Waktu demi waktu berlalu, jarum terus berputar tak kenal lelah dan bosan selagi ada daya yang dibutuhkan. Menjalani hari seolah sebagaimana mestinya, meninggalkan suatu lokasi yang menjadi tempat berdiam diri lebih dari setengah hari dengan semilyar tuntutan, keluhan, emosi terpendam, dan tangisan yang gagal diluap.
"Akhirnya ...," desah seorang wanita dengan leganya, seraya menutup satu map dari dokumen terakhir yang ia urus hari ini.Bersandar secara utuh badan itu di kursi yang dapat berputar 360 derajat, berulang kali napas ditarik dari hidung dan diembus perlahan dari mulut. Penat yang sebenarnya sama sekali tidak berkurang hanya dari embusan napas puluhan kali, tapi cukup untuk mengatur taluan jantung yang mungkin sudah bosan untuk berdetak.Dering dan getar ponsel terdengar jelas, terbuka lagi mata yang sudah terpejam malas dalam lelah, “dunia sibuk banget sih,” gerutunya sambil mengulurkan tangan ke tengah meja kerja, mengambil benda pipih berteknologi yang terus"Aku cuma teringat kebodohanku dulu," jawab Kalil lalu memutar kunci mobil, menyalakan kendaraan roda empat dan mendiamkannya sejenak sambil berpangku tangan di setir, menatap lurus ke barisan mobil di seberangnya, "andai aku enggak ikuti perkataan dan ajakan Tomi," lanjutnya menghela napas dan mengatur persneling untuk mulai berkendara.Terdiam Rana mendengarnya, apa ini yang diartikan sebagai suatu penyesalan? Kenapa terasa aneh? Bagi Rana selama ini, penyesalan bekerja dalam duka dan ketakutan, tapi kenapa Kalil terbilang datar dan membentuk perandaian diri di masa lalu?"Hm ...," deham Rana bingung untuk menanggapi, walau waktu sudah berlalu dan mungkin jawaban Kalil tadi sudah basi bila mengingat posisi mereka kini berada di antara kemacetan, "yang penting kamu sudah sadar, menyesali itu, dan mau berubah jadi lebih baik, kan?"Hah? Apa?Terkatup rapat mata dan bibir Rana usai berucap, seolah jika telinga bisa saja ditutupnya tanpa bantuan tangan seperti mata den
Satu bulan sudah berlalu sejak obrolan antara Kalil dan Rana di meja makan, sudah lebih dari satu bulan juga sejak Rana bertemu dengan Fafa dan membicarakan banyak hal, dan sudah lebih dari satu bulan sejak tawaran berteman diutarakan melalui sambungan telepon. Obrolan serius dan tawaran yang kini sudah tidak membuatnya merasa lelah, tidak ada lagi hasrat menunggu jawaban dari kotak misterius terakhir, justru cenderung berharap agar tidak ada kotak itu dan Fafa melupakan semuanya."Nifa," panggil Rana melongokan kepalanya, memanggil seorang wanita yang pernah amat dipercaya hingga urusan pribadi, wanita yang juga berkhianat demi sejumlah nominal, tapi wanita ini juga yang masih tetap dipercaya untuk urusan pekerjaan, karena sikap profesionalnya yang mampu membatasi urusan pribadi dengan pekerjaan. Walau masih seringkali canggung dan menghindari kontak mata, tapi antara Rana dan wanita ini memiliki kesamaan dalam membatasi urusan di lingkungan kerja."Iya, bu?""Sini," tu
Tak pernah dalam hidup Rana dikenalkan arti dari permintaan maaf sesungguhnya, tak pernah pula dalam hidup Rana dikenalkan arti merendah untuk menebus rasa bersalah, atau mungkin hidupnya tak pernah dikenalkan arti dari rasa bersalah yang mendekam di benak. Saling terdiam satu sama lain tanpa mengikat diri dalam kontak mata, rasa bersalah menjalar dalam diri Rana dengan cepat karena mengambil kesimpulan hanya dari cerita Fafa.Di sisi lain, rasa muak dan lelah bersama malu kembali mendekap Nifa dalam kegelapan diri yang telah lama tak datang. Pernyataan tenaga ahli yang berkata bahwa Nifa sudah pulih dari trauma, dan mampu memaafkan keadaan, ternyata tidak dapat membuat semuanya tetap stabil saat hal buruk itu kembali diceritakan."Kamu pucat, ke pusat kesehatan kantor dulu saja," ucap Rana menyadari berkurangnya kesegaran di wajah Nifa, walau terlihat wanita itu hanya diam dan celingak-celinguk, tapi Rana tahu, tangan Nifa sedang bermain di bawah meja untuk menyembunyikan k
Entah.Tidak tahu.Tidak paham.Tidak mengerti.Tidak memahami.Tidak lagi berharap.Tidak ingin melihatnya.Terpejam mata Rana setelah menutup kotak itu perlahan, dan usai ia berteriak memanggil sang suami dengan nama lengkap. Terseok-seok langkah Rana terasa berat untuk sekadar menuju gerbang rumahnya, melihat Kalil yang berlari untuk membuka gembok dan gerbang rumah, "kok sudah pulang? Enggak kasih kabar? Kan bisa aku jemput."Terdiam membisu Rana tanpa sedikitpun melirik ke suaminya, pria yang masih ia pikirkan untuk menerima ke dalam hati, pria yang masih dipertimbangkan untuk tetap bersama dengan membuka hati, dan pria yang sedikit-banyak mengetahui dirinya selama di rumah. Tapi kini, pria itu juga yang sudah mengecewakan bahkan sebelum hati ini dibuka. Lantas, benarkah tidak ada lelaki yang bisa dipercaya?"Kamu ada masalah, Ran?" kata Kalil bertanya setelah terdengar gerbang kembali digembok, langkah cepatnya mengejar sang istri yang terli
"Ran," panggil sebuah suara dari seorang pria mengetuk pintu kamarnya, "jangan aneh-aneh, Ran. Kamu sudah dua jam di kamar, belum mandi atau makan," lanjut pria itu terdengar khawatir.Kekhawatiran yang haruskah dipertanyakan? Pria yang tinggal seatap dalam jalinan pernikahan, jalinan yang juga dimulai dengan kepalsuan demi tujuan masing-masing dan kesepakatan bermaterai resmi depan notaris, jalinan yang sudah berjalan lebih dari satu tahun tanpa kewajiban dan hak masing-masing sebagaimana suami istri. Kepalsuan macam apa yang bisa bertahan lebih dari satu tahun? Kepalsuan macam apa yang secara aneh penuh kesialan, kini satu persatu kesepakatan dilanggar dengan dalih peduli?"Iya!" serunya menjawab singkat.Dua jam untuk berdebat dengan hati dan pikiran terbilang sangat singkat, bukan? Namun, kenapa dikhawatirkan? Apa yang harus dikhawatirkan?Dua bulan pertama pernikahan, semua berjalan dengan tidak warasnya. Suami dipecat secara tidak hormat bersamaan dengan SP-3, setelah berulang k
[Masa Kini]Rumah susun yang banyak disewakan pemilik atau sekadar dikosongkan untuk investasi, membuat gedung dengan sepuluh lantai itu terlihat seperti indekos tanpa ibu kos. Karena setiap penghuni membayar pada pemilik yang berbeda, walau ada beberapa yang benar-benar dihuni keluarga kecil, tapi kesan bahwa rumah susun itu indekos murah di pusat kota tidak bisa hilang begitu saja."Ini sebenarnya rumah susun yang diperuntukkan pekerja jarak jauh, biar enggak ada yang terlambat lagi, biasalah perusahaan besar pusat kota," ujar seorang pria yang kini berbadan cukup gempal, dengan rambut yang berantakan, "tapi para pemilik yang bisa beli dengan potong gaji, lebih pilih buat kosongkan tempatnya buat investasi atau disewakan jadi indekos," lanjut pria yang kini berusia 27 tahun, dua tahun lebih tua dari sang istri tapi tak jarang lebih kekanakkan dari pada sosok yang seharusnya ia pimpin dan jaga."Iya, tahu kok," jawab sang istri bernama Kirana Zendaya, wanita yang lahir besar sebagai
"Terus karena aku risih ya, banyak kerjaan tapi harus menanggapi dua tua bangka bau tanah itu. Padahal ada anak kesayangan mereka yang sudah nikah, belum beranak pinak, tapi aku yang dikejar buat nikah dan cepat beranak, apa enggak gila?" oceh Rana yang sudah mulai terpancing emosinya, umpan kecil Den berhasil dimakan walau belum terkena kail, "akhirnya aku cari orang yang mau nikah tapi cuma untuk formalitas sampai kakakku hamil, jadi aku enggak akan berperan sebagai istri dan dia juga enggak akan berperan sebagai suami. Enggak ada istilah hak dan kewajiban suami istri, kita cuma seatap karena sudah satu kartu keluarga dan tercatat sebagai pasangan.""Terus dia mau?" kata Den menunjuk Kalil yang cukup peka untuk segera membuka matanya, menatap tajam Den yang hanya tersenyum mengejek."Saat itu aku dan Kalil baru menyelesaikan satu proyek konflik perusahaan, aku sebagai Kepala Humas butuh berkas lama dan proses pemberkasan baru, kebetulan juga Kalil punya posisi sebagai Kepala Arsip,
"Oke, aku ada ide."Empat kata yang sontak membuat Rana membuka mata lebar, dan Kalil yang menatap temannya tidak percaya. Bagi Kalil, ini serius? Seorang Denandra Jamali bisa berpikir cepat? Hal yang biasa terjadi di kumpulan hanyalah, Denandra mengikuti hasil kesepakatan tanpa benar-benar berpikir atau berpendapat, sampai membuat Kalil pernah berpikir bahwa Denandra bisa bertahan hidup karena dia cerdas secara teori."Cepat amat," komentar Kalil mendapat senyuman miring mengejek dari temannya yang akrab disapa Den, "gimana idemu?" lanjut Kalil bertanya."Semalam Rana telepon dan bilang buat kita dekati Fafa, buat dia mau diajak ke dokter dan tes DNA. Rana juga bilang, semua dimulai pekan depan karena mau konfirmasi tujuan dari kotak itu dulu, betul?" tutur Den mengingat sambungan telepon mereka semalam, hal yang sebenarnya tidak perlu diungkit lagi karena terjadi kurang dari dua puluh jam. Tapi, bagi Den semua hal harus jelas dan terarah.Mengangguk serentak antara Rana dan Kalil, m
"Dia mau pinjamnya dua belas juta, oi," tukas Den berhasil membuat Rana dan Kalil membelalak terkejut, "sekarang gimana? Aku jadi mulai mempertanyakan visi-misi Rana sama semua ini," oceh Den mengembalikan ekspresi Rana yang begitu datar dalam diam.Sementara Kalil, sesekali melihat ke ponsel dan Rana, rasanya begitu aneh untuk terlibat dengan dua anak konglomerat ini. Yang dalam panggilan hanya sedikit beruntung, berhasil mengatur orang tuanya demi kelangsungan perusahaan, dan yang kini di hadapannya hampir tidak sangat beruntung, dibenci orang tua hanya karena kebebasan yang diinginkan.Seingat Kalil, belum ada dua menit keduanya terkekeh bahkan terbahak, karena celotehan Rana yang menceritakan kondisi Kalil dan Fafa di restoran tadi. Keduanya menertawakan keadaan yang menurut Kalil tidak lucu sama sekali, ekspresi Rana tadi yang tiba-tiba antusias kini jadi datar, dan Den yang tadi terdengar tertawa keras kini hanya diam.Sebenarnya apa yang dua anak konglomerat ini rasakan dan pik
Bertalu lebih cepat jantung Kalil saat keluar dari mobil setelah parkir di garasi rumah, terhela lagi dan lagi napasnya dengan kasar, ada kegusaran dalam hati dan pikiran meski tangan sedang memasang gembok di pagar rumah. Kegelisahan yang cukup mendebarkan, berhasil melambatkan langkah yang penuh keraguan memasuki rumah yang sudah gelap, khas rumah Kirana di malam hari."Kok baru pulang?"Tersentak Kalil dalam kesunyian dan kegelapan rumah, cahaya dari lampu jalan di gang perumahan pun mulai berkurang seiring pintu yang menutup perlahan. Terkatup rapat pula bibir pria itu kala mendengar suara istrinya bertanya, jelas ini lebih mengerikan dari apapun."Ini baru jam sebelas, belum tengah mal ....""Buat apa dua juta dua ratus?" tukas Rana seraya menyalakan lampu hias di pojok ruang tengah ini, terlihat samar Rana di temaramnya ruang dengan cahaya kuning yang rendah, "minta apa lagi perempuan gila itu? Cerita sini, oh iya lampu sekalian," lanjutnya meminta perkembangan rencana yang terd
"Kak.""Kak.""Kakak.""Kalil.""Kalil Nayaka!" seru seorang wanita teriak memanggil pria yang duduk di salah satu meja makan di restoran, pria yang hanya diam dan menatap lurus ke luar area restoran menengah atas ini.Menoleh terkejut pria dengan potongan khasnya cepak berponi, tersenyum kecut itu menahan sejuta emosi yang mendadak melesat jauh, "ini sandinya apaan? Kita putus enggak sampai enam bulan, kamu langsung ganti sandi kartu kredit begini," oceh wanita yang di depan meja kasir, sementara kasir pun hanya tersenyum canggung melihat dan mendengar pertengkaran sepasang kekasih."Ini kan kartu kredit punya istriku, jadi dia yang punya hak penuh buat ganti atau membatasi penggunaan," jawab Kalil melihat layar kecil dari alat pembayaran menggunakan kartu kredit, terbelalak matanya kala melihat nominal makan malam kali ini, "dua juta dua ratus?" tukasnya mendongak dan menatap tajam wanita berseragam itu."Iya, tadi pasangannya pesan menu terbaik kami," jawab kasir itu menanggapi emo
"Sudah paham semua peran dan tugas masing-masing, kan?" "Paham," jawab empat insan muda itu setelah duduk di dalam mobil. "Apa coba?" tukas pria di balik kemudi sambil memakai sabuk pengaman, memeriksa ulang pemahaman setiap orang terlibat. "Aku balik lagi jadi bucin ke Fafa, bahkan kalau bisa lebih bucin lagi karena hamil anakku," ucap pria yang duduk di sebelah jok pengemudi, memeriksa ulang sabuk pengaman yang sudah terpasang, "simpelnya, aku jadi orang yang ikuti cara main Fafa buat tahu semua informasi apapun itu." "Kamu?" "Aku punya peran yang hampir sama dengan Kalil, tapi aku harus dekati Tomi dan bersikap seolah menyesal pernah tolak dia, mau memulai hal baru, pura-pura punya dendam ke kakak sendiri, dan mendua kalau itu diperlukan," ujar wanita yang duduk di tengah di antara dua wanita lain. "Kamu?" "Aku hanya urus pekerjaan sebagaimana mestinya, bahkan urus pekerjaan Rana dengan rapi kalau Rana harus pergi keluar untuk mengurus Tomi. Mengingat Tomi itu pengangguran ya
Angin hening menerpa empat insan muda itu, tidak adanya jawaban dari Nifa dan aura yang lebih kuat daripada Rana, cukup untuk membisukan dua pria yang ada di depan. Ekspresi masam dan tatapan tajam Nifa yang tidak pernah Rana lihat sebelumnya, kekesalan terlihat begitu nyata, seolah Nifa yang akan menghabisi Fafa dan gengnya hingga larut bersama kegilaan yang sudah banyak dilakukan.Dering ponsel Rana yang mengejutkan semua orang, membuat Den sontak menginjak rem bersamaan dengan napas yang terhembus kasar, mendapat banyak klakson dari belakang, "nada deringmu," tegur Den ketus melihat ke belakang melalui spion, mendapat banyak kendaraan yang sedang mengantre untuk mendahuluinya, harus siap telinga untuk mendengar klakson lanjutan.Wajar bila ada kekesalan di antara penggemar mengingat rem mobil itu dipijak dadakan, begitu dalam hingga hampir memberhentikan mobil di tengah jalan, "hehe maaf, biar terdengar saja kalau lagi di tempat ramai," jelas singkat Rana terkekeh ringan sebelum me
"Panggil orang kepercayaan kamu, Denandra tunggu di mobil parkiran bawah tanah. Ayo," tukas Kalil lalu menekan tanda tutup di lif dan meninggalkan Rana yang masih mematung terkejut, belum selesai Rana mencerna keadaan yang begitu cepat, pintu lif itu sudah tertutup dan bergerak turun.Apa-apaan? Kenapa coba? Maksudnya apa?Menoleh Rana ke area tim humas, terlihat Nifa yang hendak meninggalkan mejanya setelah memastikan semua bawaan. Dua tas map dibawa oleh wanita berbadan semampai itu, melangkah penuh kepercayaan diri yang khas menuju lif sampai matanya bertemu dengan netra Rana, "loh, belum ke mobil?" tanya Nifa cukup terkejut melihat ketua dari tim tempatnya bekerja sekaligus teman seperjuangan itu masih berdiam diri di depan lif."Tadi lifnya sudah terbuka, terus ada Kalil dan dia bilang ada temannya yang tunggu di bawah," jawab Rana pada Nifa yang terlihat menggerakkan jarinya di depan sensor tanda turun untuk lif, "dia kelihatan buru-buru gitu.""Temannya siapa?"Membisu Rana men
"Wanita murahan!""Pembawa sial!""Belum puas kau rebut Kalil dariku, dan ternyata Tomi pergi dariku karena kamu juga?""Jahat!""Apa sih kesalahanku sampai kamu sejahat ini?""Lepas! Cewek murahan begini memang harus dikasih pelajaran.""Doyan banget sama pacar orang.""Ya sudah iya dilepas dulu.""Rana, lawan Ran, jangan diam saja.""Lepas, Fa!""Semuanya bela cewek murahan ini.""Kamu yang murahan!" Satu bentakan terakhir dari Kalil berhasil membuat terlepasnya tangan Fafa dari rambut Rana, bentakan yang kini cukup terkenang di pikiran Rana dan menemaninya di ruang kerja dalam kesendirian.Tidak menyalakan lampu ruang kerja dan tidak membuka tirai penutup di kaca besar yang menghadap langsung ke area tim humas, menyendiri bersama rasa muak yang terjadi lagi dan lagi mendekap erat. Ada satu ketidaksangkaannya dalam benak, seorang Kalil Nayaka yang pernah menjadi budak dari Fauziah Aini, yang dengan sukarela menjadi cadangan, pada akhirnya membentak sang pujaan. Apa itu salah satu ta
Napas terengah lelah sesekali mendengus amarah menemani sepanjang malam yang tersisa usai pergulatan tak berguna, rambut kusut berantakan, dan baju kerja yang terlihat tak serapi sebelumnya. Menoleh dan melihat kesal ke pria di balik kemudi, "monyet rabies kayak begitu pernah kau cintai?" ketus wanita bernama Kirana Zendaya itu pada suaminya.Ketus dalam pertanyaan yang sebenarnya jelas tidak butuh jawaban, hanya ungkapan atas emosi yang memuncak tapi masih dalam kendali. Kembali lagi kepala itu menoleh ke sisi kiri dan melihat lancarnya jalan di hari yang menjelang tengah malam, tidak bisa dibilang jalan jadi sepi karena masih adanya lalu lalang kendaraan."Kal!" seru Rana bersedekap dada dan menarik napas panjang yang terdengar kasar, "ah, aku enggak tahu lagi, ini terlalu kacau. Aku enggak mau terlibat," ocehnya cenderung merajuk."Aku enggak mau terus bareng monyet rabies, makanya aku putuskan dia dan mau fokus sama kelinci anggora," tanggap Kalil membuat Rana sontak menoleh lagi,
"Tapi ternyata Fafa malah tambah rewel, banyak menuntut, dan lainnya, karena Kalil menghilang gitu saja setelah memutuskan Fafa sepihak," tutur Tomi tidak mendapat reaksi apapun dari Rana yang menatap lurus ke danau buatan, "aku tambah muak sama semuanya, aku capek sama kelakuan cewek kayak gitu. Aku putus sama dia tapi aku juga minta dia ke kantormu, aku mempersilakan dia buat kasih tahu semua kisah yang berkaitan tentang aku dan Jessica.""Biar apa suruh dia ke kantorku?" tukas Rana menoleh ke arah Tomi dan menatapnya tajam."Aku masih sayang Fafa tapi aku juga enggak mau terus-terusan berada di dekatnya. Aku tahu dia enggak punya kompetensi, dan aku tahu kamu individualis tapi cukup punya empati." Terhenti sejenak Tomi dalam ucapannya, menatap Rana lekat dan menunduk, "jadi aku suruh Fafa begitu biar setidaknya dia punya teman, atau bahkan pekerjaan buat pemasukan dia karena selama ini dia hidup dari uangku atau uang Kalil," lanjutnya berhasil membuat Rana kehilangan selera makan.