Kesunyian menemani dua pria yang saling terdiam satu sama lain, suasana kafe malam hari yang seharusnya menyenangkan dengan musik pengiring, tidak membuat keduanya berkutik dan mengikuti alunan musik. Saling berkutat dan membisu bersama pikiran yang semrawut, kesalahan berpikir mereka adalah saling mempercayai dan mendukung kesalahan demi cinta yang membutakan. Informasi terkait pencarian detektif dan pengacara pun tersampaikan, disertai perasaan gusar yang seolah memenuhi otak hanya dalam satu tarikan napas. Hembusan napas berulang kali dikeluarkan secara kasar, namun jelas tak cukup untuk melegakan hati maupun pikiran. "Tapi itu Jess doang, Rana diam saja bahkan dia kirim pesan ke gue kalau enggak akan ganggu rumah tangga gue lagi," ujar pria bernama Tomi Uraga itu pada teman sekaligus adik iparnya. "Memangnya dia kirim pesan begitu? Tapi dia enggak ada cerita apapun ke gue," sahut Kalil Nayaka, pria berusia 27 tahun pada temannya. "Mungkin belum, coba lo tanya saja," kata Tom m
"Dari mana?"Baru satu langkah kaki masuk ke dalam rumah, bahkan mata pun belum beradaptasi dengan kegelapan rumah yang biasa pada malam hari. Napas spontan terhenti sejenak saat mendengar dua kata itu terlontar, suara wanita yang seharusnya terdengar lembut justru terdengar menakutkan, kegelapan rumah kian menambah suasana mencekam."Main," jawab pria yang kini melangkah masuk ke dalam rumah, mencari saklar lampu dan menekannya untuk menerangi ruang tengah.Seorang wanita duduk bersandar di pinggir sofa sambil memangku sekaleng biskuit rendah kalori, remahan yang terlihat di lantai dan kaki menjadi saksi bisu lamanya wanita itu makan dalam kegelapan dan sendirian. Ekspresi datar dan mata sendu di antara kehampaan yang terpancar, menambah sensasi merinding hingga membangunkan hampir seluruh bulu kuduk pria itu."Kamu Kirana Zendaya, kan?" tanya pria itu bergerak mendekat untuk duduk di sisi sofa yang lain, matanya tidak terlepas dari wanita yang terus memandangnya dengan sinis."Setan
Cerahnya pagi yang membahagiakan bersama sinar yang menyehatkan, ada begitu banyak hal yang dapat disambut bersama senyum dengan suasana hati yang lembut, kelembutan yang jelas hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang, kelembutan yang juga tidak selalu muncul sebab suasana hati dan pikiran. Pakaian rapi berwarna netral dan semi formal, pakaian rapi yang tidak dapat mencerminkan pikiran dan hati, yang bahkan mungkin saling berlawanan berkat kusutnya beban hidup."Sori lama," ucap seorang pria pada wanita yang sedari tadi duduk di kursi taman dengan wajah masam, "gue cuma mau tanya tentang Fafa dan Rana.""Mereka musuh," jawab wanita itu acuh tak acuh, tanpa menoleh atau sekadar melirik lawan bicaranya, "itu fakta yang jelas dan terang benderang, apa lagi yang mau ditanya?"Terhela napas pria bernama Tomi Uraga itu menanggapi, "tapi Rana sadar kagak sama permusuhan mereka?" tanya pria yang akrab disapa Tom."Kagak kayaknya," jawab si wanita kemudian melirik sinis ke arah Tom, "kenapa?"
"Fafa pernah suruh orang buat mencelakai keluarga Rana," ucap Diah menatap Tom seraya tersenyum konyol, "kalau lo tanya alasannya, cuma Fafa yang tahu. Beda orang yang tanya ya beda jawabannya," lanjut wanita itu kemudian terkekeh pelan sembari berjalan mundur lalu berbalik arah, kembali meninggalkan Tom tanpa memberi kesempatan pria itu bicara. "Oke," kata Tom mendesah pasrah lalu beranjak meninggalkan area taman, berjalan pelan tanpa banyak kata dan sesekali menendang kerikil. Bosan rasanya dalam benak Tom sepanjang malam dan pagi hari belum menyalakan ponsel, belum ingin mendengar segala dering, ocehan, dan sampah pesan penuh tangisan tidak berguna. Bosan, satu kata dengan sejuta perasaan yang pasti pernah dirasakan setiap orang, bosan dengan kegiatan, bosan dengan suatu benda, sampai bosan pada seseorang. "Sudahlah," gumam Tom mengambil ponsel dari saku celana setelah masuk ke dalam mobil, menyalakan benda pipih berteknologi itu dan menunggunya sesaat dengan ribuan lapis kesa
"Hai, sudah pulang kerja?" sapa seorang wanita dengan pertanyaan menyambut adiknya yang masih di dalam mobil, "asam banget itu muka," lanjutnya ketus setelah membukakan gerbang, membiarkan adiknya memasuki garasi rumah untuk parkir mobil.Bruk!Pintu mobil tertutup rapat tepat setelah wanita bersetelan semi formal keluar, raut masam tanpa ekspresi sangat menunjukkan suasana hatinya yang kacau, "kenapa?" tanya wanita bernama Kirana Zendaya itu pada kakaknya, pada tuan rumah yang dikunjungi."masuk dulu sini," sahut kakak dari Rana itu dengan lembutnya, "aku enggak ada niat usir kamu waktu itu, suasana hatiku berantakan saja karena lihat foto-foto waktu itu ditambah aku belum makan, lagi lap ....""Sudahlah enggak usah dibahas lagi," potong Rana cepat sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa panjang, bersandar dan meluruskan kaki di atas sofa dengan santai, "jadi kenapa?" lanjutnya bertanya mengambil toples camilan yang selalu tersedia di atas meja ruang keluarga."Suamimu brengsek," kat
Keduanya saling berhadapan kini di ruang utama rumah mewah, banyaknya interior menghiasi meja kecil, meja bulat, maupun lemari hias dan dinding di setiap sisi ruang yang luas. Rumah mewah yang jelas didapat dari bagi hasil bisnis keluarga, bagi hasil yang sama sekali tidak pernah Rana inginkan dan harapkan.Terengah napas Rana menahan segala isi hati dan keluh kesah yang ia tahu, berhadapan dengan orang yang menjadi budak cinta dan orang yang pandai manipulasi dalam satu momen, sungguh menguras pikiran dan hati untuk memendam segalanya, "semua bisa jadi terduga di situasi begini," lanjutnya meralat teriakan emosi yang terluap tidak terkendali.Terdiam Jess memandang Rana yang masih mengatur napasnya, sesekali pula ia melihat sang adik memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, "aku paham," kata Jess singkat lalu tersenyum simpul, "silakan kalau mau pulang, akhir-akhir ini kamu sensitif dan gampang banget marah. Sibuk boleh, tapi jangan lupa untuk kontrol stresnya.""Iya," jawab
Ketus, acuh tak acuh, dan tanpa ekspresi Rana berikan untuk menanggapi setiap ucapan si wanita asing. Bukan karena ingin merusak citra pada awal pertemuan, namun baginya tidak ada hal penting dan istimewa hingga mengharuskan menjaga citra.Tercenung, bingung, dan merasa serba salah yang dirasa oleh Diah, atas segala tanggapan yang Rana berikan. Bukan karena ingin menarik diri dan gagal membentuk nama baik pada awal pertemuan, namun baginya berhadapan dengan wanita karir yang berpendidikan jelas akan sulit, jika mengingat latar belakang diri yang tidak berarti apapun bila dibanding dengan Rana."KDRFN itu singkatan kelompok anggota kami, geng kita yang selalu kompak dan setuju apapun selagi itu tentang kami." Mengernyit Rana mendengar penjelasan awal, "jadi apapun yang mau kita lakukan, kalau itu ada sangkutannya sama salah satu dari kita pasti disetujui semuanya tanpa terkecuali. Alasannya karena kita setia kawan, kita akan saling mendukung satu sama lain."Mengangguk Kirana mendengar
"Bisa," jawab wanita berlesung pipi dengan tegas, "aku berani bergerak sendiri, menolak hal yang menurutku enggak baik, dan aku punya tekad buat menemuimu," lanjutnya tersenyum simpul dan melihat ke arah lawan bicara penuh keyakinan."Saya cuma kasih satu pertanyaan, kenapa jawabannya jadi kayak lagi seleksi wawancara kerja?" ketus wanita cantik bernetra cokelat seraya memutar kemudinya untuk berbelok, mengambil arah jalan menuju pusat kota yang tentu memiliki jalan bagus dan tidak bergelombang atau berlubang.Berdeham panjang dengan gugup dan canggung, terkekeh pelan hampir tak bersuara wanita berlesung pipi itu menanggapi. Sekeras apapun ia berusaha, seorang Kirana Zendaya yang berada di balik kemudi tetaplah sosok yang kaku."Ada orang yang bisa dipercaya tapi enggak bisa diajak kerja sama, tahu enggak?" tanya Rana lagi seraya memandang restoran yang ada di seberang jalan setelah menghentikan mobil di sisi kiri jalan, "duh ... lapar," lanjutnya kemudian menoleh ke arah wanita asing
"Terus karena aku risih ya, banyak kerjaan tapi harus menanggapi dua tua bangka bau tanah itu. Padahal ada anak kesayangan mereka yang sudah nikah, belum beranak pinak, tapi aku yang dikejar buat nikah dan cepat beranak, apa enggak gila?" oceh Rana yang sudah mulai terpancing emosinya, umpan kecil Den berhasil dimakan walau belum terkena kail, "akhirnya aku cari orang yang mau nikah tapi cuma untuk formalitas sampai kakakku hamil, jadi aku enggak akan berperan sebagai istri dan dia juga enggak akan berperan sebagai suami. Enggak ada istilah hak dan kewajiban suami istri, kita cuma seatap karena sudah satu kartu keluarga dan tercatat sebagai pasangan.""Terus dia mau?" kata Den menunjuk Kalil yang cukup peka untuk segera membuka matanya, menatap tajam Den yang hanya tersenyum mengejek."Saat itu aku dan Kalil baru menyelesaikan satu proyek konflik perusahaan, aku sebagai Kepala Humas butuh berkas lama dan proses pemberkasan baru, kebetulan juga Kalil punya posisi sebagai Kepala Arsip,
[Masa Kini]Rumah susun yang banyak disewakan pemilik atau sekadar dikosongkan untuk investasi, membuat gedung dengan sepuluh lantai itu terlihat seperti indekos tanpa ibu kos. Karena setiap penghuni membayar pada pemilik yang berbeda, walau ada beberapa yang benar-benar dihuni keluarga kecil, tapi kesan bahwa rumah susun itu indekos murah di pusat kota tidak bisa hilang begitu saja."Ini sebenarnya rumah susun yang diperuntukkan pekerja jarak jauh, biar enggak ada yang terlambat lagi, biasalah perusahaan besar pusat kota," ujar seorang pria yang kini berbadan cukup gempal, dengan rambut yang berantakan, "tapi para pemilik yang bisa beli dengan potong gaji, lebih pilih buat kosongkan tempatnya buat investasi atau disewakan jadi indekos," lanjut pria yang kini berusia 27 tahun, dua tahun lebih tua dari sang istri tapi tak jarang lebih kekanakkan dari pada sosok yang seharusnya ia pimpin dan jaga."Iya, tahu kok," jawab sang istri bernama Kirana Zendaya, wanita yang lahir besar sebagai
"Ran," panggil sebuah suara dari seorang pria mengetuk pintu kamarnya, "jangan aneh-aneh, Ran. Kamu sudah dua jam di kamar, belum mandi atau makan," lanjut pria itu terdengar khawatir.Kekhawatiran yang haruskah dipertanyakan? Pria yang tinggal seatap dalam jalinan pernikahan, jalinan yang juga dimulai dengan kepalsuan demi tujuan masing-masing dan kesepakatan bermaterai resmi depan notaris, jalinan yang sudah berjalan lebih dari satu tahun tanpa kewajiban dan hak masing-masing sebagaimana suami istri. Kepalsuan macam apa yang bisa bertahan lebih dari satu tahun? Kepalsuan macam apa yang secara aneh penuh kesialan, kini satu persatu kesepakatan dilanggar dengan dalih peduli?"Iya!" serunya menjawab singkat.Dua jam untuk berdebat dengan hati dan pikiran terbilang sangat singkat, bukan? Namun, kenapa dikhawatirkan? Apa yang harus dikhawatirkan?Dua bulan pertama pernikahan, semua berjalan dengan tidak warasnya. Suami dipecat secara tidak hormat bersamaan dengan SP-3, setelah berulang k
Entah.Tidak tahu.Tidak paham.Tidak mengerti.Tidak memahami.Tidak lagi berharap.Tidak ingin melihatnya.Terpejam mata Rana setelah menutup kotak itu perlahan, dan usai ia berteriak memanggil sang suami dengan nama lengkap. Terseok-seok langkah Rana terasa berat untuk sekadar menuju gerbang rumahnya, melihat Kalil yang berlari untuk membuka gembok dan gerbang rumah, "kok sudah pulang? Enggak kasih kabar? Kan bisa aku jemput."Terdiam membisu Rana tanpa sedikitpun melirik ke suaminya, pria yang masih ia pikirkan untuk menerima ke dalam hati, pria yang masih dipertimbangkan untuk tetap bersama dengan membuka hati, dan pria yang sedikit-banyak mengetahui dirinya selama di rumah. Tapi kini, pria itu juga yang sudah mengecewakan bahkan sebelum hati ini dibuka. Lantas, benarkah tidak ada lelaki yang bisa dipercaya?"Kamu ada masalah, Ran?" kata Kalil bertanya setelah terdengar gerbang kembali digembok, langkah cepatnya mengejar sang istri yang terli
Tak pernah dalam hidup Rana dikenalkan arti dari permintaan maaf sesungguhnya, tak pernah pula dalam hidup Rana dikenalkan arti merendah untuk menebus rasa bersalah, atau mungkin hidupnya tak pernah dikenalkan arti dari rasa bersalah yang mendekam di benak. Saling terdiam satu sama lain tanpa mengikat diri dalam kontak mata, rasa bersalah menjalar dalam diri Rana dengan cepat karena mengambil kesimpulan hanya dari cerita Fafa.Di sisi lain, rasa muak dan lelah bersama malu kembali mendekap Nifa dalam kegelapan diri yang telah lama tak datang. Pernyataan tenaga ahli yang berkata bahwa Nifa sudah pulih dari trauma, dan mampu memaafkan keadaan, ternyata tidak dapat membuat semuanya tetap stabil saat hal buruk itu kembali diceritakan."Kamu pucat, ke pusat kesehatan kantor dulu saja," ucap Rana menyadari berkurangnya kesegaran di wajah Nifa, walau terlihat wanita itu hanya diam dan celingak-celinguk, tapi Rana tahu, tangan Nifa sedang bermain di bawah meja untuk menyembunyikan k
Satu bulan sudah berlalu sejak obrolan antara Kalil dan Rana di meja makan, sudah lebih dari satu bulan juga sejak Rana bertemu dengan Fafa dan membicarakan banyak hal, dan sudah lebih dari satu bulan sejak tawaran berteman diutarakan melalui sambungan telepon. Obrolan serius dan tawaran yang kini sudah tidak membuatnya merasa lelah, tidak ada lagi hasrat menunggu jawaban dari kotak misterius terakhir, justru cenderung berharap agar tidak ada kotak itu dan Fafa melupakan semuanya."Nifa," panggil Rana melongokan kepalanya, memanggil seorang wanita yang pernah amat dipercaya hingga urusan pribadi, wanita yang juga berkhianat demi sejumlah nominal, tapi wanita ini juga yang masih tetap dipercaya untuk urusan pekerjaan, karena sikap profesionalnya yang mampu membatasi urusan pribadi dengan pekerjaan. Walau masih seringkali canggung dan menghindari kontak mata, tapi antara Rana dan wanita ini memiliki kesamaan dalam membatasi urusan di lingkungan kerja."Iya, bu?""Sini," tu
"Aku cuma teringat kebodohanku dulu," jawab Kalil lalu memutar kunci mobil, menyalakan kendaraan roda empat dan mendiamkannya sejenak sambil berpangku tangan di setir, menatap lurus ke barisan mobil di seberangnya, "andai aku enggak ikuti perkataan dan ajakan Tomi," lanjutnya menghela napas dan mengatur persneling untuk mulai berkendara.Terdiam Rana mendengarnya, apa ini yang diartikan sebagai suatu penyesalan? Kenapa terasa aneh? Bagi Rana selama ini, penyesalan bekerja dalam duka dan ketakutan, tapi kenapa Kalil terbilang datar dan membentuk perandaian diri di masa lalu?"Hm ...," deham Rana bingung untuk menanggapi, walau waktu sudah berlalu dan mungkin jawaban Kalil tadi sudah basi bila mengingat posisi mereka kini berada di antara kemacetan, "yang penting kamu sudah sadar, menyesali itu, dan mau berubah jadi lebih baik, kan?"Hah? Apa?Terkatup rapat mata dan bibir Rana usai berucap, seolah jika telinga bisa saja ditutupnya tanpa bantuan tangan seperti mata den
Waktu demi waktu berlalu, jarum terus berputar tak kenal lelah dan bosan selagi ada daya yang dibutuhkan. Menjalani hari seolah sebagaimana mestinya, meninggalkan suatu lokasi yang menjadi tempat berdiam diri lebih dari setengah hari dengan semilyar tuntutan, keluhan, emosi terpendam, dan tangisan yang gagal diluap."Akhirnya ...," desah seorang wanita dengan leganya, seraya menutup satu map dari dokumen terakhir yang ia urus hari ini.Bersandar secara utuh badan itu di kursi yang dapat berputar 360 derajat, berulang kali napas ditarik dari hidung dan diembus perlahan dari mulut. Penat yang sebenarnya sama sekali tidak berkurang hanya dari embusan napas puluhan kali, tapi cukup untuk mengatur taluan jantung yang mungkin sudah bosan untuk berdetak.Dering dan getar ponsel terdengar jelas, terbuka lagi mata yang sudah terpejam malas dalam lelah, “dunia sibuk banget sih,” gerutunya sambil mengulurkan tangan ke tengah meja kerja, mengambil benda pipih berteknologi yang terus
"Selanjutnya, apa?""Apanya yang selanjutnya?""Aku enggak pahan rencana kamu.""Aku sudah pernah jelaskan loh.""Aku lupa.""Dasar bodoh."Deg!Perdebatan antara seorang wanita dan seorang pria di suatu kafe, mengantarkan rasa sakit hati bagi wanita bersetelan blus hitam itu. Warna pakaian yang menggambarkan suasana hatinya kini, penuh duka dan kecewa sejak dua pria yang ia andalkan memutuskan untuk berfokus pada istri masing-masing. Satu di antara dua pria andalannya, menghilang begitu saja, mengusir saat ditemui dan memblokir semua kontak komunikasi, terlihat seperti tidak pernah saling mengenal satu sama lain, pria jahat yang dengan mudah bertingkah seolah tidak pernah terjadi apapun. Sedangkan seorang pria lainnya, pergi meninggalkan namun membantunya membuat skenario untuk mencari sumber penghasilan baru, tetapi skenario itu terlalu rumit untuk otak payah dengan logika tidak berguna.Pada akhirnya, lagi dan lagi semua harus dikatakan, bahwa mema