Tin!
Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecepatan, kegelisahan Rana yang terus menoleh ke belakang, mengendus hal yang diraba, sesekali membuka kaca mobil, dan terhenti untuk menoleh ke sang suami yang masih tenang menyetir, "kenapa?" tanya suami dari Rana tanpa menoleh untuk melihat ekspresi istrinya. "Kamu kemana tadi?" sahut Rana dengan pertanyaan juga. "Bensinnya utuh kok, sudah gue isi," jawab pria yang biasa disapa Kal itu membuat Rana sontak mengernyit, "kenapa lagi?" katanya bertanya setelah menoleh dan mendapati ekspresi Rana. "Kamu sama siapa tadi?" tanya Rana tidak mengindahkan urusan tangki bensinnya. "Apa pentingnya buat lo? Yang penting kan mobil lo enggak lecet, bensinnya tetap penuh, dan lo masih gue jem ...." "Mobil ini bau parfum banci," pungkas Rana menegaskan tujuannya bertanya, "ini mobil enggak jadi tempatmu berbuat, kan? Bisa sial ini mobil," lanjutnya membuat Kal spontan mengambil jalur kiri, dan menghentikan mobil usai menyalakan lampu darurat sebagai tanda. "Lo banyak tanya dari tadi karena lo kira gue bagian dari mer ...." Mengangguk cepat Rana sebelum Kal selesai berucap, membuat pria itu sontak terkekeh, "lo unik memang, pikiran lo liar dan bisa menciptakan dunia cuma karena asumsi pribadi," sambungnya mematikan lampu darurat dan kembali berkendara. "Jawab pertanyaanku dong," tukas Rana dengan ketusnya. "Aduh Rana ... Rana," kekeh Kal mengurangi kecepatan mobil, "gue pergi sama teman cewek, dia bukan banci, dan cuma keliling kota karena dia bosan di rumah. Jadi enggak usah khawatir mobil lo kena sial," lanjutnya mendapat deham singkat dari Rana. "Tapi kenapa parfumnya bau banci?" tanya Rana lagi setelah diam sejenak. "Definisi parfum bau banci itu gimana, Ran? Padahal tadi dia pakai parfum vanila," jawab Kal mempertanyakan cara berpikir wanita berstatus sebagai istrinya, status yang didasarkan pada kesepakatan untuk tujuan masing-masing. "Ya bau banci. Kayak melati kan bau kuntilanak." "Berarti kalau ada yang pakai parfum melati, lo bilang parfum kuntilanak? Kalau ada yang minum teh melati, lo bilang teh kuntilanak?" tukas Kal yang hanya disambut terangkatnya dua bahu Rana dan bibir yang merengut acuh tak acuh, "pantas lo enggak punya teman." "Enggak pengen juga," sambung Kepala Humas itu berhasil mengakhiri obrolan mereka, obrolan tanpa tujuan dan obrolan cenderung tidak guna bagi keduanya. *** Sisa akhir pekan yang diwarnai dengan segala hal malas telah berakhir, dua hari tiga malam lamanya Rana beraktivitas secara acak. Bergerak hanya jika benar-benar niat, makan hanya jika sangat lapar, bahkan ke toilet jika perut sudah terasa sakit. Benar-benar akhir pekan yang tidak jelas. Aktivitas kantor kembali dimulai untuk pekan kedua, melewati pekan pertama dengan berbagai tagihan, kebutuhan, dan keinginan hingga seolah melenyapkan bayaran hasil kerja selama satu bulan. Membuat berbagai perasaan dan suasana hati para pekerja, yang melanjutkan kegiatan dan pekerjaannya untuk bertahan hidup, atau mungkin hal lain yang dirasa cukup menarik. Sama halnya dengan dua wanita cantik yang sedang duduk di sofa ruang kerja, bertukar cerita akhir pekan untuk mengisi waktu luang, "seriusan suami kamu jalan-jalan sama cewek lain pakai mobil kamu? Kamu enggak cemburu, Ran? Kamu enggak marah? Kamu enggak sedih, kesal, atau apa gitu?" cecar seorang wanita yang masih mengenakan kaca mata bulat untuk melengkapi gayanya. Menggeleng pelan wanita bersetelan semi formal, menyesap kopi dengan santai saat menyaksikan ekspresi terkejut teman semata wayangnya itu, "iya aku tahu kalian nikah karena tujuan masing-masing, ada kesepakatan juga. Tapi jangan segitunya dong, Ran. Apalagi Kal ini dapat SP-2, apa kata orang nanti? Rana si cewek perfeksionis ternyata tidak profesional dalam mencari pasangan hidupnya, Rana si cew ...." "Orang cuma tahu bicara doang, Nif. Santailah," potong Rana mengibaskan tangannya acuh tak acuh, "aku bisa kontrol diriku kok, kamu tahu aku," lanjutnya mengulum senyum tipis. Terdiam teman Rana yang biasa disapa Nifa, membisu ia melihat reaksi temannya yang sangat tidak peduli pada pernikahan. Memandang sendu Rana dengan segala pikiran buruk tentang masa depan sang teman, apa yang akan terjadi pada seorang Rana jika ternyata Kal adalah komplotan penipu wanita? Apa yang akan terjadi pada Rana jika ternyata Kal tidak bisa menjadi laki-laki yang dapat diandalkan? Bagaimana mereka akan bertahan hidup ke depannya? Terhela napas Nifa seraya menggeleng pelan saat melihat Rana bangkit untuk mengangkat telepon kantor yang berdering, "iya saya segera turun," ucap Rana lalu meletakkan kembali gagang telepon itu ke tempatnya dan bergegas mendekati Nifa, "aku mau ke resepsionis, mau ikut?" "Hm ...," deham Nifa merapatkan bibirnya ragu, "boleh," lanjutnya setelah berdeham panjang dan mendapat ekspresi datar Rana. Beranjak dua wanita itu menuju lif dan menekan tombol lantai dasar untuk turun, tidak butuh waktu lama untuk keduanya tiba di lobi kantor, "ada apaan memangnya, Ran?" tanya Nifa hanya mendapat abai dari Rana yang terus melangkah menuju meja resepsionis. Langkah cepat Rana yang biasa dilakukan kala di lingkungan kantor, jelas membuatnya dapat menghemat waktu untuk banyak situasi, "ini?" tanya Rana pada resepsionis sambil memegang kotak yang berada di tepi meja. "Iya, tapi mohon dibukanya di sini saja ya, Bu? Untuk berjaga-jaga, karena di sana tidak tertera pengirimnya, dan pengantar juga tadi hanya orang dari ojek pangkalan depan yang dibayar orang asing buat antarkan ini," ujar wanita bersetelan formal dengan rambut diikat rapi. "Oke," kata Rana lalu membuka kotak itu dengan tenang, meski ia tahu pikiran orang sekitarnya kini berisi keburukan seperti bom, teror potongan tubuh manusia, atau segala yang menakutkan. Namun bagi Rana, jika hal itu memang harus terjadi, maka terjadi saja karena beberapa takdir memang tidak bisa dihindari, "foto isinya, saya bawa ke atas ya?" ucap Rana menunjukkan isi kotak yang terdapat banyak lembar foto terbalik ke resepsionis yang kemudian mengangguk. "Ayo," ajak Rana pada Nifa yang sedari tadi diam memandang ke lorong lantai dasar, yang mengarah ke ruang kerja tim arsip, "kenapa?" tanyanya sambil melihat beberapa lembar foto yang cukup familiar. Berniat untuk melihat sebagian isi kotak sambil menunggu respon dari Nifa, respon yang ditunggu tidak didapat, justru Rana mengernyit saat menyadari tiap lembar foto yang terasa familiar, "inikan suaminya Kak Jess?" gumam Rana memperhatikan selembar foto yang memperlihatkan seorang pria sedang melempar kartu ke atas meja bundar hijau. "Rana!" teriak seorang pria berhasil membuat Rana sontak meletakkan lembar foto itu dan menutup kotaknya, beralih cepat Rana menghadap ke sumber suara walau taluan jantung masih seolah menghambat napasnya karena terkejut, "bantu gue sih, apa-apaan ini coba," kata pria itu menyodorkan amplop surat, membuat Rana spontan menitipkan kotaknya ke Nifa dan menerima amplop itu. "Surat pemberhentian kerja ....""Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran."Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat."Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi.Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi
"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring."Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya."Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia eng
"Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
"Lo main judi?" tanya pria bersetelan celana panjang dan kaus pendek santai, pria yang akrab disapa Kal itu menatap tajam temannya."Tahu dari siapa?" sahut pria dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kal, pria yang lebih tua dari Kal, dan pria bernama Tomi Uraga yang akrab disapa Tom."Memangnya itu penting?" kata Kal bertanya lagi, terdengar berbasa-basi meski Kal begitu ingin memojokkannya dengan segala foto dari bukti yang ada."Pentinglah, gue harus tahu orang yang berani ikut campur ranah pribadi," jawab Tom membuat Kal spontan tersenyum miring, "lagian, apa pentingnya buat lo kalau gue main judi atau kagak?"Terdiam Kal memandang pria yang dikenalnya sejak kuliah, pria yang pernah menjadi kakak tingkat, pria yang membuat Kal merasa segan, dan pria yang hampir selalu Kal patuhi ucapannya, "lo kakak ipar gue?" ucap Kal bertanya setelah terdiam cukup lama.Mencerna keadaan dan mencoba untuk memahami segala hal yang mungkin terlewat, namun yang didapat hanya kehampaan belaka dan pikir
"Jadi?""Aku minta tolong banget jangan sampai Jessica tahu," ucap seorang pria setelah memberi penjelasan yang memakan banyak waktu, penjelasan yang sebenarnya sama sekali tidak ingin didengar, dan penjelasan yang sangat tidak penting, "aku malu banget kalau sampai harus pulang dengan tangan kosong, sudah jadi pengangguran, cari kerja juga susah karena usiaku," lanjutnya menangkup kedua tangan dan memohon."Kenapa harus malu?" tanya seorang wanita dengan acuh tak acuh, hanya satu alasan yang membuatnya bertahan karena ini semua bersangkutan dengan kakaknya."Kalian dari keluarga berpendidikan, punya takhta, banyak harta dan investasi," jawab pria yang akrab disapa Tom, "dan aku cuma pengangguran enggak jelas, apa masih pantas aku jadi suami Jessica?"Terdiam Rana mencoba untuk melihat dari sudut pandang kakak iparnya, meski ia masih ingin mencari tahu pengirim foto, memberi tahu sang kakak, dan tetap tidak ingin memaafkan. Namun kenapa pria di hadapannya kini seolah mengemis keadaan?
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur