mengenai keningnya, membuat Rosa mengaduh dan menatap tajam pelakunya. “Apasih, anjing?!” “Harusnya lo ngebujuk si Arzan bukannya nyari pekara. Dasar tolol!” hina Jessica sebal. “Kenapa gue? Kenapa?! Hubungannya apa?!” teriaknya kesal. Jessica menatap jengah pada sahabatnya itu. “Because he loves you.” Rosa sudah terlampau kenyang dicekoki kalimat itu. Sudah muak mendengarnya, Rosa menyentil kening Jessica keras. “Bodo amat! Who's care?” “Walaupun lo nggak suka, seenggaknya dia bisa lo manfaatin.” Jessica berujar santai. “Opsi yang bagus?” Jessica tergelak mendengarnya. “Stop acting like you don't care.” “Gue emang nggak peduli,” balas Rosa cuek. “Mau dia sujud. Mau dia beliin gue 100 mawar. Mau dia beli sekolah ini pun, gue tetap nggak peduli,” lanjutnya. Jessica menaikkan sebelah alisnya. “Kalau dia beliin restoran buat lo?” Rosa nyengir, “Itu bisa dipertimbangkan.” “Sinting!” ujar Jessica, tak habis pikir dengan kecintaan gadis itu pada makanan. Rosa mengedikkan bahunya tak peduli. “Dia udah tau resiko pas jatuh cinta pada Rosaline.” Kali ini giliran Jessica yang bergidik, “Hak lo buat terima apa kagak. Tapi hak gue buat ngehajar orang yang nyakitin. Paham?” “Lo tuh ... udah kayak pacar gue aja tau nggak.” Mata Rosa menyipit menatap Jessica curiga. “Jangan-jangan selama ini lo lesbi?” Mendengarnya, Jessica melayangkan kecupan jauh serta kedipan mata pada Rosa. “Iya nih, gue udah tahan dari lama.” “Bangsat!” umpatnya. “Punya temen kok tolol ya.” “Lo yang mancing,” balas Jessica tak mau kalah. Rosa mendengus lalu bangkit. “Mending kita cabut sebelum si Tarzan ngomentarin hukuman kita.” “Yang ini gue setuju,” sahut Jessica lalu berdiri. “Kita kemana? Kantin?” “Of course, kantin Jessica!” balasnya semangat '45. Jessica mengangguk dua kali, merangkul Rosa dan keduanya menuju kantin. Kondisi koridor tidak seramai biasanya, wajar saja, sekarang jam baru menunjukkan pukul 10:45 sementara istirahat akan dimulai lima belas menit lagi. Rosa akui, selain memang sekolahnya termasuk elit di kota mereka. Interior sekolahnya cukup bisa bersaing dengan sekolah-sekolah elit lainnya. Termasuk dibidang akademik dan non-nya. Walau populasi biang onar seperti mereka selalu menghiasi ruang BP. Kebanyakan dari mereka memiliki kemampuan mumpuni, contoh terdekat adalah Chelsie. Gadis tukang bolos itu sering mengikuti perlombaan maupun olimpiade. Sering kali pulang membawa piagam maupun sertifikat penghargaan. Antapresa sering kali menjadi lawan terberat mereka untuk perlombaan akademik maupun non. Omong-omong soal Antapresa, Jessica baru-baru ini tauran dengan sekolah itu. “Jes, tauran sama anak Antapresa kapan?” Jessica menimang sejenak kemudian menjawab. “Sekitar seminggu yang lalu, maybe,” “Menang?” Raut wajahnya berubah masam. “Polisi dateng pas masih beraksi. Sialan! Warga disana yang ngelapor. Padahal gue mau matahin tangan si banci, tapi keburu dateng. Untung bisa kabur.” “Anak-anak BB* ada yang ketangkep?” tanya Rosa. (*Bina Bangsa) “Enggak, selamet semua.” “Bagus deh,” sahut Rosa disertai anggukan. Baru saja kakinya menapaki kantin, Rosa sudah mengumpat dalam hati. Menyesali keputusannya untuk pergi ke sini. Netranya memicing jengah saat melihat Arzan di salah satu meja. Tidak sendirian, tetapi bersama tiga anggota OSIS lainnya. Keduanya segera berjongkok ketika Dhani menatap ke arah mereka. “Bangsat! Ngapain anak OSIS di kantin jam segini?” bisik Jessica sebal. “Mana gue tau, dodol!” Rosa berdecak sebal dan melanjutkan. “Cabut ajalah kita. Sepet mata gue liat pemandangan menjijikan kayak gitu.” “Cemburu lo?” Rosa memberikan tatapan datar pada sahabatnya sembari menunjuk mukanya. “Ada gitu muka-muka cemburu?” “Enggak sih, mana tau aja gitu,” balas Jessica santai. Rosa mendengus. Jessica terkadang bersikap seolah siap mengibarkan bendera perang padanya. Mulut gadis itu selalu licin melontarkan kalimat yang membuatnya jengkel. Ck! Cemburu? Pada Arzan? Hah! Tidak mungkin. Tidak akan pernah terjadi. “Yaudah, ayo cabut!” bisik Jessica. “Ekhem!” “Ngapain ekhem-ekhem lo, Jes? Mau batuk? Pending dulu,” sahut Rosa. “Siapa yangㅡ” Kalimat Jessica tergantung saat menghadap pada Rosa. Jelas membuat Rosa mengernyitkan keningnya. “Kenapa lo?” Jessica tak menjawab melainkan berdiri hingga membuat Rosa terpekik kecil. “Heh! Lo ngapainㅡ” “Sampe kapan lo mau jongkok di situ, Rosaline?” Sialan tiga kali! Rosa langsung berdiri setelahnya dan menatap tajam Arzan yang berada tak jauh darinya. “Udah gue bilang. Kita nggak deket, nggak usah manggil gue Rosaline. Tuli lo!” “Cuma nggak mau nurut aja,” balas Arzan seadanya. Mata elang cowok itu menatap Jessica dan Rosa bergantian. “Udah selesai hukuman kalian?” “Udah,” jawab Rosa ketus. “Nggak ada urusan lagi gue sama lo. Bye!” Berniat untuk cepat-cepat pergi, namun belum ada satu inci Rosa bergerak. Arzan menarik pergelangan tangannya membuat sang empu mau tak mau menatap manik sehitam malam itu. Rosa terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya berusaha melepaskan diri meski tak berhasil. “Apaan lagi?! Gue nggak ada urusan sama lo, Arzan!” ketusnya. “Tapi gue ada,” balas Arzan. “Lo udah makan? Kalau belum ayo makan dulu, gue yang traktir. Sekalian sama lo, Jes.” Jessica yang awalnya berniat untuk pergi segera melempar cengiran. “Makasih, Pak Ketos.” Dan segera berlari menuju stan batagor. Rosa menatap tak percaya pada Jessica. Cewek kampret! Denger traktiran langsung gue ditinggal. Guna kekayaan dia apaan sih! “Ayo makan dulu!” ajak Arzan dengan nada lembut. Rosa berdecak. “Nggak mau. Gue nggak butuh.” Arzan menghela napas panjang. Tangannya semakin erat menggenggam pergelangan tangan Rosa ketika gadis itu mencoba melepaskan diri. Rosa menatap Arzan bagaikan musuh dan Arzan sudah terbiasa. Lagipula, ini bukan pertama kalinya. Tanpa memperpanjang konversasi di antara mereka, Arzan membawa Rosa ke mejanya. Jelas, kedatangan Rosa tidak begitu di sambut baik oleh teman-teman OSIS cowok itu. Rosa juga tak berniat sama sekali dan terpaksa duduk saat Arzan menekan bahunya turun. “Lo ngapain bawa dia sih, Zan?” tanya Dhani dengan nada tidak suka. Rosa menjentikkan jarinya. “Pertanyaan yang sama, kenapa temen lo bawa gue ke sini.” “Berhubungan dengan temen-temen lo nggak suka gue di sini. Mending gue pergi aja,” tutur Rosa dengan seulas senyuman. Namun tangannya ditarik saat ingin bangkit. Ia berdecak untuk ke sekian kalinya. “Tolong akur sekali ini aja, Dhan,” pinta Arzan sambil menatap temannya itu. Dhani memutar bola matanya malas. Sudah tak bisa berkata-kata lagi dengan tingkat kebucinan seorang Arzan. “Terserah.” Arzan tersenyum berterima kasih dan kembali fokus pada Rosa. “Lo mau makan apa?” “Udah kenyang gue liat muka lo sama si tahu busuk itu,” sahut Rosa seraya menatap mengejek pada Dhani. Dhani hanya berdecak menanggapi dan tetap fokus menatap lembaran-lembaran kertas di depannya. “Mau nasgor atauㅡ” “Gue nggak tau harus ngomong pake bahasa apalagi sama lo, Arzan,” potongnya dengan nada jengah. Rosa menatap tanpa minat pada cowok di sampingnya ini. “Daripada gue, mending lo urusin cewek-cewek yang suka sama lo. Urusan OSIS lo. Urusan belajar, sekolah, temen lo. Jangan gue!” Arzan berkedip dua kali lalu menghela napas dan membalas tatapan Rosa penuh tantangan. “Itu urusan gue, dan lo juga termasuk urusan gue. Gue nggak peduli orang lain selain lo, Rosaline.” “Arrgghh!” Rosa geram. Tangannya mengambil tahu di meja dan melemparnya pada gadis di meja sebelah. “Woi, anjing! Tolongin gue kek, malah asik makan batagor lo!” teriaknya penuh amarah. Jessica memutar bola matanya malas. “Selagi gratis. Manfaatkan!” “JESSICA BANGKE! GUE BUNUH SI ALVIN!” Jessica bertepuk tangan heboh. “Bagus! Biar ilang populasi orang gesrek kayak dia.” “Nggak sadar diri!” hina Dhani tanpa menatap Jessica. “Maaf, nggak ngomong sama kutu buku nan pendek kayak lo!” balasnya menghina dan mengunyah kasar batagor pedasnya. “Zan?” Arzan reflek menoleh pada Chika di sampingnya. “Apa?” Meski terlihat ragu, Chika menyodorkan dua lembar kertas. “Dari guru BP, daftar anak-anak yang bikin masalah minggu ini tapi belum di kasih hukuman.” “Ouh! Oke, makasih, Chik.” Arzan melipat empat kertas itu dan dimasukan dalam saku almamaternya. Fokus cowok itu kembali lagi pada Rosa. “Udah nentuin mau makan apa?” “COWOK SINTING!” Arzan tertawa kecil. “Mulut lo lama-lama gue cium, ya, kalau ngomong kasar terus.” Yang berada di meja terperangah mendengar ucapan Arzan. Kalimat tak terduga yang keluar dari bibir cowok itu. Tentu saja mereka kaget, karena Arzan tipe orang yang selalu menjaga perkataan dan sopan. Sementara Dhani, cowok itu hanya diam meski jengah. Rosa tertawa dan menangkup wajahnya sendiri. “Silahkan! Tapi siap-siap jabatan lo ilang abis ini. Kalau itu sampe terjadi, gue jelas seneng dong.” “For real? You said it was fine,” ucap Arzan dengan nada tenang. Rosa mendadak panik. Apalagi saat Arzan mencondongkan kepalanya hingga jarak antara mereka benar-benar menipis. Deru napas cowok itu mengenai wajahnya. “Changed your mind, Miss?” Rosa menghela napas pendek. “Lo nantangin?” “Why not when you say 'fine',” terang Arzan sembari tersenyum. Rosa tersenyum miring dan menatap remeh pada ketua OSIS sekolahnya. Sedetik kemudian pekikan terdengar nyaring saat Rosa mengulurkan tangan untuk menarik tengkuk Arzan mendekat. “ANJING, ROS! LO NGAPAIN?!” Jessica nyaris tersedak minumannya melihat adegan tak senonoh di depannya. Matanya melotot, tak percaya dengan tingkah barbar Rosa. Sementara Rosa menarik kerah Arzan untuk semakin mendekat. Ia tersenyum sinis, “Jangan harap.” Rosa mendorong kasar tubuh Arzan dan bangkit setelah melambaikan tangan remeh pada cowok itu kemudian berlalu pergi. Rosa tak segila itu. Hanya mengikuti adegan film agar tampak nyata. Sedangkan faktanya, bibir Rosa hanya menyentuh daun telinga cowok itu. Sepeninggalan Rosa, Arzan masih tidak fokus di tempatnya. Hingga untuk sepersekian detik berikutnya, Dhani menggoncang pelan lengannya hingga kesadarannya ditarik kembali ke permukaan. “Lo ... ” Suara Dhani tertahan sebentar. “Lo beneran ciuman sama Rosa?” Ditatapnya seluruh orang di meja yang tengah penasaran. Arzan kontan terkekeh pelan. “She's cute, right?” Dhani sejujurnya tidak ingin berkomentar banyak. Namun untuk yang satu ini, “Sinting!”"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Seolah tak percaya dan mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Dunia mau kiamat?!"Selaku objek pada topik yang tengah diperbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi. Tangannya mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara matanya bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan yang para detektifnya berdebat tentang hal 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'. "Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik. "Di depan mata gue,
MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir, perut Rosa kini berdemo minta segera diisi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Dan pilihan sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya rebus air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah dituang saus. Duduk manis di kursi pantry dan berbinar-binar menatap hasil masakannya sendiri. Baru saja ingin menyendok pasta tersebut ke dalam mulut. Perhatian Rosa teralih pada pintu utama yang terbuka, menampilkan Julian, Marie serta Lion. Rosa berkedip.Kali ini, ke mana lagi mereka bertiga pergi tanpa dirinya? Julian menatap putri sulungnya tanpa minat, "Baru pulang kamu?"Rosa hanya menggeleng sebagai jawaban, sepersekon kemudian buru-buru menyendokkan pasta ke dalam mulut. "Lion, bergunalah sebagai anak laki-laki di keluarga kita," tukas
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Di cuaca pancaroba ini begini, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih ada angin kencang. Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebutnyaㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan begini. Apalagi penampilan cewek itu, Arzan berkedip, masih cantik, jujur saja. Namun sejauh dari yang ia tahu, Rosa selalu tampil modis karena bagi cewek itu, berpenampilan baik itu termasuk etika sosial. Tetapi melihat sisi Rosa seperti ini, perasaan senang merambat di ulu hatinya. “Kita bakalan tatap-tatapan kayak gitu ... di sini?” tanya Rosa datar dan sukses memecah keheningan. Arzan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, “Lo ngapa
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa. Kondisi sahabatnya itu benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak seperti gelandangan, tetapi sukses membuatnya cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan. Wajahnya memerah, gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari sepertinya. Jenna bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga. Baju yang dipakai Rosa tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya. “Sa, feel better?” Rosa diam, setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang dilontarkan Julian seakan benar-benar membekas di hatinya. Rosa menunduk kecil, menggenggam erat cangkir tehnya sementara sorot matanya lurus menatap ke dalam teh. “Nggak papa kalau lo ngerasa nggak baik-baik aja, Sa. Wajar, kok, lo manusia,” Jenna berujar lembut, seperti seorang ibu
BESOKNYA dapat Arzan lihat Rosa duduk di bawah pohon rindang. Telinganya disumpal dengan AirPods putih gading dan matanya tertutup rapat. Seolah benar-benar menikmati acara kecilnya dengan tenang. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah didirikan. Tapi Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara Rosa tampaknya tak terganggu sedikitpun dan sering menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tinggi dan besar serta daunnya rindang sekali. Angin sepoi-sepoi membuat siapa saja di sana merasa nyaman bahkan Arzan seringkali melihat Rosa tertidur di sana. Sehingga, mau tak mau ia memerhatikan gadis itu sampai bangun. Memang, tidak akan ada satupun orang yang berani mengerjai gadis itu. Selain karena Arz
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalaupun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan walikelas meringis. Sementara Arzan sendiri hanya fokus belajar dan hanya mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama. Bukannya Arzan cuek sendiri dengan pendidikannyaㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi nilai yang bagus, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari dinas pendidikan. Jadi Arzan tidak terlalu memusingkannya dan mengikuti alur, sebab rasanya semua tujuannya mendadak hambar untuk ia rasakan sendiri. Maka dari itu setel
DULU saat Rosa masih kecil, ia sering ditinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang lainnya dan itu membuat Rosa iri. Rosa tidak pernah diajak kemanapun oleh Julian maupun Marie, pernah sih, itupun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa dianggap seperti makhluk tak kasat mata. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya habis di rumahnya, rumah Jessica, Jenna ataupun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca sebelum tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Yasudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Suatu ketika Rosa bersikukuh ingin pergi tatkala ia melihat Lion sudah rapi dan Wangi dengan rambut disisir rapih oleh Marie. Namun Julian
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan langit biru, eksistensinya masih membuat semua manusia terkagum-kagum. Apalagi tepat dijam-jam segini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu, meminta sang tuan buru-buru mengecap pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi penikmatnya. Kendati begitupun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada benang kusut yang sulit dirapikan di dalam kepala tatkala badai menghantam. Sementara sebagian lainnya sudah berada di atas ranjang mereka masing-masing. Entahlah Rosa harus bagaimana. Menyetujui ajakan Arzan untuk pertama kalinya mungkin menjadi agenda terakhir di dalam hidupnya. Tetapi entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk meng