"Hm ... permisi, Pak," sapa seorang wanita muda pada pria muda di area tunggu, area yang dikhususkan untuk tamu menuju humas dengan berbagai alasan. "Iya," sahut pria muda yang memiliki garis rahang tegas. "Bu Rana meminta saya untuk menyampaikan, bahwa silakan bertamu sesuai janji temu yang sudah disepakati," ujar wanita bernama Nifala Cessa Anggraeni, wanita cantik yang cukup cekatan namun tidak cukup untuk menandingi kepiawaian Sang Kepala Humas. "Oh, enggak masalah ...," jawab pria muda itu menggantungkan kalimatnya, "Nifala," lanjutnya setelah membaca tanda pengenal yang melingkar di leher lawan bicaranya. "Nifa ... Nifa saja," kata Nifa tersenyum tipis menghargai usaha tamu itu untuk mengetahui identitas umum, begitu besar rasa Nifa hendak basa-basi bertanya namun dirinya sudah tahu nama si tamu. "Arhan Prasetia," ucap pria muda itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan yang tentu membuat Nifa cepat merespon. Bagaimana tidak? Seorang pengelola anak perusahaan
"Ah ... orang baru datang!" teriak tiga wanita berseru keras menyambut kedatangan seorang pria yang melambai-lambaikan kedua tangannya, ketulusan dalam kesenangan jelas terlihat dari senyum simpul terulum itu, "tiga ... dua ... satu."Dus!Bunyi tembakan khas konfeti terdengar mengejutkan, disusul dengan teriakan gembira tiga wanita yang kini melompat-lompat kecil, "ih gue enggak sangka banget," ucap seorang wanita dengan tahi lalat di dekat hidungnya menahan tangis, ditekan area lubang hidung dengan tisu, mata memerah jelas sangat menggambarkan suasana hatinya."Ini kalian serius balikan, enggak sih?" tukas wanita dengan lesung pipi yang terlihat samar dari senyum simpul tertahan, "gue masih enggak sangka banget serius, Fafa benar-benar berjuang buat dapat kakak lagi.""Serius kok, Di," jawab pria berbadan tegap itu melebarkan senyumnya, lalu menunduk dan mengambil selembar konfeti di dekat kaki, "jangan nangis mulu, makin jelek nanti," lanjutnya menempelkan konfeti tepat di kening
"Ah ...."Terhembus napas seorang wanita muda, terdiam ia di atas ranjangnya bersama sebuah kotak kecil yang sudah dibuka. Kotak kecil yang lagi dan lagi hanya berisikan beberapa lembar foto, bila sebelumnya berisikan foto seorang pria sedang bertaruh dengan banyaknya kartu dan uang, kotak kali ini berisikan foto seorang pria merangkul wanita menuju kamar hotel."Iya sih, dia memang pulang ke rumah walau belum mengaku kalau sudah jadi pengangguran, tapi kenapa malah pergi sama cewek ke hotel? Duit dari mana?" gumamnya seorang diri bersandar di kepala ranjang dan memandang kosong ke arah kotak kecil lain yang berada di atas meja riasnya.Tin ... tin ... tinMengernyit wanita itu mendengar klakson mobil yang begitu familiar di telinganya, menoleh ia ke arah jam digital berukuran besar di dinding kamar, terbuka lebar mata itu saat menyadari jam sudah menunjukkan pukul 23.33. Bergegas ia mengambil kotak kecil dan tutupnya di atas ranjang untuk disimpan di meja rias, "jam tidurku jadi kaca
"Serius deh, kaki kamu kenapa bisa begitu sih, Ran?"Sekali lagi, napas pendek terhela tidak bebas dari mulut seorang wanita yang kini berkulit pucat pasi. Pertanyaan yang setidaknya sudah tiga kali ditanyakan hanya dalam waktu lima menit, "memangnya jawaban aku kurang jelas sampai ditanya lagi dan lagi?" sahut wanita bernama Kirana Zendaya itu menanggapi rekan kerjanya."Jelas sih jelas, tapi masa sih karena hal itu?" tanya Nifa, rekan kerja sekaligus asisten bagi Rana untuk beberapa pekerjaan."Kamu kira aku bohong?" ucap Rana santai menanggapi pertanyaan Nifa, walau dirinya tahu bahwa Nifa tidak mengira itu suatu kebohongan, namun jelas terasa itu pertanyaan atas rasa tidak percaya."Eh? B-bukan begitu, mana mung ....""Memang sesulit itu buat dipercaya, tahu kok aku," tukas si Kepala Humas itu tersenyum kecil, "entar sore antar aku pulang, ya?" lanjutnya mengalihkan perhatian Nifa."Ih pasti susahlah. Sekarang gini saja, laki-laki pengangguran, pinjam mobil istri, pas balik malah
Lenguhan terdengar sedikit menggema dari ruang utama di rumah sederhana, seorang pria dengan pakaian berantakan itu bergerak asal untuk merenggangkan badannya. Keluhan pusing dan mual pun menyusul keluar dari mulutnya, dengan mata yang masih enggan terbuka ia beranjak duduk dan bersandar di sofa. "Ah ...," desahnya yang terdengar amat lelah, seolah ada rasa muak dan penat yang sangat mendesak hati maupun pikiran, seolah ada beban berat yang harus dipikir, dipertimbangkan, dan dijalankan, dan seolah ada kesulitan besar yang menghalanginya dengan segala rupa. "Kirana," panggil pria bernama Kalil Nayaka itu menyebut nama istrinya, dengan suara parau kembali menyebut nama sang istri lagi dan lagi. Tidak kenal lelah dan tidak kenal bosan, "Kirana!" Suara paraunya terdengar keras. Terdiam lagi pria yang akrab disapa Kal, menunggu tanggapan dan kedatangan sang istri. Satu dua menit ia menunggu, tidak ada juga suara yang terdengar dan tiada pula wujud yang dilihatnya. "Argh! Kemana sih
"Halah, Jess cuma cewek goblok. Bisa santai gue.""Masa sih? Orang kaya loh mereka, lo bisa dalam bahaya.""Mereka banyak duit tapi kagak punya otak."Tap!Ditekan cepat dan kasar tanda jeda di laptop, lirikan tajam dengan napas memburu bersatu tidak padu pada sorot mata lemah, sorot mata yang jelas menunjukkan rasa bersalah dan ketakutan, "maksud kamu apaan?""Kayak yang tadi aku bilang, Kak. Aku dapat paket misterius terus-menerus, ada foto Mas Tom lagi main di meja bundar, ke hotel sama cewek yang enggak tahu siapa, terus juga sekarang dapat alat rekam suara yang isinya ginian," ujar wanita cantik berambut hitam lebat, menatap sang kakak yang justru berdecih dan tersenyum miris."Kamu fitnah suami aku? Dari awal aku tahu kok kamu enggak suka sama cowok, kamu benci sesama manusia, dan kamu juga enggak suka sama suamiku sejak aku bilang mau nikah. Tapi aku enggak duga kalau si kecil kesayanganku bakal memfitnah orang, memfitnah kakak ip ....""Siapa yang fitnah?" tukas wanita cantik
(Beberapa jam sebelumnya)Memainkan jemari berulang kali di atas meja kerja, pikiran yang tidak fokus, hati yang kacau, dan badan yang terasa tidak enak. Sungguh hari kacau yang memuakkan, "masuk," kata Rana setelah terkejut mendengar ketukan pintu.Rasa terkejut membuatnya kembali tersadar pada dunia yang seharusnya ia jalani, untuk sekejap membawanya pada kesadaran diri bahwa ada hal yang berada di luar kendalinya. Meski begitu, rasa sayangnya pada sang kakak dan penasaran pada isi kotak yang diterimanya, membuat Rana berada di pusaran yang membingungkan.Haruskah tetap tidak peduli karena itu urusan rumah tangga Jess? Atau haruskah peduli demi menyelamatkan Jess dari suami yang konyol?"Ini, Bu." Seorang wanita berkaca mata kotak dengan lensa yang sedikit gelap, wanita yang lebih banyak diam dan hampir selalu hanya terfokus pada layar ponsel maupun laptop, menyerahkan dua map pada Rana yang spontan mengerjap, "bisa dibaca dulu, tapi saya harap bisa langsung ditanda tangani, capek r
"Gue pinjam mobilnya mau main," ucap Kalil Nayaka cukup keras sambil menutup gerbang lagi, tepat setelah melihat Rana masuk rumah dengan wajah masam. Tidak terdengar tanggapan, jawaban, maupun respon lain dari emosi khas Rana. Terhela napas Kal seraya masuk mobil dengan pikiran kacau, tidak ada rasa cinta pada Rana, namun tanpa alasan pula Kal merasa ada suatu keharusan untuk membantu sang istri. "Enggak waras si Tom," gumamnya kemudian melajukan mobil yang masih ada banyak lecet dan rusak pada bumper. Perjalanan yang sudah dapat dikatakan lancar, perjalanan malam yang terasa sunyi, hilang sudah hasrat Kal untuk sekadar mendengarkan musik di jalan. Kalutnya pikiran yang tidak sesuai dengan hati, tidak kompaknya urusan hati dan pikiran dalam menghadapi Rana, dan muaknya Kal melihat sekaligus mendengar segala kelakuan Rana, cukup mengantarkan Kal pada posisi yang aman untuk menghentikan segalanya. Enam kilometer sudah Kal lewati, satu bangunan kayu yang menggugah mata untuk singgah t