"Kak.""Kak.""Kakak.""Kalil.""Kalil Nayaka!" seru seorang wanita teriak memanggil pria yang duduk di salah satu meja makan di restoran, pria yang hanya diam dan menatap lurus ke luar area restoran menengah atas ini.Menoleh terkejut pria dengan potongan khasnya cepak berponi, tersenyum kecut itu menahan sejuta emosi yang mendadak melesat jauh, "ini sandinya apaan? Kita putus enggak sampai enam bulan, kamu langsung ganti sandi kartu kredit begini," oceh wanita yang di depan meja kasir, sementara kasir pun hanya tersenyum canggung melihat dan mendengar pertengkaran sepasang kekasih."Ini kan kartu kredit punya istriku, jadi dia yang punya hak penuh buat ganti atau membatasi penggunaan," jawab Kalil melihat layar kecil dari alat pembayaran menggunakan kartu kredit, terbelalak matanya kala melihat nominal makan malam kali ini, "dua juta dua ratus?" tukasnya mendongak dan menatap tajam wanita berseragam itu."Iya, tadi pasangannya pesan menu terbaik kami," jawab kasir itu menanggapi emo
Bertalu lebih cepat jantung Kalil saat keluar dari mobil setelah parkir di garasi rumah, terhela lagi dan lagi napasnya dengan kasar, ada kegusaran dalam hati dan pikiran meski tangan sedang memasang gembok di pagar rumah. Kegelisahan yang cukup mendebarkan, berhasil melambatkan langkah yang penuh keraguan memasuki rumah yang sudah gelap, khas rumah Kirana di malam hari."Kok baru pulang?"Tersentak Kalil dalam kesunyian dan kegelapan rumah, cahaya dari lampu jalan di gang perumahan pun mulai berkurang seiring pintu yang menutup perlahan. Terkatup rapat pula bibir pria itu kala mendengar suara istrinya bertanya, jelas ini lebih mengerikan dari apapun."Ini baru jam sebelas, belum tengah mal ....""Buat apa dua juta dua ratus?" tukas Rana seraya menyalakan lampu hias di pojok ruang tengah ini, terlihat samar Rana di temaramnya ruang dengan cahaya kuning yang rendah, "minta apa lagi perempuan gila itu? Cerita sini, oh iya lampu sekalian," lanjutnya meminta perkembangan rencana yang terd
"Dia mau pinjamnya dua belas juta, oi," tukas Den berhasil membuat Rana dan Kalil membelalak terkejut, "sekarang gimana? Aku jadi mulai mempertanyakan visi-misi Rana sama semua ini," oceh Den mengembalikan ekspresi Rana yang begitu datar dalam diam.Sementara Kalil, sesekali melihat ke ponsel dan Rana, rasanya begitu aneh untuk terlibat dengan dua anak konglomerat ini. Yang dalam panggilan hanya sedikit beruntung, berhasil mengatur orang tuanya demi kelangsungan perusahaan, dan yang kini di hadapannya hampir tidak sangat beruntung, dibenci orang tua hanya karena kebebasan yang diinginkan.Seingat Kalil, belum ada dua menit keduanya terkekeh bahkan terbahak, karena celotehan Rana yang menceritakan kondisi Kalil dan Fafa di restoran tadi. Keduanya menertawakan keadaan yang menurut Kalil tidak lucu sama sekali, ekspresi Rana tadi yang tiba-tiba antusias kini jadi datar, dan Den yang tadi terdengar tertawa keras kini hanya diam.Sebenarnya apa yang dua anak konglomerat ini rasakan dan pik
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d
"Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
Tin! Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecep
"Dia mau pinjamnya dua belas juta, oi," tukas Den berhasil membuat Rana dan Kalil membelalak terkejut, "sekarang gimana? Aku jadi mulai mempertanyakan visi-misi Rana sama semua ini," oceh Den mengembalikan ekspresi Rana yang begitu datar dalam diam.Sementara Kalil, sesekali melihat ke ponsel dan Rana, rasanya begitu aneh untuk terlibat dengan dua anak konglomerat ini. Yang dalam panggilan hanya sedikit beruntung, berhasil mengatur orang tuanya demi kelangsungan perusahaan, dan yang kini di hadapannya hampir tidak sangat beruntung, dibenci orang tua hanya karena kebebasan yang diinginkan.Seingat Kalil, belum ada dua menit keduanya terkekeh bahkan terbahak, karena celotehan Rana yang menceritakan kondisi Kalil dan Fafa di restoran tadi. Keduanya menertawakan keadaan yang menurut Kalil tidak lucu sama sekali, ekspresi Rana tadi yang tiba-tiba antusias kini jadi datar, dan Den yang tadi terdengar tertawa keras kini hanya diam.Sebenarnya apa yang dua anak konglomerat ini rasakan dan pik
Bertalu lebih cepat jantung Kalil saat keluar dari mobil setelah parkir di garasi rumah, terhela lagi dan lagi napasnya dengan kasar, ada kegusaran dalam hati dan pikiran meski tangan sedang memasang gembok di pagar rumah. Kegelisahan yang cukup mendebarkan, berhasil melambatkan langkah yang penuh keraguan memasuki rumah yang sudah gelap, khas rumah Kirana di malam hari."Kok baru pulang?"Tersentak Kalil dalam kesunyian dan kegelapan rumah, cahaya dari lampu jalan di gang perumahan pun mulai berkurang seiring pintu yang menutup perlahan. Terkatup rapat pula bibir pria itu kala mendengar suara istrinya bertanya, jelas ini lebih mengerikan dari apapun."Ini baru jam sebelas, belum tengah mal ....""Buat apa dua juta dua ratus?" tukas Rana seraya menyalakan lampu hias di pojok ruang tengah ini, terlihat samar Rana di temaramnya ruang dengan cahaya kuning yang rendah, "minta apa lagi perempuan gila itu? Cerita sini, oh iya lampu sekalian," lanjutnya meminta perkembangan rencana yang terd
"Kak.""Kak.""Kakak.""Kalil.""Kalil Nayaka!" seru seorang wanita teriak memanggil pria yang duduk di salah satu meja makan di restoran, pria yang hanya diam dan menatap lurus ke luar area restoran menengah atas ini.Menoleh terkejut pria dengan potongan khasnya cepak berponi, tersenyum kecut itu menahan sejuta emosi yang mendadak melesat jauh, "ini sandinya apaan? Kita putus enggak sampai enam bulan, kamu langsung ganti sandi kartu kredit begini," oceh wanita yang di depan meja kasir, sementara kasir pun hanya tersenyum canggung melihat dan mendengar pertengkaran sepasang kekasih."Ini kan kartu kredit punya istriku, jadi dia yang punya hak penuh buat ganti atau membatasi penggunaan," jawab Kalil melihat layar kecil dari alat pembayaran menggunakan kartu kredit, terbelalak matanya kala melihat nominal makan malam kali ini, "dua juta dua ratus?" tukasnya mendongak dan menatap tajam wanita berseragam itu."Iya, tadi pasangannya pesan menu terbaik kami," jawab kasir itu menanggapi emo
"Sudah paham semua peran dan tugas masing-masing, kan?" "Paham," jawab empat insan muda itu setelah duduk di dalam mobil. "Apa coba?" tukas pria di balik kemudi sambil memakai sabuk pengaman, memeriksa ulang pemahaman setiap orang terlibat. "Aku balik lagi jadi bucin ke Fafa, bahkan kalau bisa lebih bucin lagi karena hamil anakku," ucap pria yang duduk di sebelah jok pengemudi, memeriksa ulang sabuk pengaman yang sudah terpasang, "simpelnya, aku jadi orang yang ikuti cara main Fafa buat tahu semua informasi apapun itu." "Kamu?" "Aku punya peran yang hampir sama dengan Kalil, tapi aku harus dekati Tomi dan bersikap seolah menyesal pernah tolak dia, mau memulai hal baru, pura-pura punya dendam ke kakak sendiri, dan mendua kalau itu diperlukan," ujar wanita yang duduk di tengah di antara dua wanita lain. "Kamu?" "Aku hanya urus pekerjaan sebagaimana mestinya, bahkan urus pekerjaan Rana dengan rapi kalau Rana harus pergi keluar untuk mengurus Tomi. Mengingat Tomi itu pengangguran ya
Angin hening menerpa empat insan muda itu, tidak adanya jawaban dari Nifa dan aura yang lebih kuat daripada Rana, cukup untuk membisukan dua pria yang ada di depan. Ekspresi masam dan tatapan tajam Nifa yang tidak pernah Rana lihat sebelumnya, kekesalan terlihat begitu nyata, seolah Nifa yang akan menghabisi Fafa dan gengnya hingga larut bersama kegilaan yang sudah banyak dilakukan.Dering ponsel Rana yang mengejutkan semua orang, membuat Den sontak menginjak rem bersamaan dengan napas yang terhembus kasar, mendapat banyak klakson dari belakang, "nada deringmu," tegur Den ketus melihat ke belakang melalui spion, mendapat banyak kendaraan yang sedang mengantre untuk mendahuluinya, harus siap telinga untuk mendengar klakson lanjutan.Wajar bila ada kekesalan di antara penggemar mengingat rem mobil itu dipijak dadakan, begitu dalam hingga hampir memberhentikan mobil di tengah jalan, "hehe maaf, biar terdengar saja kalau lagi di tempat ramai," jelas singkat Rana terkekeh ringan sebelum me
"Panggil orang kepercayaan kamu, Denandra tunggu di mobil parkiran bawah tanah. Ayo," tukas Kalil lalu menekan tanda tutup di lif dan meninggalkan Rana yang masih mematung terkejut, belum selesai Rana mencerna keadaan yang begitu cepat, pintu lif itu sudah tertutup dan bergerak turun.Apa-apaan? Kenapa coba? Maksudnya apa?Menoleh Rana ke area tim humas, terlihat Nifa yang hendak meninggalkan mejanya setelah memastikan semua bawaan. Dua tas map dibawa oleh wanita berbadan semampai itu, melangkah penuh kepercayaan diri yang khas menuju lif sampai matanya bertemu dengan netra Rana, "loh, belum ke mobil?" tanya Nifa cukup terkejut melihat ketua dari tim tempatnya bekerja sekaligus teman seperjuangan itu masih berdiam diri di depan lif."Tadi lifnya sudah terbuka, terus ada Kalil dan dia bilang ada temannya yang tunggu di bawah," jawab Rana pada Nifa yang terlihat menggerakkan jarinya di depan sensor tanda turun untuk lif, "dia kelihatan buru-buru gitu.""Temannya siapa?"Membisu Rana men
"Wanita murahan!""Pembawa sial!""Belum puas kau rebut Kalil dariku, dan ternyata Tomi pergi dariku karena kamu juga?""Jahat!""Apa sih kesalahanku sampai kamu sejahat ini?""Lepas! Cewek murahan begini memang harus dikasih pelajaran.""Doyan banget sama pacar orang.""Ya sudah iya dilepas dulu.""Rana, lawan Ran, jangan diam saja.""Lepas, Fa!""Semuanya bela cewek murahan ini.""Kamu yang murahan!" Satu bentakan terakhir dari Kalil berhasil membuat terlepasnya tangan Fafa dari rambut Rana, bentakan yang kini cukup terkenang di pikiran Rana dan menemaninya di ruang kerja dalam kesendirian.Tidak menyalakan lampu ruang kerja dan tidak membuka tirai penutup di kaca besar yang menghadap langsung ke area tim humas, menyendiri bersama rasa muak yang terjadi lagi dan lagi mendekap erat. Ada satu ketidaksangkaannya dalam benak, seorang Kalil Nayaka yang pernah menjadi budak dari Fauziah Aini, yang dengan sukarela menjadi cadangan, pada akhirnya membentak sang pujaan. Apa itu salah satu ta
Napas terengah lelah sesekali mendengus amarah menemani sepanjang malam yang tersisa usai pergulatan tak berguna, rambut kusut berantakan, dan baju kerja yang terlihat tak serapi sebelumnya. Menoleh dan melihat kesal ke pria di balik kemudi, "monyet rabies kayak begitu pernah kau cintai?" ketus wanita bernama Kirana Zendaya itu pada suaminya.Ketus dalam pertanyaan yang sebenarnya jelas tidak butuh jawaban, hanya ungkapan atas emosi yang memuncak tapi masih dalam kendali. Kembali lagi kepala itu menoleh ke sisi kiri dan melihat lancarnya jalan di hari yang menjelang tengah malam, tidak bisa dibilang jalan jadi sepi karena masih adanya lalu lalang kendaraan."Kal!" seru Rana bersedekap dada dan menarik napas panjang yang terdengar kasar, "ah, aku enggak tahu lagi, ini terlalu kacau. Aku enggak mau terlibat," ocehnya cenderung merajuk."Aku enggak mau terus bareng monyet rabies, makanya aku putuskan dia dan mau fokus sama kelinci anggora," tanggap Kalil membuat Rana sontak menoleh lagi,
"Tapi ternyata Fafa malah tambah rewel, banyak menuntut, dan lainnya, karena Kalil menghilang gitu saja setelah memutuskan Fafa sepihak," tutur Tomi tidak mendapat reaksi apapun dari Rana yang menatap lurus ke danau buatan, "aku tambah muak sama semuanya, aku capek sama kelakuan cewek kayak gitu. Aku putus sama dia tapi aku juga minta dia ke kantormu, aku mempersilakan dia buat kasih tahu semua kisah yang berkaitan tentang aku dan Jessica.""Biar apa suruh dia ke kantorku?" tukas Rana menoleh ke arah Tomi dan menatapnya tajam."Aku masih sayang Fafa tapi aku juga enggak mau terus-terusan berada di dekatnya. Aku tahu dia enggak punya kompetensi, dan aku tahu kamu individualis tapi cukup punya empati." Terhenti sejenak Tomi dalam ucapannya, menatap Rana lekat dan menunduk, "jadi aku suruh Fafa begitu biar setidaknya dia punya teman, atau bahkan pekerjaan buat pemasukan dia karena selama ini dia hidup dari uangku atau uang Kalil," lanjutnya berhasil membuat Rana kehilangan selera makan.