Hening menerpa salah satu meja di kafe kopi, lima pria muda sesekali saling bertukar pandang dengan wajah masam. Pertanyaan pembuka dari Kal berhasil mengacaukan suasana santai, berhasil membuat suasana jadi kaku, dan berhasil membuat keadaan jadi canggung."Oi gue tanya, lo selingkuh dari kakaknya Rana tapi lo juga suruh gue buat nikah sama Rana. Apa tujuan lo sebenarnya?" ucap Kal mengulangi pertanyaannya, menatap pria yang ia beri pertanyaan berulang."Kenapa jadi aneh gini sih suasana?" pungkas Den, pria bernama lengkap Denandra Jamali yang seringkali hanya menjadi pendengar dalam kelompok, "lo punya prasangka buruk sama Tom?" lanjutnya bertanya pada Kal yang justru hanya mengecapkan mulut."Enggak, makanya gue tanya sama dia sekarang biar enggak ada prasangka atau fitnah," jawab Kal tanpa sedikitpun melihat ke arah Den, ia tahu tiga teman lain merasa keadaan tidak nyaman, tapi bagi Kal pula pikirannya kini harus lurus dan segala pertanyaan harus mendapat jawaban sekarang."Gue je
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai merayap ke pikiran yang menjadi berat rasanya bagi mata. Perlahan tapi pasti, banyak kumpulan di kafe kopi pun kembali ke rumah masing-masing, mengakhiri pertemuan dan perkumpulan mereka demi mengisi kembali tenaga dengan tidur, hingga memaksakan diri untuk siap menghadapi esok hari dengan segala pikiran, aktivitas, dan pekerjaan.Muak, oh tentu saja. Hanya saat tanggal gajian orang bisa tidak muak dengan kegiatan monotonnya."Kenapa?" tanya Kal setelah tiba di dekat mobil Den, pria yang menjadi temannya sejak awal kuliah, pria yang sejak balik dari toilet bertingkah aneh dengan segala sorot mata tajam dan seriusnya yang meresahkan."Lo peduli sama Rana sampai tanya kayak gitu ke Tom?" kata Den yang terlihat jelas sangat santai, Kal sadar gerak-geriknya yang aneh dan gelisah, namun Kal tidak peduli dengan segala keanehan yang biasa Den lakukan.Den yang bisa tiba-tiba tertawa karena teringat hal konyol, Den yang bisa tiba-tiba gelisah berdalih pa
Menarikan jemari di atas meja kerja, diam yang mengantarkan pikiran secara acak ke dalam dunia yang tidak tertembus apapun. Bukan imajinasi yang menyenangkan dan bukan juga harapan yang diimpikan, hanya kekosongan pikiran yang terasa memuakkan dan melelahkan dalam menjalani hidup yang penuh permasalahan.“Ah …,” desah seorang wanita di ruang kerja khusus Kepala Humas, ruang kerja yang pernah diperjuangkan demi privasi dan keinginan menyendiri yang amat kuat dari pada keinginan bersosialisasi.Sekali lagi, bekerja sebagai kepala hubungan masyarakat di sebuah perusahaan besar jelas menjadi pekerjaan yang tidak pernah diimpikan, hanya direncanakan secara mendadak karena suatu rasa bernama frustrasi, dan kehampaan diri yang ingin menyerah dalam kekonyolan, “Nifa,” panggilnya pada salah satu anggota humas yang sangat diandalkan, wanita yang cukup cekatan namun tak sepandai dirinya saat berdebat penuh keberanian pada siapapun.Walau kenyataannya, wanita bernama Kirana Zendaya itu tahu bahwa
"Temanmu!" teriak seorang wanita setibanya di rumah. Wajah memerah dalam emosi menggebu dengan mata berair, sangat menggambarkan betapa banyaknya emosi yang siap ia luapkan. Gerbang yang belum ditutup, mobil yang masih terparkir asal, dan alas kaki yang masih digunakan meski sudah berada di dalam rumah. Hasrat besar tidak terbendung begitu terlihat, "kenapa sama temanku? Temanku yang mana?" "Tomi Uraga," ucap wanita bernama Kirana Zendaya itu dengan tegasnya yang mendalam, seolah ada dendam yang menelan suaranya hingga ke dalam diri yang menyesakkan. "Oh si Tom, kenapa?" tanggap pria berstatus suami dari Rana. "Masih tanya?" sahut Rana tersenyum miris sebelum menggigit bibir bawahnya, menahan tangis dengan perasaan kosong yang mengecewakan. "Iya gue tanya dong, gue bukan maknya yang harus tahu semua tentang dia," jawab Kal tetap bersandar di sofa dengan santainya, menggerakkan kaki yang selonjor lurus ke meja kecil depan sofa, menatap Rana yang terlihat mengatur napas, "ses
Taman kota dengan ciri khas yang menenangkan, banyaknya berbagai kendaraan melewati taman dengan segala kesibukan setiap pengemudi. Para pengunjung taman dengan berbagai permasalahan dan beban hidup, datang menyendiri, datang untuk sekadar rehat sejenak, maupun datang untuk janji temu seperti yang dilakukan seorang pria bernama Kalil Nayaka."Kal," panggil seorang pria di salah satu bangku taman, melihat lurus ke pohon rindang tanpa sedikitpun menoleh ke lawan bicara yang berada di sebelahnya."Hm?" deham pria yang akrab disapa Kal itu menanggapi, melihat lurus ke sela di antara dedaunan dan batang pohon untuk melihat banyaknya kendaraan yang lewat, terlihat begitu menarik dan cukup menghibur saat pikiran berhasil menebak jenis kendaraan yang dilihat."Maksud lo apaan bilang gue pacaran sama Fafa?" tanya pria bernama Tomi Uraga, pria berstatus sebagai teman Kal sekaligus kakak ipar Kal."Ada alat kontrasepsi bekas dan masih ada sedikit isinya, dan di kotak bertuliskan KDRFN," jawab Ka
Termenung diam dengan jemari menari tak lincah di atas meja rias, tatapan kosong menatap lurus ke permukaan meja yang rata dengan pantulan cahaya lampu dari sekitar kaca. Desah napas yang dihelakan berulang kali terdengar bebas dari mulutnya, tangan kanan menangkup pipi dengan kepala sedikit miring jelas menggambarkan kegundahan yang ada.Pertemuan tidak mengenakkan yang menghanyutkan diri dalam aliran fakta menyedihkan, membuatnya harus izin dari kantor untuk pulang lebih awal, dan tidak kembali sejak pamit keluar untuk bertemu dua pria konyol di taman kota. Mengernyit cepat kening wanita cantik itu seraya netra bergerak perlahan menatap bayangan di cermin, teringat pada suatu percakapan bersama seseorang, bukankah lebih baik jika mencari bukti valid dan saksi yang jelas untuk dihadapkan ke Jessica?“Tapi, mau mulai darimana?” gumamnya melirih seorang diri dengan rasa pesimis yang kembali melanda hati dan pikiran.Merengut lagi bibirnya dan terhembus lagi napas kasarnya melalui hidun
“A-aku … aku … aku kecewa bang-banget,” tangis seorang wanita meringsak masuk ke dalam dekapan seorang pria, menangis tersenguk dengan napas yang begitu sulit untuk diraihnya.Desisan pelan yang lembut terdengar berulang kali dari bibir pria berbadan cukup atletis, melingkarkan tangan kanan di pinggang dan tangan kiri mengusap lembut puncak kepala wanita yang menangis. Kelembutan bersama kesabaran yang justru membuat wanita itu semakin tersenguk dalam tangis yang hampir serupa meraung, “shh … shh … nangis saja sampai lega, aku di sini kok,” gumam pria itu menjawab.Deham pelan dengan tangis yang meraung sendu terdengar jelas, sunyinya rumah yang berada di perumahan pada pagi hari sungguh menjadi tempat yang menenangkan, hanya andai permasalahan dan kekecewaan tidak mendatangi hati. Satu jam sudah wanita itu bersandar di dada bidang si pria, berada dalam dekapan hangat yang seharusnya menenangkan, “maaf ya, ka-kamu jadi har ... harus lihat muka aku ... la-lagi jelek begini,” ucap wanit
[2 Minggu yang lalu] "Kamu mau tahu sesuatu enggak, sayang?" "Enggak," jawab seorang wanita seraya bersandar manja ke dada seorang pria, memainkan kuku panjangnya dengan pandangan kosong tanpa melamun. "Si Kal, kagak dibantu sama bininya buat tetap di perusahaan, malah bininya bilang pecat ya pecat saja kalau memang enggak kompeten," ujar pria berbadan tegap itu mengulurkan tangan dan mengelus-elus paha si wanita, "sudah berapa lama kamu enggak perawatan? Enggak enak gini," lanjutnya namun tetap mengusap paha yang terpampang bebas berkat celana pendek yang digunakan. "Sebulan ... mungkin," jawab si wanita memegang lengan pria itu dan mengusapnya pelan, "kulit aku jadi kasar, kan? Kamu pegang duit enggak?" lanjutnya merengutkan bibir seraya mendongak, menjumpai pria yang disayangi juga menunduk hingga membuatnya saling beradu tatap. "Ada satu juta lima ratus, ambil saja semuanya di dompetku," ucap si pria kemudian mengangkat kepalanya lagi dan memutus kontak mata, "nanti aku minta