Share

Bab 2

Perhiasan?

Keningku seketika berkerut. Kemudian, aku menjerit kepada Kenneth yang baru masuk kamar mandi, “Kenneth, Kak Solana datang. Aku ke bawah dulu, ya.”

Satu detik kemudian, Kenneth melangkah keluar kamar mandi. Ini pertama kalinya aku melihat ekspresi sedingin itu di wajah Kenneth.

“Biar aku saja. Kamu nggak usah ladeni dia. Pergi mandi saja.”

Pria yang biasanya selalu bersikap tenang malah kelihatan kesal dan sedikit gugup. Aku pun merasa aneh. “Aku sudah mandi. Aku yang bantu kamu taruh pasta gigi di atas sikat gigimu. Apa kamu lupa? Kalau begitu, kita turun bersama. Jangan biarkan Kak Solana menunggu terlalu lama.”

Aku menarik tangan Kenneth untuk menuruni tangga.

Tangga didesain dengan model melingkar. Saat berjalan hingga setengah, dapat terlihat Solana yang mengenakan terusan putih polos sedang duduk di sofa dengan elegan.

Ketika mendengar suara langkah kaki, Solana spontan mengangkat kepalanya. Senyuman yang diperlihatkannya sangat manis. Ketika tatapannya tertuju pada tanganku dan Kenneth yang saling bergandengan itu, tangan yang memegang gelas gemetar. Minuman pun memercik keluar gelas.

“Ah ….” Seharusnya minuman itu cukup panas, Solana pun berseru ringan.

Kenneth segera melepaskan telapak tanganku, lalu berlari menuruni tangga dengan panik dan buru-buru. Dia mengambil gelas dari tangan Solana. “Kenapa kamu bodoh sekali? Apa kamu nggak bisa pegang gelas dengan baik?”

Nada bicara Kenneth sangat ketus. Dia langsung menarik tangan Solana, membawanya pergi ke wastafel untuk membasuh tangannya dengan air mengalir.

Solana merasa tidak berdaya. Dia ingin melepaskan tangan Kenneth. “Aku baik-baik saja. Jangan perbesar masalah sepele.”

“Diam. Kalau tidak disiram air dingin, nanti akan meninggalkan bekas!” Nada bicara Kenneth sangat dingin. Dia masih tidak melepaskan tangan Solana.

Aku yang berdiri di atas tangga terbengong ketika melihat gambaran ini. Tiba-tiba terlintas suatu gambaran di benakku.

Saat kami baru menikah dulu, aku baru mengetahui Kenneth memiliki penyakit lambung. Sejak saat itu, aku mulai belajar masak. Memang ada pelayan di rumah, tapi masakan Lina tidak sesuai dengan selera Kenneth.

Awal mulai belajar masak, aku sering melukai tanganku atau terkena cipratan minyak. Pernah sekali, aku tidak sengaja menjatuhkan panci penggoreng. Minyak panas pun memercik ke bagian perutku hingga pakaianku basah. Aku yang kepanasan pun meringis kesakitan.

Ketika Kenneth mendengar suara, dia hanya menghampiriku, lalu berbicara dengan nada lembut seperti biasanya, “Apa kamu baik-baik saja? Kamu obati dulu sana. Biar aku saja yang masak.”

Kenneth kelihatan lembut dan perhatian, tetapi sikapnya sangat tenang. Terkadang aku merasa ada yang janggal dalam masalah ini.

Namun, aku diam-diam menyukainya selama beberapa tahun ini. Ada banyak cerita Kenneth di dalam buku harianku. Aku sudah merasa cukup puas bisa menikah dengannya. Jadi, aku pun beranggapan Kenneth adalah orang yang tidak banyak bicara.

“Aku kasih Nona Solana minum air lemon, kok,” gumam Lina yang berada di sampingku.

Saat ini, aku baru tersadar dari lamunanku. Entah sejak kapan pandanganku berubah buram. Jantungku bagai diremuk oleh tangan yang tidak berwujud, membuat hatiku terasa sangat penat.

Lihatlah! Padahal Kenneth sendiri yang mengambil gelas dari tangan Solana, hanya karena dia sedang panik, dia malah tidak bisa membedakan isi gelas itu dingin atau panas.

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menuruni tangga dengan perlahan. Aku melihat mereka berdua dengan wajah tersenyum. “Kenneth, tadi Bi Lina bikinin air lemon buat Kak Solana. Itu air dingin, nggak bakal meninggalkan bekas di tangan Kak Solana.”

Tadinya aku ingin bersabar. Hanya saja, aku sudah kehilangan kesabaranku. Jadi, aku pun menyindir.

Gerakan tangan Kenneth terkaku. Kali ini, dia baru melepaskan tangannya, bahkan menghindari tatapanku. Dia malah menyalahkan Solana. “Bukannya cuma air dingin? Kenapa malah jerit? Manja sekali!”

Solana melirik Kenneth sekilas, lalu pandangannya beralih ke sisiku. “Dia orangnya memang begitu, suka perbesar masalah. Kamu nggak usah hirauin dia.”

Usai berbicara, Solana berjalan ke sisi meja, lalu mengambil kotak hadiah yang kelihatan sangat mahal itu kepadaku.

Senyuman di wajah Solana semakin lembut lagi. “Ini … aku kembalikan kepada pemiliknya.”

Aku mengambilnya, lalu membuka kotak itu. Seketika kukuku langsung menancap ke dalam telapak tanganku. Hatiku mulai bergejolak. Wanita di dalam video itu … Solana?

Saat aku kembali mengangkat kepalaku, sebenarnya aku ingin memaksakan diriku untuk tersenyum, tetapi aku tidak bisa melakukannya.

Semalam, aku memaksa Kenneth untuk meminta kalung itu kembali. Sekarang, saat kalung itu sudah berada di tanganku, aku malah tidak merasa lega sama sekali.

Aku menatap Kenneth dengan tatapan penuh pertanyaan. Tatapannya kelihatan sangat tajam. Dia pun mengulurkan tangannya untuk memelukku.

“Apa kamu menyukainya? Simpanlah kalau kamu suka. Kalau nggak suka, kamu bisa berikan kepada siapa pun. Lagi pula, kalung ini juga nggak bernilai. Nanti aku akan belikan hadiah lagi buat kamu.”

“Oke.” Aku menggigit erat bibirku. Berhubung ada Solana di sini, aku pun mesti menjaga harga diri Kenneth. Lebih tepatnya, menjaga harga diriku sendiri.

Dalam sesaat, aku juga tidak tahu maksud kedatangan Solana hari ini. Apa dia sedang mengisyaratkan sesuatu?

Saat melihat interaksi kami, tersirat suatu ekspresi di wajah Solana. Namun, ekspresi itu tidak bertahan lama di wajahnya, orang-orang pun tidak menyadarinya.

Solana tersenyum. “Tadinya aku malah takut akan ada salah paham di antara kalian gara-gara kalung ini. Sepertinya kekhawatiranku berlebihan. Kalau begitu, aku pamit dulu.”

Lina mengantar Solana keluar rumah.

Saat pintu rumah ditutup, aku langsung keluar dari pelukan Kenneth. “Bukannya kamu bilang kamu lelang kalung ini buat Samuel? Bukannya Kak Solana sudah menikah? Sejak kapan dia punya hubungan nggak jelas sama Samu … uhm!”

Kenneth menciumku tidak ingin aku melanjutkan ucapanku. Gerakan Kenneth sangat buru-buru dan galak, seolah-olah sedang melampiaskan sesuatu saja.

Saat Kenneth menyadari aku kesulitan untuk bernapas, dia baru melepaskanku, lalu mengusap kepalaku dengan perlahan. Dia mulai mengakui kesalahannya. “Aku sudah membohongimu.” Kenneth memelukku. “Dia sudah bercerai. Aku takut dia terlalu bersedih, makanya aku beri dia hadiah.”

Aku pun terbengong. Akhirnya aku mengerti arti dari ucapan “Selamat memulai hidup baru” di dalam video.

Aku masih merasa ragu. “Hanya begitu saja?”

“Iya, hanya begitu saja.” Kenneth menjawab dengan pasti. Kemudian, dia kembali menjelaskan, “Seharusnya kamu tahu, ibunya bisa mengalami kecelakaan juga karena menyelamatkanku. Aku nggak bisa biarin dia begitu saja.”

Aku memang pernah mendengar masalah itu dari Lina.

Ibu kandung Kenneth meninggal ketika melahirkannya. Saat Kenneth berusia 5 tahun, ayahnya menikah lagi dan pasangannya tak lain adalah ibunya Solana.

Meski wanita itu adalah ibu tirinya Kenneth, dia memperlakukan Kenneth dengan sangat baik, bagai anak kandungnya sendiri saja.

Bahkan, saat Kenneth mengalami bahaya, dia rela mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan anak yang tidak memiliki hubungan darah dengannya. Sejak saat itu, ibu tiri Kenneth hidup dalam keadaan koma.

Jika semuanya seperti yang dikatakan Kenneth, sepertinya memang cukup masuk akal.

Dalam sesaat, hatiku tidak terasa penat lagi. Aku pun mengingatkannya, “Kenneth, aku percaya kamu melakukan semua itu demi balas budi. Kamu juga hanya menganggapnya sebagai kakakmu saja.”

Pada akhirnya, aku meletakkan kalung itu ke dalam gudang. Mungkin rasa curiga di hatiku masih belum sirna semuanya. Bisa jadi, badai yang lain akan segera menerjang. Tak disangka, badai datang lebih cepat daripada yang kubayangkan.

Sewaktu kuliah dulu, aku mengambil jurusan desain busana. Kemudian, aku magang di departemen desain Grup Horgana.

Selama 4 tahun bekerja, aku pun telah menduduki posisi wakil direktur departemen desain.

“Bu Jasmine, makan kok nggak ajak aku?”

Pada saat ini, aku sedang makan di kantin perusahaan. Lauren Juanda, teman satu asramaku ketika kuliah dulu, mengambil piring sembari berjalan dengan lenggak-lenggok. Dia yang cantik itu duduk di hadapanku.

“Aku makannya buru-buru. Habis makan, aku mesti lanjutin desainku lagi.” Ketika melihat Lauren mengejapkan mata ke sisiku, aku pun bertanya dengan tidak berdaya, “Ada apa?”

“Tadi pagi aku dengar dari departemen personalia, direktur departemen desain sudah ditetapkan!” Senyuman di wajah Lauren semakin lebar lagi. “Aku tebak pasti kamu orangnya. Jadi, aku ingin beri selamat duluan. Semoga setelah naik jabatan nanti, kehidupanmu semakin makmur dan sukses saja.”

“Sebelum surat pemberitahuan diterbitkan, semuanya juga masih belum bisa dipastikan. Jadi, kecilkan suaramu.”

Direktur departemen desain yang sedang menjabat akan mengundurkan diri pada pertengahan bulan. Semuanya menebak akulah penggantinya. Sebenarnya aku juga cukup yakin terhadap diriku sendiri. Hanya saja, aku juga takut kalau tebakanku salah.

“Gimana masih belum pasti? Kamu itu istrinya presdir perusahaan ….” Ketika berucap sampai kalimat akhir, Lauren mengecilkan suaranya. Sebab, kabar pernikahanku dengan Kenneth tidak dipublikasikan. Orang di luar sana hanya tahu masalah Kenneth sangat memanjakan istrinya. Namun, tidak ada yang tahu bahwa istrinya adalah aku.

Kemudian, Lauren lanjut memujiku, “Semua orang juga tahu bagaimana prestasimu sejak kamu mulai kerja. Kamu bertugas dalam proyek desain logo maupun kustomisasi. Ada banyak perusahaan yang ingin merekrutmu! Jadi, atas dasar apa Grup Horgana nggak naikin jabatan kamu?”

Baru saja ucapan Lauren selesai dilontarkan, ponselku dan Lauren berbunyi secara bersamaan. Isinya adalah surat pemberitahuan.

Saat Lauren membaca isi dari e-mail itu, kedua matanya langsung terbelalak lebar dan keningnya juga berkerut. Dia sungguh merasa tidak adil.

“Solana Horgana. Siapa dia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status