"Rana Rana Ran ...," ucap seorang pria memanggil nama istrinya berulang kali yang berdiam diri di dalam kamar, ketukan pintu terus dilakukan untuk mengganggu kenyamanan yang selalu dijunjung tinggi sang istri, meski ia tahu akan memancing emosi yang dapat menguras kesabaran.
"Apa?" sahut seorang wanita langsung membuka pintu tanpa memberi sedikitpun aba-aba, tidak menciptakan suara yang dapat menandakan bahwa pintu akan terbuka, dan tidak bersikap selayaknya seorang istri yang baru tahu suaminya dipecat. "Tadi kata lo lanjut bahas di rumah saja, ini sudah di rumah tapi lo malah mengeram di kamar," ujar pria bernama Kal itu mengeluhkan ucapan sang istri yang berbeda saat di kantor tadi. Mengecap mulut Rana yang terasa kering, tersenyum kecut ia sebelum menghembuskan napas penat dari mulut yang terbuka sedikit, "apa yang mau dibahas? Kalau buat bantu kamu dan memanfaatkan posisiku, aku jelas enggak bisa, enggak tahu, dan enggak mau berusaha juga," tukas Rana menegaskan keputusannya lagi, "kamu dipecat ya itu tanggung jawabmu sebagai pekerja, akan berbuat apa selanjutnya?" "Ya gue yakin sih ini masih ada peluang, jadi bantulah suami lo ini, Ran," kata Kal terdengar konyol bagi Rana, ekspresi memelas yang menjijikkan membuat wanita itu sedikit merengutkan wajahnya. "Kenapa seyakin itu masih ada peluang? Setelah melewati teguran lisan berulang kali dan dua kali surat peringatan, kenapa masih percaya diri bahwa ada kesempatan lain?" ucap Rana mempertanyakan cara berpikir suaminya yang terbilang aneh. "Gue belum dapat SP-3 dan gue juga diberhentikan secara sepihak, mendadak, dan tanpa pesangon di pertengahan bulan kayak begini," jawab Kal membuat Rana terdiam sejenak sebelum terkekeh kecil, kekehan yang tentu membuat Kal sontak mengernyit heran atas reaksi wanita itu. Berjalan santai cenderung malas dengan langkah terseret, duduk bersandar di sofa ruang utama, "ada beberapa perusahaan yang memberi SP-3 sekalian sama surat pemecatan, setelah melewati teguran lisan dan dua kali surat peringatan, kamu masih bilang itu pemecatan sepihak dan mendadak? Ini memang tengah bulan bahkan tengah musim, bukan musim untuk cari karyawan baru juga, tapi bukan berarti perusahaan bisa terus mempertahankan karyawan tidak kompeten, kan?" ujar Rana cukup menyulut emosi dalam kebingungan yang Kal rasa. "Lo sebut gue enggak kompeten?" "Aku cuma bicara fakta, karena tidak ada orang kompeten dan profesional yang main gim daring di jam kerja sampai kabur ke parkiran bawah tanah," tukas si Kepala Humas itu acuh tak acuh, walau ia tahu telah memancing emosi Kal, tapi baginya kebenaran memang menyakitkan untuk ditegakkan. "Jadi lo bakal bantu gue, kan? Atau minimal tanya ke tim HRD, kenapa pecat gue di tengah-tengah begini?" rengek Kal menangkup kedua tangannya seolah memohon. "Cih," decih Rana spontan dengan perilaku Kal, "dari pada meratapi yang sudah terjadi, lebih baik merenung dan berpikir tentang masa depan. Persiapkan diri buat cari kerja lagi saja," tuturnya kemudian berdiri lagi, cukup menandakan bahwa ia ingin kembali ke kamar. "Lo enggak kasihan sama suami lo ini?" Menggeleng pelan Rana menjawabnya, "enggak punya hati banget sih, Ran," kata Kal disambut senyuman simpul Rana. Senyuman simpul yang cukup menandakan bahwa Rana memang tidak peduli, hanya menanggapi sebagaimana makhluk hidup saling berinteraksi, "sebentar," kata Kal meluruskan tangannya dan menghalangi pintu kamar Rana yang hendak ditutup. "Apalagi?" "Pinjam mobil," ucap pria itu merapatkan bibirnya dan menatap Rana dengan harapan tinggi, sorot mata yang jelas menunjukkan keinginan besar. "Jangan lecet, bau banci, habis bensin, habis aki, pecah kaca, atau penyok," tegas Rana menyiratkan izin untuk Kal yang langsung terkekeh. Bergerak turun tangan Kal dan mengizinkan Rana untuk menutup pintu kamarnya, "tahu waktu," ucap wanita itu lagi tepat sebelum pintu tertutup. Terangkat ibu jari Kal dengan senyum lebar menunjukkan barisan gigi, tanggapan yang cukup membuat Rana tersenyum kecut sebelum benar-benar menutup pintu kamar. Meninggalkan Kal yang langsung menuju kamar tidurnya dan bersiap diri. *** "Seriusan? Kamu dipecat, Kak?" "Masa sih istri kamu enggak mau bantu, Kak?" "Ih jahat banget ya si Rana." "Kamu sudah coba ke HRD langsung, Kak? Sendiri saja sudah, kalau istri kamu enggak mau bantu." Menggeleng pelan Kal menanggapi pendapat dari empat teman wanitanya, menjadi satu-satunya pria dalam kelompok pertemanan wanita cukup membuat Kal seringkali menjadi pusat. Harus menjaga, melindungi, memastikan keamanan, namun juga seringkali harus menjadi objek ejekan dan kejahilan para wanita. "Kok enggak sih, Kak?" sentak empat wanita itu serentak, mempertanyakan tanggapan Kal. "Yang dibilang Rana juga benar, saat dapat teguran lisan aku malah pindah tempat main doang, aku juga abai pas dapat SP sampai dua kali," ujar Kal memahami omelan Rana, ujaran yang terdengar lembut demi menjaga perasaan empat wanita di hadapannya. "Enggak benarlah!" seru seorang wanita bersetelan rok panjang dan kaus pendek, setelan yang menjadi ciri khasnya kala berkumpul, "apa-apaan dia ngomong begitu," lanjut wanita yang akrab disapa Fau, namun memiliki panggilan spesial dari Kal. Panggilan yang didapat saat hubungan indah itu masih terjalin, hubungan yang kandas secara paksa, hingga membuat panggilan spesial itu menjadi panggilan tidak berarti. Fafa, namanya. "Iya!" "Benar itu, Kak." "Masa istri enggak mau bantu, malah menyalahkan suaminya. Durhaka banget jadi istri." "eh," tukas Kal memutus obrolan di antara empat wanita itu, "bukan enggak mau bantu, tapi Rana harus mengamankan situasi di tengah gosip kantor, Rana juga punya jiwa profesional dalam bekerja. Jadi aku cukup paham sama cara berpikirnya," lanjut Kal kemudian sedikit menunduk dan memejamkan mata, menekan kesabaran untuk menjaga emosi saat teringat ucapan Rana yang cukup menyinggung. "Ck, begonya kumat deh kamu, Kak," decak Fafa menatap tajam Kal yang spontan mengangkat kepala untuk memandangnya, "Rana enggak serius sama kamu, makanya dia bertingkah seenaknya dan mengatasnamakan profesional buat bersikap egois," ketusnya mengerucutkan bibir. "Ya ... aku kan nikah sama dia juga memang enggak serius, Fa. Kamu tahu itu," sahut Kal dengan tenangnya. "Bukan masalahnya itunya, Kak. Orang-orang kan tahunya kalian benar-benar menikah, tapi kenapa dia enggak bertindak kayak istri pada umumnya? Minimal banget deh, dia peduli gitu ke kamu," oceh Fafa mendapat senyuman masam dari Kal. "Enggak semudah itu, Rana orangnya idealis dan dia juga cenderung budek sama omongan orang. Buat dia lahir sendiri, hidup sendiri, bertahan hidup sendiri, mati pun sendiri." Kal berujar dengan tetap membela sang istri, bukan karena cinta tapi ini tentang cara logika dan sudut pandang bekerja. "Ya Tuhan, Kak ... susah banget sih kamu dibilanginnya, batu kepala kamu sekarang," rengek Fafa menunduk dan menggigit bibir bawahnya, "Kak ... aku cuma enggak mau kamu jadi susah, kamu terlilit utang, atau sejenisnya karena buat bertahan hidup, padahal kamu punya istri yang harusnya bisa tolong kamu," ucapnya lagi dengan suara gemetar. "Fa, kamu nangis?" tanya seorang wanita berbadan gempal merangkul Fafa, "Fa?" panggilnya dengan ragu sebelum mengalihkan pandangan pada Kal, menatap si pria berbadan atletis itu dengan tajam dan marah. "Kak ... parah banget sih, niat Fafa itu baik loh. Segitunya banget belain cewek yang bahkan enggak peduli kamu hidup atau mati," ujar wanita lainnya dengan tahi lalat di dekat hidung. "Kalil sudah berubah," sambung wanita lain lagi dengan lesung pipit menghiasi kedua pipinya. "Minimal kalau punya otak dipakai, lihat kebaikan orang," kata Fafa kemudian memakai tas selempang dan beranjak pergi, disusul dengan tiga temannya yang sempat menatap marah Kal. "Argh ....""Ya ... kalau gue jadi Rana juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa gue tolong orang yang enggak akrab sampai harus mengancam karir? Kan gitu, logika dasar saja, Kal," ujar seorang pria bersetelan celana pendek dan tanpa baju, setelan dasar untuk pria saat bermalasan di malam hari, "menolong orang itu pasti, tapi bukan berarti harus mengancam karir," lanjutnya sambil berbaring."Tapi wajar buat Rana begitu ke gue yang berstatus sebagai suaminya?" tanya Kal seraya bergerak mundur untuk bersandar ke dinding terdekatnya."Wajar saja menurut gue, kalian nikah juga karena tujuan masing-masing, kan? Kenapa lo jadi terpengaruh ke status pernikahan kalian? Itu memang resmi tapi enggak benar-benar mengikat kalian, kan?" sahut teman dari Kal, pria yang dikenal Kal sejak di bangku kuliah, Denandra Jamali.Terdiam sejenak Kal saat mendengar ungkapan dari temannya, "lo benar, bisa jadi juga Rana berpikir kayak lo. Tapi, perilaku Rana begitu bisa bikin pertanyaan ke orang-orang, kenapa dia eng
"Kemana saja seharian?"Tiga kata dalam kalimat tanya telah terdengar, dua jam lamanya Kal terdiam di ruang utama sejak tiba di rumah. Rasa lapar pun tidak lagi terasa sejak netra Rana menatap Kal dengan tajam dan tegas, seolah Kal adalah mangsa yang lezat. Dua jam lamanya pula Rana mengamati segala gerak-gerik Kal, dari mengubah posisi kaki, bersandar, sampai sekadar menguap tidak luput dari pandangan seorang Kirana Zendaya."Cari mobil ya? Tadi pagi gimana berangkat ker ....""Kemana saja seharian?" potong Rana dengan pertanyaan yang sama."Di rumah teman," jawab Kal terlihat canggung, pikirannya begitu kalut sejak menerima surat pemecatan di tengah bulan."Temanmu pengangguran juga?" tukas Rana bertanya tanpa memikirkan kondisi dan perasaan lawan bicara, hanya satu hal yang Rana tahu, bahwa dirinya mengalami kesulitan karena tidak ada kendaraan pribadi."Kagak, dia berangkat kerja tadi jam sepuluh karena ada rapat habis jam makan siang," jawab Kal yang cukup menyuratkan bahwa dirin
Hening terus mengintai meski jam digital sudah menunjukkan angka 22.00, begitu hening hingga cukup untuk memekakan telinga. Dalam kebimbangan dan rasa lelah, bersama kegelisahan dan rasa muak seolah bersatu tidak padu dengan keadaan kini."Janji jangan kasih saran gila," ucap Rana menunjuk Kal yang hanya terkekeh pelan, "terakhir kali kamu kasih saran tentang masalahku, kita malah menikah.""Ya ... mau gimana lagi? Harta buat orang tua lo sudah lebih dari cukup, tahta juga sudah cukup buat mereka dihormati sepanjang hidupnya," sahut Kal membuat Rana mengerucutkan bibirnya sebal, "jangan gitu bibir, gue cium lo.""Ih." Spontan Rana mengatup rapat bibirnya dan mendelik tajam pada Kal."Mata ngapain mata? Enggak takut gue," kekeh pria itu justru mengejek kelakuan istrinya, "santai saja santai, gue tahu batasan kok.""Harus," sentak Rana membuat Kal langsung mengulurkan tangan dan mengusap kepalanya, "ih apasih, jangan macam-macam ya," tukas Rana menepis kasar tangan Kal."Lo lucu," ucap
Tergagap Rana mendengar ungkapan Kal, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin diucapkan, ada ketidakpercayaan yang membentuk keraguan dalam dirinya, dan ada kebingungan yang menjadi kebimbangannya untuk bersikap. Sementara Kal, hanya bersandar dan mengamati beberapa lembar foto, "hm ... ini kelihatan foto asli bukan buatan AI, ini juga cetak sendiri kayaknya karena enggak ada tanda percetakan atau studio," ujar Kal menunjukkan selembar foto pada Rana yang hanya terdiam sambil menganggukkan kepala."Terus itu main judi dimana?" tanya Rana ingin mencari tahu apapun yang dapat menjadi informasi dari foto."Enggak ada tanda apapun yang khas, harusnya ada semacam tanda gitu, kayak kalau lo pesan ruang privat di restoran pasti ada semacam nama atau tanda khas restorannya," jawab Kal memberi contoh kecil."Hm ...," deham Rana dengan perasaan bingung, "eh! ngapain?" sentaknya langsung mengambil kotak dan lembaran foto itu dari dekat Kal."Gue foto saja salah satunya, nanti kalau ketemu sama d
"Lo main judi?" tanya pria bersetelan celana panjang dan kaus pendek santai, pria yang akrab disapa Kal itu menatap tajam temannya."Tahu dari siapa?" sahut pria dengan tubuh yang lebih tinggi dari Kal, pria yang lebih tua dari Kal, dan pria bernama Tomi Uraga yang akrab disapa Tom."Memangnya itu penting?" kata Kal bertanya lagi, terdengar berbasa-basi meski Kal begitu ingin memojokkannya dengan segala foto dari bukti yang ada."Pentinglah, gue harus tahu orang yang berani ikut campur ranah pribadi," jawab Tom membuat Kal spontan tersenyum miring, "lagian, apa pentingnya buat lo kalau gue main judi atau kagak?"Terdiam Kal memandang pria yang dikenalnya sejak kuliah, pria yang pernah menjadi kakak tingkat, pria yang membuat Kal merasa segan, dan pria yang hampir selalu Kal patuhi ucapannya, "lo kakak ipar gue?" ucap Kal bertanya setelah terdiam cukup lama.Mencerna keadaan dan mencoba untuk memahami segala hal yang mungkin terlewat, namun yang didapat hanya kehampaan belaka dan pikir
"Jadi?""Aku minta tolong banget jangan sampai Jessica tahu," ucap seorang pria setelah memberi penjelasan yang memakan banyak waktu, penjelasan yang sebenarnya sama sekali tidak ingin didengar, dan penjelasan yang sangat tidak penting, "aku malu banget kalau sampai harus pulang dengan tangan kosong, sudah jadi pengangguran, cari kerja juga susah karena usiaku," lanjutnya menangkup kedua tangan dan memohon."Kenapa harus malu?" tanya seorang wanita dengan acuh tak acuh, hanya satu alasan yang membuatnya bertahan karena ini semua bersangkutan dengan kakaknya."Kalian dari keluarga berpendidikan, punya takhta, banyak harta dan investasi," jawab pria yang akrab disapa Tom, "dan aku cuma pengangguran enggak jelas, apa masih pantas aku jadi suami Jessica?"Terdiam Rana mencoba untuk melihat dari sudut pandang kakak iparnya, meski ia masih ingin mencari tahu pengirim foto, memberi tahu sang kakak, dan tetap tidak ingin memaafkan. Namun kenapa pria di hadapannya kini seolah mengemis keadaan?
Gedung besar dan tinggi di pusat kota terlihat begitu gagah dan berani, seolah saling beradu untuk segera mencakar langit dan menguasai permukaan. Banyaknya gedung hebat pasti tidak terlepas dari aktivitas manusia di dalamnya, begitu pula dengan kehidupan pusat kota yang tidak terlepas dari hiruk-pikuk para pekerja, yang berlomba untuk saling memenuhi kehidupan masing-masing. Ego, nafsu, amarah, keinginan, dan kebutuhan bersatu dalam tujuan hidup setiap insan di muka bumi. Sama halnya dengan dua insan muda yang kini saling bertukar tatap, ekspresi datar dan raut wajah serius cukup menggambarkan situasi di antara keduanya. "Jadi gimana?" tanya seorang wanita memainkan jemarinya di atas meja, sedikit menenangkan diri dengan segala perkiraan yang tidak menakjubkan baginya. Semakin membisu pria di hadapan wanita cantik berambut hitam lebat itu, terkejut dirinya, tidak menyangka dalam pikiran, dan tidak terduga dalam benak akan diajak menikah oleh seorang wanita, hanya karena dirinya cur
Kegiatan kantor yang cenderung memuakkan terjadi sepanjang hari secara berulang, tidak melewatkan walau hanya satu pekerjaan dan tidak melupakan satu pun kebiasaan selama bekerja. Andai manusia memiliki remot kontrol otomatis berdasar pada aktivitas harian, Rana yakin basis data pada remot kontrolnya pun muak dengan ini semua. Berjalan santai namun penuh ketegasan dalam setiap langkahnya, sesekali tersenyum simpul membalas sapaan sesama karyawan perusahaan. Kenal atau tidak kenal bukan lagi menjadi prioritas bagi Rana saat berada di lingkungan kerjanya, dalam pikir Rana hanya jika orang itu baik maka harus membalasnya dengan perilaku baik dan berlaku untuk hal sebaliknya. "Berkas sudah dibawa semua?" tanya Rana setelah berada di dalam lif menuju lantai bawah tanah untuk ke parkiran. Selepas makan siang, sisa hari yang seringkali menjadi waktu bermalasan bagi sebagian pekerja. Begitu pula dengan seorang wanita cantik yang berdiri di samping Rana, "sudah," jawab wanita yang akrab d