“A-aku … aku … aku kecewa bang-banget,” tangis seorang wanita meringsak masuk ke dalam dekapan seorang pria, menangis tersenguk dengan napas yang begitu sulit untuk diraihnya.Desisan pelan yang lembut terdengar berulang kali dari bibir pria berbadan cukup atletis, melingkarkan tangan kanan di pinggang dan tangan kiri mengusap lembut puncak kepala wanita yang menangis. Kelembutan bersama kesabaran yang justru membuat wanita itu semakin tersenguk dalam tangis yang hampir serupa meraung, “shh … shh … nangis saja sampai lega, aku di sini kok,” gumam pria itu menjawab.Deham pelan dengan tangis yang meraung sendu terdengar jelas, sunyinya rumah yang berada di perumahan pada pagi hari sungguh menjadi tempat yang menenangkan, hanya andai permasalahan dan kekecewaan tidak mendatangi hati. Satu jam sudah wanita itu bersandar di dada bidang si pria, berada dalam dekapan hangat yang seharusnya menenangkan, “maaf ya, ka-kamu jadi har ... harus lihat muka aku ... la-lagi jelek begini,” ucap wanit
[2 Minggu yang lalu] "Kamu mau tahu sesuatu enggak, sayang?" "Enggak," jawab seorang wanita seraya bersandar manja ke dada seorang pria, memainkan kuku panjangnya dengan pandangan kosong tanpa melamun. "Si Kal, kagak dibantu sama bininya buat tetap di perusahaan, malah bininya bilang pecat ya pecat saja kalau memang enggak kompeten," ujar pria berbadan tegap itu mengulurkan tangan dan mengelus-elus paha si wanita, "sudah berapa lama kamu enggak perawatan? Enggak enak gini," lanjutnya namun tetap mengusap paha yang terpampang bebas berkat celana pendek yang digunakan. "Sebulan ... mungkin," jawab si wanita memegang lengan pria itu dan mengusapnya pelan, "kulit aku jadi kasar, kan? Kamu pegang duit enggak?" lanjutnya merengutkan bibir seraya mendongak, menjumpai pria yang disayangi juga menunduk hingga membuatnya saling beradu tatap. "Ada satu juta lima ratus, ambil saja semuanya di dompetku," ucap si pria kemudian mengangkat kepalanya lagi dan memutus kontak mata, "nanti aku minta
"Kenapa sih kamu seyakin itu suruh aku buat minta bantuan ke Pak Arhan?" tukas seorang wanita pada temannya di dalam ruang kerja, berawal dari ingin berkeluh kesah sambil berbagi kisah, justru jadi saling berdebat untuk mendapat solusi yang bertentangan, "dia cuma penasaran doang, tahu aku," lanjutnya yakin bahwa sosok yang diungkit hanya penasaran pada masalahnya.Perasaan dan praduga satu sama lain yang berbeda, seorang wanita menganggap hanya penasaran, sedangkan wanita lainnya menganggap ada unsur kepedulian tulus selayaknya manusia pada sesama makhluk hidup, "kebiasaan buruk lo memandang orang lain pasti negatifnya dulu, prasangka buruk dulu," oceh wanita lainnya bernama Nifala, salah satu anggota tim humas, dan wanita yang paling dekat dengan Kepala Humas dari lingkungan kantor."Itu cara aku bertahan hidup dan bertahan waras dari kejinya dunia sosial, aku tahu kotornya dunia sosial. Jadi aku harus punya cara untuk tetap bersih," jawab seorang wanita bernama Kirana Zendaya atas
Menetes lagi dan lagi air mata seorang wanita berambut cokelat lurus sebatas bahu, dilihatnya selembar foto yang didapat dari sang suami tercinta. Foto keramaian yang samar dengan fokus tertuju pada dua insan muda, pria dan wanita yang saling bertukar saliva penuh kemesraan dan kebahagiaan. "Ini Kalil Nayaka?" tanya wanita itu lagi pada sang suami yang mengangguk untuk ke sekian kalinya, pertanyaan yang sama terus terulang dan kembali terucap pada jeda waktu tertentu, "Rana terlalu fokus sama paket misterius tentang rumah tangga kita, padahal rumah tangganya juga di ujung tanduk." Terhela napas suami dari wanita bernama Jessica Danti itu, "sebenarnya itu isi dari kotak misterius tanpa nama yang terkirim ke kantorku, aku ingat cerita kamu tentang Rana dapat paket," ucap pria itu sontak membuat istrinya membulatkan mata lebar dan menatapnya terkejut. "Di resepsionis?" kata Jess terdengar seperti menebak, perkataan yang langsung mendapat anggukan dari sang suami, "kata resepsionis dian
"Oke oke, jadi aku iri."Mengernyit dan mata menyipit cukup menggambarkan kebingungan yang Tom rasa, "maksud kamu?""Iri ya iri, kamu enggak tahu artinya iri?" tukas wanita bernama lengkap Fauziah Aini."Enggak, bukan begitu. Maksud aku, kamu iri sama Rana itu kar ....""Keluarganya, bukan sama Rana," potong wanita yang akrab disapa Fafa atau Fau, panggilan Fafa yang lebih disukainya dari pada panggilan lain, "aku iri sama mereka," lanjutnya terdengar tegas dan meyakinkan, mata yang terbuka lebar dengan pupil membesar cukup jelas mengatakan suasana hati."Kenapa? Mereka enggak kenal kamu loh, aku pikir karena Kal nikah sama Rana dan kamu belum bisa lupakan Kal," ujar Tom berusaha memahami cara berpikir wanita yang ia sayangi, wanita yang selalu mendapat posisi spesial dalam hati dan pikiran, dan kini wanita yang ternyata baru ia tahu memiliki dendam tanpa alasan."Pikiranmu pendek banget, buat memahami aku saja enggak bisa," jawab Fafa tersenyum masam lalu menghela napas, "keluarga me
Kesunyian menemani dua pria yang saling terdiam satu sama lain, suasana kafe malam hari yang seharusnya menyenangkan dengan musik pengiring, tidak membuat keduanya berkutik dan mengikuti alunan musik. Saling berkutat dan membisu bersama pikiran yang semrawut, kesalahan berpikir mereka adalah saling mempercayai dan mendukung kesalahan demi cinta yang membutakan. Informasi terkait pencarian detektif dan pengacara pun tersampaikan, disertai perasaan gusar yang seolah memenuhi otak hanya dalam satu tarikan napas. Hembusan napas berulang kali dikeluarkan secara kasar, namun jelas tak cukup untuk melegakan hati maupun pikiran. "Tapi itu Jess doang, Rana diam saja bahkan dia kirim pesan ke gue kalau enggak akan ganggu rumah tangga gue lagi," ujar pria bernama Tomi Uraga itu pada teman sekaligus adik iparnya. "Memangnya dia kirim pesan begitu? Tapi dia enggak ada cerita apapun ke gue," sahut Kalil Nayaka, pria berusia 27 tahun pada temannya. "Mungkin belum, coba lo tanya saja," kata Tom m
"Dari mana?"Baru satu langkah kaki masuk ke dalam rumah, bahkan mata pun belum beradaptasi dengan kegelapan rumah yang biasa pada malam hari. Napas spontan terhenti sejenak saat mendengar dua kata itu terlontar, suara wanita yang seharusnya terdengar lembut justru terdengar menakutkan, kegelapan rumah kian menambah suasana mencekam."Main," jawab pria yang kini melangkah masuk ke dalam rumah, mencari saklar lampu dan menekannya untuk menerangi ruang tengah.Seorang wanita duduk bersandar di pinggir sofa sambil memangku sekaleng biskuit rendah kalori, remahan yang terlihat di lantai dan kaki menjadi saksi bisu lamanya wanita itu makan dalam kegelapan dan sendirian. Ekspresi datar dan mata sendu di antara kehampaan yang terpancar, menambah sensasi merinding hingga membangunkan hampir seluruh bulu kuduk pria itu."Kamu Kirana Zendaya, kan?" tanya pria itu bergerak mendekat untuk duduk di sisi sofa yang lain, matanya tidak terlepas dari wanita yang terus memandangnya dengan sinis."Setan
Cerahnya pagi yang membahagiakan bersama sinar yang menyehatkan, ada begitu banyak hal yang dapat disambut bersama senyum dengan suasana hati yang lembut, kelembutan yang jelas hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang, kelembutan yang juga tidak selalu muncul sebab suasana hati dan pikiran. Pakaian rapi berwarna netral dan semi formal, pakaian rapi yang tidak dapat mencerminkan pikiran dan hati, yang bahkan mungkin saling berlawanan berkat kusutnya beban hidup."Sori lama," ucap seorang pria pada wanita yang sedari tadi duduk di kursi taman dengan wajah masam, "gue cuma mau tanya tentang Fafa dan Rana.""Mereka musuh," jawab wanita itu acuh tak acuh, tanpa menoleh atau sekadar melirik lawan bicaranya, "itu fakta yang jelas dan terang benderang, apa lagi yang mau ditanya?"Terhela napas pria bernama Tomi Uraga itu menanggapi, "tapi Rana sadar kagak sama permusuhan mereka?" tanya pria yang akrab disapa Tom."Kagak kayaknya," jawab si wanita kemudian melirik sinis ke arah Tom, "kenapa?"