MENDONGAK pelan dan memicingkan matanya menatap matahari nan sombong sekali menunjukkan sinarnya seraya menyeka bulir keringat di pelipis. Rosa dengan malas menyeret sapu ijuk setinggi bahunya dan duduk di pinggir lapangan. Mengambil napas dalam-dalam dengan beristirahat sejenak usai menguras tenaganya untuk menjalani hukuman pagi ini. Dalam hati mengutuk Arzan mati-matian karena menempatkannya pada hukuman ini ketika panas mentari teriknya bukan main. Jikalau boleh hiperbola, ubun-ubun Rosa rasanya benar-benar akan meleleh kalau jauh lebih lama lagi membakar dirinya di bawah sinar matahari hari ini.
Rosa berdecak, kakinya menginjak-injak tanah dengan perasaan sebal. “Gue kerjain, mampus tuh bocah!” Sebuah kerikil kecil dilempar mengenai keningnya, membuat Rosa mengaduh dan menatap tajam pelakunya. “Apasih, anjing?!” berangnya pada sang sahabat. “Harusnya lo ngebujuk si Arzan bukannya nyari pekara. Dasar tolol!” hina Jessica sebal. “Kenapa gue? Kenapa?! Hubungannya apa?!” teriaknya kesal. Jessica menatap jengah pada sahabatnya itu. Sang gadis berkacak pinggang, merasa lelah harus mengatakan hal serupa secara berulang-ulang kali selama ini. “Because he loves you.” Rosa sudah terlampau kenyang di cekoki kalimat kosong itu. Sudah terlampau muak mendengarnya, bisa-bisa perutnya melilit apabila mendengarnya jauh lebih banyak lagi. Rosa menyentil kening Jessica keras. “Bodo amat! Who's care?” “Walaupun lo nggak suka, seenggaknya dia bisa lo manfaatin.” Jessica berujar santai. Punggung tangan si empu pun bergerak mengelap bulir-bulir keringat nan memenuhi dahi. Teriknya mentari pagi ini betul-betul membakar tiap senti kulitnya. Jessica melepas almamater dan mengikatnya pada pinggang, lalu menyambung sekenanya. "Orang bucin biasanyakan tolol. Bisa dah tuh lo manfaatin, sampai titik darah penghabisan." “Opsi yang bagus?” Jessica tergelak mendengarnya, mengibas-ngibaskan tangan di udara dan memandang jahil sang sahabat. “Stop acting like you don't care.” “Gue emang nggak peduli,” balas Rosa cuek sembari mengedikkan bahu. “Mau dia sujud. Mau dia beliin gue 100 mawar. Mau dia beli sekolah ini pun, gue tetap nggak peduli,” lanjutnya. Jessica menaikkan sebelah alisnya; total di serang tanda tanya. “Kalau dia beliin restoran buat lo?” Rosa nyengir, “Itu bisa dipertimbangkan.” “Sinting!” maki Jessica, tak habis pikir dengan kecintaan gadis itu pada makanan yang tiada habis-habisnya. Seolah mengukur berapa liter air yang ada di dalam lautan. Jelas jawaban yang tersedia adalah abstrak. "Ada gila-gilanya lo kadang gue liat." Rosa mengedikkan bahunya lagi, terlihat tidak peduli atas cercaan lawan padanya. “Dia udah tau resiko pas jatuh cinta pada Rosaline.” Kali ini giliran Jessica yang bergidik, “Hak lo buat terima apa kagak. Tapi hak gue buat ngehajar orang yang nyakitin. Paham?” “Lo tuh ... udah kayak pacar gue aja tau nggak.” Mata Rosa menyipit menatap Jessica curiga. “Jangan-jangan selama ini lo lesbi?” Mendengarnya, Jessica melayangkan kecupan jauh serta kedipan mata genit pada Rosa. Senyuman jahilnya pun kian mengembang ingin menggoda perempuan tersebut. “Iya nih, gue udah tahan dari lama.” “Bangsat!” umpatnya, tetapi tergelak juga akan aksi konyol Jessica. “Punya temen kok tolol ya.” “Lo yang mancing,” balas Jessica tak mau kalah. Rosa mendengus lalu bangkit. “Mending kita cabut sebelum si Tarzan ngomentarin hukuman kita.” “Yang ini gue setuju,” sahut Jessica lalu membuang kasar sapu ijuk di tangannya. “Kita kemana? Kantin?” “Of course, kantin Jessica!” balasnya semangat '45. Manik gadis itu menyala-nyala, seolah ada kobaran api di sana. "Ada makanan yang perlu gue telen di sana. AYO, BURUAN!" Terserah apa kata sahabatnya yang satu itu, Jessica cuma melempar anggukan dua kali, merangkul Rosa dan keduanya menuju kantin. Kondisi koridor tidak seramai biasanya, wajar saja, sekarang jam baru menunjukkan pukul 10:45 sementara istirahat akan di mulai lima belas menit lagi. Hanya orang gila yang akan nekat keluar dari kelas guna menyambangi area dengan deretan panjang makanan. Ya, maksudnya mereka berdua. Rosa akui, selain memang karena sekolahnya termasuk salah satu sekolah elit di kota mereka. Interior sekolahnya cukup bisa bersaing dengan sekolah-sekolah elit lainnya. Termasuk di bidang akademik dan non-akademiknya. Walau populasi biang onar seperti mereka selalu menghiasi ruang BP. Kebanyakan dari mereka memiliki kemampuan mumpuni, contoh terdekat adalah Chelsie. Otak cemerlang si gadis kutu buku satu itu sanggup mengisi satu etalase besar dengan semua penghargaan perlombaan. Piala, sertifikat dan mendali mengisi penuh tiap-tiap rak. Gadis tukang bolos itu sering mengikuti perlombaan maupun olimpiade. Sering kali pulang membawa piagam maupun sertifikat penghargaan. Antapresa yang sering kali keluar menjadi lawan terberat mereka untuk perlombaan akademik maupun non-akademik. Omong-omong soal Antapresa, Jessica baru-baru ini tauran dengan sekolah itu. “Jes, tauran sama anak Antapresa kapan?” tanya Rosa penasaran, alisnya bahkan tanpa sadar terangkat. Jessica menimang sejenak bersama dehaman panjang yang keluar, tak lama kemudian menjawab. “Sekitar seminggu yang lalu, maybe.” “Menang?” Raut wajahnya berubah masam. Seakan-akan anak itu baru saja menenggak sari lemon secara mentah-mentah. “Polisi dateng pas masih beraksi. Sialan! Warga di sana ada yang ngelapor. Padahal gue mau matahin tangan si banci, tapi keburu dateng. Untung bisa kabur.” “Anak-anak BB* ada yang ketangkep?” tanya Rosa lagi. (*Bina Bangsa) “Enggak, selamet semua.” “Bagus deh,” sahut Rosa di sertai anggukan. Baru saja kakinya menapaki kantin, Rosa sudah mengumpat dalam hati. Mendadak menyesali keputusannya untuk pergi ke sini. Netranya memicing jengah saat melihat Arzan di salah satu meja di tengah-tengah kantin. Tidak sendirian pula, tetapi bersama tiga anggota OSIS lainnya. Keduanya lantas segera berjongkok ketika Dhani menatap ke arah mereka. Siaga satu! “Bangsat! Ngapain anak OSIS di kantin jam segini?” bisik Jessica sebal. “Mana gue tau, dodol!” Rosa berdecak jengkel bukan kepalang dan melanjutkan cepat. “Cabut ajalah kita. Sepet mata gue liat pemandangan menjijikan kayak gitu.” “Cemburu lo?” Rosa memberikan tatapan datar pada sahabatnya sembari menunjuk mukanya dengan jari telunjuk. “Ada gitu muka-muka cemburu di wajah cantik gue ini?” “Enggak sih, mana tau aja gitu,” balas Jessica santai. Nyengir kemudian. Rosa mendengus tidak habis pikir. Jessica terkadang bersikap seolah siap mengibarkan bendera perang padanya dan Rosa tidak bisa untuk tidak kesal setiap kali itu terjadi. Terutama lagi ketika mulut gadis itu selalu licin melontarkan kalimat-kalimat yang membuatnya jengkel. Ck! Cemburu? Pada Arzan? Hah! Tidak mungkin. Tidak akan pernah terjadi. Mau dunia kiamat sekali pun, hal tersebut mustahil terjadi. “Yaudah, ayo cabut!” kata Jessica, masih berbisik. “Ekhem!” “Ngapain ekhem-ekhem lo, Jes? Mau batuk? Pending dulu!” sahut Rosa seraya memukul pundak sang gadis yang berada di depannya. “Siapa yangㅡ” Kalimat Jessica tergantung saat menghadap pada Rosa. Bola mata yang terbelalak sembari mendongak itu jelas membuat Rosa mengernyitkan kening kebingungan. “Kenapa lo?” Jessica tak menjawab melainkan tiba-tiba saja berdiri hingga membuat Rosa terpekik kecil. “Heh! Lo ngapainㅡ” “Sampe kapan lo mau jongkok di situ, Rosaline?” Sialan tiga kali!Hari ini dia sungguhan apes sekali.
Ah, sialan!
Rosa langsung bangkit dari posisi jongkok setelahnya dan menatap tajam Arzan yang berada tak jauh dari posisi ia berdiri. “Udah gue bilang. Kita nggak deket, nggak usah manggil gue Rosaline. Tuli lo!” “Cuma nggak mau nurut aja,” balas Arzan seadanya. Mata elang cowok itu menatap Jessica dan Rosa bergantian. “Udah selesai hukuman kalian?” “Udah,” jawab Rosa ketus. “Nggak ada urusan lagi gue sama lo. Bye!” Berniat untuk cepat-cepat pergi, namun belum ada satu inci Rosa bergerak. Arzan menarik pergelangan tangannya membuat sang empu mau tak mau menatap manik sehitam malam itu. Rosa terpaku selama beberapa detik sebelum akhirnya berusaha melepaskan diri meski tak berhasil. “Apaan lagi?! Gue nggak ada urusan sama lo, Arzan!” ketusnya. Ingin sekali rasanya memukul wajah orang menyebalkan ini dan kabur dari sana sesegera mungkin. “Tapi gue ada,” balas Arzan mantap. “Lo udah makan? Kalau belum ayo makan dulu, gue yang traktir. Sekalian sama lo, Jes.” Jessica yang awalnya berniat untuk pergi secara diam-diam segera melempar cengiran. Rezeki nomplok. Mana mungkin dia tidak senang. “Makasih, Pak Ketos.” dan segera berlari menuju stan batagor tanpa memperdulikan reaksi Rosa lagi. Rosa menatap tak percaya pada Jessica. Cewek kampret! Denger traktiran langsung gue ditinggal. Guna kekayaan dia apaan sih! “Ayo makan dulu!” ajak Arzan dengan nada lembut terdengar lagi. Entah sudah berapa kalinya dalam hari yang belum genap berjalan secara utuh dia melayangkan decakan demi decakan. Kejengkelan nan menggerogoti dada membuat ia mau tak mau mendecak sebagai bentuk respon. Rosa menatap berang lawan bicaranya itu. “Nggak mau. Gue nggak butuh!” tandasnya. Arzan menghela napas panjang. Tangannya semakin erat menggenggam pergelangan tangan Rosa ketika gadis itu mencoba melepaskan diri. Rosa menatap Arzan bagaikan musuh dan Arzan sudah terbiasa. Lagipula, ini bukan pertama kalinya. Jadi seperti yang sudah-sudah, ia akan mengabaikannya seolah itu bukan apa-apa. Tanpa memperpanjang konversasi di antara mereka, Arzan membawa Rosa ke mejanya. Jelas, kedatangan Rosa tidak begitu di sambut baik oleh teman-teman OSIS cowok itu. Rosa juga tak berniat sama sekali untuk menjalin relasi dengan mereka dan terpaksa duduk saat Arzan menekan bahunya turun. “Lo ngapain bawa dia sih, Zan?” tanya Dhani dengan nada tidak suka. Rosa menjentikkan jarinya; sepenuhnya setuju. “Pertanyaan yang sama, kenapa temen lo bawa gue ke sini?” “Berhubungan dengan temen-temen lo nggak suka gue di sini. Mending gue pergi aja,” tutur Rosa selanjutnya dengan seulas senyuman. Namun tangannya ditarik saat ingin bangkit. Ia berdecak untuk ke sekian kalinya. “Tolong akur sekali ini aja, Dhan,” pinta Arzan sambil menatap setengah memohon pada temannya itu. Dhani memutar bola matanya malas. Enggan untuk berkata-kata lagi dengan tingkat kebucinan seorang Arzan nan di atas rata-rata tersebut. “Terserah.” Arzan tersenyum berterima kasih dan kembali fokus pada Rosa. “Lo mau makan apa?” “Udah kenyang gue liat muka lo sama si tahu busuk itu,” sahut Rosa seraya menatap mengejek pada Dhani. Dhani hanya berdecak menanggapi dan tetap fokus menatap lembaran-lembaran kertas di depannya. “Mau nasgor atauㅡ” “Gue nggak tau harus ngomong pake bahasa apalagi sama lo, Arzan,” potongnya dengan nada jengah. Rosa menatap tanpa minat pada cowok di sampingnya ini. “Daripada gue, mending lo urusin cewek-cewek yang suka sama lo. Urusan OSIS lo. Urusan belajar, sekolah, temen lo. Jangan gue!” Arzan berkedip dua kali lalu menghela napas pendek dan membalas tatapan Rosa penuh tantangan. “Itu urusan gue dan lo juga termasuk urusan gue. Gue nggak peduli orang lain selain lo, Rosaline. Mau apa pun yang lo bilang, gue punya hak dan kontrol atas apa yang gue lakuin. Itu semua gue lakuin atas kesadaran penuh.” “Arrgghh!” Rosa geram. Tangannya mengambil tahu di meja dan melemparnya pada gadis di meja sebelah. “Woi, anjing! Tolongin gue kek, malah asik makan batagor lo!” teriaknya penuh amarah. Jessica memutar bola matanya malas. “Selagi gratis. Manfaatkan!” “JESSICA BANGKE! GUE BUNUH SI ALVIN!” Jessica bertepuk tangan heboh. “Bagus! Biar ilang populasi orang gesrek kayak dia.” “Nggak sadar diri!” hina Dhani tanpa menatap Jessica. “Maaf, nggak ngomong sama kutu buku nan pendek kayak lo!” balasnya menghina dan mengunyah kasar batagor pedasnya. “Zan?” Arzan reflek menoleh pada Chika di sampingnya. “Apa?” Meski terlihat ragu, Chika menyodorkan dua lembar kertas. “Dari guru BP, daftar anak-anak yang bikin masalah minggu ini tapi belum di kasih hukuman.” “Ouh! Oke, makasih, Chik.” Arzan melipat empat kertas itu dan dimasukan dalam saku almamaternya. Fokus cowok itu kembali lagi pada Rosa yang di lahap api kemurkaan. “Udah nentuin mau makan apa?” “COWOK SINTING!” Arzan tertawa kecil. “Mulut lo lama-lama gue cium, ya, kalau ngomong kasar terus.” Yang berada di meja terperangah mendengar ucapan Arzan. Kalimat tak terduga yang keluar dari bibir cowok itu. Tentu saja mereka kaget, karena Arzan tipe orang yang selalu menjaga perkataan dan sopan. Sementara Dhani, cowok itu hanya diam meski merasa jengah luar biasa. Rosa tertawa dan menangkup wajahnya sendiri. “Silahkan! Tapi siap-siap jabatan lo ilang abis ini. Kalau itu sampe terjadi, gue jelas seneng dong.” “For real? You said it was fine,” ucap Arzan dengan nada tenang. Rosa mendadak panik. Apalagi saat Arzan mencondongkan kepalanya hingga jarak antara mereka benar-benar menipis. Deru napas cowok itu mengenai wajahnya. “Changed your mind, Miss?” Rosa menghela napas pendek. “Lo nantangin?” “Why not when you say 'fine',” terang Arzan sembari tersenyum. Rosa tersenyum miring dan menatap remeh pada ketua OSIS sekolahnya. Sedetik kemudian pekikan terdengar nyaring saat Rosa mengulurkan tangan untuk menarik tengkuk Arzan mendekat. “ANJING, ROS! LO NGAPAIN?!” Jessica nyaris tersedak minumannya melihat adegan tak senonoh di depannya. Matanya melotot, tak percaya dengan tingkah barbar Rosa. Sementara Rosa menarik kerah Arzan untuk semakin mendekat. Ia tersenyum sinis, “Jangan harap.” Rosa mendorong kasar tubuh Arzan dan bangkit setelah melambaikan tangan remeh pada cowok itu kemudian berlalu pergi. Rosa tak segila itu. Hanya mengikuti adegan film agar tampak nyata. Sedangkan faktanya, bibir Rosa hanya menyentuh daun telinga cowok itu. Sepeninggalan Rosa, Arzan masih tidak fokus di tempatnya. Hingga untuk sepersekian detik berikutnya, Dhani menggoncang pelan lengannya hingga kesadarannya ditarik kembali ke permukaan. “Lo ... ” Suara Dhani tertahan sebentar. “Lo beneran ciuman sama Rosa?” Ditatapnya seluruh orang di meja yang tengah penasaran. Arzan kontan terkekeh pelan. “She's cute, right?” Dhani sejujurnya tidak ingin berkomentar banyak. Namun untuk yang satu ini, “Sinting!”"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Barangkali sensasinya sama persis ketika berita dunia akan kiamat berhamburan di sosial media. Terdengar mutlak mustahil, tentu saja! Seolah tak percaya dan ia mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Seriusan?! Kok bisa?! Ini dunia mau kiamatkah?!" Selaku objek pada topik yang tengah di perbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Dian benar-benar kehabisan begitu banyak energi kalau laki-laki pejabat sekolah tersebut masuk ke dalam percakapan mereka berempat. Rosa sudah pasti mual dan muak mendengarnya. Telinganya terasa pengang akibat ketidaknyamanan itu. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul begini. Harusnya ia rajam sang sahabat dengan mangkuk bakso saat mereka di kantin tadi. Rosa menyesal tidak melakukan hal itu, jujur saja. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan keben
MEMBABAT habis drama Korea sampai episode terakhir selama beberapa jam terakhir ini, perut Rosa kini berdemo minta segera di isi sebelum terjadi peperangan sengit antara asam lambung dan cacing di lambungnya. Rosa selalu meyakini hal itu sejak dulu, meski terdengar aneh. Di samping itu juga, alasan lainnya ialah sebab si gadis tidak ingin harus jatuh sakit dan mendekam yang lama di rumah. Tidak, tidak, tidak! Itu sama saja dengan mimpi buruk. Rosa mana tahan harus mendekam untuk waktu yang lama di rumahnya ini. Lebih baik dia membersihkan halaman sekolah lagi. Itu jelas jauh lebih baik baginya. Dan pilihan makanannya sore menjelang maghrib ini adalah pasta. Tak memakan banyak waktu untuk memasaknya, hanya didihkan air selama dua menit kemudian baru rebus bersama pastanya. Rosa bisa cepat menyantapnya setelah di tuang saus. Sederhana, bisa masak dalam jumlah porsi besar sekaligus. praktis dan cepat. Sesuai untuk perutnya yang kelaparan. Sesudahnya sang puan buru-buru duduk manis di
TATAPAN Arzan lurus memandang Rosa lamat-lamat. Ada sekelumit heran, cemas dan tanda tanya besar dalam benak si pemuda tatkala tidak sengaja menjumpai Rosa di pinggir jalan saat ini. Di cuaca pancaroba pula, apalagi bekas-bekas hujan yang bahkan masih di sertai angin kencang. Dinginnya saja membuat kulit Arzan tertusuk, apalagi Rosa hanya mengenakan sweater tipis, celana pendek dan sendal jepit saja. Arzan mengerjap beberapa kali memandang penampilan lawan sementara Rosa sudah berkali-kali menghembuskan napas panjang. Tatapannya masih seperti biasa, sinis.Mungkin saja kalau berbentuk pedas, Arzan sudah tewas di buatnya. Niatnya sore ini hanya pergi untuk membeli selusin pulpen karena stok di rumah benar-benar habis dan jalan-jalan singkat guna menghilangkan rasa bosan ketika habis di gasak laporan sekaligus tugas sekolah. Tetapi seakan mendapat jackpotㅡentah harus bagaimana Arzan menyebut berkah Tuhan-Nya iniㅡArzan malah bertemu Rosa di tepi jalan sekarang. Apalagi penampilan cewe
JENNA menyodorkan secangkir teh hangat pada Rosa yang sedang terduduk lemas tanpa semangat tidak seperti biasanya. Kondisi sahabatnya itu terlihat benar-benar mengkhawatirkan. Barangkali memang tak mirip serupa gelandangan, tetapi sukses membuat gadis bermanik kucing tersebut di landa cemas ketika Arzan mengantar Rosa yang setengah menangisㅡtinggal sesegukan saja dengan motornya. Wajah sang sahabatan betulan memerah, bisa jadi gadis itu menahannya sepanjang perjalanan kemari. Jenna bertanya-tanya apa yang telah terjadi, akan tapi ia jauh lebih lebih penasaran lagi mengapa Arzan bisa bersama sahabatnya? Mengambil selimut tamabahan di kamar tamu, Jenna pun membalut tubuh Rosa dengan selimut bermotif bunga anggrek. Baju yang tengah di pakai Rosa terlampau tipis padahal di luar angin sedang kencang-kencangnya berhembus. “Sa, feel better?” Rosa diam, belum mau menjawab. Setelah bertengkar dengan Julian mustahil ia merasa baik-baik saja. Apapun yang di lontarkan Julian seakan benar-ben
BESOKNYA dengan langit biru serta cahaya mentari nan berpendar cerah menerangi separuh bumi, dapat Arzan lihat Rosa sedang duduk di bawah pohon rindang. Telinganya di sumpal dengan AirPods putih gading dan mata gadis itu tertutup rapat. Seolah benar-benar ingin menikmati acara kecil-kecilannya dengan tenang tanpa gangguan apa pun. Selama bertahun-tahun mengamati Rosa. Arzan tahu betul bahwa tempat favorite gadis itu di sekolah ini adalah sebuah pohon besar yang letaknya cukup tersudut namun lumayan dekat dengan lapangan bola. Banyak rumor yang mengatakan tempat itu angker karena katanya pohon itu sudah tumbuh di sana bahkan sebelum sekolah di dirikan. Kendati begitu Arzan tak sepenuhnya percaya. Sementara perempuan nan mirip tupai tersebut tampaknya tak terganggu sedikit pun dan seringkali menjadi penunggu sesaat di sana. Bukan tanpa sebab, pohon tersebut tumbuh tinggi menjulang dan besar, memiliki dedaunan yang rindang sekali. Angin sepoi-sepoi yang jelas-jelas akan mampir di sana m
TATKALA semua teman-teman satu kelasnya sibuk memilih SMA mana yang kiranya cukup bergengsi dan memiliki reputasi terbaik untuk mereka masuki sekaligus sebagai ajang pamerㅡwalau pun belum tentu nilai akhir mencukupi kriteria, Arzan mungkin satu-satunya yang hanya menjawab 'terserah' bila ada yang iseng bertanya. Jawabannya memang simple namun terkadang cukup untuk membuat teman-temannya kesal, ibunya uring-uringan dan wali kelas meringis. Sementara si empunya sendiri, Arzan, dia cuma fokus belajar dan memberi mengangguk kala ibunya merekomendasikan sekolah-sekolah ternama tiap kali ada kesempatan. Bukannya Arzan cuek dan tidak peduli akan dengan pendidikannya sendiriㅡbuktinya saja ia masih belajar keras siang dan malam demi mengejar nilai yang bagus dan mumpuni untuk mendaftar ke jenjang pendidikan selanjutnya, hanya saja Arzan tidak berpikir bahwa sekolah elit memiliki pendidikan yang lebih-lebih dari yang lain. Baginya, semua sekolah itu sama saja, toh, kurikulum masih sama dari di
DULU sekali, saat Rosa masih kecil, ia sering di tinggal sendiri di rumah sementara orang tuanya akan pergi bersama Lion entah kemana, yang pasti ke tempat di mana adiknya bisa membawa pulang gula kapas, mainan baru atau barang-barang menggemaskan lainnya dan itu membuat Rosa iri. Sangat-sangat iri. Rosa tidak pernah di ajak kemanapun oleh Julian mau pun Marie, pernah sih, itu pun ke rumah kakek dan nenek. Tetapi tetap saja Rosa di anggap seperti makhluk tak kasat mata di sana. Kebanyakan kisah kecilnya pun hanya ia habiskan di rumahnya, rumah Jessica, Jenna atau pun Chelsie. Tak ada tempat spesial sebagaimana dongeng-dongeng yang pernah ia baca menjelang waktu tidur. Omong-omong, Rosa sudah bisa lancar membaca saat umur empat tahun. Itu juga karena Marie tidak pernah membacakannya dongeng sebagaimana ibunya membacakan Lion cerita sebelum tidur. Ya sudah, ia baca sendiri saja, Julian bilang Rosa tidak boleh manja. Karena anak manja adalah anak nakal. Suatu ketika, pernah sekali Ros
SEMBURAT senja perlahan-lahan terukir manis di atas kepala sebab mentari mulai turun sedikit demi sedikit dari singgasana kebanggannya. Lembayung sore ini pun tidak kalah menarik dengan samar-samar langit biru, eksistensinya selalu saja dapat membuat semua manusia terkagum-kagum atas ciptaan Tuhan tersebut. Apalagi tepat di jam-jam rawan begini, rasa penat, letih, kantuk bercampur aduk menjadi satu kesatuan absolut, meminta sang tuan agar segera buru-buru mengecap empuknya pulau kapuk dan terbang menuju dunia mimpi. Dan juga, pemandangan tersebut seakan menjadi obat tak langsung bagi para penikmatnya. Obat yang gratis di berikan guna mengusir lelah nan seharian menghinggapi badan. Kendati begitu pun, sebagian orang masih ada yang setia berada di depan meja kerja walau tahu benar tubuh sudah meronta-ronta ingin istirahat dari deretan kegiatan nan tiada henti-hentinya menyedot energi. Masih ada yang harus menjaga minimarket 24 jam. Masih ada yang harus memastikan keamanan lingkungan sek
BEBERAPA hal terkadang berlalu begitu cepat tanpa di sangka-sangka. Seperti, misalnya kau tengah menonton sebuah film tetapi ternyata eksekusi adegannya tidak membuatmu tertarik dan lekas mendatangkan bosan, namun karena masih penasaran dengan ujung cerita pada akhirnya kau akan memilih mempercepat laju jalannya film tersebut tanpa pikir panjang. Iya, seperti itu. Inti adegan dan juga sekelumit kisah yang coba sutradara sampaikan dapat sekilas di pahami dan di ingat. Begitu juga akan kehidupan. Memang saat menjalaninya terasa berat, ingin menyerah dan membuatmu terasa ingin meninggalkan dunia dengan sesegera mungkin. Sebab kewarasan tengah berada di ujung tanduk. Akal sehat tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi hati juga hancur lebur di obrak-abrik takdir. Pada akhirnya, hanya kata menyerah dan putus asa yang keluar dari belah bibir. Kehidupan dan takdir memang begitu. Benang merahnya sangat rumit untuk di uraikan dengan rangkaian kata belaka. Namun percayalah. Ketika semua
“ROSA! Lo tau nggakㅡ”“ENGGAK! NGGAK TAU! NGGAK TAU! GUE IKAN SOALNYA!”Sementara Arzan mengulum senyum geli, gadis chipmunk tersebut mati-matian menahan gondok. Bukan karena apa, setelah kejadian di mana ia juga mati-matian menggombali Arzan dan ketahuan oleh pemuda itu bahwa Rosa tengah mengerjainya sebagai ajang balas dendam. Arzan marah seharian, mogon bicara dan tahu-tahu besoknya malah menggantikan Rosa dalam hal gombal menggombali.Jantung Rosa tidak kuat. Memang ya, balas dendam itu tidak baik. Rosa malah nyaris spot jantung setiap saat karena Arzan membalasnya dua kali lebih parah daripada apa yang dia lakukan. Bahkan tak ragu-ragu untuk mengejarnya sepanjang sekolah demi berkata :“MAKMUMKU! KAMU MAU KEMANA? KOK CALON IMAMMU INI DITINGGAL?!”Rosa malu. Rosa nyaris sinting. Nyaris mati karena detakan jantungnya tak keruan. Sial. Lihat saja senyum manis Arzan yang masih betah bertengger. Rosa ingin sekali mencakar wajah tampan itu tetapi sayang kalau memiliki goresan. Rosa hany
“ZAN, tau nggakㅡ”“Udah dong, Saaa!”Arzan tidak sanggup. Arzan tidak kuat lagi. Arzan sudah tidak bisa menanggungnya lagi. Arzan bisa-bisa stres plus diabetes jika diberi gula terus-menerus. Bukannya apa-apa, hanya saja memang Arzan menyukai perubahan sifat Rosa. Sangat malahan. Manisnya tak tanggung-tanggung membuat Arzan terkadang malu sendiri. Arzan malah seperti anak gadis sementara Rosa seperti cowok yang hobi menggombalinya seperti sekarang.Tingkah manis Rosa terkadang datang begitu saja tanpa permisi, langsung menyerang danㅡtok! Pas sekali mengenai hatinya. Arzan lama-lama bisa jantungan kalau begini caranya.Rosa nyengir, tidak merasa bersalah sama sekali. “Gue 'kan belum selesai ngomong, sayangku. Aduh! Gemoy sekali Anda!” Rosa terbahak.Arzan tersenyum tabah. Sabar sekali menghadapi Rosa.“Zan, lo tau nggakㅡ”“Kalau gue mirip calon imam lo?” sambar Arzan jengah, kalimat ini sering sekali dilontarkan Rosa padanya. Bahkan tak malu mengungkapkannya di depan umum sekalipun. Ben
HARI ini adalah hari pertama Rosa memasuki sekolah setelah libur nyaris satu bulan lamanya. Tak banyak yang berubah. Di pagi hari Rosa sudah bangun lebih dulu untuk memasak sarapan. Membangunkan Jessica agar mau berangkat sekolah tepat waktu namun gadis itulah yang paling susah untuk di atur. Sementara Lion bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Iya, memang Jessica memilih tinggal bersama mereka meski kadang pulang juga. Rosa tak keberatan justru senang-senang saja.Rosa dan Lion tinggal di apartemen Jessicaㅡgadis itu yang memaksa. Rosa dan Lion tidak memiliki sanak saudara sehingga Demian menawarkan diri menjadi wali legal mereka. Setidaknya sampai Rosa lulus kuliah dan bekerja. Awalnya si gadis ragu namun setelah diyakinkan oleh ketiga sahabatnya, Rosa setuju. Hanya sampai ia mendapatkan pekerjaan tetap.Rosa berdecak sebal, masih mengenakan celemek bekas memasak dan saat kembali ke kamar Jessica masih dalam posisi sama persis saat ia tinggalkan tadi. “Jessica! Ih! Buruan mandi!
ROSA kembali berduka. Di hari kepulangannya dari rumah sakit dan di hari yang sama pula Rosa melihat Julian terbaring lemah di atas ranjang. Penuh luka dan tak berdaya. Rosa tak merasakan apapun saat menatap Julian yang jangankan untuk kembali menyakitinya, bergerak saja sulit. Seorang polisi pun mendatanginya dengan sebuah kabar bernuansa gagak hitam. Bahkan Rosa belum betul-betul keluar dari rumah sakit tetapi hal-hal buruk sudah menunggu. Marie bunuh diri di rumah mereka dengan cara gantung diri di ruang tamu. Kematian sang ibu rupanya sudah berjalan selama empat hari dan baru terendus warga kemarin karena bau busuk yang menyengat. Lagi-lagi Rosa tidak bisa merasakan apapun. Gadis tersebut hanya diam, membiarkan polisi membawanya untuk mengidentifikasi mayat. Kemudian Marie dibawa pulang untuk dikebumikan dan Lion menangis di sisinya sepanjang hari pemakaman. Rosa tak menangis. Ia hanya menatap kosong pada tubuh Marie yang ditimbun tanah dengan raut datar. Banyak orang yang
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat,
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. Jessi
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yang makin d
MUNGKIN mempertahankan kewarasan bagi seseorang seperti mempertahankan dirimu di medan perang. Sulit, mematikan, menyakitkan namun fisik dan mental dipaksa untuk terus bekerja secara spontan. Satu saja salah langkah, kamu bisa saja jatuh pada kubangan menyakitkan bernama depresiㅡgangguan mental lainnya atau bisa jadi lenyap dari muka bumiㅡmati. Barangkali opsi terakhir sering dipakai karena kebanyakan dari mereka memilih untuk tidak bertahan.Apa Rosa akan begitu?Arzan tidak tahu dan tidak ingin menebak-nebak juga. Ia tidak ingin mendapatkan jawaban yang diluar dugaan nantinyaㅡnanti yang entah kapan. Tepat pukul sepuluh malam saat Krystal sudah terlelap di ranjang tambahan bersama laptop yang menyala. Alvin pun sudah pulang bersama Jessicaㅡkatanya. Arzan meloncat turun pelan-pelan dari ranjangnya. Meski dihantam pening, si pemuda tak goyah.Menarik tiang infus dengan gerakan sepelan mungkin agar tidak membangunkan Krystal, begitu pula saat membuka pintu. Lorong rumah sakit sudah agak