Share

(2) Setelah Pernikahan [Revisi]

Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua.

Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya.

"Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran.

Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab disapa Nifa.

Wanita cantik yang bisa dikatakan menjadi satu-satunya rekan kerja Rana, namun juga yang dapat diandalkan dari divisi humas untuk bertugas keluar kantor. Bukan sebagai wakil, tapi hanya untuk menemani dan membantu Rana, seperti sekarang ini.

"Sudah hubungi yang bersangkutan?" tanya Rana lagi sambil melangkah keluar dari lif, kembali berjalan cepat tanpa memikirkan temannya yang ia anggap pasti dapat mengikuti.

Memeriksa ulang persiapan contoh produk yang akan dibagikan sebelum perilisan produk secara resmi, bekerja sebagai humas yang memerlukan jiwa sosial tinggi jelas berbanding terbalik dengan kepribadian Rana. Meski begitu, Rana menikmati kesengsaraannya, demi sesuatu yang memiliki nominal tinggi untuk mengisi rekening setiap bulan.

"Sudah," jawab Nifa tetap mengikuti langkah Rana yang penuh kepercayaan diri, terlihat jelas dari setiap sentakan langkahnya yang tegas dan berani.

"Ya sudah ayo," tukas Rana mendapat dehaman singkat dari Nifa sebagai tanda setuju.

Ada kalanya pertemanan di kantor harus pada batas tertentu, profesional bekerja tidak memiliki alasan untuk memaklumi apapun, namun pasti memiliki segala alasan untuk konsekuensi yang terjadi. Sungguh suatu hal yang cukup melelahkan, "ah!" keluh seseorang terdengar menggema di parkiran bawah tanah yang sepi.

Membuat langkah kaki Rana sontak terhenti dengan tangan kanannya terangkat, mengisyaratkan Nifa untuk berhenti melangkah dan diam. Menyipit mata kepala humas itu ke segala arah dengan bibir yang terkatup rapat, "bonyokin saja dulu bonyokin."

Mengernyit Rana kala mendengar suara menggema itu lagi, yang kali ini tidak terdengar samar berkat kesiapan dirinya untuk mendengar segala suara di parkiran bawah tanah. Sekarang bukan jam istirahat makan siang dan sekarang juga bukan jeda bekerja, sepinya parkiran bawah tanah membuat suara itu terdengar jelas.

"Kamu duluan saja ke mobil saya," ucap Rana menyerahkan kunci mobilnya ke Nifa, memberi perintah kecil pada rekan kerja yang kini ia posisikan sebagai asistennya.

"Suamimu, ya?" bisik Nifa justru mendapatkan lirikan tajam dari Rana, membuat Nifa spontan tersenyum canggung lalu bergegas menuju mobil Rana.

Terhela napas wanita muda itu melihat perilaku dasar manusia yang memiliki rasa ingin tahu pada segala hal, seringkali rasa ingin tahu yang melewati batas dan berakhir dengan kritisnya nilai kesopanan pada diri seseorang. Kembali melangkah pelan Rana menuju sumber suara yang berada di tangga darurat, titik yang menjadi salah satu akses keluar dari parkiran bawah tanah, suara menggerutu yang menyebalkan semakin jelas terdengar.

"Mau objektif, kagak? Oi, mau objektif kag ...."

"Kalil Nayaka," panggil Rana bersedekap dada tepat di belakang seorang pria, yang sedang bersandar di kerangka tangga besi seraya memainkan ponselnya.

Spontan berhenti mulut pria itu berucap secara acak, namun tidak dengan jemarinya yang terus bergerak aktif, bahkan kepalanya pun tidak menoleh untuk menjawab panggilan, "Kalil Nayaka," panggil Rana sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak.

Begitu muak, sangat muak rasanya menghadapi seorang pria dewasa yang tiba-tiba mengenal gim daring. Wajarkah untuk usianya sekarang?

Atau normalkah seorang pria bersetelan formal memainkan gim daring, sambil duduk bersandar di besi kerangka untuk tangga darurat parkiran bawah tanah kantornya? Jelas tidak!

"Apaan? Jangan ganggu dulu, gue lagi mabar," pungkas Kal menjawab pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya, yang mungkin bahkan tidak ia ketahui, "perangin saja perangin," lanjutnya berbicara seorang diri tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari ponsel.

"Entar kamu kena SP lagi, Kal," tegur Rana menahan kekesalannya menghadapi pria berstatus sebagai suaminya sejak enam bulan lalu.

"Shh ... sudah diam saja, kerjaan gue di atas sudah ada yang urus," sahut Kal acuh tak acuh pada teguran Rana, sahutan yang tentu membuat Rana terpaku sesaat dengan segala kebingungannya.

Hanya kebingungan sederhana, bagaimana bisa ada seorang pria dewasa kecanduan gim daring sampai ke lingkungan kantor? Dimana letak profesionalnya sebagai pekerja, bahkan sebagai kepala arsip seperti Kal?

"Ya sudah terserah kamu," tukas Rana meninggalkan Kal lalu bergegas menuju mobilnya, dan melanjutkan pekerjaan yang lebih penting untuk dilakukan.

Terus menghela napas sepanjang langkah menuju mobil, sesekali mengulum senyum untuk menyamarkan raut kekesalan yang mungkin ada. Sampai ia melihat mobilnya yang sudah menyala, bagi Rana kini sudah cukup rasa dan pikiran personal di lingkungan kerja, harus kembali pada jiwa profesional sebagai pekerja.

Bruk!

Pintu mobil tertutup kasar, mengejutkan seorang wanita yang sedang memainkan ponsel di jok penumpang sebelah pengemudi, "kaget aku, Ran," ucap Nifa pada rekan kerjanya yang hanya mengulum senyum masam dalam sekejap mata, "mau langsung, kah?" lanjutnya bertanya saat melihat Rana mengenakan sabuk pengaman.

"Iya-lah. Taruh ponselnya, balik kerja," titah Rana menjawab, jawaban yang sangat memperlihatkan betapa hancurnya suasana hati seorang Kirana Zendaya.

"Hm," deham Nifa justru mengulurkan ponselnya, menunjukkan percakapan grup tentang Rana dan Kal.

Sontak, Rana mengambil alih ponsel Nifa dan membiarkan sang pemilik gawai kembali terkejut akan perilakunya. Membaca tiap pesan dari berbagai orang dengan nama kontak maupun yang tidak tersimpan kontaknya oleh Nifa, berbagai pendapat dan pemikiran tentang Rana menikah dengan Kal terus bergulir, sampai Rana menggerakkan jemarinya untuk menyusuri pesan terdahulu.

Sebuah pesan rekaman suara ditekan Rana untuk diputar, celotehan dan tawa pria menjadi pembuka sampai suara Kal terdengar jelas, "baru juga SP-1. Gue yakin sih, entar bini gue pasti tolong karir gue. Cewek kayak Rana, gengsinya tinggi cuy, enggak mungkin dia mau punya suami pengangguran."

Terdiam Rana memegang ponsel Nifa dengan pandangan lurus ke area parkir bawah tanah, sorot mata tajamnya dengan tangan hampir mengepal pada ponsel hingga mengkhawatirkan sang pemilik gawai. Walau banyak yang membicarakan sikap individualis Rana, banyak juga orang yang Rana tidak kenal, tapi di percakapan grup itu hampir semua membelanya. Apa artinya semua ini bagi nilai sosial?

"Ran, aku dan semua orang di kantor ini sebenarnya penasaran. Kok bisa kamu yang enggak pernah bergaul, tiba-tiba nikah sama Kal yang dia memang sebanyak itu temannya?" ucap Nifa berhasil mengalihkan pandangan Rana ke arahnya perlahan, "terus juga ya kalau aku boleh berpendapat, kayaknya kamu memang harus bantu dia deh, Ran. Seorang kepala arsip yang jadi suami kepala humas judes dapat SP-1, itu sudah jadi gosip panas banget, jangan sampai dipanaskan lagi dengan kabar pemecatan Kal. Bisa habis kamu digoreng sama semua orang."

"Kalau Kal memang enggak kompeten, biarlah perusahaan pecat dia. Dia memang suamiku, tapi bukan berarti aku harus nepotisme demi dia," sahut Rana sambil menyodorkan benda pipih di tangan untuk kembali ke pemiliknya, dan dengan acuh tak acuh pula ia bersiap untuk berkendara.

"Tapi, Ran. Aku khawatir kam ...."

"Sudahlah, jangan pusingkan urusan pribadiku," pungkas Rana memotong ucapan Nifa dan mulai melajukan mobilnya. Memangkas habis pembicaraan tentang Kal dan pernikahannya, bagi Rana kini biarlah urusan kantor memiliki tembok besar dan kokoh sebagai pembatas dengan urusan pribadinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status