"Dari mana?"Baru satu langkah kaki masuk ke dalam rumah, bahkan mata pun belum beradaptasi dengan kegelapan rumah yang biasa pada malam hari. Napas spontan terhenti sejenak saat mendengar dua kata itu terlontar, suara wanita yang seharusnya terdengar lembut justru terdengar menakutkan, kegelapan rumah kian menambah suasana mencekam."Main," jawab pria yang kini melangkah masuk ke dalam rumah, mencari saklar lampu dan menekannya untuk menerangi ruang tengah.Seorang wanita duduk bersandar di pinggir sofa sambil memangku sekaleng biskuit rendah kalori, remahan yang terlihat di lantai dan kaki menjadi saksi bisu lamanya wanita itu makan dalam kegelapan dan sendirian. Ekspresi datar dan mata sendu di antara kehampaan yang terpancar, menambah sensasi merinding hingga membangunkan hampir seluruh bulu kuduk pria itu."Kamu Kirana Zendaya, kan?" tanya pria itu bergerak mendekat untuk duduk di sisi sofa yang lain, matanya tidak terlepas dari wanita yang terus memandangnya dengan sinis."Setan
Cerahnya pagi yang membahagiakan bersama sinar yang menyehatkan, ada begitu banyak hal yang dapat disambut bersama senyum dengan suasana hati yang lembut, kelembutan yang jelas hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang, kelembutan yang juga tidak selalu muncul sebab suasana hati dan pikiran. Pakaian rapi berwarna netral dan semi formal, pakaian rapi yang tidak dapat mencerminkan pikiran dan hati, yang bahkan mungkin saling berlawanan berkat kusutnya beban hidup."Sori lama," ucap seorang pria pada wanita yang sedari tadi duduk di kursi taman dengan wajah masam, "gue cuma mau tanya tentang Fafa dan Rana.""Mereka musuh," jawab wanita itu acuh tak acuh, tanpa menoleh atau sekadar melirik lawan bicaranya, "itu fakta yang jelas dan terang benderang, apa lagi yang mau ditanya?"Terhela napas pria bernama Tomi Uraga itu menanggapi, "tapi Rana sadar kagak sama permusuhan mereka?" tanya pria yang akrab disapa Tom."Kagak kayaknya," jawab si wanita kemudian melirik sinis ke arah Tom, "kenapa?"
"Fafa pernah suruh orang buat mencelakai keluarga Rana," ucap Diah menatap Tom seraya tersenyum konyol, "kalau lo tanya alasannya, cuma Fafa yang tahu. Beda orang yang tanya ya beda jawabannya," lanjut wanita itu kemudian terkekeh pelan sembari berjalan mundur lalu berbalik arah, kembali meninggalkan Tom tanpa memberi kesempatan pria itu bicara. "Oke," kata Tom mendesah pasrah lalu beranjak meninggalkan area taman, berjalan pelan tanpa banyak kata dan sesekali menendang kerikil. Bosan rasanya dalam benak Tom sepanjang malam dan pagi hari belum menyalakan ponsel, belum ingin mendengar segala dering, ocehan, dan sampah pesan penuh tangisan tidak berguna. Bosan, satu kata dengan sejuta perasaan yang pasti pernah dirasakan setiap orang, bosan dengan kegiatan, bosan dengan suatu benda, sampai bosan pada seseorang. "Sudahlah," gumam Tom mengambil ponsel dari saku celana setelah masuk ke dalam mobil, menyalakan benda pipih berteknologi itu dan menunggunya sesaat dengan ribuan lapis kesa
"Hai, sudah pulang kerja?" sapa seorang wanita dengan pertanyaan menyambut adiknya yang masih di dalam mobil, "asam banget itu muka," lanjutnya ketus setelah membukakan gerbang, membiarkan adiknya memasuki garasi rumah untuk parkir mobil.Bruk!Pintu mobil tertutup rapat tepat setelah wanita bersetelan semi formal keluar, raut masam tanpa ekspresi sangat menunjukkan suasana hatinya yang kacau, "kenapa?" tanya wanita bernama Kirana Zendaya itu pada kakaknya, pada tuan rumah yang dikunjungi."masuk dulu sini," sahut kakak dari Rana itu dengan lembutnya, "aku enggak ada niat usir kamu waktu itu, suasana hatiku berantakan saja karena lihat foto-foto waktu itu ditambah aku belum makan, lagi lap ....""Sudahlah enggak usah dibahas lagi," potong Rana cepat sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa panjang, bersandar dan meluruskan kaki di atas sofa dengan santai, "jadi kenapa?" lanjutnya bertanya mengambil toples camilan yang selalu tersedia di atas meja ruang keluarga."Suamimu brengsek," kat
Keduanya saling berhadapan kini di ruang utama rumah mewah, banyaknya interior menghiasi meja kecil, meja bulat, maupun lemari hias dan dinding di setiap sisi ruang yang luas. Rumah mewah yang jelas didapat dari bagi hasil bisnis keluarga, bagi hasil yang sama sekali tidak pernah Rana inginkan dan harapkan.Terengah napas Rana menahan segala isi hati dan keluh kesah yang ia tahu, berhadapan dengan orang yang menjadi budak cinta dan orang yang pandai manipulasi dalam satu momen, sungguh menguras pikiran dan hati untuk memendam segalanya, "semua bisa jadi terduga di situasi begini," lanjutnya meralat teriakan emosi yang terluap tidak terkendali.Terdiam Jess memandang Rana yang masih mengatur napasnya, sesekali pula ia melihat sang adik memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, "aku paham," kata Jess singkat lalu tersenyum simpul, "silakan kalau mau pulang, akhir-akhir ini kamu sensitif dan gampang banget marah. Sibuk boleh, tapi jangan lupa untuk kontrol stresnya.""Iya," jawab
Ketus, acuh tak acuh, dan tanpa ekspresi Rana berikan untuk menanggapi setiap ucapan si wanita asing. Bukan karena ingin merusak citra pada awal pertemuan, namun baginya tidak ada hal penting dan istimewa hingga mengharuskan menjaga citra.Tercenung, bingung, dan merasa serba salah yang dirasa oleh Diah, atas segala tanggapan yang Rana berikan. Bukan karena ingin menarik diri dan gagal membentuk nama baik pada awal pertemuan, namun baginya berhadapan dengan wanita karir yang berpendidikan jelas akan sulit, jika mengingat latar belakang diri yang tidak berarti apapun bila dibanding dengan Rana."KDRFN itu singkatan kelompok anggota kami, geng kita yang selalu kompak dan setuju apapun selagi itu tentang kami." Mengernyit Rana mendengar penjelasan awal, "jadi apapun yang mau kita lakukan, kalau itu ada sangkutannya sama salah satu dari kita pasti disetujui semuanya tanpa terkecuali. Alasannya karena kita setia kawan, kita akan saling mendukung satu sama lain."Mengangguk Kirana mendengar
"Bisa," jawab wanita berlesung pipi dengan tegas, "aku berani bergerak sendiri, menolak hal yang menurutku enggak baik, dan aku punya tekad buat menemuimu," lanjutnya tersenyum simpul dan melihat ke arah lawan bicara penuh keyakinan."Saya cuma kasih satu pertanyaan, kenapa jawabannya jadi kayak lagi seleksi wawancara kerja?" ketus wanita cantik bernetra cokelat seraya memutar kemudinya untuk berbelok, mengambil arah jalan menuju pusat kota yang tentu memiliki jalan bagus dan tidak bergelombang atau berlubang.Berdeham panjang dengan gugup dan canggung, terkekeh pelan hampir tak bersuara wanita berlesung pipi itu menanggapi. Sekeras apapun ia berusaha, seorang Kirana Zendaya yang berada di balik kemudi tetaplah sosok yang kaku."Ada orang yang bisa dipercaya tapi enggak bisa diajak kerja sama, tahu enggak?" tanya Rana lagi seraya memandang restoran yang ada di seberang jalan setelah menghentikan mobil di sisi kiri jalan, "duh ... lapar," lanjutnya kemudian menoleh ke arah wanita asing
"Setop!" seru seorang pria sambil memukul bodi belakang mobil yang hendak parkir, membantu sang istri yang baru saja pulang melembur dengan segala kepenatan dan keluhan yang harus siap dihadapi.Menguap lebar wanita bersetelan semi formal itu keluar dari mobil, jam sudah menunjukkan angka 20.44, mendekati angka untuk wanita cantik ini tidur. Wajar saja, pikir pria itu tersenyum simpul melihat sang istri amat lelah."Ada paket sialan lagi di mobil, aku mau langsung mandi," ucap wanita itu melangkah masuk dan meninggalkan suaminya yang langsung membuka pintu belakang mobil.Bergegas wanita bernama Kirana Zendaya itu masuk ke dalam kamarnya, melempar tas kerja dan tas selempangnya sembarangan. Mengambil baju tidur dan berjalan malas menuju kamar mandi, besar rasanya tidak ingin mandi karena rasa kantuk, namun rasa jijik dan penat setelah beraktivitas seharian lebih besar dari pada kehendak malasnya.Aktivitas yang bukan lagi melelahkan fisik, tapi juga mental, pikiran, dan kesabaran. Sem
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut