Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua.
Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab disapa Nifa. Wanita cantik yang bisa dikatakan menjadi satu-satunya rekan kerja Rana, namun juga yang dapat diandalkan dari divisi humas untuk bertugas keluar kantor. Bukan sebagai wakil, tapi hanya untuk menemani dan membantu Rana, seperti sekarang ini. "Sudah hubungi yang bersangkutan?" tanya Rana lagi sambil melangkah keluar dari lif, kembali berjalan cepat tanpa memikirkan temannya yang ia anggap pasti dapat mengikuti. Memeriksa ulang persiapan contoh produk yang akan dibagikan sebelum perilisan produk secara resmi, bekerja sebagai humas yang memerlukan jiwa sosial tinggi jelas berbanding terbalik dengan kepribadian Rana. Meski begitu, Rana menikmati kesengsaraannya, demi sesuatu yang memiliki nominal tinggi untuk mengisi rekening setiap bulan. "Sudah," jawab Nifa tetap mengikuti langkah Rana yang penuh kepercayaan diri, terlihat jelas dari setiap sentakan langkahnya yang tegas dan berani. "Ya sudah ayo," tukas Rana mendapat dehaman singkat dari Nifa sebagai tanda setuju. Ada kalanya pertemanan di kantor harus pada batas tertentu, profesional bekerja tidak memiliki alasan untuk memaklumi apapun, namun pasti memiliki segala alasan untuk konsekuensi yang terjadi. Sungguh suatu hal yang cukup melelahkan, "ah!" keluh seseorang terdengar menggema di parkiran bawah tanah yang sepi. Membuat langkah kaki Rana sontak terhenti dengan tangan kanannya terangkat, mengisyaratkan Nifa untuk berhenti melangkah dan diam. Menyipit mata kepala humas itu ke segala arah dengan bibir yang terkatup rapat, "bonyokin saja dulu bonyokin." Mengernyit Rana kala mendengar suara menggema itu lagi, yang kali ini tidak terdengar samar berkat kesiapan dirinya untuk mendengar segala suara di parkiran bawah tanah. Sekarang bukan jam istirahat makan siang dan sekarang juga bukan jeda bekerja, sepinya parkiran bawah tanah membuat suara itu terdengar jelas. "Kamu duluan saja ke mobil saya," ucap Rana menyerahkan kunci mobilnya ke Nifa, memberi perintah kecil pada rekan kerja yang kini ia posisikan sebagai asistennya. "Suamimu, ya?" bisik Nifa justru mendapatkan lirikan tajam dari Rana, membuat Nifa spontan tersenyum canggung lalu bergegas menuju mobil Rana. Terhela napas wanita muda itu melihat perilaku dasar manusia yang memiliki rasa ingin tahu pada segala hal, seringkali rasa ingin tahu yang melewati batas dan berakhir dengan kritisnya nilai kesopanan pada diri seseorang. Kembali melangkah pelan Rana menuju sumber suara yang berada di tangga darurat, titik yang menjadi salah satu akses keluar dari parkiran bawah tanah, suara menggerutu yang menyebalkan semakin jelas terdengar. "Mau objektif, kagak? Oi, mau objektif kag ...." "Kalil Nayaka," panggil Rana bersedekap dada tepat di belakang seorang pria, yang sedang bersandar di kerangka tangga besi seraya memainkan ponselnya. Spontan berhenti mulut pria itu berucap secara acak, namun tidak dengan jemarinya yang terus bergerak aktif, bahkan kepalanya pun tidak menoleh untuk menjawab panggilan, "Kalil Nayaka," panggil Rana sekali lagi sambil memejamkan matanya sejenak. Begitu muak, sangat muak rasanya menghadapi seorang pria dewasa yang tiba-tiba mengenal gim daring. Wajarkah untuk usianya sekarang? Atau normalkah seorang pria bersetelan formal memainkan gim daring, sambil duduk bersandar di besi kerangka untuk tangga darurat parkiran bawah tanah kantornya? Jelas tidak! "Apaan? Jangan ganggu dulu, gue lagi mabar," pungkas Kal menjawab pemilik suara yang sedari tadi memanggilnya, yang mungkin bahkan tidak ia ketahui, "perangin saja perangin," lanjutnya berbicara seorang diri tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Entar kamu kena SP lagi, Kal," tegur Rana menahan kekesalannya menghadapi pria berstatus sebagai suaminya sejak enam bulan lalu. "Shh ... sudah diam saja, kerjaan gue di atas sudah ada yang urus," sahut Kal acuh tak acuh pada teguran Rana, sahutan yang tentu membuat Rana terpaku sesaat dengan segala kebingungannya. Hanya kebingungan sederhana, bagaimana bisa ada seorang pria dewasa kecanduan gim daring sampai ke lingkungan kantor? Dimana letak profesionalnya sebagai pekerja, bahkan sebagai kepala arsip seperti Kal? "Ya sudah terserah kamu," tukas Rana meninggalkan Kal lalu bergegas menuju mobilnya, dan melanjutkan pekerjaan yang lebih penting untuk dilakukan. Terus menghela napas sepanjang langkah menuju mobil, sesekali mengulum senyum untuk menyamarkan raut kekesalan yang mungkin ada. Sampai ia melihat mobilnya yang sudah menyala, bagi Rana kini sudah cukup rasa dan pikiran personal di lingkungan kerja, harus kembali pada jiwa profesional sebagai pekerja. Bruk! Pintu mobil tertutup kasar, mengejutkan seorang wanita yang sedang memainkan ponsel di jok penumpang sebelah pengemudi, "kaget aku, Ran," ucap Nifa pada rekan kerjanya yang hanya mengulum senyum masam dalam sekejap mata, "mau langsung, kah?" lanjutnya bertanya saat melihat Rana mengenakan sabuk pengaman. "Iya-lah. Taruh ponselnya, balik kerja," titah Rana menjawab, jawaban yang sangat memperlihatkan betapa hancurnya suasana hati seorang Kirana Zendaya. "Hm," deham Nifa justru mengulurkan ponselnya, menunjukkan percakapan grup tentang Rana dan Kal. Sontak, Rana mengambil alih ponsel Nifa dan membiarkan sang pemilik gawai kembali terkejut akan perilakunya. Membaca tiap pesan dari berbagai orang dengan nama kontak maupun yang tidak tersimpan kontaknya oleh Nifa, berbagai pendapat dan pemikiran tentang Rana menikah dengan Kal terus bergulir, sampai Rana menggerakkan jemarinya untuk menyusuri pesan terdahulu. Sebuah pesan rekaman suara ditekan Rana untuk diputar, celotehan dan tawa pria menjadi pembuka sampai suara Kal terdengar jelas, "baru juga SP-1. Gue yakin sih, entar bini gue pasti tolong karir gue. Cewek kayak Rana, gengsinya tinggi cuy, enggak mungkin dia mau punya suami pengangguran." Terdiam Rana memegang ponsel Nifa dengan pandangan lurus ke area parkir bawah tanah, sorot mata tajamnya dengan tangan hampir mengepal pada ponsel hingga mengkhawatirkan sang pemilik gawai. Walau banyak yang membicarakan sikap individualis Rana, banyak juga orang yang Rana tidak kenal, tapi di percakapan grup itu hampir semua membelanya. Apa artinya semua ini bagi nilai sosial? "Ran, aku dan semua orang di kantor ini sebenarnya penasaran. Kok bisa kamu yang enggak pernah bergaul, tiba-tiba nikah sama Kal yang dia memang sebanyak itu temannya?" ucap Nifa berhasil mengalihkan pandangan Rana ke arahnya perlahan, "terus juga ya kalau aku boleh berpendapat, kayaknya kamu memang harus bantu dia deh, Ran. Seorang kepala arsip yang jadi suami kepala humas judes dapat SP-1, itu sudah jadi gosip panas banget, jangan sampai dipanaskan lagi dengan kabar pemecatan Kal. Bisa habis kamu digoreng sama semua orang." "Kalau Kal memang enggak kompeten, biarlah perusahaan pecat dia. Dia memang suamiku, tapi bukan berarti aku harus nepotisme demi dia," sahut Rana sambil menyodorkan benda pipih di tangan untuk kembali ke pemiliknya, dan dengan acuh tak acuh pula ia bersiap untuk berkendara. "Tapi, Ran. Aku khawatir kam ...." "Sudahlah, jangan pusingkan urusan pribadiku," pungkas Rana memotong ucapan Nifa dan mulai melajukan mobilnya. Memangkas habis pembicaraan tentang Kal dan pernikahannya, bagi Rana kini biarlah urusan kantor memiliki tembok besar dan kokoh sebagai pembatas dengan urusan pribadinya."Apa lagi ini?" tanya seorang wanita mendongakkan kepala saat melihat amplop putih terlempar ke meja di hadapannya, "surat peringatan kedua?" tukas wanita itu setelah membaca tulisan di depan amplop. "Entah, sensitif banget itu perusahaan. Padahal kerjaan gue juga tuntas dan aman, gue juga sudah berusaha lebih baik lagi sejak terima SP-1," jawab pria yang melempar amplop putih ke meja, "bicara dong ke bagian HRD atau langsung ke pimpinan, bantu suami lo ini," lanjutnya melihat wanita yang duduk santai di sofa sambil membuka amplop dan membaca isi surat yang ada. Terdiam wanita cantik yang akrab disapa Rana, mengabaikan ujaran pria yang berstatus sebagai suaminya, status dari hasil kesepakatan dengan segala halangan yang menyebalkan. Bergerak pelan netranya dari kiri ke kanan, membaca dengan cermat setiap huruf terangkai di surat, "bodoh," ucap Rana meletakkan lagi surat itu ke meja sambil menatap kesal suaminya. "Siapa yang bodoh? Gue? Aneh saja lo! Yang penting kan gue sudah selesa
"Argh!" erang seorang wanita sambil memegang keningnya, sementara tangan lain memegang ponsel yang sedang menunggu sambungan telepon, "angkat dong, aku mau berangkat kerja," keluhnya seorang diri. Waktu sudah menunjukkan angka 06.33, kegelisahan dan kepanikan benar-benar membuat kakinya tidak berhenti melangkah. Bolak-balik ke teras dan ruang utama rumah, berharap tipis pada seseorang yang ditunggunya untuk segera pulang. Sampai sambungan telepon pun terjawab, "halo." Suara parau terdengar jelas di telinga wanita bersetelan formal, napas teratur dengan dengkuran tipis amat sangat mengganggu indra pendengarannya. Tidak banyak kata lagi, wanita yang akrab disapa Rana itu mematikan sambungan telepon dan beralih ke kontak yang dapat ia hubungi. Jessica Danti, sang kakak yang tidak bekerja namun memiliki satu kendaraan yang jarang digunakan. "Halo, Kak. Bisa jemput aku sekarang, enggak? Aku sudah terlambat banget, mobil dibawa Kal enggak tahu kemana," ujar Rana cepat tanpa menunggu
Tin! Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecep
"Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran."Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat."Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi.Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi
"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring."Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya."Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia eng
"Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut