Tin!
Klakson nyaring terdengar mengejutkan dari depan rumah, membuat seorang wanita sontak melepas rangkulan pada adiknya yang terkekeh kecil, "sudah pulang deh," ucap wanita yang akrab disapa Jess itu mengikuti adiknya, yang cepat bergegas keluar rumah setelah mendengar klakson, "kalau ada yang ganggu tidurmu, bisa minum obat tidur, pesan ojek daring buat ke sini, pakai penutup telinga, atau amuk saja yang berisik," ujarnya pada sang adik yang mengangkat tangan untuk hormat sembari menunjukkan barisan gigi, sebelum masuk ke mobil. "Saya titip Rana, jangan sampai dia kurang istirahat atau sakit," lanjut Jess sedikit menunduk untuk melihat suami Rana yang mengacungkan ibu jarinya, acungan ibu jari yang disertai senyum tipis. "Ya sudah hati-hati," kata kakak dari Rana itu kembali berdiri tegak dan menunggu kendaraan roda empat sang adik melaju, meninggalkan gang rumahnya dan tidak lagi terlihat sejauh mata memandang. Lajunya mobil membelah jalan besar yang ramai dengan berbagai kecepatan, kegelisahan Rana yang terus menoleh ke belakang, mengendus hal yang diraba, sesekali membuka kaca mobil, dan terhenti untuk menoleh ke sang suami yang masih tenang menyetir, "kenapa?" tanya suami dari Rana tanpa menoleh untuk melihat ekspresi istrinya. "Kamu kemana tadi?" sahut Rana dengan pertanyaan juga. "Bensinnya utuh kok, sudah gue isi," jawab pria yang biasa disapa Kal itu membuat Rana sontak mengernyit, "kenapa lagi?" katanya bertanya setelah menoleh dan mendapati ekspresi Rana. "Kamu sama siapa tadi?" tanya Rana tidak mengindahkan urusan tangki bensinnya. "Apa pentingnya buat lo? Yang penting kan mobil lo enggak lecet, bensinnya tetap penuh, dan lo masih gue jem ...." "Mobil ini bau parfum banci," pungkas Rana menegaskan tujuannya bertanya, "ini mobil enggak jadi tempatmu berbuat, kan? Bisa sial ini mobil," lanjutnya membuat Kal spontan mengambil jalur kiri, dan menghentikan mobil usai menyalakan lampu darurat sebagai tanda. "Lo banyak tanya dari tadi karena lo kira gue bagian dari mer ...." Mengangguk cepat Rana sebelum Kal selesai berucap, membuat pria itu sontak terkekeh, "lo unik memang, pikiran lo liar dan bisa menciptakan dunia cuma karena asumsi pribadi," sambungnya mematikan lampu darurat dan kembali berkendara. "Jawab pertanyaanku dong," tukas Rana dengan ketusnya. "Aduh Rana ... Rana," kekeh Kal mengurangi kecepatan mobil, "gue pergi sama teman cewek, dia bukan banci, dan cuma keliling kota karena dia bosan di rumah. Jadi enggak usah khawatir mobil lo kena sial," lanjutnya mendapat deham singkat dari Rana. "Tapi kenapa parfumnya bau banci?" tanya Rana lagi setelah diam sejenak. "Definisi parfum bau banci itu gimana, Ran? Padahal tadi dia pakai parfum vanila," jawab Kal mempertanyakan cara berpikir wanita berstatus sebagai istrinya, status yang didasarkan pada kesepakatan untuk tujuan masing-masing. "Ya bau banci. Kayak melati kan bau kuntilanak." "Berarti kalau ada yang pakai parfum melati, lo bilang parfum kuntilanak? Kalau ada yang minum teh melati, lo bilang teh kuntilanak?" tukas Kal yang hanya disambut terangkatnya dua bahu Rana dan bibir yang merengut acuh tak acuh, "pantas lo enggak punya teman." "Enggak pengen juga," sambung Kepala Humas itu berhasil mengakhiri obrolan mereka, obrolan tanpa tujuan dan obrolan cenderung tidak guna bagi keduanya. *** Sisa akhir pekan yang diwarnai dengan segala hal malas telah berakhir, dua hari tiga malam lamanya Rana beraktivitas secara acak. Bergerak hanya jika benar-benar niat, makan hanya jika sangat lapar, bahkan ke toilet jika perut sudah terasa sakit. Benar-benar akhir pekan yang tidak jelas. Aktivitas kantor kembali dimulai untuk pekan kedua, melewati pekan pertama dengan berbagai tagihan, kebutuhan, dan keinginan hingga seolah melenyapkan bayaran hasil kerja selama satu bulan. Membuat berbagai perasaan dan suasana hati para pekerja, yang melanjutkan kegiatan dan pekerjaannya untuk bertahan hidup, atau mungkin hal lain yang dirasa cukup menarik. Sama halnya dengan dua wanita cantik yang sedang duduk di sofa ruang kerja, bertukar cerita akhir pekan untuk mengisi waktu luang, "seriusan suami kamu jalan-jalan sama cewek lain pakai mobil kamu? Kamu enggak cemburu, Ran? Kamu enggak marah? Kamu enggak sedih, kesal, atau apa gitu?" cecar seorang wanita yang masih mengenakan kaca mata bulat untuk melengkapi gayanya. Menggeleng pelan wanita bersetelan semi formal, menyesap kopi dengan santai saat menyaksikan ekspresi terkejut teman semata wayangnya itu, "iya aku tahu kalian nikah karena tujuan masing-masing, ada kesepakatan juga. Tapi jangan segitunya dong, Ran. Apalagi Kal ini dapat SP-2, apa kata orang nanti? Rana si cewek perfeksionis ternyata tidak profesional dalam mencari pasangan hidupnya, Rana si cew ...." "Orang cuma tahu bicara doang, Nif. Santailah," potong Rana mengibaskan tangannya acuh tak acuh, "aku bisa kontrol diriku kok, kamu tahu aku," lanjutnya mengulum senyum tipis. Terdiam teman Rana yang biasa disapa Nifa, membisu ia melihat reaksi temannya yang sangat tidak peduli pada pernikahan. Memandang sendu Rana dengan segala pikiran buruk tentang masa depan sang teman, apa yang akan terjadi pada seorang Rana jika ternyata Kal adalah komplotan penipu wanita? Apa yang akan terjadi pada Rana jika ternyata Kal tidak bisa menjadi laki-laki yang dapat diandalkan? Bagaimana mereka akan bertahan hidup ke depannya? Terhela napas Nifa seraya menggeleng pelan saat melihat Rana bangkit untuk mengangkat telepon kantor yang berdering, "iya saya segera turun," ucap Rana lalu meletakkan kembali gagang telepon itu ke tempatnya dan bergegas mendekati Nifa, "aku mau ke resepsionis, mau ikut?" "Hm ...," deham Nifa merapatkan bibirnya ragu, "boleh," lanjutnya setelah berdeham panjang dan mendapat ekspresi datar Rana. Beranjak dua wanita itu menuju lif dan menekan tombol lantai dasar untuk turun, tidak butuh waktu lama untuk keduanya tiba di lobi kantor, "ada apaan memangnya, Ran?" tanya Nifa hanya mendapat abai dari Rana yang terus melangkah menuju meja resepsionis. Langkah cepat Rana yang biasa dilakukan kala di lingkungan kantor, jelas membuatnya dapat menghemat waktu untuk banyak situasi, "ini?" tanya Rana pada resepsionis sambil memegang kotak yang berada di tepi meja. "Iya, tapi mohon dibukanya di sini saja ya, Bu? Untuk berjaga-jaga, karena di sana tidak tertera pengirimnya, dan pengantar juga tadi hanya orang dari ojek pangkalan depan yang dibayar orang asing buat antarkan ini," ujar wanita bersetelan formal dengan rambut diikat rapi. "Oke," kata Rana lalu membuka kotak itu dengan tenang, meski ia tahu pikiran orang sekitarnya kini berisi keburukan seperti bom, teror potongan tubuh manusia, atau segala yang menakutkan. Namun bagi Rana, jika hal itu memang harus terjadi, maka terjadi saja karena beberapa takdir memang tidak bisa dihindari, "foto isinya, saya bawa ke atas ya?" ucap Rana menunjukkan isi kotak yang terdapat banyak lembar foto terbalik ke resepsionis yang kemudian mengangguk. "Ayo," ajak Rana pada Nifa yang sedari tadi diam memandang ke lorong lantai dasar, yang mengarah ke ruang kerja tim arsip, "kenapa?" tanyanya sambil melihat beberapa lembar foto yang cukup familiar. Berniat untuk melihat sebagian isi kotak sambil menunggu respon dari Nifa, respon yang ditunggu tidak didapat, justru Rana mengernyit saat menyadari tiap lembar foto yang terasa familiar, "inikan suaminya Kak Jess?" gumam Rana memperhatikan selembar foto yang memperlihatkan seorang pria sedang melempar kartu ke atas meja bundar hijau. "Rana!" teriak seorang pria berhasil membuat Rana sontak meletakkan lembar foto itu dan menutup kotaknya, beralih cepat Rana menghadap ke sumber suara walau taluan jantung masih seolah menghambat napasnya karena terkejut, "bantu gue sih, apa-apaan ini coba," kata pria itu menyodorkan amplop surat, membuat Rana spontan menitipkan kotaknya ke Nifa dan menerima amplop itu. "Surat pemberhentian kerja ....""Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran."Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat."Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi.Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi
"Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring."Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya."Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia eng
"Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
"Lo main judi?" tanya pria bersetelan celana panjang dan kaus pendek santai, pria yang akrab disapa Kal itu menatap tajam temannya."Tahu dari siapa?" sahut pria dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kal, pria yang lebih tua dari Kal, dan pria bernama Tomi Uraga yang akrab disapa Tom."Memangnya itu penting?" kata Kal bertanya lagi, terdengar berbasa-basi meski Kal begitu ingin memojokkannya dengan segala foto dari bukti yang ada."Pentinglah, gue harus tahu orang yang berani ikut campur ranah pribadi," jawab Tom membuat Kal spontan tersenyum miring, "lagian, apa pentingnya buat lo kalau gue main judi atau kagak?"Terdiam Kal memandang pria yang dikenalnya sejak kuliah, pria yang pernah menjadi kakak tingkat, pria yang membuat Kal merasa segan, dan pria yang hampir selalu Kal patuhi ucapannya, "lo kakak ipar gue?" ucap Kal bertanya setelah terdiam cukup lama.Mencerna keadaan dan mencoba untuk memahami segala hal yang mungkin terlewat, namun yang didapat hanya kehampaan belaka dan pikir
"Jadi?""Aku minta tolong banget jangan sampai Jessica tahu," ucap seorang pria setelah memberi penjelasan yang memakan banyak waktu, penjelasan yang sebenarnya sama sekali tidak ingin didengar, dan penjelasan yang sangat tidak penting, "aku malu banget kalau sampai harus pulang dengan tangan kosong, sudah jadi pengangguran, cari kerja juga susah karena usiaku," lanjutnya menangkup kedua tangan dan memohon."Kenapa harus malu?" tanya seorang wanita dengan acuh tak acuh, hanya satu alasan yang membuatnya bertahan karena ini semua bersangkutan dengan kakaknya."Kalian dari keluarga berpendidikan, punya takhta, banyak harta dan investasi," jawab pria yang akrab disapa Tom, "dan aku cuma pengangguran enggak jelas, apa masih pantas aku jadi suami Jessica?"Terdiam Rana mencoba untuk melihat dari sudut pandang kakak iparnya, meski ia masih ingin mencari tahu pengirim foto, memberi tahu sang kakak, dan tetap tidak ingin memaafkan. Namun kenapa pria di hadapannya kini seolah mengemis keadaan?
"Tumben amat lo ajak kumpul di tempat kayak gini," celetuk seorang pria hampir botak yang baru saja datang. "Kagak ada salahnya," jawab pria berambut cepak berponi, potongan rambut andalan yang menjadi ciri khasnya dimanapun berada. "Jangan terlalu sering, Pak. Ingat lo kagak punya penghasilan, masa mau minta terus sama bini," ujar pria dengan kaca mata bulat di kepala, meski memiliki penglihatan yang tidak sebagus temannya, namun ia tetap menggunakan kaca mata hanya saat ada yang perlu dibaca. "Malu?" kata pria dengan potongan rambut cepak berponi, pria yang akrab disapa Kal. Pertanyaan amat singkat dalam satu kata, pertanyaan yang membuat tiga pria lain teralih memandangnya dengan ekspresi masam, "lo tanya, Pak? Buset dah, jadi makin goblok begini," ucap pria dengan potongan rambut rapi. "Gue serius," sentak Kal memastikan keseriusannya pada tiga teman yang sudah lama dikenal. "Ada apa ini ada apa? Cerita dulu saja, dari pada bikin kita salah paham sama pertanyaan lo," ujar pr
[Hari ini]Diambilnya ponsel dan mencari nama Fauziah Aini Fafa di daftar kontak, pernah saling bertukar nomor saat berjumpa di kantor beberapa hari lalu, demi kepentingan apapun kelak. Ditekannya kolom tulisan yang bertujuan untuk menghubungi, melakukan panggilan suara dengan sengaja, "halo," sapa Rana dengan canggung dan kebingungannya.Begitu pula dengan Fafa di lokasi berbeda, yang terbangun dalam keadaan terkejut karena nada dering dari panggilan. Sapaan ringan itu pula yang cepat ditanggapi, "halo, Rana.""Aku enggak mau basa-basi biar enggak basi juga, aku mau bilang ayo kita jadi teman," kata Rana membuat Fafa sontak terduduk di ranjang dengan mata terbuka lebar."Apa kamu bilang?" tukas Fafa menjawab sambil menggelengkan kepala dan mengusap mata, "aku takut salah dengar, baru bangun tidur hehe," lanjutnya terkekeh ringan tidak beralasan, hanya mencegah adanya kesan canggung."Ayo jadi teman," tanggap Rana singkat dan kali ini semakin jelas terdengar di telinga Fafa, "mau?" ka
[Kemarin] "Kakak mau sampai kapan jadi budak cinta dari cowok sialan itu? Sebenarnya juga, sejak kapan kakak jadi enggak percaya sama aku? Kenapa enggak percaya lagi sama aku? Aku salah apa?" tanya Rana memandang sang kakak dengan kecewa, membiarkan kakaknya hanya tertunduk yang mungkin saja menggerutu, alih-alih berpikir dan menyadari kesalahan, "Kak ... kakak tahu enggak sih yang sudah kakak kasih tahu ke Tomi itu apa? Kakak sadar enggak?" kata Rana mencecar Jess dengan pertanyaan dan pertanyaan. Terdiam dua wanita itu, napas menggebu Rana semakin memperjelas suasana yang canggung dan tidak tentram. Mata memerah dan hidung yang sesekali kembang-kempis, cukup menjelaskan suasana hati Rana kini yang menahan segalanya. Sedih, marah, dan kecewa sudah tidak bisa lagi dibagi atau sekadar dijelaskan semuanya, hanya ada satu kata yang pantas menjelaskan. Sesak. "Itu rencana aku, itu rencanaku untuk mencari tahu keterlibatan Tomi sama Fafa si pengirim paket, itu rencanaku buat cari ta
[Kemarin] Satu hari sudah berlalu sejak wanita asing datang dan berbincang, sehari sudah berlalu dengan beban pikiran yang semakin tidak terkendali, dan sudah sehari pula memiliki suami rasa jomlo. Walau hubungan tidak melibatkan perasaan, namun tak jarang perasaan memang tidak bisa dikendalikan, terutama saat diri ini beberapa kali mengandalkannya dalam berbagai hal. "Ih!" seru wanita bersetelan semi formal cenderung santai, hanya menggunakan blus dan blazer dengan celana panjang kulot. Ingin rasanya berkeluh kesah dan mengoceh atas segala yang terjadi, namum nyatanya hidup memang akan selalu sendiri dan berjuang sendiri Melangkah keluar wanita itu tanpa sedikitpun menoleh ke pria yang termenung membisu di sofa ruang tengah, melewatinya seolah memang tidak ada apapun. Memulai pagi dengan perasaan yang berkecamuk, menghabiskan hari kemarin dengan kegundahan dan kesedihan. Walau pernikahan ini dilakukan dengan kesepakatan demi tujuan masing-masing, namun menikah demi sebuah kart
[2 Hari lalu] Membelah ramainya jalan di siang menuju sore hari, lebarnya jalan di area bisnis perkantoran dan pusat kota, membuat jalanan seolah tidak pernah padat merayap meski seluruh karyawan keluar pada waktu bersamaan. Tertibnya lalu lintas tentu bagian dari kelancaran jalan yang dihasilkan, berpacu lagi dengan kecepatan tinggi nan stabil usai lampu jalan telah hijau. Pikiran yang terbang ke banyak hal dengan penuhnya fokus tak terbatas, membawa wanita di dalam kendaraan roda empat berwarna merah itu kembali ke rumah. Menghentikan cepat mobilnya di pinggir jalan tepat depan rumah, keahlian mengemudi jelas tak perlu dipertanyakan lagi. Bruk! "Loh ... sudah pulang?" tanya seorang pria yang kini memiliki perut sedikit buncit, memegang sapu dan terlihat sedang menyapu rumah. Menoleh pria itu ke dalam rumah dan kembali melihat ke arah istrinya yang sedang membuka gerbang, "baru jam 11," katanya lagi. "Aku enggak boleh pulang ke rumahku sendiri?" ketus Rana sambil melangkah masuk
[2 Hari lalu] "Menguasai salah satu cabang bisnis buat berbagi hasil, melanjutkan bisnisnya dan berorientasi pada penghasilannya?" kata Rana mengulang hal yang baru ia tahu, perkataan yang mendapat anggukan setuju, "kalau tentang Kalil taruhan, aku sudah tahu langsung dari Kalil sekitar dua minggu lalu. Tapi kenapa Tomi dendam sama aku?" "Ya kamu punya masa lalu apa sama Tomi?" jawab Fafa membuat Rana mengernyit bingung, terdiam sesaat dan menggeleng, "yakin?" kata wanita itu bertanya lagi, dan mendapat anggukan walau ekspresi tidak meyakinkan. Terhela napas Fafa melihat kebingungan Rana. Sebagai perempuan, dirinya sadar bahwa Rana tidak merasa bersalah dan tidak menganggap hal yang sudah lalu itu sebagai hal penting. "Aku mau tanya dulu, kamu kenapa bisa enggak peduli sama apapun dan siapapun?" tanya Fafa setelah terdiam sejenak dan bertukar tatap dengan Rana, komunikasi mata pun yang didapat hanya kehampaan belaka. "Ya ... buat apa? Aku urus diri sendiri saja belum tentu benar,
[2 hari lalu]Berdeham panjang Rana mendengar itu, begitu ingin mulut berujar jahat tentang fakta bahwa pada akhirnya Kalil tidak menikahi wanita itu, "oke," tanggap Rana singkat dan memilih untuk menahan dirinya dari kejahatan verbal.Saling terdiam dan memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Tujuan, manfaat, keinginan, kehendak, harapan, dan hal lainnya yang baru diketahui. Menciptakan hening yang begitu dalam di antara mereka, seolah tidak tahu lagi hal yang ingin dibicarakan namun juga ada banyak hal yang ingin dikatakan dan ditanyakan. Kebingungan melanda keduanya, harus memulai dari mana? Apakah akan ada rasa tersinggung? Bisakah ini dibicarakan? Dan banyak lagi yang dikhawatirkan wanita bernama Fauziah Aini itu.Begitu pula dengan keragaman yang berada di pikiran seorang Kirana Zendaya. Apa harus bertanya lebih jelas tentang hubungan wanita itu dengan Kalil? Bisakah Kalil dan wanita itu dipercaya? Harus mulai dari mana mempercayainya? Tapi apa perkataannya semua itu benar? Kena
[2 hari lalu]"Jadi inti tujuanmu untuk mengingatkanku tentang bahaya sosial terutama lingkunganku gitu?"Mengangguk Fafa menanggapinya, "kamu bisa menjauhi bahaya itu dengan sikap bodoamat, dengan perilaku individualis, tapi itu tetap enggak bisa menyelamatkanmu. Orang jahat bisa saja dari sekitarmu sendiri, kayak yang dialami kakakmu," jelas Fafa membuat Rana terbungkam bersama pemahaman dan kesadarannya."Aku payah," lirih Rana seorang diri menyadari kegagalannya melindungi orang yang disayang dan menjaga diri sendiri, "terus apa urusannya sama kamu?""Kalau orang jahat saja bisa dari lingkungan sekitar, dari orang terdekat. Berarti orang baik juga bisa dari lingkungan terjauh, bahkan enggak dikenal dong," tutur Fafa membuat Rana sontak menyipitkan matanya bingung, "enggak ada yang bilang kalau aku baik, aku juga enggak baik ke kamu. Buktinya kamu ketakutan, dan kakakmu mau melibatkan pihak berwajib, ya karena caraku juga salah sih.""Sadar?" kata Rana menjawab dengan ketus."Aku c
Waktu berputar tak kenal lelah, waktu berjalan tak tahu bosan, dan waktu berlalu tanpa terasa. Sepuluh hari sudah sejak paket terakhir dikirim, dan dua hari sudah setelah bertemu tatap muka dan berbicara langsung dengan si penerima paket.Aktivitas harian selama satu bulan yang biasa terisi dengan pikiran untuk paket, kini menjadi aktivitas harian yang terasa lebih tenang dan santai. Bisa melakukan apapun dengan bebas dan sesuai keinginan, tidak perlu berharap dan hanya perlu mengambil segala hal serupa kesempatan yang menguntungkan terlihat.Berbaring cepat seorang wanita dengan rambut hitam sebatas bahu, napas terengah, mata terpejam, dan keringat yang membasahi wajah maupun tubuhnya. Diembuskan napas terengah itu berulang kali dari mulut, seolah meniup udara yang tak kunjung mengantarkan oksigen yang cukup."Ah ... kamu enak," puji seorang pria sambil mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke wanita di sebelahnya, menatap penuh kepuasan pada wanita yang hanya tersenyum kecil t
"Masuk!" Terbuka perlahan pintu ruang kerja itu oleh seorang wanita setelan formal, senyum simpulnya tidak mendapat balasan apapun dari sang penguasa ruangan itu. Melihat respon yang cenderung biasa diterima, berjalan keluar lagi wanita itu seraya mempersilakan tamu yang dibicarakan sebelumnya. Bunyi langkah dari sepatu tinggi terdengar jelas beradu dengan lantai, bunyi langkah yang sontak menghilang saat gerakan kaki itu terhenti tepat di balik pintu ruang kerja yang kini sudah tertutup. Saling beradu tatap dua wanita itu, napas menderu menjadi bahasa tubuh pertama yang disadari si Kepala Humas. Ada sedikit kegugupan yang wanita itu lihat dari tamu tak diundangnya, kegugupan yang sangat terlihat dari napas tidak stabil. "Sini," kata wanita bernama Kirana Zendaya itu menunjuk kursi di depan meja kerjanya, dua kursi yang berada persis di hadapannya dan hanya terjarak meja kerja. Terdiam wanita bersetelan santai cenderung tak sopan itu, setelan santai berupa celana pendek di atas lut