Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua.
Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab disapa Nifa. Wanita cantik yang bisa dikatakan menjadi satu-satunya rekan kerja Rana, namun juga yang dapat diandalkan dari divisi humas untuk bertugas keluar kantor. Bukan sebagai wakil, tapi hanya untuk menemani dan membantu Rana, seperti sekarang ini. "Sudah hubungi yang bersangkutan?" tanya Rana lagi sambil melangkah keluar dari lif, kembali berjalan cepat tanpa memikirkan temannya yang ia anggap pasti dapat mengikuti. Memeriksa ulang persiapan contoh produk yang akan dibagikan sebelum perilisan produk secara resmi, bekerja sebagai humas yang memerlukan jiwa sosial tinggi jelas berbanding terbalik dengan kepribadian Rana. Meski begitu, Rana menikmati kesengsaraannya, demi sesuatu yang memiliki nominal tinggi untuk mengisi rekening setiap bulan. "Sudah," jawab Nifa tetap mengikuti langkah Rana yang penuh kepercayaan diri, terlihat jelas dari setiap sentakan langkahnya yang tegas dan berani. "Ya sudah ayo," tukas Rana mendapat dehaman singkat dari Nifa sebagai tanda setuju. Ada kalanya pertemanan di kantor harus pada batas tertentu, profesional bekerja tidak memiliki alasan untuk memaklumi apapun, namun pasti memiliki segala alasan untuk konsekuensi yang terjadi. Sungguh suatu hal yang cukup melelahkan, "ah!" keluh seseorang terdengar menggema di parkiran bawah tanah yang sepi. Membuat langkah kaki Rana sontak terhenti dengan tangan kanannya terangkat, mengisyaratkan Nifa untuk berhenti melangkah dan diam. Menyipit mata kepala humas itu ke segala arah dengan bibir yang terkatup rapat, "bonyokin saja dulu bonyokin." Mengernyit Rana kala mendengar suara menggema itu lagi, yang kali ini tidak terdengar samar berkat kesiapan dirinya untuk mendengar segala suara di parkiran bawah tanah. Sekarang bukan jam istirahat makan siang dan sekarang juga bukan jeda bekerja, sepinya parkiran bawah tanah membuat suara itu terdengar jelas. "Kamu duluan saja ke mobil saya," ucap Rana menyerahkan kunci mobilnya ke Nifa, memberi perintah kecil pada rekan kerja yang kini ia posisikan sebagai asistennya. "Suamimu, ya?" bisik Nifa justru mendapatkan lirikan tajam dari Rana, membuat Nifa spontan tersenyum canggung lalu bergegas menuju mobil Rana. Terhela napas wanita muda itu melihat perilaku dasar manusia yang memiliki rasa ingin tahu pada segala hal, seringkali rasa ingin tahu yang melewati batas dan berakhir dengan kritisnya nilai kesopanan pada diri seseorang. Kembali melangkah pelan Rana menuju sumber suara yang berada di tangga darurat, titik yang menjadi salah satu akses keluar dari parkiran bawah tanah, suara menggerutu yang menyebalkan semakin jelas terdengar. "Mau objektif, kagak? Oi, mau objektif kag ...." "Kalil Nayaka," panggil Rana bersedekap dada tepat di belakang seorang pria, yang sedang bersandar di kerangka tangga besi seraya memainkan ponselnya. Spontan berhenti mulut pria itu berucap secara acak, namun tidak dengan jemarinya yang terus bergerak aktif, bahkan kepalanya pun tidak menoleh untuk menjawab panggilan, "Kalil Nayaka," panggil Rana sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak. Begitu muak, sangat muak rasanya menghadapi seorang pria dewasa yang tiba-tiba mengenal gim daring. Wajarkah untuk usianya sekarang? Atau normalkah seorang pria bersetelan formal memainkan gim daring, sambil duduk bersandar di besi kerangka untuk tangga darurat parkiran bawah tanah kantornya? Jelas tidak! "Apaan? Jangan ganggu dulu, gue lagi mabar," pungkas Kal menjawab pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya, yang mungkin bahkan tidak ia ketahui, "perangin saja perangin," lanjutnya berbicara seorang diri tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Entar kamu kena SP lagi, Kal," tegur Rana menahan kekesalannya menghadapi pria berstatus sebagai suaminya sejak enam bulan lalu. "Shh ... sudah diam saja, kerjaan gue di atas sudah ada yang urus," sahut Kal acuh tak acuh pada teguran Rana, sahutan yang tentu membuat Rana terpaku sesaat dengan segala kebingungannya. Hanya kebingungan sederhana, bagaimana bisa ada seorang pria dewasa kecanduan gim daring sampai ke lingkungan kantor? Dimana letak profesionalnya sebagai pekerja, bahkan sebagai kepala arsip seperti Kal? "Ya sudah terserah kamu," tukas Rana meninggalkan Kal lalu bergegas menuju mobilnya, dan melanjutkan pekerjaan yang lebih penting untuk dilakukan. Terus menghela napas sepanjang langkah menuju mobil, sesekali mengulum senyum untuk menyamarkan raut kekesalan yang mungkin ada. Sampai ia melihat mobilnya yang sudah menyala, bagi Rana kini sudah cukup rasa dan pikiran personal di lingkungan kerja, harus kembali pada jiwa profesional sebagai pekerja. Bruk! Pintu mobil tertutup kasar, mengejutkan seorang wanita yang sedang memainkan ponsel di jok penumpang sebelah pengemudi, "kaget aku, Ran," ucap Nifa pada rekan kerjanya yang hanya mengulum senyum masam dalam sekejap mata, "mau langsung, kah?" lanjutnya bertanya saat melihat Rana mengenakan sabuk pengaman. "Iya-lah. Taruh ponselnya, balik kerja," titah Rana menjawab, jawaban yang sangat memperlihatkan betapa hancurnya suasana hati seorang Kirana Zendaya. "Hm," deham Nifa justru mengulurkan ponselnya, menunjukkan percakapan grup tentang Rana dan Kal. Sontak, Rana mengambil alih ponsel Nifa dan membiarkan sang pemilik gawai kembali terkejut akan perilakunya. Membaca tiap pesan dari berbagai orang dengan nama kontak maupun yang tidak tersimpan kontaknya oleh Nifa, berbagai pendapat dan pemikiran tentang Rana menikah dengan Kal terus bergulir, sampai Rana menggerakkan jemarinya untuk menyusuri pesan terdahulu. Sebuah pesan rekaman suara ditekan Rana untuk diputar, celotehan dan tawa pria menjadi pembuka sampai suara Kal terdengar jelas, "baru juga SP-1. Gue yakin sih, entar bini gue pasti tolong karir gue. Cewek kayak Rana, gengsinya tinggi cuy, enggak mungkin dia mau punya suami pengangguran." Terdiam Rana memegang ponsel Nifa dengan pandangan lurus ke area parkir bawah tanah, sorot mata tajamnya dengan tangan hampir mengepal pada ponsel hingga mengkhawatirkan sang pemilik gawai. Walau banyak yang membicarakan sikap individualis Rana, banyak juga orang yang Rana tidak kenal, tapi di percakapan grup itu hampir semua membelanya. Apa artinya semua ini bagi nilai sosial? "Ran, aku dan semua orang di kantor ini sebenarnya penasaran. Kok bisa kamu yang enggak pernah bergaul, tiba-tiba nikah sama Kal yang dia memang sebanyak itu temannya?" ucap Nifa berhasil mengalihkan pandangan Rana ke arahnya perlahan, "terus juga ya kalau aku boleh berpendapat, kayaknya kamu memang harus bantu dia deh, Ran. Seorang kepala arsip yang jadi suami kepala humas judes dapat SP-1, itu sudah jadi gosip panas banget, jangan sampai dipanaskan lagi dengan kabar pemecatan Kal. Bisa habis kamu digoreng sama semua orang." "Kalau Kal memang enggak kompeten, biarlah perusahaan pecat dia. Dia memang suamiku, tapi bukan berarti aku harus nepotisme demi dia," sahut Rana sambil menyodorkan benda pipih di tangan untuk kembali ke pemiliknya, dan dengan acuh tak acuh pula ia bersiap untuk berkendara. "Tapi, Ran. Aku khawatir kam ...." "Sudahlah, jangan pusingkan urusan pribadiku," pungkas Rana memotong ucapan Nifa dan mulai melajukan mobilnya. Memangkas habis pembicaraan tentang Kal dan pernikahannya, bagi Rana kini biarlah urusan kantor memiliki tembok besar dan kokoh sebagai pembatas dengan urusan pribadinya."Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
Tin! Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecep
"Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran."Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat."Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi.Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi
"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring."Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya."Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia eng
"Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
"Selanjutnya, apa?""Apanya yang selanjutnya?""Aku enggak pahan rencana kamu.""Aku sudah pernah jelaskan loh.""Aku lupa.""Dasar bodoh."Deg!Perdebatan antara seorang wanita dan seorang pria di suatu kafe, mengantarkan rasa sakit hati bagi wanita bersetelan blus hitam itu. Warna pakaian yang menggambarkan suasana hatinya kini, penuh duka dan kecewa sejak dua pria yang ia andalkan memutuskan untuk berfokus pada istri masing-masing. Satu di antara dua pria andalannya, menghilang begitu saja, mengusir saat ditemui dan memblokir semua kontak komunikasi, terlihat seperti tidak pernah saling mengenal satu sama lain, pria jahat yang dengan mudah bertingkah seolah tidak pernah terjadi apapun. Sedangkan seorang pria lainnya, pergi meninggalkan namun membantunya membuat skenario untuk mencari sumber penghasilan baru, tetapi skenario itu terlalu rumit untuk otak payah dengan logika tidak berguna.Pada akhirnya, lagi dan lagi semua harus dikatakan, bahwa mema
"Ran," panggil seorang pria yang sedari tadi terus mengamati wanitanya, melihat ke arah wanita yang hanya menunduk dan menyuap sarapan. Seolah enggan untuk sekadar mengangkat kepala, seolah tak ada rasa penasaran pada hal sekitar, dan mungkin pula seolah makan sendirian tanpa siapapun."Hm?" sahut wanita itu berdeham singkat, lagi dan lagi terlihat seperti tidak ada keinginan untuk sekadar mengangkat kepala atau melirik ke lawan bicara."Kamu kenapa?" tanya pria bernama Kalil Nayaka, pria berusia 27 tahun yang memiliki keinginan untuk menjadi lebih baik, walau semua yang telah dilakukan tidak pantas dimaafkan.Berselingkuh, membawa wanita lain ke kamar sang istri, berulang kali mencoba melanggar kesepakatan pra-nikah, memakai kartu kredit yang sebenarnya ditujukan untuk bisnis keluarga, dan pesta alkohol sampai membuat mobil istri rusak. Bagi Kalil yang paling parah adalah saat memutuskan untuk menikahi Rana, dan membuat wanita itu harus berada dalam lingkaran setan yang
"Kirana!" Tersenyum kecut Kirana mengangkat kedua alisnya menanggapi emosi yang mendadak tinggi, terluap cepat tak terkendali dari suara yang tiba-tiba membentak. Terkejut? Tentu tidak. Jantung Rana dilahirkan untuk menjadi bagian dari sosok yang kebal akan segala hal di dunia keji, jantung Rana juga tumbuh dan berkembang bersama caci maki berkedok nasihat dengan suara tinggi. Sekadar bentakan belaka itu, hanya sampah yang bisa cepat didaur ulang. Terdiam dua wanita itu saling bertukar pandang, netra yang menatap tajam dengan wajah memerah dan napas menderu cepat, jelas menggambarkan betapa tingginya emosi yang ada di dalam benak, "ah kelamaan," ketus wanita muda yang datang bertamu tanpa izin dan tanpa undangan. Bergerak santai tangannya mengeluarkan sebuah kartu kredit hitam, warna kartu elegan yang menjadi tanda prioritas di salah satu bank swasta ternama, warna kartu elegan yang juga menjadi tanda bahwa tidak ada batas penggunaan, dan kart
Hanya ada satu dari seribu hal membingungkan di dunia yang bisa dijawab, sisanya hanya angan belaka yang dipaksa logika terbatas untuk dapat dijawab. Menyakitkan? Tentu saja. Tapi bukan manusia namanya, jika tidak memiliki cara untuk bertahan dari segala hal, termasuk melegakan dahaga keingintahuannya yang tak terbatas. Pertanyaan demi pertanyaan terjawab, pernyataan demi pernyataan diketahui, bukti demi bukti dikumpulkan, dan saksi demi saksi silih berganti dengan berbagai pengakuan yang bisa saja penuh kebohongan yang menguntungkan sebelah pihak. Hanya satu kepasrahan kini yang akan ditempuhnya dengan tekad, bukan dengan keyakinan dan kepercayaan, tapi hanya dengan tekad yang mungkin saja bisa dikatakan konyol. Berjalan lunglai wanita bersetelan semi formal, menutup pintu mobil yang terparkir depan salah satu rumah mewah di pemukiman elit. Satu dua napas ia hembuskan kasar sebelum menekan bel, sudah muak rasanya untuk berurusan dengan manusia yang bahkan jumlah
Terhela napas wanita muda itu menundukkan kepalanya, sedikit memiringkan badan dan meluruskan kedua tangan, membiarkan kepala bersandar penuh ke meja lalu memejamkan mata dengan pasrah. Ada rasa yang sangat besar dalam diri untuk memanfaatkan jabatan, tapi itu bukanlah tujuan sesungguhnya, dan itu juga bukanlah keinginan hatinya. "Ah!" serunya mengeluh singkat lalu kembali duduk tegak, mengangkat gagang telepon kantor dan menekan beberapa nomor yang menjadi kode untuk menghubungi divisi lain, "hubungkan saya langsung ke wakil kepala arsip." Wakil kepala arsip, pria muda yang ia tahu menjadi teman dekat suaminya saat masih bekerja, teman dekat yang ia tahu juga berulang kali meminta sang suami berhenti bermain gim di jam kerja, dan teman dekat juga yang beberapa kali mengerjakan pekerjaan suaminya demi menyembunyikan perilaku malas saat itu. Permintaan dihubungkan langsung, bukan berarti permintaan untuk berbicara melalui telepon, melainkan pengajuan permohonan ta
Membisu dalam kesendirian seorang wanita di ruang kerjanya, sepanjang malam dan pagi sudah dihabisinya waktu untuk sendiri. Satu rapat tim dan satu rapat hasil perilisan produk baru dilewatkannya dengan sengaja, tidak mengutus siapapun dari tim humas untuk rapat hasil, dan hanya mengandalkan notula yang akan didapat. Bisakah? Sebenarnya bisa saja, dan kerap kali dilakukan oleh berbagai orang dari berbagai jabatan dengan alasan beragam. Namun, ini adalah hal pertama yang seorang Kirana Zendaya lakukan, hal yang menjadi catatan merah pertama, dan hal yang cepat Rana sadari justru menjadi beban baru. "Ah ...," desahnya mengeluh seorang diri di ruang kerja yang temaram, ruangan yang sengaja ia tutup tirainya, dan meminta anggota humas untuk tidak menemuinya dengan alasan apapun. Berat? Sangat. Manusia normal dan manusia waras mana, yang baru dikhianati sahabat, dibohongi kakak, tahu bisnis keluarga terancam karena kebodohan cinta, tahu bahwa perni
"Aku memutuskan untuk berteman sama Fafa." Enam kata terucap dari balik bibir tipis merona si wanita cantik, suara lembut yang menyenangkan untuk selalu didengar. Enam kata terucap yang tentu langsung mengejutkan dan membuat napas seolah terhenti sesaat, "Fafa tahu?" Mengangguk Rana menjawabnya, anggukan kepala yang sangat tidak diharapkan dan sangat tidak ingin dilihat. Terhela napas Kalil dengan desahan pasrah yang keluar bebas dari mulutnya, "kamu tahu enggak sih Fafa itu cewek kayak gimana? Apa alasan kamu ajak dia berteman? Kapan kamu ajaknya? Kenapa enggak bilang atau tanya dulu ke aku?" Menyipit mata Rana mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan Kalil, menatap tajam mata sang suami dengan ketegasan yang jelas terlihat dari raut wajah orientalnya, "kok atur aku? sejak kapan atur kehidupan jadi bagian hal yang diizinkan dari kesepakatan nikah kita? Memangnya pertemanan juga sampai ke tahap atur-atur gini?" cecar Rana mengembalikan pert
Terbuka lebar mata pria berusia 27 tahun itu, terkejut ia mendengar pernyataan wanita di hadapannya. Hadiah yang didapat dari menjalin pernikahan dengan puluhan kesepakatan resmi, ternyata bukanlah benar-benar hadiah. Kartu hitam tanpa batas penggunaan, kartu hitam yang dengan bangga diserahkan padanya sebagai hasil dari keberhasilan memenangkan taruhan, dan kartu hitam yang umumnya menjadi pernyataan tak bersuara akan derajat sosial, ternyata hanyalah kartu dari bisnis keluarga yang masih terikat laporan. Sekarang harus apa? Marah pada pemberi kartu? Tapi, apa gunanya marah? Apa marah dapat menyelesaikan masalah? Ataukah ini bukan masalah? "Sini," tukas wanita bernama Kirana Zendaya itu merebut sumpitnya dari tangan Kalil yang masih mematung, Rana tahu bahwa Kalil merasa dibohongi atau mungkin ditipu. Fakta dan kebenaran memang lebih sering menyakiti, kesakitan dan kekecewaan yang sebenarnya takkan pernah ada jika tidak diiringi harapan dan ekspektasi. Sayang seribu sayang, alih
Merengut dengan wajah memerah, mata yang sesekali melirik ke pria di hadapannya, saling berdiam diri sejak pelayan wanita pergi membawa menu tambahan yang dipesan. Mata yang teralih lagi dan lagi keluar ruangan, memandang air mancur dekat parkiran belakang restoran yang terlihat menarik dengan cahaya warna-warni. Ruang khusus dipesan dengan sengaja untuk mencairkan kecanggungan antar keduanya, justru kini membuat kecanggungan itu meningkat hanya karena ketidaksengajaan yang disadari. Memegang tangan suami depan umum, keinginan tetap bersama meski pandangan tidak lurus dan pikiran tidak fokus. Ketidaksengajaan yang menggelisahkan hati macam apa ini? Terhitung sejak menikah, enam bulan sudah menjalin hubungan dengan pria konyol di hadapannya, pria yang sedari tadi terus memandangnya tanpa alasan. Harus berkata apa? Harus bersikap bagaimana? Serba salah rasanya jika dilihat dan dipandangi begitu. Bukan risih, hanya bingung. Terhitung juga sejak pria menganggur, lima bulan sudah pria