Share

Bab 3

Aku juga merasa kaget.

Demi memastikan sekali lagi, aku membaca isi e-mail berkali-kali dengan saksama. Benar! Tidak salah lagi! Solana Horgana ditunjuk untuk menjadi direktur departemen desain. Dia akan menjadi atasanku.

“Jasmine, apa kamu kenal sama dia?” Lauren merasakan ada yang aneh dengan diriku. Dia menggoyangkan tangannya di depan mataku, lalu mengatakan dugaannya.

Aku meletakkan ponselku. “Emm, dia itu kakak tirinya Kenneth. Dulu aku pernah ceritain masalah dia sama kamu.”

Setelah tamat kuliah, semuanya berpencar untuk merintis karier. Namun, berhubung hubungan aku dan Lauren sangatlah bagus, kami berjanji untuk tetap tinggal di Kota Akasha, tidak pergi ke mana pun.

Lauren pun berdecak. “Sialan! Lewat jalur belakang!”

Aku tidak bersuara. Namun, aku membatin, hubungan mereka memang tidak biasa.

“Apa Kenneth sudah gila?” Lauren tak berhenti mengomel, “Atas dasar apa? Aku saja nggak pernah dengar nama itu di dunia desain. Sekarang si Kenneth malah langsung kasih posisi direktur sama dia? Gimana sama kamu? Dia taruh kamu di posisi apa, dong ….”

“Sudahlah.” Aku memotong omongannya, lalu berkata dengan ringan, “Semua itu nggak penting. Kalau dia ingin kasih posisi itu kepada Solana, ya silakan saja.”

Jika Kenneth tidak bersedia memberikannya kepadaku, aku bisa mendapatkannya dari orang lain. Hanya saja, kita sedang berada di kantin perusahaan. Tidak seharusnya aku memberi tahu Lauren di sini. Jangan sampai ucapannya malah dijadikan bahan gosipan satu perusahaan.

Tidak dipungkiri, Lauren sungguh memahamiku. Setelah keluar dari kantin dan memastikan tidak ada orang di sekitar, dia merangkul pundakku, lalu bertanya dengan suara kecil, “Apa kamu punya rencana lain?”

Aku mengangkat-angkat alisku. “Coba kamu tebak.”

“Bagus, ya! Cepat beri tahu aku!”

“Tergolong iya. Tapi aku masih belum selesai berpikir.”

Setelah bekerja selama 4 tahun, aku tidak pernah mengganti pekerjaanku. Grup Horgana telah menjadi zona nyamanku. Sepertinya mesti terjadi sesuatu yang bisa memotivasiku untuk meninggalkan zona nyamanku.

Setelah kembali ke meja kerja, aku fokus dalam mendesain model edisi terbatas tahun baru. Aku pun tidak sempat untuk istirahat di sore hari.

Sebenarnya semua ini adalah pekerjaan direktur. Hanya saja, direktur departemen desain telah mengundurkan diri, otomatis pekerjaan ini akan jatuh ke diriku. Aku pun mesti segera menyelesaikannya.

“Kak, kopimu.” Saat menjelang pukul dua sore, asistenku, Nelly, memasuki ruanganku. Dia meletakkan secangkir kopi di atas meja kerjaku.

Aku pun tersenyum. “Terima kasih.”

Nelly melihat aku masih sedang mendesain itu dengan tatapan bingung. “Kak, kamu masih bisa fokus dalam mendesain? Aku sudah dengar kabar, direktur baru itu bahkan nggak ikut sesi wawancara. Dia malah langsung merebut posisimu. Apa kamu nggak marah?”

Aku hanya tersenyum. Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi. Tidak marah? Tentu saja aku marah! Hanya saja, aku juga tidak bisa mengatakannya kepada bawahanku.

“Semuanya, ke sini dulu ….”

Tiba-tiba terdengar suara dari luar ruangan. Max mengumpulkan orang-orang.

Melalui jendela kaca besar, pemandangan area kantor umum terlihat jelas. Kenneth yang mengenakan setelan formal sedang berdiri di tempat dengan satu tangan di saku. Dia kelihatan dingin dan elegan. Saat dia berdiri di samping Solana, mereka kelihatan bagai pasangan kekasih yang sangat serasi.

Saat ini, Solana sedang menatap si pria dengan tatapan memelas. Sepertinya dia sedang meminta bantuan Kenneth.

Kening Kenneth sedikit berkerut. Dia kelihatan tidak sabar, tetapi dia masih berusaha untuk bersikap tenang.

Kenneth mewakili suara Solana. “Perkenalkan, dia adalah direktur baru departemen desain, Solana Horgana. Aku harap kalian semua bisa bekerja sama dengannya.”

Solana menatap Kenneth dengan tatapan risi. “Kenapa kamu seserius itu?”

Kemudian, Solana tersenyum kepada semuanya. “Semuanya nggak usah dengar apa katanya. Aku ini orangnya gampang diajak bicara. Aku pasti nggak bakal menekan kalian. Jadi, mohon bantuan semuanya, ya. Kalau ada yang kurang dengan pekerjaanku, aku harap kalian bisa terus terang sama aku.”

Dengan adanya sosok presdir di tempat, tentu saja suasana terasa sangat harmonis.

Nelly spontan mencemberutkan bibirnya. “Masuknya lewat jalur belakang. Si janda malah rebutan posisi orang lain.”

Tadinya aku merasa cukup penat. Ketika mendengar sindiran asistenku, aku spontan tersenyum.

Di luar sana, Kenneth membawa Solana ke ruang kerjanya.

“Sudahlah, kenapa kamu masih nggak tenang? Kalau wajahmu dingin seperti ini, siapa juga yang berani datang ke ruanganku?” Solana mendorong Kenneth. Gerakan kedua orang tampak cukup mesra. Meski nada bicara Solana terdengar risi, tetap terlihat senyuman di wajahnya.

Aku menyesap kopiku. Emm, pahit sekali!

Ketika melihat keningku yang berkerut, Nelly langsung mengambil cangkir kopiku. “Nggak pahit, kok. Tadi aku sengaja masukin 2 sendok gula. Aku kira kamu akan lebih senang setelah minum yang manis-manis.”

“Tok, tok ….”

Setelah Kenneth diusir oleh Solana, dia pun datang ke ruanganku. Sesekali aku menatap mata pria itu. Betapa inginnya aku membaca pikiran suamiku.

“Aku pergi seduh kopi yang baru untukmu.” Nelly langsung melarikan diri.

Kenneth memasuki ruangan dengan perlahan, lalu menutup pintu. Dia menjelaskan dengan wajah tenang, “Dia baru pertama kali bekerja, masih gugup. Jadi, dia suruh aku untuk temani dia.”

“Oh, ya?” Aku bertanya kembali dengan tersenyum, “Nggak kelihatan.”

Solana menyuruh Kenneth, seorang presdir, membantunya untuk memperkenalkan diri di depan karyawan. Dia juga menyindir Kenneth di hadapan orang banyak. Dengan begitu, orang-orang akan mengetahui hubungannya dengan Kenneth cukup dekat.

Walaupun Solana mengatakan ucapan seperti “dirinya gampang diajak bicara”, dengan adanya dukungan presdir perusahaan, siapa juga yang berani menyinggungnya?

“Sudahlah. Dia memang lebih besar daripada kamu, tapi dalam soal pekerjaan, kamu itu seniornya. Apalagi dalam soal desain, kemampuanmu lebih bagus daripada dia. Semua orang di departemen desain juga akan lebih mendengar ucapanmu.”

Kenneth berjalan ke belakangku, lalu memijat pundakku dengan perlahan. Dia lanjut untuk membujukku, “Kamu nggak usah ladeni dia. Yang penting jangan ada yang menindasnya saja, oke?”

Ini pertama kalinya amarahku terhadap Kenneth tak kunjung padam.

Aku menepis tangannya, lalu langsung berdiri. “Kalau benar semuanya seperti yang kamu katakan, kenapa bukan aku yang menjabat sebagai direktur desain?”

Begitu pertanyaan itu dilontarkan, aku baru menyadari bahwa ucapanku terlalu blak-blakan. Bahkan, Kenneth yang biasanya berekspresi datar pun kelihatan syok.

Benar! Selama 3 tahun menikah, hubungan mereka memang tidak tergolong sangat mesra, tetapi mereka cukup menghormati satu sama lain. Mereka tidak pernah bertengkar sama sekali. Mungkin itulah sebabnya Kenneth mengira temperamenku sangat bagus.

Namun, aku juga tidak menyesal untuk mengatakan ucapan itu. Seandainya posisi direktur jatuh ke diri orang yang lebih berkompeten daripadaku, aku pasti akan tunduk, tidak akan berkomentar apa pun.

Sekarang jabatan penting itu malah dijabat oleh Solana. Bahkan, aku juga tidak diperbolehkan untuk bertanya sama sekali?

Ini pertama kalinya Kenneth melihat sisi galakku. Bibir tipisnya bergerak. “Jasmine, apa kamu marah gara-gara masalah ini?”

“Memangnya nggak boleh?”

Di hadapan orang lain, aku bisa berlagak tidak terjadi apa-apa. Namun, ketika di hadapan suami sendiri, seandainya aku juga mesti menyembunyikan ketidakpuasanku, sepertinya tidak ada gunanya untuk mempertahankan pernikahan ini.

“Kamu bodoh?” Kenneth mengambil remote control, lalu mengganti mode tampilan kaca menjadi buram. Dia mengulurkan tangannya untuk memelukku. “Grup Horgana ini milikmu. Apa kamu perlu peduli dengan posisi itu?”

“Grup Horgana itu punya kamu, bukan punyaku.”

Yang bisa aku dapatkan hanyalah posisiku sekarang ini.

Kenneth mengangkat daguku, menunjukkan ekspresi yang sangat serius. “Kita itu suami istri. Apa perlu membeda-bedakan?”

“Kalau begitu, gimana kalau kamu alihkan sahammu kepadaku?” Aku tersenyum sembari menatap setiap ekspresi di wajahnya. Aku tidak ingin melewatkan sedikit pun perubahan reaksi di wajahnya.

Anehnya, Kenneth tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia hanya mengangkat-angkat alisnya. “Kamu mau berapa?”

“Aku mau 10%.” Seandainya aku diperbolehkan untuk meminta, tentu saja aku tidak akan meminta dalam porsi sedikit.

Setelah Kenneth menikah denganku, dia pun mengambil alih Grup Horgana yang besar ini. Selain itu, bisnis pun semakin berkembang di bawah kelolanya. Jangankan saham sebesar 10%, bahkan saham sebesar 1% saja bukanlah nilai kecil di pasaran.

“Oke,” jawab Kenneth.

Aku sungguh tidak menyangka Kenneth akan menyetujuinya, padahal aku akan sembarangan menyebut angka saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status