"Oke oke, jadi aku iri."Mengernyit dan mata menyipit cukup menggambarkan kebingungan yang Tom rasa, "maksud kamu?""Iri ya iri, kamu enggak tahu artinya iri?" tukas wanita bernama lengkap Fauziah Aini."Enggak, bukan begitu. Maksud aku, kamu iri sama Rana itu kar ....""Keluarganya, bukan sama Rana," potong wanita yang akrab disapa Fafa atau Fau, panggilan Fafa yang lebih disukainya dari pada panggilan lain, "aku iri sama mereka," lanjutnya terdengar tegas dan meyakinkan, mata yang terbuka lebar dengan pupil membesar cukup jelas mengatakan suasana hati."Kenapa? Mereka enggak kenal kamu loh, aku pikir karena Kal nikah sama Rana dan kamu belum bisa lupakan Kal," ujar Tom berusaha memahami cara berpikir wanita yang ia sayangi, wanita yang selalu mendapat posisi spesial dalam hati dan pikiran, dan kini wanita yang ternyata baru ia tahu memiliki dendam tanpa alasan."Pikiranmu pendek banget, buat memahami aku saja enggak bisa," jawab Fafa tersenyum masam lalu menghela napas, "keluarga me
Kesunyian menemani dua pria yang saling terdiam satu sama lain, suasana kafe malam hari yang seharusnya menyenangkan dengan musik pengiring, tidak membuat keduanya berkutik dan mengikuti alunan musik. Saling berkutat dan membisu bersama pikiran yang semrawut, kesalahan berpikir mereka adalah saling mempercayai dan mendukung kesalahan demi cinta yang membutakan. Informasi terkait pencarian detektif dan pengacara pun tersampaikan, disertai perasaan gusar yang seolah memenuhi otak hanya dalam satu tarikan napas. Hembusan napas berulang kali dikeluarkan secara kasar, namun jelas tak cukup untuk melegakan hati maupun pikiran. "Tapi itu Jess doang, Rana diam saja bahkan dia kirim pesan ke gue kalau enggak akan ganggu rumah tangga gue lagi," ujar pria bernama Tomi Uraga itu pada teman sekaligus adik iparnya. "Memangnya dia kirim pesan begitu? Tapi dia enggak ada cerita apapun ke gue," sahut Kalil Nayaka, pria berusia 27 tahun pada temannya. "Mungkin belum, coba lo tanya saja," kata Tom m
"Dari mana?"Baru satu langkah kaki masuk ke dalam rumah, bahkan mata pun belum beradaptasi dengan kegelapan rumah yang biasa pada malam hari. Napas spontan terhenti sejenak saat mendengar dua kata itu terlontar, suara wanita yang seharusnya terdengar lembut justru terdengar menakutkan, kegelapan rumah kian menambah suasana mencekam."Main," jawab pria yang kini melangkah masuk ke dalam rumah, mencari saklar lampu dan menekannya untuk menerangi ruang tengah.Seorang wanita duduk bersandar di pinggir sofa sambil memangku sekaleng biskuit rendah kalori, remahan yang terlihat di lantai dan kaki menjadi saksi bisu lamanya wanita itu makan dalam kegelapan dan sendirian. Ekspresi datar dan mata sendu di antara kehampaan yang terpancar, menambah sensasi merinding hingga membangunkan hampir seluruh bulu kuduk pria itu."Kamu Kirana Zendaya, kan?" tanya pria itu bergerak mendekat untuk duduk di sisi sofa yang lain, matanya tidak terlepas dari wanita yang terus memandangnya dengan sinis."Setan
Cerahnya pagi yang membahagiakan bersama sinar yang menyehatkan, ada begitu banyak hal yang dapat disambut bersama senyum dengan suasana hati yang lembut, kelembutan yang jelas hanya dapat dirasakan oleh sebagian orang, kelembutan yang juga tidak selalu muncul sebab suasana hati dan pikiran. Pakaian rapi berwarna netral dan semi formal, pakaian rapi yang tidak dapat mencerminkan pikiran dan hati, yang bahkan mungkin saling berlawanan berkat kusutnya beban hidup."Sori lama," ucap seorang pria pada wanita yang sedari tadi duduk di kursi taman dengan wajah masam, "gue cuma mau tanya tentang Fafa dan Rana.""Mereka musuh," jawab wanita itu acuh tak acuh, tanpa menoleh atau sekadar melirik lawan bicaranya, "itu fakta yang jelas dan terang benderang, apa lagi yang mau ditanya?"Terhela napas pria bernama Tomi Uraga itu menanggapi, "tapi Rana sadar kagak sama permusuhan mereka?" tanya pria yang akrab disapa Tom."Kagak kayaknya," jawab si wanita kemudian melirik sinis ke arah Tom, "kenapa?"
"Fafa pernah suruh orang buat mencelakai keluarga Rana," ucap Diah menatap Tom seraya tersenyum konyol, "kalau lo tanya alasannya, cuma Fafa yang tahu. Beda orang yang tanya ya beda jawabannya," lanjut wanita itu kemudian terkekeh pelan sembari berjalan mundur lalu berbalik arah, kembali meninggalkan Tom tanpa memberi kesempatan pria itu bicara. "Oke," kata Tom mendesah pasrah lalu beranjak meninggalkan area taman, berjalan pelan tanpa banyak kata dan sesekali menendang kerikil. Bosan rasanya dalam benak Tom sepanjang malam dan pagi hari belum menyalakan ponsel, belum ingin mendengar segala dering, ocehan, dan sampah pesan penuh tangisan tidak berguna. Bosan, satu kata dengan sejuta perasaan yang pasti pernah dirasakan setiap orang, bosan dengan kegiatan, bosan dengan suatu benda, sampai bosan pada seseorang. "Sudahlah," gumam Tom mengambil ponsel dari saku celana setelah masuk ke dalam mobil, menyalakan benda pipih berteknologi itu dan menunggunya sesaat dengan ribuan lapis kesa
"Hai, sudah pulang kerja?" sapa seorang wanita dengan pertanyaan menyambut adiknya yang masih di dalam mobil, "asam banget itu muka," lanjutnya ketus setelah membukakan gerbang, membiarkan adiknya memasuki garasi rumah untuk parkir mobil.Bruk!Pintu mobil tertutup rapat tepat setelah wanita bersetelan semi formal keluar, raut masam tanpa ekspresi sangat menunjukkan suasana hatinya yang kacau, "kenapa?" tanya wanita bernama Kirana Zendaya itu pada kakaknya, pada tuan rumah yang dikunjungi."masuk dulu sini," sahut kakak dari Rana itu dengan lembutnya, "aku enggak ada niat usir kamu waktu itu, suasana hatiku berantakan saja karena lihat foto-foto waktu itu ditambah aku belum makan, lagi lap ....""Sudahlah enggak usah dibahas lagi," potong Rana cepat sambil menjatuhkan dirinya di atas sofa panjang, bersandar dan meluruskan kaki di atas sofa dengan santai, "jadi kenapa?" lanjutnya bertanya mengambil toples camilan yang selalu tersedia di atas meja ruang keluarga."Suamimu brengsek," kat
Keduanya saling berhadapan kini di ruang utama rumah mewah, banyaknya interior menghiasi meja kecil, meja bulat, maupun lemari hias dan dinding di setiap sisi ruang yang luas. Rumah mewah yang jelas didapat dari bagi hasil bisnis keluarga, bagi hasil yang sama sekali tidak pernah Rana inginkan dan harapkan.Terengah napas Rana menahan segala isi hati dan keluh kesah yang ia tahu, berhadapan dengan orang yang menjadi budak cinta dan orang yang pandai manipulasi dalam satu momen, sungguh menguras pikiran dan hati untuk memendam segalanya, "semua bisa jadi terduga di situasi begini," lanjutnya meralat teriakan emosi yang terluap tidak terkendali.Terdiam Jess memandang Rana yang masih mengatur napasnya, sesekali pula ia melihat sang adik memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, "aku paham," kata Jess singkat lalu tersenyum simpul, "silakan kalau mau pulang, akhir-akhir ini kamu sensitif dan gampang banget marah. Sibuk boleh, tapi jangan lupa untuk kontrol stresnya.""Iya," jawab
Ketus, acuh tak acuh, dan tanpa ekspresi Rana berikan untuk menanggapi setiap ucapan si wanita asing. Bukan karena ingin merusak citra pada awal pertemuan, namun baginya tidak ada hal penting dan istimewa hingga mengharuskan menjaga citra.Tercenung, bingung, dan merasa serba salah yang dirasa oleh Diah, atas segala tanggapan yang Rana berikan. Bukan karena ingin menarik diri dan gagal membentuk nama baik pada awal pertemuan, namun baginya berhadapan dengan wanita karir yang berpendidikan jelas akan sulit, jika mengingat latar belakang diri yang tidak berarti apapun bila dibanding dengan Rana."KDRFN itu singkatan kelompok anggota kami, geng kita yang selalu kompak dan setuju apapun selagi itu tentang kami." Mengernyit Rana mendengar penjelasan awal, "jadi apapun yang mau kita lakukan, kalau itu ada sangkutannya sama salah satu dari kita pasti disetujui semuanya tanpa terkecuali. Alasannya karena kita setia kawan, kita akan saling mendukung satu sama lain."Mengangguk Kirana mendengar